Mewariskan Nilai, Merawat Harapan

Menarik memang membaca tulisan Asep Salahudin, Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat sekaligus Dekan Fakultas Syariah IAILM Suralaya, Tasikmalaya, yang dimuat di Kompas, Sabtu, 29 Maret 2014. “ Selalu Ada Harapan”, begitulah judulnya. Bahwa rasio utama digelar pemilu, seperti pada tahun 2014 ini, adalah untuk “memelihara jati diri manusia sebagai „Homo esperans‟, makhluk yang selalu berharap.

Buktinya terlihat jelas. Menurut Asep, tak peduli sesulit apa pun kondisinya, setiap musim coblosan, pasti orang berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara, menanti harapan baru, seorang juru selamat yang lahir dari rahim pemilu tersebut. Mereka tak peduli, kalau ternyata yang mereka dapatkan hanyalah petahana “itu-itu” juga. Mereka hanya akan mengkritik, memprotes, dan jika tak ada perbaikan, lima tahun lagi, mereka akan memilih nama-nama yang lain, berharap yang ini lebih baik.

Menurut Asep pula, mereka yang memilih untuk absen setiap kali digelar pesta demokrasi tersebut tidak otomatis telah berhenti berharap. Setidaknya, mereka berharap sikap golput mereka itu akan menjadi kritik ideologis yang bisa menghujam nurani, kalau memang masih ada, orang-orang yang mengklaim diri sebagai pemimpin tapi tak henti-hentinya mengelak dari tuduhan dan jeratan terali besi lantaran tersangkut kasus korupsi

Dari manakah harapan tersebut terus datang? Apa yang membuatnya tetap bertahan di tengah segala kemustahilan? Secara historis, bangsa kita memang pernah sekian lama dijajah, diadu domba, dan dibodohkan. Jika kita hidup di zaman penjajahan sedang hebat-hebatnya, kita mungkin akan berpikir bahwa kita sudah tak mungkin lagi merdeka. Sebab bagaimana mungkin orang-orang kita yang kurus kering sanggup mengusir penjajah yang bersenjata lengkap dan canggih yang bahkan dibantu oleh sebagian bangsa kita sendiri?
Secara hitungan matematis, hal itu mustahil. Namun, ada cerita menarik. Konon, ada segolongan petani yang tetap giat dan semangat berkerja pada saat sulit itu. Mereka percaya bahwa kelak, nasib merek pasti menjadi lebih baik karena mendengar ramalan Ronggowarsito bahwa tanah mereka akan merdeka.

Bukanlah ramalan itu sendiri yang penting, melainkan spiritnya, keyakinan akan datangnya kemerdekaan. Keyakinan itulah yang mampu mengalahkan rasa takut untuk menghadapi musuh yang lebih kuat. Keyakinan itulah yang membuat para pejuang berani mengobarkan semangat merebut tanah kelahiran mereka. Keyakinan itulah yang membuat Diponegoro sanggup memimpin perang yang dapat menguras kantong VOC karena sengitnya perlawanan.

Seperti tertulis dalam Pupuh XX (Dhandhang Gula), Diponegoro yang awalnya raguakhirnya mau melaksanakan tugas tersebut setelah diyakinkan oleh “bayangan” Ratu Adil.

“Marmanira Sira sun timbali / wadyaningsun kabeh Sira duwa / ing Jawa rebuten mangko / lamun ana wong iku / atataken mareng Sireki / nuwalanira Kur`an kon goleki iku / jeng Ngabdul Kamid aturnya / amba nuhun sampun tan kuwawa jurit / aningali dhumateng pepati / lawan malih rumiyin kawula / sampun ngelampahi yektose / pandamel wonten langkung / inggih sami samining jalmi / Sang Ratu Adil nebda / ora kena iku / wus dadi karsaning Sukma / Tanah Jawa pinasthi marang Hyang Widhi / kang dhuwe lakon Sira / data nana iya maning-maning.”

“Orang bertanya padamu / apa hak yang kau miliki / untuk (memimpin perang) merebut Jawa / kalau ada orang seperti itu / maka jawablah olehmu ini / carilah di dalam Quran / kemudian Ngabdul Kamid (gelar Diponeggoro) mengutarakan / saya minta supaya tidak untuk berperang / karena tak sanggup melihat kematian / bahkan saya yang dulunya / telah melakukan yang tampaknya / pekerjaan yang lebih / adalah sama seperti umumnya manusia / Sang Ratu Adil bersabda / tidak bisa begitu / telah menjadi kehendak Tuhan / nasib Tanah Jawa sudah ditakdirkan-Nya / kamulah yang akan melakukan / sebab tak ada yang lain.”

Dari sini, dapat diketahui bahwa keyakinan Diponegoro untuk berperang tak timbul secara otomatis, tapi timbul dari nilai-nilai keagamaan yang dianutnya. Hal itu terlihat pada kata-kata Sang Ratu Adil saat berusaha meyakinkannya. Tokoh yang dipengruhi konsep Islam tentang Imam Mahdi tersebut menyabdakan tentang takdir Diponegoro sebagai yang dipilih Tuhan untuk memimpin perang. Jadi, untuk membuat perubahan diperlukan harapan, untuk merawat harapan diperlukan keyakinan, sedangkan untuk menanamkan keyakinan diperlukan kesadaran yang kuat akan nilai-nilai luhur yang dapat menjadi pedoman.

Sebelum melangkah kepada kesadaran akan nilai tersebut, kita perlu mengetahui apa itu nilai dan bagaimana ia bisa berperan dalam menggerakkan kehidupan sosial ke arah yang lebih baik. Menurut Kimball Young, nilai sosial adalah asumsi abstrak tentang apa yang baik, benar, dan dianggap penting oleh masyarakat. Nilai tersebut kemudian akan membaku menjadi suatu sistem budaya di mana kondisi masyarakat penganutnya telah mengarah pada keseimbangan yang dinamis.

Meskipun telah membaku, nilai-nilai yang ada di masyarakat tidak sepenuhnya aman dari pergeseran. Banyak aspek dalam kehidupan yang dapat menggeser nilai-nilai tersebut ke arah baru yang bisa jadi lebih baik atau lebih buruk. Pergeseran itu pun juga tidak selalu berjalan mulus. Sebuah kekosongan, sebuah fase kehilangan jati diri akibat serangkaian pertentangan, dapat menyusup ke dalam masa peralihan tersebut, perlahan-lahan menancapkan akar dominasinya, dan pada akhirnya, ketika semua orang mulai sadar, sudah nyaris mustahil untuk mencabutnya.

Misalnya, segenap percepatan yang dahsyat telah terjadi dalam berbagai aspek kehidupan kita selama decade terakhir. Percepatan ekonomi dan teknologi informasi terutama mengakibatkan pergeseran nilai yang nyata pada generasi muda kita. Konsumerisme ekstrem, kecanduan game online dan social media, update gadget effect, dan masih banyak lagi telah mengubah mayoritas pemuda kita dari pengawal kemerdekaan, reformasi, dan demokrasi menjadi bermental ingin hidup serba enak saja. Memang tidak ada salahnya sedikit menikmati kehidupan yang mulai mapan ini. Namun, jika sampai kebablasan, akan terjadi apa yang disebut sebagai, meminjam judul buku Sujiwo Tejo, fenomena lupa Indonesia. Padahal, pemudalah harapan bangsa ini untuk benar-benar mewujudkan periode lepas landas pada rentang 2030 sampai 2050 nanti.

Untuk menanggulangi itu semua, diperlukan lembaga yang dapat berperan mewariskan nilai-nilai keluhuran budi sekaligus ke-Indonesiaan kepada generasi muda kita. Lembaga dengan peran seperti itu adalah pranata sosial, alat kelengkapan masyarakat guna mewujudkan tujuannya membangun keadilan dan kesejahteraan. Pranata itu meliputi keluarga, lembaga pendidikan, peer group (teman sebaya), dan hukum. Dari keempat pranata itu, hukum adalah pilihan terakhir sebab lebih berfungsi sebagai koreksi represif atas penyimpangan yang ada. Peran peer group juga dapat direduksi ke dalam lembaga pendidikan yang meliputi sekolah dan pendidikan tinggi. Itu karena biasanya, teman sebaya tempat seseorang bergabung dalam kelompok sama dengan teman yang ada di sekolah atau kampus. Ini berarti peran paling dominan dalam mengawal penyadaran generasi muda akan nilai-nilai luhur tersebut terletak pada keluarga dan lembaga pendidikan yang memiliki porsi waktu lebih banyak bersama mereka.

Namun, apa yang terjadi saat ini? Dunia pendidikan kita tengah mengalami krisis keteladanan. Terdapat kesenjangan antara nilai-nilai ideal yang semestinya diajarkan di sekolah dan apa yang terjadi di masyarakat. Beragam kasus berulang kali terjadi, diantaranya kekerasan (mulai dari kematian taruna Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, Ery Rahman, pada Maret 2000 hingga kematian Renggo Khadafi, siswa kelas V SDN 09 Makassar, Jakarta Timur baru-baru ini), pelecehan seksual (tengok berita pencabulan terhadap siswa TK Jakarta International School), dan masih banyak lagi.

Selama ini, kita seolah kurang memperhatikan pengembangan karakter henerasi muda kita. Merujuk kepada konsep Ki Hajar Dewantara tentang Tripusat Pendidikan, pendidikan semestinya dimulai dari keluarga melalui penanaman keluhuran budi pekerti. Setelah itu, penanaman budi pekerti itu harus dilanjutkan di sekolah dengan didampingi pengembangan ranah afektif (pengetahuan), kognitif (pengambilan sikap), dan aplikatif (keterampilan hidup). Ketika hal itu tidak diterapkan, maka penyampaian nilai menjadi tidak berkelanjutan. Akibatnya, timbul kekosongan jati diri yang berpotensi menghadirkan kasus-kasus tidak perlu seperti dicontohkan sebelumnya yang tentunya data menghambat peningkatan kualitas SDM generasi muda kita pada tiga ranah yang disebutkan terakhir. Untuk itu, sebuah perubahan mesti dilakukan. Sebuah sistem yang terintegrasi antara ketiga pusat pendidikan itu harus dijalankan. Model pembelajaran yang diperlukan tidak bisa hanya berpaku pada teori-teori dan keterampilan-keterampilan tertentu, tapi juga harus membangkitkan kesadaran generasi muda yang menjadi peserta didik sebagai bagian dari sebuah negara dan warga umat manusia. Maka, pendidikan haruslah dipandang sebagai proyek kehidupan, bukan hanya sekadar meluluskan.

Untuk itu, diperlukan komitmen bersama semua pihak demi menjaga keberlanjutan penanaman kesadaran tersebut. Komitmen itu dapat diwujudkan pada pemberian keteladanan pada generasi muda. Bisa jadi, mata rantai kenakalan dan keapatisan kaum muda kita akan bangsanya sendiri selama ini lantaran tidak ada panutan yang memberi keteladanan untuk melakukan hal yang sebaliknya.

Pun juga, dibutuhkan sebuah kurikulum yang bervisi transformasi sosial untuk memberi dukungan. Bervisi transformasi sosial artinya mengajarkan generasi muda yang menjadi peserta didik untuk berkontribusi secara maksimal terhadap penyelesaian masalah masyarakat dan bangsanya. Tolok ukur yang digunakan pun tidak cukup dengan IPK, praktikum, Ujian Nasional, dan nilai serta huruf sikap dalam rapor, tapi harus memberikan tugas kepada generasi muda yang menjadi peserta didik untuk mewujudkan sebuah proyek dengan tingkat kerumitan tergantung jenjang pendidikan yang sedang ditempuh guna memecahkan suatu masalah yang ada di lingkungan sekitar mereka melalui fokus keterampilan yang mereka ambil dalam kelas, apakah itu bidang saintek maupun soshum.

Hal itu patut diterapkan, karena pendidikan beserta segenap nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang diajarkan di dalamnya memang bukan dilahirkan untuk didomestfikasi, dalam artian pintar dan baik untuk diri sendiri. Pendidikan, bagaimanapun juga bukan proyek individu, melainkan proyek kebangsaan. Oleh karena itu, selayaknya generasi tua kita menjadi seperti sosok Ratu Adil dalam Pupuh yang secara bijaksana meyakinkan, mendorong, memberi teladan, dan menguatkan Diponegoro, generasi muda kita yang menjadi peserta didik, melalui nilai-nilai keluhuran budi yang tetap membumi dan dapat teraksentualisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Seyogyanya hal itulah yang dilakukan, karena kaum mudalah tempat bangsa ini berharap, tidak hanya untuk mengawal proses demokrasi yang sudah sekian lama berjalan, tidak hanya untuk mewujudkan Indonesia yang benar-benar lepas landas, tapi lebih dari itu semua, karena memang selain mereka, tak ada lagi yang lain. Kang dhuwe lakon Sira, data nana iya maning-maning.

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila (Draft)