Pola Perubahan dalam Siklus Sejarah Menurut Model Panarchy: Tinjauan Ringkas


“Model ini dengan demikian merupakan suatu struktur di mana sistem-sistem, termasuk natural, sosial, dan kombinasi natural-sosial, saling terhubung dalam suatu siklus adaptif yang kontinu yang tersusun atas perputaran pertumbuhan/eksploitasi, akumulasi/konservasi, restrukturisasi/rilis, dan pembaruan ulang/reorganisasi.” (Holling et.al.: 2014, hal 578-579)
Terdapat sejumlah teori yang mencoba menerangkan karakteristik umum dari perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada suatu sistem yang kompleks, yang dikembangkan untuk memahami transformasi sistemis. Salah satunya adalah model Panarki (Panarchy).
Panarki berasal dari kata “pan” (semua) dan “archy” (memerintah), dibentuk oleh Paul Emile de Puydt pada 1860, sebagai istilah tentang suatu bentuk aturan yang melingkupi semua yang lain, suatu aturan yang mengatur semuanya, yaitu suatu aturan universal. Dalam perkembangannya, istilah tersebut digunakan untuk mewakili suatu teori tentang sistem, yang menjelaskan sistem-sistem hierarkis yang terus mengalami perubahan dengan beragam elemen yang saling terkait. Model ini dengan demikian merupakan suatu struktur di mana sistem-sistem, termasuk natural, sosial, dan kombinasi natural-sosial, saling terhubung dalam suatu siklus adaptif yang kontinu yang tersusun atas perputaran pertumbuhan/eksploitasi (r), akumulasi/konservasi (k), restrukturisasi/rilis (Ω), dan pembaruan ulang/reorganisasi (α).
Konsep panarki menawarkan suatu kerangka kerja yang menyifati sistem-sistem kompleks manusia dan alam sebagai suatu entitas yang terorganisasi dan terstruktur secara dinamis dalam dan lintas skala ruang dan waktu. Model ini menggunakan pendekatan sistem untuk memahami dinamika ekosistem dan menegaskan struktur hierarkis. Namun, panarki berbeda dari hierarki yang biasa dibayangkan bahwa kontrol tidak hanya diberikan oleh proses top-down pada skala yang lebih besar, tapi juga dapat berasal dari proses bottom-up. Selain itu, siklus adaptif dalam model ini berbeda dari pandangan teori hierarki yang lebih tradisional. Karena potensial terjadinya siklus perubahan adaptif dalam model ini mempengaruhi skala kecil maupun besar, teori ini menekankan  hubungan lintas-skala di mana proses-proses pada satu skala mempengaruhi skala-skala yang lain sehingga berkontribusi pada keseluruhan dinamika sistem.
Untuk menjelaskannya secara singkat: Di daerah kiri atas, ketika potensi tinggi, dan keterhubungan rendah, sistem terbuka untuk berubah. Ini biasanya karena sistem sedang keluar dari krisis dan banyak koneksi gagal atau putus. Tahap “eksploitasi” adalah ketika sistem membuat koneksi baru, membangun berbagai jenis modal sosial dan institusi baru, serta mengalami pertumbuhan yang masif. Sistem ini lalu mengalami masa puncak keberhasilan dan kemakmuran selama fase “konservasi”, sebagai hasil dari pembangunan kembali ini, di mana akumulasi dan penyimpanan yang lambat dari energi dan material jamak terjadi, serta populasi sistem mencapai kapasitas optimumnya dan menjadi stabil dalam beberapa lama. Dalam fase “rilis”, sistem itu menghabiskan modalnya; populasinya menurun akibat kompetitor atau perubahan-perubahan kondisi. Pada fase reorganisasi, yang juga dapat terjadi secara cepat, sejumlah bagian tertentu dari populasi terpilih akibat kemampuan mereka bertahan dalam menghadapi para kompetitor atau perubahan-perubahan kondisi yang memantik fase rilis sebelumnya.
Penting untuk dicatat, sebagai referensi, bahwa model gelombang Strauss-Howe juga memiliki struktur yang serupa, yaitu pada empat generasi dan delapan puluh tahun. Bagi model tersebut, “krisis” (= reorganisasi) mengarah ke “ketinggian” (= eksploitasi), yang mengarah pada “kebangkitan” (= konservasi), yang mengarah pada “penguraian” (= pelepasan), dan kembali ke krisis lagi. [Untuk model Strauss-Howe insya-Allah akan dijelaskan dalam tulisan berikutnya]
Sekarang, mari kita coba memetakan sejarah republik secara sederhana menurut model Panarki (juga dengan model Strauss-Howe). Masa 1997-1999 dapat kita lihat sebagai tahap reorganisasi atau krisis. Hal itu karena di dalamnya terjadi potensial ledakan sistem meluap-luap akibat badai yang datang telah memutus kerangka-kerangka yang sebelumnya telah rapuh. Dengan ketimpangan yang tinggi, keterkaitan sosial demikian rendah; maka reorganisasi yang masif pun terjadi. Seluruh tatanan lama kemudian dipatahkan dan diupayakan untuk diganti menjadi struktur sistem yang lebih terbuka melalui reformasi. Kebebasan mulai ditegakkan dan pemilu yang langsung dan lebih demokratis mulai dicanangkan. Kebebasan dan keterbukaan itulah warisan terbesar pemerintahan B.J. Habibie, walaupun sangat singkat.
Tahapan berikutnya ialah tahapan eksploitasi atau “the high”, yang terjadi dari masa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) hingga SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Pada pemerintahan mereka, bangunan dan struktur demokrasi republik mulai dibangun dengan pesat di atas fondasi kebebasan dan keterbukaan yang diletakkan oleh Habibie pasca mundurnya Soeharto. Pelbagai badan, lembaga, dan institusi yang bertujuan merawat dan mengembangkan natur republik sebagai negara bangsa demokrasi yang modern terus dilakukan. Walaupun begitu, berbagai kasus lama tetap terjadi dan sulit dibongkar. Korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah kadung mewabah dengan akut. Paling parah dari semuanya, makin berkembang demokrasi kita, oligarki dan feodalisme malah makin bercokol. Keduanya makin menguat dan mencapai puncaknya hari-hari ini; bukan apa-apa, lantaran datangnya krisis akibat wabah Corona ini membuka beragam upaya untuk menutup-nutupi borok keadaan.
Pada tahap inilah, sejak 2014 itu, kita sebenarnya telah memasuki masa-masa sulit. Indeks demokrasi terus menurun. Defisit perdagangan semakin dalam. Pertumbuhan ekonomi sejak 2014 hanya mentok di 5 koma sekian persen, tak pernah lagi mencapai 6 persen lebih seperti sebelumnya. Ekonomi justru telah memburuk sebelum datangnya Covid-19; bukan virus itu yang membuat ekonomi kita buruk, ia hanya menyibak tabir penyamar yang ada karena doping lewat guyuran dana hutang. Pelbagai indikator yang sifatnya statistik tentu bukan cakupan tulisan ini, tapi tanda-tanda terbesar kemerosotan keadaan terlihat melalui melemahnya demokrasi, penyumbatan nalar publik, pemaksaan aturan yang tidak relevan dalam penanggulangan wabah (seperti RUU HIP yang begitu didesakkan), senyum oligarki lewat RUU Minerba yang baru, RUU KPK beberapa waktu lalu, drama kasus Novel Baswedan, heboh Joko Tjandra, dan lain-lain.
Yang terbaru, oligarki, feodalisme, dan politik dinasti itu justru semakin dipertontonkan kepada publik secara telanjang bulat. Inilah kali pertama keluarga dekat seorang penguasa mencalonkan diri secara bypass kaderisasi dalam kontestasi kekuasaan saat sang penguasa masih formal bercokol. Maka, cukup tepatlah jika tahun 2014 hingga hari ini digolongkan ke dalam fase konservasi atau “awakening”, yaitu saat mulai terjadi perlambatan sistem, terutama perlambatan ekonomi dan pertumbuhan demokrasi yang disertai menguatnya oligarki dan feodalisme kekuasaan. Hal itu akhirnya mulai membangkitkan kesadaran akan kebobrokan keadaan, sehingga menjadi pintu gerbang bagi pelbagai krisis yang siap menjelang, yaitu menuju ke fase rilis atau “unravelling” yang membongkar sumber-sumber kebusukan.
Dulu, saat reformasi, terdapat optimisme bahwa kita akan menuju apa yang disebut sebagai “old state, new society”; tapi yang ada, kita malah terjebak semakin dalam lingkaran setan oligarki dan plutokrasi, bahkan “bapak-krasi”. Kita selama ini memanglah hidup dalam republik negara bangsa demokrasi yang modern, tapi jiwa dan kultur sosio-eko-politik kita masih teramat feodal. Kita malah terjebak dalam “old state, old society”. Keadaan hari-hari ini mesti diambil sebagai pelajaran agar tabiat yang semacam itu kita tinggalkan, jika kita memang serius untuk hidup dalam kerangka demokrasi pada suatu negara bangsa yang modern. Berikutnya, yang terpenting ialah bagaimana kita perlu menyikapi keadaan mendatang; mengingat respons berbagai pihak terhadap wabah ini memang begitu terlambat, bahkan cenderung denial sejak dulu, bahkan masih sempat menggencarkan pariwisata mancanegara di tengah merebaknya pandemi, apalagi sampai membayar influencer.
Kasarnya, segala intervensi akal sehat tidak akan lagi berguna dalam mengurai benang kusut keadaan. Rumus sejarah sedang berlangsung. Siklus sedang berulang. Ini semua tiada lain memang kehendak zaman. Pelbagai rentetan peristiwa ini hari merupakan semacam pintu gerbang bagi momentum-momentum perubahan yang amat dirindukan oleh sejarah. Menarik untuk melihat di takat mana ia akan bermuara. Zaman sedang bergerak dalam arah tertentu. Penting untuk membaca gelombang sejarah ini agar kita mendapatkan ruang manuver dalam mengarahkan segala sumber daya yang tersisa untuk kebaikan hari depan. Maka, marilah kita pelajari siklus sejarah ini, sebagai ibrah kehidupan hari ini dan seterusnya.
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS 12:111)
Bacaan lanjut:
Holling, et.al. “Panarchy: Theory and Application”, Ecosystems, 17: 578–589, (14 January 2014), DOI: 10.1007/s10021-013-9744-2

Comments

  1. ayo daftarkan diri anda di AJOQQ :D
    menangkan jackpot dengan sebanyak-banyaknya :D
    WA;+855969190856

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan