SAPI GILA
Di akhir
Ramadhan yang hening, penduduk desa dikejutkan oleh teriakan-teriakan sapi-sapi
mereka yang tak henti-henti. Awalnya, teriakan itu mereka anggap biasa. Akan
tetapi, seiring bertambah panjang dan lamanya sapi-sapi itu melolong-lolong
sepanjang malam sampai siang bolong, para penduduk desa mulai disergap kekhawatiran.
Mereka pada suatu pagi yang langitnya dikerikiti awan-awan kelabu, berkerumun
di balai desa seperti kawanan lebah yang mendengung-dengung lesu.
“Desa kita
sudah terjamah virus sapi gila!” dengus seorang warga desa yang mukanya penuh
guratan masa senja.
“Mana mungkin
ini wabah sapi gila! Sapi-sapi milikku masih makan dengan lahapnya. Mereka
hanya melenguh-lenguh saja, mungkin karena sakit korengan.” Ujar yang lain
dengan suara mirip celeng.
“Sapi-sapi
pasti itu kena sihir yang ditiupkan pada tali-temali oleh kelelawar-kelelawar
jadi-jadian yang terbang di pekat malam.” Teriak yang lain.
“Tidak
mungkin!” timpal yang lain.
“Itu mungkin
saja. Kemarin, aku lihat pada tengah malam, sapi-sapi milikku seperti kerasukan
iblis, menyeruduk ke sana ke mari.”
“Tidak! Itu
pasti karena sapi-sapi itu digigit semacam serangga yang membuat mereka
gatal-gatal dan mengamuk!”
“Sudah! Sudah!
Saya sudah menelpon mantri hewan dari kecamatan. Sebentar lagi dia akan
datang.” Kepala desa menengahi keributan.
“Sekarang
semuanya kembali ke rumah dan sawah masing-masing saja. Serahkan semuanya pada mantri
itu.”
###
Matahari sudah
nyaris terbenam di tepi barat. Langit senja menyemburatkan benang-benang
kemerahan yang memintir pada angin yang menyabet burung-burung yang
bercicit-cicit dilatari awan-awan yang memerangkap bayangan hitam. Para warga
desa mendongakkan kepala mereka ke jalan yang menurun dari arah barat, menanti
si mantri yang kabar kedatangannya masih belum disampaikan kepada mereka
oleh burung-burung yang terbang ke peraduan. Sementara sapi-sapi mereka makin melolong-lolong
dan makin menjadi-jadi.
“Kapan mantri
itu datang?” teriak seorang warga dengan suara tercekat.
“Sebentar lagi!
Sabar!” teriak kepala desa.
Dan para warga
menunggu lagi, menengadahkan kepala mereka menuju jalan yang menurun dari arah
barat. Sementara lolongan-lolongan sapi-sapi mereka kian menceracau pada gelap
yang menyelimuti langit yang bintang-bintangnya ditutupi suara-suara tabuhan
takbir yang bisu.
###
Hari semakin
malam dan malam semakin larut. Para warga yang menunggu di depan pintu rumah
mereka semakin dibekap oleh rasa takut yang semakin kalut. Mereka membiarkan
masjid-masjid kosong dan pengeras-pengeras suara melantunkan nada-nada takbir
yang terbungkus selaput hening. Sementara mereka terus menengadahkan wajah ke arah
jalan yang menurun dari barat. Tak ada apa-apa di sana. Tak ada mobil yang
datang dari kota. Tak ada mantri sapi seperti yang dijanjikan kepala
desa.
“Akankah mantri
sapi itu datang?” teriak seorang warga desa.
“Tunggulah!
Sabarlah! Mantri itu pasti datang.” Lolong kepala desa. Sementara
lolongan sapi-sapi mereka semakin membelah malam yang gema takbirnya ditutupi
dinding tebal kebisuan.
###
Langit yang bintang-bintangnya
tertutup hening yang bermuara pada kebisuan takbir kini semakin pekat oleh awan
tebal yang datang dari arah barat. Sementara para warga desa tiada menyadarinya
karena sibuk menengadahkan wajah mereka pada jalan yang menurun dari arah barat,
menanti mantri sapi seperti yang dijanjikan kepala desa.
Sementara itu,
dari ujung desa terdengar teriakan …
“Tolong!
Tolong!”
Para warga pun
beramai-ramai menyerbu asal teriakan. Ternyata, di pelataran rumah seorang
tetangga mereka, seekor sapi yang lepas dari tambang-tambang yang menjeratnya
mengamuk dan menyeruduk pemiliknya yang berusaha menangkap. Sapi itu
melolong-lolong dan menyerbu ke arah kerumunan, tidak memberi para warga
kesempatan untuk mendengarkan semilir angin yang menerbangkan suara-suara
takbir yang ditumpangi oleh bisu. Tanduk-tanduknya berwarna merah dan hidungnya
mendengus-dengus. Melihatnya, para warga lari pontang-panting. Ada yang masuk
ke rumah terdekat, ada yang melompat ke pohon-pohon, ada yang naik ke atap.
Sementara sapi it uterus mengejar mereka yang masih berlari di jalan-jalan.
###
Tepat tengah
malam, sapi-sapi yang lepas kian banyak. Seperti telah kerasukan iblis, mereka
menyeruduk seluruh warga dan tak memberi kesempatan kepada mereka untuk
mendengarkan lagi keriuhan petasan dan semilir angin yang menerbangkan gema
suara takbir yang diiringi berbagai tabuhan. Sementara dari jalan yang menurun
dari arah barat. Tak ada tanda-tanda kedatangan mantri sapi yang
dijanjikan kepala desa.Yang datang dari barat justru awan tebal nan pekat. Tapi
hujan tak juga turun di desa itu, sehingga darah-darah yang mengucur pada luka
penuh belur para warga yang diseruduk sapi-sapi gila tidak tersapu dari
jalan-jalan dan pekarangan.
###
Di pagi buta,
di akhir Ramadhan yang hening, tidak ada gema takbir yang menumpang aliran
deras sungai yang mengalir ke utara. Tak ada suara-suara tabuhan dan keriuhan
petasan. Yang ada, hanyalah mobil dan tiga jasad yang mengambang di sungai yang
permukaannnya penuh potongan-potongan kayu yang bercecer dari jembatan yang
runtuh.
Di akhir
Ramadhan yang hening yang pagi harinya bermandikan cahaya matahari selipat
selaput dan kabut tipis yang tertutup gerimis riwis dan bau darah amis, tak ada
apapun yang bisa diceritakan. Tak ada kisah yang dibawa terbang oleh bangau-bangau
yang setiap hari biasa menceracau pada akar-akar bakau. Tak ada kabar yang
menumpang pada semilir angin dan deras aliran air. Yang ada hanyalah …
M Miftahul
Firdaus
Comments
Post a Comment