Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee


“Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran, kebangkitan dan keruntuhan, kejayaan dan kehancuran), Kami pergilirkan di antara manusia. Jika kalian terluka, telah terluka pula kaum-kaum sebelum kalian. Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (kaidah dan metode jalannya sejarah). Maka berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah pandangan dalam perspektif ruang) dan lihatlah akibat perbuatan orang-orang terdahulu atau orang-orang yang mendustakan (lakukanlah rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu).” (Quran Surah 3: 140)“Bukankah aku telah keliru dalam menerapkan pemikiran historis, yang merupakan studi tentang makhluk hidup, sebagai suatu metode pemikiran ilmiah untuk membentangkan alam yang mati? Bukankah aku juga telah keliru dalam memperlakukan perhubungan antar-manusia sebagai suatu operasi sebab-dan-akibat?” (Toynbee dalam “A Study of History: The One Volume Edition”,  1972, hal 97)
Sekian lama Arnold Joseph Toynbee melakukan pencarian terhadap faktor positif yang mengantarkan umat manusia dari suatu “integrasi tradisi” (integration of custom) menuju “diferensiasi peradaban” (differentiation of civilization). Pikirnya, kelahiran peradaban (dawn of civilization) bukanlah kejadian pertama di mana ritme sejarah manusia yang demikian mengalami perubahan. Hal itu telah terjadi saat sejumlah masyarakat di kawasan Bulan Sabit Subur menemukan metode agrikultur. Hal yang sama juga terjadi sebelumnya saat sejumlah masyarakat mulai mendobrak rutinitas mereka membuat peralatan rendah Paleolitik, yang mungkin telah berumur setengah juta tahun. Dengan demikian, menurut Toynbee, pencarian penjelasan terhadap “keberangkatan baru” semacam itu merupakan pencarian tentang asal kemanusiaan itu sendiri, bukan hanya tentang peradaban.
Dalam pencariannya itu, ia telah menjalani pelbagai eksperimen melalui bermain-main pikiran dengan berbagai “gaya tak berjiwa”, yaitu ras dan lingkungan, dan berpikir dalam wilayah sebab-dan-akibat yang determinis. Namun, akhirnya ia menyadari bahwa berbagai upaya itu justru mengantarkannya pada suatu “kesalahan apatis”. Ia berkata pada dirinya sendiri, “Bukankah aku telah keliru dalam menerapkan pemikiran historis, yang merupakan studi tentang makhluk hidup, sebagai suatu metode pemikiran ilmiah untuk membentangkan alam yang mati? Bukankah aku juga telah keliru dalam memperlakukan perhubungan antar-manusia sebagai suatu operasi sebab-dan-akibat?”. Ternyata, ia mendapati bahwa, meskipun sebab-akibat itu tak dapat dihindari, inisiatif yang diambil oleh suatu kelompok manusia dalam perjumpaan itu bukanlah sebab, melainkan suatu tantangan. Konsekuensinya bukanlah akibat, melainkan suatu respons.
Tantangan-dan-respons menyerupai sebab-dan-akibat hanya dalam tingkat urut-urutan peristiwa. Karakter urut-urutan itu tidaklah sama. Tidak seperti akibat suatu sebab, respons terhadap suatu tantangan tidaklah ditentukan sebelumnya, tidak pula harus seragam untuk semua kasus, sehingga secara intrinsik tak dapat diprediksi. Karena itu, Toynbee menggeser paradigmanya dari “gaya-gaya (perubahan)” kepada persona. Ia lalu menggambarkan hubungan antar-persona sebagai tantangan yang membangkitkan respons, alih-alih sebab yang menghasilkan akibat. Katanya, “Aku akan berpaling dari formula sains agar dapat mendengarkan bahasa mitologi.”
Telah sampailah ia pada landasan bahwa sebab kelahiran suatu peradaban bukanlah tunggal, melainkan jamak; ia bukan entitas, melainkan suatu relasi. Seorang peneliti sejarah dianggapnya memiliki pilihan untuk memahami relasi ini sebagai interaksi antar-gaya-gaya non-manusia – laksana minyak dan udara yang berjumpa dalam mesin suatu mobil – atau sebagai suatu perjumpaan antara dua kepribadian. Perjumpaan antar-personalitas super-manusia (di atas atau di luar cakupan manusia) merupakan plot banyak cerita dan drama yang dapat dibayangkan oleh imajinasi manusia. Hal-hal demikian inilah yang melahirkan berbagai mitologi. Lalu, Toynbee memberi uraian contoh yang panjang, dari dunia pagan ke dunia monoteis, dari alam pikiran Barat hingga Timur, dari berhala-berhala Yunani hingga kisah “kejatuhan manusia”. Kemudian ia mulai menyimpulkan.
Menurutnya, lewat “cahaya mitologi”, seorang peneliti sejarah dapat memperoleh sedikit pencerahan tentang natur dari tantangan-dan-respons. Penciptaan dianggapnya sebagai hasil dari perjumpaan, atau – untuk menerjemahkan imaji mitologi ke dalam terminologi sains – bahwa genesis atau permulaan ialah fungsi interaksi. Dengan begitu, ras dan lingkungan mesti ditempatkan dalam posisi lain dan interpretasi yang berbeda mesti diterapkan terhadap fenomena tersebut. Menurutnya, seorang penyelidik sejarah tidak boleh lagi mencari-cari penyebab sederhana dari kelahiran suatu peradaban yang selalu dapat ditunjukkan dan di mana saja menghasilkan efek yang identik. Kita tidak perlu terkejut untuk mendapati bahwa respons yang diberikan terhadap suatu tantangan yang sama dapat beragam dan tidak konsisten dari waktu ke waktu, bahkan saat tantangan itu merupakan interaksi antara ras dan lingkungan yang sama dalam kondisi yang sama. Betapa pun eksaknya identitas antara dua atau lebih situasi mungkin terjadi, kita tidak semestinya tidak mengharapkan hasil yang terkait dengan situasi tersebut saling memenuhi dalam kesamaan yang eksak juga, atau bahkan bisa jadi malah berbeda sama sekali.
Faktanya, menurut Toynbee, kita tidak lagi dapat membuat postulat tentang keseragaman alam, sebagaimana telah lama kita berpikir bahwa permasalahan kita sebagai manusia juga memenuhi fungsi eksak yang sama seperti gaya-gaya yang bekerja di alam. Peneliti sejarah mesti menggarisbawahi bahwa, kita akan sulit untuk memprediksi secara formulasi sains yang eksak terhadap hasil interaksi antara gaya-gaya penggerak zaman tersebut dengan beragam data yang ada, biar pun jika data-data tersebut dikumpulkan dengan demikian eksaknya. Hal itu karena, dalam medan kerjanya, gaya-gaya penggerak zaman itu ialah manusia.
Tidak terprediksinya hasil suatu perjumpaan antar-manusia merupakan suatu datum pengalaman yang familier. Seorang ahli militer tak dapat memprediksi hasil suatu pertempuran dari suatu “pengetahuan di dalam” dari disposisi dan sumber daya kedua pasukan yang berhadapan, atau ahli jembatan juga menghadapi ketidakpastian dalam pemasangan karet dari pengetahuan yang sama tentang semua kartu informasi yang ada di tangan. Pada dua analogi ini, “pengetahuan di dalam” tidak cukup untuk memungkinkan pengolah informasinya memprediksi hasil dengan tingkat eksak dan kepastian yang tinggi, karena itu semua tidak sama dengan pengetahuan yang utuh. Terdapat satu komponen yang tetap tak diketahui oleh semua pengamat dan perencananya, karena ia berada di luar bentang pengetahuan para pemainnya; dan ketidaktahuan mereka membuat perhitungannya nyaris mustahil, karena komponen tak terhitung itu merupakan bagian terpenting persamaan yang diperlukan untuk menyelesaikan perhitungan tersebut. Komponen tak diketahui ini ialah reaksi para pelaku peristiwa terhadap tantangan, ujian, atau cobaan yang hadir secara aktual dalam lini masa sejarah hidup mereka.
Begitulah momentum psikologis manusia, yang secara inheren tidak mungkin untuk diberi bobot dan diukur sehingga sulit untuk diestimasi secara sains, merupakan faktor paling utama yang memutuskan isu-isu yang terjadi selama perjumpaan/interaksi tersebut. Dengan demikian, kuantitas yang banyak, bobot yang besar, kecerdasan yang tinggi, atau ketajaman strategi tidak dapat menjamin kemenangan. Maka, dapatlah kita berkeras bahwa, ”Tuhan tidak selalu berada di kubu yang banyak/besar/kuat,” atau juga “Tuhan menolong mereka yang menolong diri mereka sendiri,” atau juga “Percayalah pada Tuhan dan jagalah bubuk mesiumu kering.”
Demikianlah kita juga memiliki pandangan dalam hal ini berdasarkan konsep bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (keadaan) yang ada pada suatu kaum, sebelum (kaum itu) mengubah (keadaan) yang ada pada diri-diri mereka.” Di sini, kita melihat ada pergeseran fokus dari suatu “kaum” (qawm) kepada “diri-diri mereka” (anfusihim). Dengan demikian, kita mendapati bahwa penggerak utama dari perubahan suatu kaum, kelompok, masyarakat, dan sejenisnya, ialah bersumber pada penggerak perubahan yang ada pada diri masing-masing anggota kaum tersebut. Kaum atau masyarakat dipandang sebagai suatu yang tersusun atas individu sebagai unit terkecilnya. Di sinilah semua kembali pada pentingnya hubungan persona sebagai faktor interaksi tersebut, juga bahwa perubahan itu hanya terjadi jika terdapat upaya persona untuk merespons tantangan yang ada pada keadaan hidupnya, yaitu sebelum Tuhan mau mengubah keadaan mereka, mereka mesti mengubah keadaan diri masing-masing (yugayyiru mā bi-anfusihim).
Dan, sekali lagi, segala perhitungan itu tiada dapat secara eksak dikalkulasikan, tapi mesti mempertimbangkan suatu aspek metafisik, baik itu mitologi maupun din yang sejati. Demikian pula bahwa kuantitas, bobot, dan ukuran jumlah atau kemampuan tidaklah selalu menjamin kemenangan. Hal ini senada dengan ajaran konsep, “Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit/kecil mengalahkan golongan yang banyak/kuat dengan izin Allah.” Maka, semua ritme ini meski tidak dapat diprediksi secara eksak dapatlah digantungkan dan disandarkan secara spiritual pada Dzat Yang Maha Esa Yang Menguasai Seluruh Perputaran Sejarah.
Meski demikian, ritme tantangan-dan-respons itu dapat dipelajari oleh seorang peneliti sejarah dengan mengumpulkan semua data yang tersedia. Ritme itulah yang perlu dipelajari dalam upaya untuk mempersiapkan segala perubahan yang perlu dilakukan pada diri sendiri sehingga membawa pada perubahan kaum secara kolektif. Ritme itulah suatu siklus yang bergerak. Siklu itu adalah pergiliran antara tantangan dengan respons untuk mencapai suatu keadaan kesetimbangan tertentu, entah semua person mampu merespons tantangan dengan tepat sehingga mereka mampu memanjat lagi atau bertahan, atau malah tantangan itu justru menjatuhkan mereka ke langkan yang ada di bawahnya, sebagaimana analogi pendaki tebing atau bukit yang ada pada tulisan sebelumnya tentang pandangan Toynbee.
Maka, peradaban berkembang karena manusia berjuang dan mampu mengatasi tantangan. Civilization come to birth and proceed to grow by succesfully responding to succesive challenges. Respons pertama akan muncul sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan dan fisik. Tantangan berikutnya yang muncul pada generasi kedua atau ketiga adalah tantangan dari lingkungan manusiawi (u interregnum) suatu kekacauan sosial setelah keruntuhan dan disintegrasi pendahulunya. Semakin besar tantangan, jawaban atau respons tidak selalu mampu dihasilkan. Namun, tantangan yang terlalu lemah justru tidak dapat membangkitkan peradaban. Tantangan dengan skala yang tepatlah yang dapat dikelola secara baik sehingga menghasilkan respons yang berujung pada perkembangan suatu aspek peradaban.
Pertumbuhan kebudayaan terjadi karena ada anggota kreatif yang menanggapi aspek pertumbuhan. Ada dua aspek pertumbuhan kebudayaan, yaitu aspek lahiriah (outward) yang tampak sebagai penguasaan secara progresif atas lingkungan luar, dan aspek batiniah yang terwujud dalam penentuan diri (self determination). Penaklukan lingkungan luar dapat berupa penaklukan militer dan ekspansi geografis di satu sisi, serta perbaikan teknik material dengan munculnya teknologi di sisi lain. Namun, aspek lahiriah ini disinyalir tidak membawa pada pertumbuhan peradaban, justru mengarah pada gejala jatuhnya (disintegrasi) peradaban. Maka, penentu pertumbuhan peradaban adalah adanya penentuan diri yang progresif. Di sini, teknologi pun berperan membuka jalan, tetapi semakin manusia menguasai teknik material, mereka juga harus mampu menjawab tantangan spiritual. Keadaan ini disebut sebagai etherialization.
Selanjutnya, dijelaskan cara untuk melakukannya, yaitu dengan adanya individu atau komunitas kreatif yang melakukan withdrawal and return (undur diri dan kembali). Artinya, individu atau komunitas kreatif ini mengundurkan diri dari kehidupan sosial dan kemudian kembali lagi ke masyarakat dengan tugas untuk memberikan pencerahan dan penerangan kepada masyarakat. Dengan upaya ini, diharapkan akan muncul upaya evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan dan inspirasi untuk mengajukan rencana masa depan yang lebih baik. Tujuan undur diri dan kembali ini hanya akan tercapai bila upaya yang dilakukan oleh pelakunya diterima oleh masyarakat. Penerimaan masyarakat berarti diterimanya ide yang dibawa pelaku itu untuk diikuti oleh warga masyarakat dengan mencontoh/meniru (mimesis). Sebaliknya, bila masyarakat menolak atau ide barunya tidak berkembang, berarti upaya tersebut dapat dikatakan gagal.
Ketika peradaban dan kebudayaan sudah berkembang dan maju, dimungkinkan bahwa kreativitas aktor perubahan itu – yang telah menjadi pimpinan masyarakat – mandek. Sayangnya, minoritas yang dulu kreatif kemudian menguasai masyarakat itu, biasanya akan mempertahankan kekuasaannya, sering dikenal dengan mempertahankan status quo. Mandeknya kreativitas dan menguatnya hasrat menggenggam kekuasaan ini nantinya akan memunculkan disintegrasi. Dalam kondisi ini, disintegrasi mulai terjadi dan muncullah sempalan-sempalan (skisma) dan kelahiran kembali (palingenesis). Selanjutnya, kelahiran kembali berarti tantangan baru bagi pelaku peradaban. Maka, sejarah akan berjalan berulang dengan mengikuti pola ini.
Pola itu dianggap sebagai suatu keniscayaan dari suatu kebudayaan dan peradaban. Suatu kebudayaan dan peradaban akan lahir, tumbuh dan mati dengan disusul lahirnya kebudayaan dan peradaban baru. Yang ditekankan oleh Toynbee adalah adanya pengaruh aktor yang dapat membuat kebudayaan dan peradaban tersebut mengalami progres. Melihat penjelasan mengenai tantangan dan jawaban di atas, dapat dikatakan bahwa selain aktor, besar kecilnya tantangan dapat menjadi faktor pemicu bagi pengembangan kebudayaan dan peradaban. Bagi Toynbee, peradaban adalah suatu gerakan atau proses, bukan suatu kondisi; suatu perjalanan, bukan pelabuhan. Civilization is a movement not a condition, a voyage not a harbour.

Referensi
Arnold J. Toynbee. 1972. A Study of History: The One Volume Edition Illustrated. London: Thames and Hudson.
Sartini. 2011. Inventarisasi Tokoh dan Pemikiran Tentang Perkembangan Kebudayaan. Laporan Penelitian, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Q.S. 2: 249
Q.S. 3: 140
Q.S. 13: 11

Comments

  1. AJOQQ menyediakan 9 permainan yang terdiri dari :
    Poker,Domino99 ,BandarQ,BandarPoker,Capsa,AduQ,Sakong,Bandar66 ( NEW GAME )
    Ayo segera bergabung bersama kami di AJOQQ :)
    Bonus : Rollingan 0.3% dan Referral 20% :)
    WA;+855969190856

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan