HIDUP : SEBUAH PERTANDINGAN BOLA PINGPONG ANTARA UTOPIA ARBELOA MELAWAN REALITA KEITH SADHIS YANG DITONTON OLEH PELLEGRINI, VAN GAAL, DAN SOLKSJAER DAN DICATAT DALAM ICHTHYOLOGISTNYA MAGGIE TIOJAKIN

Seorang guru SMP pernah mengatakan, hidup ini memiliki segala sesuatu yang berjalan berdasarkan hukum-hukum tertentu. Dua diantaranya dapat dengan mudah dilihat. Pertama, semua hal di dunia ini selalu berhubungan, tidak ada satupun kejadian yang terjadi secara tunggal tanpa berhubungan dengan kejadian lain. Kedua, setiap hal yang ada di dunia ini memiliki pengecualian. Memang tampak bertentangan, tapi begitulah yang guruku katakan. Untuk melihatnya secara sederhana, di dunia ini terdapat muatan positif dan muatan negatif, kedua muatan itu mewakili sifat yang bertentangan. Karena total muatan di alam tidak berubah, jika di suatu tempat dihasilkan sejumlah muatan positif, maka di tempat lain akan dihasilkan muatan negatif dengan jumlah yang sama dengan muatan positif yang dihasilkan tersebut. Pengecualian yang terjadi adalah saat pembentukan muatan dilakukan dengan menghubungkan benda tempat dihasilkan muatan ke reservoir muatan seperti bumi melalui grounding connector, maka akan terbentuk muatan yang terisolasi pada benda dan muatan bumi tidak bertambah karena muatan lawan dari benda yang disalurkan ke bumi dapat diabaikan (Giancoli).

Seperti itu pulalah sifat manusia, ada kutub-kutub yang berbeda dan ada pengecualian-pengecualian di antara kedua kutub itu. Tulisan ini akan berpusat pada dua kutub sifat manusia : utopis dan realistis. Utopis berarti berupa khayal; bersifat khayal; orang yang memimpikan suatu tata masyarakat dan tata politik yang hanya bagus dalam gambaran, tetapi sulit untuk diwujudkan (KBBI daring). Sedangkan realistis berarti bersifat nyata (real); bersifat wajar (KBBI daring). Kedua sifat tersebut terwakili oleh dua tokoh yang berbeda dalam menghadapi masalah yang serupa. Keduanya adalah Alvaro Arbeloa, pemain bertahan Real Madrid, dan Keith Shadis, instruktur pelatihan militer pada fiksi Attack on Titan. Ya, kedua orang itu sangat berbeda. Eksistensi keduanya pun berbeda, satu tokoh fiksi, satu ada di dunia nyata. Dilihat sekilas, tokoh realita adalah Arbeloa sementara tokoh utopia adalah Shadis. Tapi, yang terjadi adalah sebaliknya, Arbeloa mewakili sifat utopia dan Shadis mewakili sifat realita.

Arvalo Arbeloa adalah pemain belakang Real Madrid yang selalu membela Madrid dengan sikap Spartan, tapi ia juga pemain bertahan tanpa kemampuan yang luar biasa, bahkan biasa-biasa saja. Musim ini adala musim terakirnya di Madrid. Sejak kematian Juanito Maravilla 24 tahun yang lalu, Madrid nyaris minim sosok yang mempertahankan klub ini dengan setulus hati, sampai mati, hingga mengajarkan nilai-nilai Madridismo sepenuh jiwa. Hingga Arbeloa menjadi jawaban atas apa yang dibutuhkan Madrid selama ini. Membela pemain, pasang badan untuk pelatih, menghargai fans, hingga menjadi jembatan perekat klub dengan ultras sur, fans garis keras Madrid yang selama ini memiliki hubungan buruk dengan manajemen klub. Dua puluh menit setelah laga terakhirnya di Santiago Bernabeu melawan Valencia berakhir, banner raksasa  berbentuk jersey Arbeloa masih dibentangkan di tribun.

Berada di Madrid sejak tahun 2001, saat dia masih berumur 18 tahun, membuat Arbeloa sangat memahami kondisi, ambisi, dan ekspektasi Madrid. Saat itu adalah masa di mana Florentino Perez sedang gencar-gencarnya membangun skuat Galacticos. Setelah mendatangkan Luis Figo (2000), Zidane (2001), Ronaldo Nazario (2002), David Beckham (2003), Michael Owen (2004), hingga Robinho (2005), kondisi tim Madrid berubah drastis. Ada Istilah Zidanes untuk menyebut pemain-pemain bintang tersebut. Ada pula istilah Pavones untuk menyebut pemain-pemain non-bintang didikan akademi Madrid seperti Francisco Pavon, Guti, Alvaro Meija, hingga Ivan Helguera. Pergaulan pemain, baik di dalam dan luar lapangan, disebut terbelah dengan istilah itu. Sejak itu pula Madrid menjadi sekumpulan pemain yang ikonik dan "berhasil" membelah fans dengan istilahIkerista (fans Casillas), Raulista (fans Raul), Zidanes (fans Zidane) dan sebagainya. Itulah juga yang menjadi alasan utama di era Galacticos jilid I prestasi Madrid jauh dari standar yang diinginkan.

Tahun 2006 adalah masa di mana Arbeloa harus meninggalkan Madrid. Tiga tahun lamanya Arbeloa meninggalkan Madrid; satu tahun di Deportivo La Coruna (2006-2007) dan 2 tahun di Liverpool (2007-2009) hingga akhirnya kembali pada musim panas 2009, saat Florentino Perez kembali membangun Los Galaticos jilid II dengan mendatangkan pemain bintang juga.  Arbeloa yang malang-melintang di luar Madrid selama 3 tahun mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana phobia yang akan dihadapi Madrid ke depannya. Sejak saat itu pula Arbeloa selalu menunjukkan identitasnya, tidak hanya sebagai seorang pemain Madrid, tetapi juga sebagai Madridista yang selalu siap untuk keutuhan tim. Cerita dimulai di musim 2009-2010 saat Madrid yang dilatih Manuel Pellegrini mendapat kritik luar biasa dari media. Di musim itu, Madrid gagal di 16 besar Liga Champions dan gagal menjuarai Liga. Arbeloa kemudian melakukan konfrensi pers sendiri dengan memanggil para wartawan dan menyebut kondisi tim sangat baik dan pemain senang dilatih Pellegrini. Meski akhirnya Pellegrini dipecat dan digantikan Jose Mourinho, namun apa yang dilakukan Arbeloa waktu itu sangat dikenang hingga hari ini.

Pada bulan Mei 2012, saat Madrid menjuarai liga untuk ke-32 kalinya. Isu kepindahan Gonzalo Higuain menguat. Saat itu Higuain sudah meminta setiap pemain, staf pelatih, hingga beberapa perwakilan Madridista, untuk menandatangani jersey-nya. Namun, ada kejutan di perayaan gelar Madrid di Cibeles pada saat itu. Arbeloa mengambil mikrofon dan bernyanyi: "Pipita quedate, Pipita quedate, Pipita quedate.." (Pipita --julukan Higuain-- Bertahanlah). Hingga akhirnya Higuain bertahan di musim itu dan baru meninggalkan Madrid di akhir musim 2012-2013. Di bulan September 2012, kala Cristiano Ronaldo mencetak gol, waktu Madrid menang 3-0 atas Granada di La Liga, banyak spekulasi yang muncul saat itu, menyebutkan kalau Ronaldo tidak nyaman di Madrid, Ronaldo ingin pindah, hingga isu Ronaldo tidak dihargai Madrid. Arbeloa adalah orang pertama yang menemui Ronaldo dan memintanya terbuka untuk segala hal tentang Madrid. Tak lama setelah itu, Arbeloa menulis dan mengunggah fotonya bersama Ronaldo di akun Twitter-nya: "I am here bro, with you, don't sad". Hingga akhirnya pada September 2013, Cristiano Ronaldo memperpanjang kontraknya hingga 2018.

Cerita berlanjut di perempat final Copa Del Rey pada Januari 2013, saat Messi dikabarkan menghina Istri Arbeloa, Carlota Luiz, yang kala itu sedang hamil dengan ejekan "Bobo" di parkiran Santiago Bernabeu. Arbeloa hanya tersenyum dan berkata, "Dia tak mau berkelahi dengan anak-anak." Arbeloa selalu membela teman setimnya hingga dia disebut Spartan. Arbeloa hadir saat Madridista menyiuli nama Antonio Adan. Arbeloa tidak lari saat Diego Lopez mendapat kecaman dari Ikerista. Arbeloa juga yang mencoba menenangkan perang dingin Casillas dan Mourinho di akhir musim 2012-2013. Arbeloa memakai kaos "Live Forever" sebagai janjinya pada Madridista bernama Van Palomain yang tidak sempat melihat Madrid meraih La Decima karena lebih dulu tutup usia akibat kecelakaan kereta api. Arbeloa juga orang yang berdiri paling depan saat Gerard Pique mengejek Madrid dan siap "perang" di media sosial dengan Pique.

Masih banyak lagi perlakuan spesial yang dilakukan Arbeloa untuk Madrid. Itu juga salah satu alasan mengapa hingga hari ini dia masih bertahan di Madrid saat usianya sudah menginjak 33 tahun. Saat waktu bermain yang sangat minim karena skill-nya dianggap biasa-biasa saja.  Namun, segala sesuatunya memang harus mengenal batas. Batas itu pulalah yang kita saksikan kala Arbeloa harus meninggalkan Madrid. Tentunya ini menjadi momen yang sangat berat untuknya.
Begitulah sifat utopia, sifat manusia saat ia menetapkan hidupnya serupa garis lurus dengan suatu idealism tiada terkira, saat ia mencoba membawa hidupnya untuk memenui ekspektasi dari impian dan idealismnya. Namun di setiap kehidupan selalu ada persimpangan jalan. Di persimpangan kita menyadari bahwa ujung jalan tak hanya satu. Tak seperti lari marathon yang saat kita memulai kita sudah tahu ke mana kita akan finis dan mengakhiri. Tak harus seperti George, laki-laki tua yang telah menginjak 80 tahun namun tetap tabah, tulus dan sepenuh hati mencintai istrinya, Anne, perempuan renta lumpuh di film Amour besutan sutradara Mikhael Heneke. Juga tak harus seperti Ryan Giggs, Paul Scholes, Paolo Maldini, Franco Baresi atau Carles Puyol yang selama hidupnya hanya menghabiskan waktunya di satu klub sepak bola yang dicintainya.

Begitulah kisah Arbeloa mengajarkan kita tentang sifat manusia dalam menjalani hidup. Ada masanya kita tidak harus menyelesaikan sesuatu sampai garis finis karena ketidakmampuan. Tidak harus mewujudkan apa yang kita impikan karena keterbatasan. Juga tak harus bertahan di satu klub yang kita cintai sementara klub itu sudah merasa tak membutuhkan kita. Sekarang tinggal menunggu waktu sejauh mana kita akan mampu berjuang, sejauh mana kita akan mampu bertahan dan sejauh mana kita akan ikhlas untuk menerima keadaan. Namun, kehidupan mengajarkan kita bahwa segala sesuatunya harus mengenal batas dan batas itulah yang kita ukur hingga hari ini. (detik.com; About the Game)

Berbeda dengan Arbeloa, Shadis tidak perlu menunggu sampai ke ujung untuk menerima keadaan. Sejak semula, sejak pasukannya dibantai pada sebuah ekspedisi keluar dinding dan di jalan pulang ia ditanya oleh seorang perempuan tua tentang anaknya yang ikut serta dalam ekspedisi dan Shadis tidak bisa menjawab selain menunjukkan potongan tangan anak wanita tua itu yang masih tersisa sementara seluruh tubuhnya yang lain telah dimakan Titan. Shadis awalnya seorang komandan Pasukan Pengintai, satu dari tiga divisi tentara yang ada, Pasukan Pengintai yang bertugas keluar dinding dan mengumpulkan informasi tentang Titan serta melakukan penyerangan, pasukan Penjaga Dinding yang bertugas mempertahankan keutuhan dinding dalam dunia tempat manusia bertahan membangun dinding yang melindungi mereka dari serangan Titan, dan pasukan Polisi Militer yang bertugas di area terdalam, pusat kerajaan yang nyaman dan aman untuk mengamankan para petinggi dan para bangsawan dari pemberontakan dan menertibkan keadaan.

Sejak awal, Shadis merasa bahwa dunia ini berjalan dengan cara yang salah. Semua orang berpikir bahwa mereka hidup aman di dalam dinding tanpa pernah ingin mengetahui dunia luar. Bagaimana, pikir Shadis, bagaimana jika suatu saat para Titan berasil menjebol dinding yang sudah sekian lamanya ada tanpa pernah rusak, dan menerobos masuk? Shadis muak dengan orang-orang yang merasa hidup aman di dalam dinding seperti binatang piaraan. Ia ingin keluar dan mencari cara untuk menaklukkan para Titan. Namun hidup memang harus selalu mengenal batasan dan ketidakadilan. Shadis dengan idealismenya yang seperti itu tidak pernah mendapatkan dukungan dari kerajaan dan para bangsawan. Mereka hidup nyaman dan mewah di bagian terdalam wilayah manusia, sementara anggaran dan persenjataan untuk pasukan Pengintai tak pernah diberikan dengan serius, padahal pasukan Polisi Militer yang bertugas di wilayah dan secara teknis tidak akan pernah berhadapan dengan Titan, hanya kriminal teri musiman, justru mendapatkan fasilitas terbaik dan lulusan-lulusan terbaik pelatihan militerpun direkomendasikan untuk bergabung dengan Polisi Militer, bukan dengan Pasukan Pengintai yang langsung berhadapan dengan Titan.

Ada masa yang singkat dalam hidupnya, saat Shadis tidak menyerah dan memperjuangkan idealisme serta impiannya untuk bisa hidup bebas tanpa dinding. Waktu yang benar-benar singkat. Sejak ia bertemu dengan Grisha Jaeger, seorang misterius yang datang dari luar dinding, Shadis menyadari bahwa untuk dapat menyelamatkan manusia dari ancaman Titan, ia memerlukan kekuatan yang luar biasa dan ia tidak memilikinya. Grisha Jaegerlah yang memilikinya karena ia datang dari luar dinding dan dapat bertahan hidup sekian lama seorang diri. Tapi Grisha Jaeger adalah seorang dokter yang hilang ingatan akan apa yang dilaluinya di luar dinding dan Shadis tidak bisa memunculkan apa sebenarnya kekuatan itu dan membagikannya kepada pasukan manusia yang lain. Ketika ia melihat begitu banyak pasukannya yang mati setiap kali ekspedisi dilakukan, ia mulai merasa kalah dan meyerah.

Sejak seorang wanita tua menanyakan kepada Shadis bahwa kematian anaknya yang menjadi anggota Pasukan Pengintai tidaklah sia-sia, Shadis tidak bisa menjawab, ia hanya bisa menangis, ia telah gagal. Seusai menghadiri pesta pernikahan Grisha dan Carla Jaeger, Shadis menjalankan ekspedisi keluar dinding lainnya. Kali ini juga, pasukannya banyak yang mati, sementara orang tidak berguna seperti dirinya justru tidak mati. Maka ia dan pasukannya pulang. Sejak saat itulah, sejak datang seorang anggita muda pasukannya bernama Erwin Smith yang menawarkan sebuah strategi yang belum pernah dipikirkannya sebelumnya, Shadis merasakan bahwa anak muda itu memiliki kekuatan yang spesial. Maka ia cepat-cepat mengundurkan diri sebagai komandan Pasukan Pengintai dan mengganti dirinya dengan anak muda Smith. Lalu iapun pergi tanpa tujuan dan berakhir menjadi seorang instruktur di Pelatihan Tentara Baru, saat ia bertemu dengan anak Grisha dan Carla Jaeger yang mewarisi kekuatan itu, kekuatan untuk menyelamatkan manusia dalam perang melawan Titan. Saat ia mulai tua, ia dpat melihat bahwa anak itu nantinya tumbuh dan menjadi kekuatan besar di sisi umat manusia melawan Titan. Anak itu, Eren Jaeger, memiliki kekuatan untuk berubah menjadi Titan dan membantu manusia melawan para Titan lainnya. Aku bisa melihatnya tersembunyi di dalam dirimu, begitu kata Shadis, sebuah taring yang luar biasa yang tidak salah lagi adalah milik ayahmu. Begitulah kisah Shadis (Attack on Titan chapter 71). Ia dan Arbeloa berangkat dari idealisme dan impian yang sama dan berakir dengan cara yang sama, tapi melalui jalan yang berbeda, Arbeloa tetap berpegang pada utopianya sementara Shadis menyisih ke dalam realitanya.

Selalu ada variasi dan pengecualian di antara keduanya. Jika kita lihat, Pellegrini, Van Gaal dan Solskjaer adalah variasi dari keduanya. Pellegrini dan Van Gaal sama-sama berangkat sebagai manajer klub yang ditugaskan membenahi klub setelah melalui periode keterpurukan, Pellegrini di City pasca Roberto Mancini dan Van Gaal di MU pasca David Moyes. Keduanyapun berakhir dengan cara yang sama tahun ini, sama-sama dipecat padahal mereka tidak buruk-buruk amat dalam memperbaiki performa klub (Pellegrini dalam tiga tahun membawa 1 gelar liga dan 2 gelar cup sementara Van Gaal dalam dua tahun mendatangkan 1 gelar cup). Keduanya juga mengorbitkan pemain-pemain muda binaan klub (Pellegrini dengan Kelechi Iheanacho dan Van Gaal dengan Marcus Rashford, Jesse Lingard, dan selusin lainnya). Tapi keduanya menempuh jalan yang berbeda.
Pellegrini sejak awal menyadari bahwa ia bukanlah orang yang benar-benar diinginkan direksi Manchester City. Orang-orang dalam jajaran direksi City, seperti Txiki Begiristain, adalah orang-orang yang pernah berperan cukup lama di Barcelona. Maka tak heran mereka menginginkan kesuksesan dan cara bermain seperti Barcelona dan merekapun menginginkan katalisnya, Pep Guardiola sebagai manajer City. Tapi Guardiola lebi memilih Bayern Munich. Toh ia tidak akan selamanya di sana. Pellegrini menyadari bahwa posisinya sebagai manajer sewaktu-waktu dapat pergi jika Guardiola meninggalkan Munich dan bergabung dengan City. Sejak awal berada di City, ia sangat pendiam. Di musim saat Pellegrini menghadirkan gelar juara bagi City, timnya tak menjadi fokus pembicaraan dalam perebutan gelar sebelum periode mendekati akhir musim. Arsenal dan Liverpool era Brendan Rogers - Suarez yang menjadi sorotan utama. Namun tak disangka, di akhir-akhir keduanya terpeleset dan pada bulan Desember 2013, Pellegrini yang pendiam dan tidak diduga, memenangakan Liga Inggris pertamanya. Masa-masa setelahnya Pellegrini juga membawa sejumlah gelar ke City, terakhir tahun 2016 ini ia membawa gelar Piala Liga (League Cup). Namun Pellegrini tetaplah orang yang pendiam dan tidak pernah menjadikan dirinya sebagai sentral dari apapun yang terjadi. Meskipun pembelian klubnya di bursa transfer sangat wah, ia tidak pernah menggembar-gemborkan target yang tinggi apalagi muluk-muluk.

Ia adalah Pellegrini yang berlaku sebagai tokoh dengan sudut pandang pengamat dalam hidupnya sendiri. Ia berlaku seperti Keith Shadis, yang dalam satu-satunya chapter yang menceritakan kisah hidupnya, ia tidak pernah menceritakan kisah hidupnya sendiri, ia menceritakan kisah hidupnya untuk menceritakan kisah hidup yang lebih utama, yang lebih spesial daripada kisahnya yang disebut biasa-biasa saja. Pellegrini sejak ia berada di Madrid pun sebenarenya sudah menjadi manajer pengganti. Madrid menginginkan Mourino tapi Mourinho memilih menukangi Inter Milan dan membawa klub itu menjuarai Liga Champion. Rekor Pellegrini di Madrid juga bisa dibilang baik. Ia membawa klub itu memecahkan jumlah gol dan poin terbanyak dalam semusim (sebelum dipecahkan Mourinho saat bergabung di Madrid beberapa waktu kemudian). Satu-satunya hal yang membuatnya buruk adalah ia finis di Liga di bawah Barcelonanya Guardiola yang menjadi juara di Liga, Copa del Rey, dan juga Liga Champion. Kini, catatan Pellegrini di City yang berhasil mendatangkan tiga gelar dalam tiga tahun dan untuk pertama kalinya dalam sejarah klub lolos ke semifinal Liga Champion, juga tergeser dan akan diganti oleh pemeran utama yang sama, Guardiola. Pellegrini mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi bagaimanapun juga, pada bulan Februari, saat liga bahkan belum sampai di tengah-tengahnya, setelah City mengumumkan akan mengganti Pellegrini dengan Guardiola musim berikutnya, City yang awalnya begitu perkasa dan nyaris selalu berada di posisi pertama tiba-tiba saja mengalami dua kekalahan beruntun pada partai yang penting dalam penentuan gelar juara, diantaranya kekalahan melawan Leicester City, juara musim ini dan sejumlah hasil buruk berlanjut kemudian. Tapi Pellegrini adalah Pellegrini, ia tetap pendiam seperti biasanya. Meskipun ia pernah menyebutkan dalam konferensi pers bahwa penyebab periode buruk City musim ini adalah pengumuman penunjukkan Guardiola yang membuatnya kehilangan kendali di ruang ganti, tapi Pellegrini adalah Pellegrini. Seperti biasa ia adalah Keith Shadis dalam dunia nyata. Ia hanya menjadi pengamat dan tak pernah menjadi pemeran yang spesial. Pengecualian yang terjadi adalah Pellegrini berhasil mendatangkan tiga gelar juara untuk City, tidak seperti Shadis yang gagal mencapai apapun setiap ekspedisinya.

Van Gaal berbeda dengan Pellegrini, ia berjuang sampai akhir untuk menjadi tokoh utama. Dan awalnya ia memang selalu menjadi tokoh utama. Saat membawa timnas Belanda juara tiga Piala Dunia, ia jadi pusat perhatian dengan menerapkan formasi 3-5-2 yang tidak biasa dimainkan Belanda, ia juga membawa pemain-pemain yang keluar jalur dari pameo yang ada, ia juga melakukan sejumlah pergantian pemain yang dramatis selama pertandingan, seperti Huntelar saat melawan Meksiko dan Tim Krul saat adu penalti yang terkenal itu. Saat datang ke MU, pria yang dulunya anak pengupas kentang itu juga datang sebagai tokoh utama. Ia melakukan transfer besar dan menetapkan target besar. Saat fans United dibuat geram dengan filosofi bermainnya yang dianggap membosankan, Van Gaal tetap bersikukuh bahwa itulah yang tepat dilakukan saat ini. Secara hasil, ia terbilang membawa perbaikan pada klub. Ia meloloskan MU di 4 besar pada musim pertama. Di musim ini, ia tidak beruntung karena badai cedera merontokkan timnya. Meski begitu, ia masih berhasil membawa pulang Piala FA dan finis di urutan kelima. Tidak buruk untuk tahap transisi dan ini juga trofi kompetitif pertama pasca era Sir Alex Ferguson.  Tapi Van Gaal, seperti halnya Arbeloa, rupanya sudah tidak dianggap lagi sebagai tokoh utama. Permainan yang biasa-biasa saja, hasil yang biasa-biasa saja, lama-kelamaan fans United menepikan Van Gaal dan meneriakkan nama Mourino untuk datang, sama seperti saat posisi Arbeloa lama-kelamaan digeser oleh Sergio Ramos dan Pepe, lalu ditambah kemunculan Raphael  Varane dan Danilo. Mereka tidak lagi menjadi tokoh utama. Masa mereka berpegang teguh pada idealisme mereka, Arbeloa dengan Madridismo-nya dan Van Gaal dengan ball possession-nya, harus menerima kenyataan bahwa hidup memang harus mengenal batas. Dan saat ini, hengkang adalah satu-satunya jalan. Pengecualiaanya adalah, Van Gaal pergi dengan teriakan boo, sementara Arbeloa pergi sembari dielu-delukan seperti pahlawan.

Sintesis dari kedua sisi itu beserta pengecualiannya, barangkali adalah Ole Gunnar Solskjaer. Seorang pahlawan nan absurd. Begitulah julukan yang pantas untuknya. Tidak ada yang menyangka, anak muda berusia 23 tahun yang didatangkan Ferguson dari Molde itu akan berubah menjadi salah satu penyerang paling legendaris dalam sejarah Manchester United. Bahkan, mungkin Solskjaer sendiri tidak menyangkanya. Ketika didatangkan dari Molde, cita-cita Solskjaer sederhana saja, tidak langsung muluk-muluk atau bermimpi yang indah-indah dengan menjadi pencetak gol terbanyak Premier League, menjadi pencetak gol terbanyak dalam sejarah klub, atau yang semacamnya. Sebab, siapa juga dirinya waktu itu? Terkenal saja tidak. Apalah dirinya jika dibandingkan dengan Shearer.

Solskjaer mengira dirinya hanya didatangkan sebagai pemain cadangan. Cuma jadi pelapis Eric Cantona. Makanya, ia tahu diri. Bisa mendapatkan kesempatan main satu atau dua kali saja bersama tim utama dikiranya sudah bagus. Kini, Solskjaer layak untuk menertawai dirinya sendiri kalau ingat, pada musim perdananya itu, ia justru mencetak 18 gol dan menjadi pencetak gol terbanyak klub di liga. Sisanya adalah sejarah: Kita (atau mungkin Anda, penggemar United) mengenal Solskjaer sebagai pahlawan United di Camp Nou, tempat United meraih gelar Liga Champions sekaligs memparipurnakan musim mereka dengan treble.

Lewat kaki Solskjaer-lah frase "And Solskjaer has won it!" berdengung nyaring di telinga pendukung United sampai sekarang. Frase itu dengan pas dan gamblang menggambarkan bagaimana satu sepakan kaki kanannya mengoyak gawang Bayern Munich, membuat seluruh isi bangku cadangan United berlarian ke pinggir lapangan, dan membuat Samuel Kuffour menangis sejadi-jadinya. Malam itu di Camp Nou, di Barcelona, Solskjaer telah memenangi hati pendukung United mana pun.
Kita kemudian lupa bahwa ia dibeli hanya sebagai pelapis. Bahkan pada musim di mana ia menjadi pahlawan itu pun, dirinya hanya jadi pelapis. Begitu Andy Cole dan Dwight Yorke menemukan chemistry yang tidak bisa diganggu gugat, apeslah Solskjaer. Ia harus menepi ke bangku cadangan. Ada cerita yang mengatakan, sesungguhnya Solskjaer nyaris dijual ke Tottenham Hotspur sebelum musim dimulai. Spurs sudah mengajukan tawaran, namun ia sendiri yang menolaknya. Kini, setelah kita semua tahu apa yang dilakukannya di pengujung musim, kita bisa membayangkan dalam pengandaian, bagaimana jika ia menerima pinangan Spurs waktu itu.

Entah memang sudah nasib atau takdir dari sananya atau bukan, nyaris sepanjang kariernya di United, Solskjaer seolah-olah selalu tertepikan lantaran kehadiran penyerang lain. Hidupnya bersama United hampir selalu dimulai dari bangku cadangan, bukan dari jejeran kesebelasan yang berjejer rapi di tengah lapangan untuk menyalami lawan atau mendapatkan jepretan kamera fotografer. Toh, jadi cadangan pun tidak menjadi penghalang. Hampir tiap kali diturunkan sebagai pemain pengganti, Solskjaer bisa memberikan dampak. Dari sinilah julukan 'Super Sub' dicap dalam-dalam pada dirinya --kendati ia sendiri tidak begitu menyukainya. Ada yang bilang, duduk di bangku cadangan justru jadi keuntungan tersendiri buat Solskjaer. Dari bangku cadanganlah ia memperhatikan baik-baik pergerakan lawan sehingga ketika diturunkan, ia bisa mencetak gol atau memberikan efek signifikan lainnya.

Ia tidak pernah mengeluh sekali pun. Ketika Ruud van Nistelrooy didatangkan oleh Ferguson, Solskjaer juga menerima nasibnya sebagai pemain figuran, bukan aktor utama. Baginya, Van Nistelrooy adalah penyerang kelas wahid, seorang bintang utama, dan ia hanya berusaha sebisa mungkin untuk tidak tertinggal terlalu jauh dari bomber asal Belanda itu. Ketika David Beckham dilego ke Real Madrid, Ferguson dengan santainya mengubah posisinya menjadi sayap kanan. Solskjaer memang bukan pengganti sepadan untuk Beckham, tapi ia melakukan tugas barunya itu tanpa sesalan. Solskjaer yang sedemikian selfless inilah Solskjaer yang dikenal oleh banyak pendukung United.

Orang mungkin selamanya bakal mematri ingatan akan Solskjaer sebagai pahlawan United di Camp Nou. Tapi, jauh sebelum malam yang cukup bikin kalut itu, Solskjaer sudah punya momen yang membuat namanya dipuja-puja. Pada musim 1997/1998, musim kedua Solskjaer dan musim pertama di mana United ditinggalkan Eric Cantona, Alex Ferguson memilih untuk tidak memugar skuat besar-besaran. Baginya, mendatangkan Teddy Sheringham --waktu itu sudah berusia 31 tahun--, Henning Berg, dan Erik Nevland sudah cukup. Ferguson menyebut, ia masih punya stok yang sama bagusnya.

Dari satu sisi, kepercayaan Ferguson itu bisa disebut sebagai blunder. United memang sempat melaju kencang, namun begitu cedera pemain menghantam, habislah 'stok yang sama bagusnya' itu. Skuat United tidak cukup dalam untuk melapis para pemain utama. Imbasnya, trofi juara terbang ke tangan Arsenal musim itu.

Seringkali pula, United melakoni pertandingan yang cukup bikin frustrasi diri sendiri. Salah satunya adalah ketika menghadapi Newcastle United di Old Trafford, 18 April 1998. United tertinggal lebih dulu lewat gol Andreas Andersson pada menit ke-11, sebelum akhirnya David Beckham menyamakan kedudukan pada menit ke-38. Di sisa menit pertandingan, kendati pun United berusaha sekeras mungkin untuk membobol gawang The Magpies, keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Pertahanan Newcastle terlalu sulit dibongkar hari itu.

Sampai kemudian United nyaris membuat celaka diri sendiri. Saking bernafsunya menyerbu pertahanan lawan, seluruh pemain mereka maju hingga melewati garis tengah lapangan. Umpan silang yang dilepaskan Beckham dari kiri malah menjadi makanan empuk buat Newcastle. Umpan silang itu berhasil dihalau oleh barisan pertahanan Newcastle, dan dalam kelanjutannya, diberikan kepada Robert Lee. Tidak ada yang mengawal Lee ketika itu. Dengan cepat, gelandang Newcastle itu berlari menyambut umpan terobosan yang diberikan kepadanya. Karena seluruh pemain United berada di area pertahanan Newcastle, semua tahu bahaya apa yang mengancam United. Lee tinggal berhadapan satu lawan satu dengan kiper United, Raimond van der Gouw. Gol pun jadi sebuah keniscayaan.

Tapi, Solskjaer, layaknya ia mengendus peluang di depan gawang lawan, mengendus marabahaya yang mengancam timnya itu. Dari kiri, ia berlari secepat mungkin untuk mengejar Lee. Namun, karena kalah langkah, Solskjaer tahu kalau ia tidak akan pernah mendahului Lee. Maka, dengan kesadaran penuh, Solskjaer melakukan tekel dari belakang. Lee terjatuh, gol tidak jadi tercipta. Dan nasib Solskjaer pun jelas: Ia dikartu merah dan diusir dari lapangan. Sungguh sebuah cerita kepahlawanan yang absurd, sekaligus dengan jelas mendeskripsikan betapa selfless-nya Solskjaer. Beckham, yang mengawali petaka tersebut, berlari menghampiri Solskjaer. Ia tahu rekan setimnya itu sudah berkorban. Suka tidak suka, Solskjaer paham bahwa kartu merah itu merupakan kerugian untuk timnya. Dengan tatapan setengah meminta maaf, ia berucap pelan kepada Beckham: "I had to." Beckham tidak peduli, ia justru memberikan tepukan ke kepala rekannya itu --seolah-olah berterima kasih. Sementara itu, Solskjaer berjalan pelan menuju ruang ganti. Old Trafford memberikan tepuk tangan. Pendukung tahu kepahlawanan Solskjaer lebih dari sekadar gol-gol yang ia ciptakan. (detik.com)

Solskjaer adalah gabungan dari semuanya. Kisahnya adalah sintesa dari kegigihan mempertahankan filosofi “tidak ada penyelamatan gemilang, yang ada adalah penyelesaian akhir yang buruk” miliknya sama seperti Van Gaal mempertahankan filosofi ball possession-nya. Kisahnya adalah sintesa dari kecintaan dan kesetiaannya pada klub yang sama selama hidupnya meski selalu ditepikan dan tidak pernah menjadi pemain utama seperti yang dilakukan juga oleh Arbeloa. Kisahnya adalah sintesa dari sifat pendiam dan ketenangan serta perilaku tidak suka memprotes seperti yang dimiliki oleh Pellegrini juga rasa menerima keadaan dan menyisih seperti yang terjadi pada hidup Keith Shadis. Dan lebih dari itu semua, selamanya orang akan mengingat Ole Gunnar Solskjaer sebagai pahlawan nan absurd.
Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan jika kita mengalami apa yang mereka alami? Apakah kita akan bersikap utopis seperti Van Gaal dan Arbeloa? Atau bersikap realistis seperti Pellegrini dan Keith Shadis? Atau melupakan semuanya dan menggabungkan setiap hal seperti yang dilakukan oleh Solskjaer? Apapun yang kita lakukan, hasilnya tidak dapat kita ketahui.  Tidak ada persamaan untuk menentukan mana langkah yang benar, karena hidup adalah demikian adanya. Nasib mereka masing-masing pun cenderung berakhir dengan cara yang sama, meskipun jalan yang mereka tempuh untuk menyikapinya berbeda-beda dan dengan perasaan yang berbeda-beda pula. Tapi hidup adalah hidup. Ia terus berjalan tanpa member waktu untuk berhenti sejenak. Mungkin yang diperlukan oleh orang-orang seperti mereka saat ini adalah menyingkir untuk beberapa waktu yang lama, pergi dari segala kebisingan menuju pedesaan atau kota kecil tempat dahulu mereka tinggal, jauh dari keramaian kota besar dan semua yang ada di dalamnya. Mengunjungi rumah yang memiliki kandang ayam, kambing, atau sapi di halamannya. Berjalan-jalan di samping sungai yang mengalir di tempat tinggal mereka yang sunyi dan jauh dari pemberitaan.

Di saat seperti itu, aku jadi teringat sebuah cerita pendek yang ditulis oleh Maggie Tiojakin, berjudul Ichthyologist. Cerita itu pertama kali dikenalkan oleh seorang kawan sebelum kami lulus SMA. Sebuah cerita yang sama, indah tapi absurd. Miris tapi mengundang untuk membacanya. Mungkin seperti itu pulalah hidup beberapa orang. Seperti kawanku itu juga, sudah lama aku tidak mengetahui bagaimana nasibnya. Ah, aku tidak bisa berbuat banyak untuknya. Kini orang lain mengalami apa yang dialaminya. Seperti yang dikatakan, hidup harus mengenal batas dan setiap batas harus mengenal persimpangan jalan.

Aku jadi teringat, SD tempatku sekolah dulu tidak pernah menjadi tokoh utama dalam sejarahnya, dalam hidupnya. Ia hanyalah pemeran pengganti dari SD-SD induk di kecamatan, tidak pernah memenangkan loma, nyaris kosong piala, setiap tahun pun hanya mererima belasan murid tak pernah sampai dua puluh, bahkan sekian tahun sampai saat ini juga masih tidak memiliki perpustakaan, beberapa  bagian bangunannya pun sempat runtuh saat aku di sana, beberapa kelas dulu tidak bisa masuk secara penuh, tapi harus bergangtian ada yang masuk pagi dan ada yang masuk siang karena tak cukup ruangan. Ah, barangkali kisah hidup beberapa orang memang menjadi bagian pinggir dari takdir. Lalu apa yang aku lakukan saat ini? Kenapa di saat seperti ini aku lupa dimana aku meletakkan buku dengan cerita Maggie Tiojakin itu?

Tapi aku jadi ingat, SD kami pernah memiliki talenta melukis yang luar biasa, satu di antara enam belas teman seangkatanku. Ia melukis dengan menggabungkan apa yang ada di pikiran orang-orang yang dimintai pendapatnya, tidak peduli seberapa bertolak belakangnya, menjadi sesuatu yang baru, absurd namun indah. Joni Suprayitno namanya. Andai saja saat ini SD kami mengikuti lomba siswa SD beregu yang menggabungkan cabang akademik, pidato, dan seni, setelah menyelesaikan bagianku aku akan cepat-cepat menuju ruang lomba melukis. Dan jika Joni bertanya kepadaku apa yang sebaiknay ia lukis saat ini, aku akan menyarankan. Lukislah sebuah lukisan dengan tema kehidupan. Sebuah pertandingan bola pingpong antara utopia Arbeloa melawan realita Keith Shadis yang ditonton oleh Pellegrini, Van Gaal dan Solskjaer dan dicatat dalam hikayat yang singkat dan sederhana, Ichthyologist-nya Maggie Tiojakin.

“Dalam hidup, terdapat banyak hal yang tidak dapat dipaksakan sekeras apapun kita mencobanya. Tapi setiap kegagalan bisa jadi merupakan tahapan cerita yang akan membawa pada kesimpulan dari pertanyaan masing-masing.”

Dikatakan oleh seseorang yang amat bijak, dalam perjalanan pulang setelah gagal mendapatkan medali, Medan Agustus 2010.

Comments

  1. https://hasilbola.live/prediksi-sepakbola/baca/5241/liverpool-vs-arsenal-02-oktober-2020/

    Prediksi Bola Liverpool vs Arsenal 02 Oktober 2020 yang akan diselenggarakan langsung tanpa penonton Anfield.

    Dalam pertemuan kedua tim di Piala Liga Inggris kali ini. Akan di Jadwal Bola Malam Ini pada hari Jumat 01 Oktober 2020 pada pukul 01:45 WIB.

    Untuk Menonton Siaran Online Bisa Langsung Dari Situs Resmi Kami https://hasilbola.live/

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee