Analisis Demo Anti-Ahok: Teorema Gunung Es dan Distribusi Normal
Dimuat di
https://www.selasar.com/budaya/analisis-demo-antiahok-teorema-gunung-es-dan-distribusi-normal
Belakangan, kasus penistaan agama dengan tersangka Basuki Cahaya Purnama alias Ahok menjadi viral di mana-mana, terutama karena demonstrasi begitu banyak ormas dengan massa yang besar.
Aksi tersebut secara keseluruhan berlangsung damai meski terdapat sejumlah provokator pada malam hari menjelang akhir aksi 4 November. Lalu kini, muncul aksi lanjutan. Berbagai isu langsung bermunculan.
Beberapa pihak mengklaim bahwa di balik aksi ini ada upaya rongrongan terhadap pemerintah sekarang. Ada juga yang mengatakan soal kepentingan politik yang ikut menunggangi aksi tersebut, terutama terkait Pilkada beberapa saat kemudian. Ada juga yang mengatakan bahwa demonstrasi tersebut merupakan demonstrasi bayaran.
Tentu saja banyak pula yang membantah dan menyatakan bahwa aksi ini murni untuk membela ideologi umat Islam yang dilecehkan, yaitu yang bersumber dari Quran.
Namun, jika kita memandang fenomena sekarang, fenomena tersebut bukanlah cerita utama yang sedang ditampilkan opera kehidupan. Demonstrasi terhadap Ahok seharusnya bukan menjadi alur utama cerita yang kita bahas dan analisis, karena ada suatu cerita yang lebih besar lagi di balik itu semua.
Pertama, kita menerapkan kaidah statistik tentang distribusi normal dalam pembahasan kita. Dalam kaidah tersebut, selalu terdapat tiga range frekuensi bagian dari suatu fenomena, entah itu eksak atau sosial, entah berperan sebagai subjek ataupun objek.
Tiga range tersebut digambarkan ke dalam kurva seperti gunung, yang diawali dari lereng yang rendah lalu naik secara eksponensial ke atas sampai puncak lalu turun kembali secara eksponensial ke lereng rendah.
Bagian tengah yang tinggi berarti memiliki range frekuensi paling banyak, sementara ekstrem kiri dan kanan masing-masing memiliki frekuensi yang sedikit. Dalam konteks demonstrasi terhadap Ahok, frekuensi tersebut berarti jumlah massa.
Massa yang ikut demonstrasi kita bagi ke dalam tiga bagian, massa yang ikut karena alasan ideologis secara sadar, jumlahnya sedikit, lalu massa yang ikut untuk menumpangkan kepentingannya pada demonstrasi secara sadar, entah kepentingan politik atau kepentingan lain, jumlahnya sedikit pula.
Sementara kurva bagian tengah kurva diisi kalangan yang tidak ekstrem kiri tidak ekstrem kanan, bisa jadi ikut karena temannya ikut, ikut karena solidaritas organisasi, atau yang paling utama ikut karena pikirannya dipengaruhi untuk ikut.
Demikian pula mereka yang tidak ikut demonstrasi, sedikit yang secara ideologis memilih tidak ikut, sedikit yang secara oportunis menunggangi ketidakikutsertaan itu dengan kepentingan tertentu, dan banyak yang tidak ikut karena dipengaruhi untuk tidak ikut.
Demikian pula dengan masyarakat secara umum, sedikit yang memilih ikut secara sadar, sedikit yang tidak ikut secara sadar, dan mayoritas adalah floating mass, atau massa dengan suara mengambang yang terbuka untuk dipengaruhi berbagai pihak, terutama media massa.
Itu artinya, apapun yang terjadi pada kasus Ahok sebenarnya bukan hal yang paling penting, tetapi peristiwa di balik itu dan peristiwa yang akan terjadi setelahnya lah yang penting.
Hal itu terkait distribusi masyarakat yang seperti itu, yang kemudian kita tarik benang merah pandangan masing-masing kelompok frekuensi terhadap kasus Ahok secara lebih luas.
Lalu bagaimana rupa pandangan tersebut? Distribusi massa yang seperti itu dapat dipandang seperti ini. Pertama, kita tidak perlu terlalu khawatir dengan kepentingan politik karena mereka berjumlah sedikit, hanya segelintir elite tertentu yang menunggangi.
Toh, dalam politik, tidak ada benar dan salah, yang ada hanyalah kepentingan, jadi biarlah Ahok dan kawan-kawannya bertarung secara politik dengan para lawannya, kepentingan kekuasaan mereka para politikus bukan domain kita untuk menetukan, biarkan mereka bertarung dan show off politik semau mereka dan biarkan hasil pilkada yang menentukan.
Lalu biarlah massa dengan kepentingan lainnya atau massa yang apatis karena jumlah mereka sedikit pula. Secara sosial, kita harus lebih memperhatikan komponen paling besar dalam analisis fenomena ini, yaitu massa yang mengambang.
Kenapa begitu? Massa mengambang adalah orang-orang yang paling gampang dipengaruhi, baik oleh media, teman, atau berbagai pihak lainnya. Apa yang disampaikan oleh para pemberi pengaruh menjadi faktor yang penting terhadap dampak gerakan sosial yang ditimbulkan.
Namun yang menjadi lebih penting adalah apa yang sedari awal sudah tertanam di pikiran mereka, lebih-lebih di alam bawah sadar mereka. Jika kita secara bawah sadar sangat membenci seseorang lalu kita dibisiki bahwa orang itu baik, sekuat apapun bisikannya, bagi kita orang itu tetap jahat.
Sebaliknya, jika kita sudah terlanjur mencintai suatu sosok, sekuat apapun berita tentang kejahatannya, bagi kita sosok itu tetap baik. Benar demikian bukan? Sehingga penting bagi kita untuk mengetahui apa sebenarnya yang ada di pikiran orang-orang sebelum kasus Ahok menyeruak di media terhadap fenomena yang berkaitan dengan objek yang sama, yaitu perbedaan agama dan etnis Tionghoa.
Ini penting sekali karena massa mengambang jumlahnya paling besar diantara semua kelompok merupakan massa yang mudah digerakkan, hanya dengan menyentil mereka maka kemungkinan yang amat massif dapat dengan mudah terjadi.
Kedua, kita menerapkan teorema gunung es pads demonstrasi tersebut. Demonstrasi tersebut adalah yang terlihat di permukaan saja, tetapi apa yang ada di bawah laut, yaitu badan gunung esnya, jauh lebih besar, jauh lebih pelik, dan jauh lebih mendesak untuk diatasi secara sosial.
Lalu apa itu? Apa hubungannya degan pembahasan pertama? Sebenarnya, poin pokoknya bukanlah muslim atau bukan muslim, Tionghoa atau pribumi, tetapi soal eksklusifisme. Mengapa demikian?
Pertama, Islam adalah agama yang toleran. Pengamalan Quran terutama Al Maidah ayat 51 maupun berbagai ayat lain dapat berbeda setiap orang karena cara menafsir yang dapat berbeda sesuai madzhab maupun latar belakang keilmuan masing-masing.
Dalam Quran pun disebutkan dalam Surat Al Baqarah yaitu laa ikrooha fid diin, tidak ada paksaan di dalam agama, karena merurut bahasa Quran, telah jelas mana jalan yang rusydi (cerdas) degan jalan yang goyyi (bodoh).
Kedua, urusan politik dan kepemimpinan memamg bagian tak terpisahkan dalam Islam, tetapi berbeda dengan ibadah mahdoh (seperti salat, puasa, zakat, sedekah, haji, dan sejeisnya) yang ditetetapkan secara muhkamat atau jelas, eksplisit, dan detail, sistem Islam tentang politik dan pemerintahan tidak detail atau lebih general, yang artinya dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Ambil contoh sistem pemerintahan dalam Islam, pada masa awal pasca-Nabi Muhammad wafat, khalifah atau pemimpin kaum muslim diangkat dengan cara yang berbeda, Abu Bakar diangkat melalui musyawarah para tokoh atau demokrasi perwakilan, Umar ditunjuk langsung oleh Abu Bakar, Utsman diangkat melalui dewan yang terdiri dari sejumlah orang atau demokrasi perwakilan, Ali diangkat oleh massa secara baiat atau aklamasi publik pascawafatnya Utsman.
Lalu berganti ke periode Monarki absolut di bawah pemerintahan Umayah, lalu ke periode kepemimpina aristokratik Abassiyah, lalu ke periode pemerintahan militeristik Syafawi dan Ottoman, lalu keperiode kesultanan yang terpecah menurut bangsa-bangsa (tidak lagi pemerintahan supranasional).
Lalu muncul monarki kebangsaan baik absolut maupun konstitusional, lalu ada republik baik yang bercorak demokrasi liberal maupun sosialis dan ada pula republik Islam dengan corak tersendiri seperti di Pakistan dan Iran.
Demikian pula soal urusan Indonesia, banyak ulama yang merancang bangsa ini, seperti Natsir, Agus Salim, dan banyak lainnya. Itu artinya, para tokoh Islam dan ulama bangsa ini sejak dulu tidak ada niat untuk merongrong NKRI dan pemerintahan di Indonesia tidaklah bertentangan dengan Islam.
Tentu saja asalkan perundangan yang dihasilkannya secara esensial maupun secara legal formal tidak menabrak batas-atas hukum Islam, seperti soal miras, soal pencurian, korupsi, perdagangan, dan banyak lagi. Dan taatilah Allah dan rasulnya dan para pemimpin kamu asalkan mereka tidak melanggar hukum Allah dan rasulnya, demikian Quran mengingatkan.
Kedua, etnis Tionghoa telah menjadi bagian dari NKRI dan secara legal formal, memiliki hak yang sama dengan WNI dari etnis lainnya, jadi tidak ada diskriminasi terhadap minoritas di sini.
Bahkan sudah sejak lama WNI etnis Tionghoa menghuni banyak ruang publik, mempunyao perusahaan-perusahaam dan aset-aset dagang dalam jumlah yang bisa dibilang besar dan bahkan mendominasi perdagangan negeri ini. Sekali lagi, tidak ada diskriminasi terhadap minoritas di sini.
Memang benar banyak warga etnis Tionghoa yang non muslim, tetapi banyak pula yang muslim, seperti komunitas yang berada di sekitar Masjid Chengho, ada pula masjod di Bandung yang menjadi milik komunitas Tionghoa Muslim, ada juga di kawasan Palembang, maupun di berbagai tempat lain.
Jadi bukan bukan masalah muslim atau tidak muslim dan Tionghoa atau pribumi. Lalu apa hasil bacaan pembahasan di atas? Masalahnya adalah eksklusifisme.
Mengapa begitu bayak orang dapat disentil dan digerakkan untuk melakukan aksi terhadap fenomena ini? Menurut saya, alasannya karena terdapat sentimen negatif yang begitu besar dan mendalam dalam alam bawah sadar banyak bagian masyarakat di Indonesia, terutama kalangan menengah ke bawah, terhadap etnis Tionghoa, apalagi yang non muslim.
Kenapa bisa begitu? Sekali lagi, jawabannya menyangkut eksklusifisme. Sekali lagi distribusi normal berlaku di sini. Etnis Tiongho baik Katolik, Protestan, Konghucu, ataupun Budha bukanlah orang jahat. Sekali lagi secara distribusi normal, Etnis Tionghoa bukan orang jahat.
Alasan banyak orang secara alam bawah sadar kontra terhadap mereka adalah adanya sebagian warga etnis Tionghoa yang hidup secara eksklusif. Tidak semua, tetapi sebagian itu kemudian secara konsep sinekdok pars pro toto mewakili keseluruhan di mata mereka yang melihat, terutama mereka yang pribumi dan melarat.
Sudah sejak masa kolonial, etnis Tionghoa memegang dan mengendalikan berbagai sektor strategis. Hal ini kemudian memantik rasa tidak suka dan iri di kalangan rakyat yang terjajah dan timbullah cap antek Belanda bagi bandar bandar Tionghoa dan penguasa feodal lokal karena kekuasaan dan kekayaan yang mereka peroleh di saat kesengsaraan akibat penjajahan merajalela.
Pasca kemerdekaan, sentimen itu tetap ada dan memuat meskipun ada juga sebagian etnis Tionghoa yang ikut berjuang mewujudkan kemerdekaan lalu ikut masuk pemerintahan di awal awal umur negeri ini.
Sentimen ini mencapai puncaknya pada 1998 ketika terjadi banyak kasus perampokan terhadap aset-aset etnis Tionghoa yang kemudian dianggap sebagai biang dan pengambil untung saat Indonesia dilanda krisis moneter hebat, banyak bank dan perusahaan bermasalah adalah milik para konglomerat Tionghoa.
Memasuki massa reformasi, keadaan tidak banyak berubah. Malahan dengan berbagai perkembangan yang semakin mudah dilihat publik pada masa ini, oknum-oknum tersebut tidak sadar dan berubah.
Akibatnya, sentimen dalam diri masyarakat semakin negatif. Bayangkan sebagian besar kekayaan negara ini dikuasai oleh segelintir kecil konglomerat yang sebagian besarnya adalah etnis Tionghoa, bahkan sampai muncul istilah 9 Naga untuk menggambarkannya.
Ketimpangan ekonomi semakin menjadi dan tidak terobati mini malah muncul masalah baru, ibarat sudah makan hati malah meminta ampela, etnis Tionghoa kini merambah dunia pemerintahan, dunia yang sebelumnya jarang mereka masuki secara viral dan terang-terangan sekaligus massif.
Di benak mereka yang telah memendam sentimen negatif sejak lama, akan muncul prasangka buruk. Apalagi ini, apa menguasai ekonomi belum cukup bagi mereka?
Apa mereka berniat menguasai pemerintahan untuk semakin erat menggenggam kekayaan bangsa ini, kenapa semakin serakah saja mereka? Apakah 9 Naga berniat menjadikan Ahok gubernur dan lalu presiden untuk semakin menguras kekayaan buat mereka sendiri dan tidak peduli pada rakyat miskin?
Demikianlah penyebab sentimen negatif tersebut adalah ketimpangan ekonomi yang terlal mencolok antara etnis Tionghoa dengan pribumi sehingga protes terhadap mereka bermunculan.
Temtu saja tidak semua etnis Tionghoa serakah dan eksklusif. Ambil contoh misalnya, teman-teman Tionghoa kenalan saya ataupun kenalan teman saya di daerah Jaws Timur, khususnya Surabaya, hidup berbaur dengan masyarakat Jawa, bahkan misuh mereka sama fasihnya dengan misuh arek asli Surabaya.
Namun di banyak tempat lain, masih banyak etnis Tionghoa yang hidup secara eksklusif, di hunian yang amat mewah, dengan berbagai fasilitas khusus, sekolah yang terasa begitu memisahkan diri dengan sekolah orang pribumi.
Bahkan seorang teman saya asal Surabaya suatu kali bepergian ke Sumatera dan mendapati ibu rumah tangga etnis Tionghoa memarahi pembantunya, dan terdengarlah kata-kata "Ga becus! Dasar orang Indonesia!". Miris tentunya, memangnya dia bukan orang Indonesia?
Tulisan ini mengajak semua pihak untuk sadar keadaan di atas. Jika dibiarkan hal ini berlarut-larut, cepat atau lambat akan menjadi konflik yang besar. Berkacalah pada masalah etnis Jawa dengan Aceh.
Kebencian sebagian etnis Aceh terhadap etnis Jawa terjadi juga karena alasan ekonomi, yakni orang-orang Jawa yang tinggal di Aceh karena memegang proyek pada masa itu hidup begitu mewah sementara beberapa meter dari istana mereka, orang Aceh hidup sengsara.
Hal yang sama juga terjadi pada konflik Sampit dengan etnis Madura yang meletus menjadi dua episode Perang Sampit. Itulah badan gunung es yang sebenarnya, ketimpangan ekonomi yang semakin mencolok, indeks gini yang semakin meningkat, dan gaya hidup eksklusif sebagian etnis Tionghoa yang kemudian dipandang sebagai perwakilan seluruhnya, pars pro toto.
Melalui tulisan ini, penulis mengajak semua pihak untuk melakukan evaluasi diri. Bagi kaum Tionghoa yang selama ini hidup eksklusif, cobalah lebih bermasyarakat. Bagi pihak yang terlanjur benci pada Tionghoa, cobalah berpikir jernih.
Quran mengingatkan, "Dan janganlah kebencianmu pada suatu kaum menjadikanmu berlaku tidak adil pada mereka. Berbuat adillah, sesungguhnya ia lebih dekat kepada taqwa".
Comments
Post a Comment