Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila (Draft)


Adab merupakan salah satu konsep yang penting untuk digali oleh bangsa Indonesia karena ia terdapat di dalam Pancasila yang berstatus sebagai dasar negara, “dasar filsafat” (philosophische grondslag) negara, “pandangan hidup” (Weltanschauung), atau “pokok kaidah fundamental negara” (Staatsfundamentalnorm).[1] Penggalian konsep adab itu tentunya tidak boleh dipisahkan dari kerangka utuh tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan nilai yang mengandungnya. Namun, penyelidikan makna adab dalam kerangka tafsir Pancasila itu tidaklah mudah dilakukan, mengingat corak keredaksian kelima silanya yang bermakna luas dan secara inheren memicu keragaman tafsir, juga berbagai pertentangan, tarik-ulur interpretasi, dan polemik diskursif yang menyertainya sejak masa perumusannya.[2]


Oleh karena itu, perlu ditinjau, yang pertama, pelbagai perdebatan terkait penafsiran dan penerapan Pancasila dalam catatan sejarah yang terangkum dalam sejumlah isu, yaitu (1) Pancasila dan Islam; (2) Pancasila dan Marxisme / Komunisme; (3) Pancasila dan Liberalisme-Kapitalisme; (4) Pancasila dan Demokrasi; dan (5) Pancasila pasca-Reformasi. Tinjauan poin ini dilakukan mengingat drastisnya pergeseran polar dalam pemahaman, penafsiran, dan penerapan Pancasila sejak awal Orde Lama (era Konstituante dengan demokrasi yang liberal), era Demokrasi Terpimpin yang condong pada Marxisme / Komunisme, era “Demokrasi Pancasila” Orde Baru yang condong ke Barat, hingga era Reformasi dengan berbagai dinamikanya yang khas.
Kedua, karena kata adab terdapat pada sila kedua Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, maka makna dasarnya dalam frasa tersebut perlu dibahas. Ketiga, kedudukan sila kedua tersebut terkait dengan sila-sila lainnya harus dibahas, agar makna adab yang ada dalam sila kedua itu dapat didudukkan dengan konteks yang konsisten dan koheren dengan keseluruhan lingkup makna Pancasila itu. Keempat, setelah makna adab dalam sila kedua dan makna setiap sila lain diselidiki dan dikaitkan kedudukannya satu sama lain, maka narasi tafsir yang utuh dalam Pancasila itu bisa diperoleh. Kelima, signifikansi konsep adab itu pada akhirnya bisa ditinjau dari narasi lengkap tafsir Pancasila berdasarkan kaitan antar sila yang sudah diperoleh itu.

Pancasila dan Islam
Tidak seperti di era pasca-Reformasi, di mana ormas atau partai politik dapat menjadikan Islam sebagai asas organisasi/partai, Pancasila pernah diletakkan secara oposisional dengan Islam-sebagai-ideologi-politik di masa Orde Lama dan Orde Baru. Pada masa pemerintahan Sukarno, hal itu terjadi terutama dalam perdebatan di Badan Konstituante hasil Pemilu 1955 yang bersidang pada 1956-1959 untuk membuat konstitusi baru yang permanen. Konstitusi awal, UUD 1945 dengan kelima sila Pancasila yang tercantum dalam pembukaannya, pada mulanya dimaksudkan sebagai hal yang sementara, sebagaimana dinyatakan Sukarno sendiri. [3]
Isu yang paling panas dan lama diperdebatkan dalam Badan Konstituante adalah isu dasar negara. Karena isu ini, partai-partai terbagi dalam tiga blok: Pancasila, Islam, dan Sosio-Ekonomi. Blok Pancasila (53%) terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan partai-partai kecil lain. Blok Islam (44%) disokong oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan partai-partai kecil lain. Sisanya di blok Sosio-Ekonomi yang, karena terdiri dari partai-partai kecil, tak mendominasi perdebatan.[4]
Hal yang relevan dicatat dari perdebatan di Badan Konstituante ini adalah adanya keleluasaan untuk mengkritik Pancasila sebagai dasar negara. Ini tidak seperti diskursus mengenai Pancasila di era Orde Baru dan setelahnya yang didominasi oleh puja-puji pada Pancasila sebagai suatu ideologi yang seolah tanpa cacat; bahwa Pancasila adalah yang terbaik atau bahwa dengan Pancasila, Indonesia menjadi “negara paripurna”. Sutan Takdir Alisjahbana dari Partai Sosialis Indonesia (PSI) misalnya, menyatakan bahwa status Pancasila sebagai falsafah negara adalah hal yang berlebih-lebihan, karena Pancasila itu mengandung kontradiksi dalam dirinya, tidak memiliki kebulatan dan kesatuan logis, serta hanya kumpulan paham yang berbeda untuk menenteramkan semua golongan pada rapat-rapat.[5] Menariknya, PSI berada di blok Pancasila dan Sutan Takdir menerima Pancasila sebagai wujud kompromi politik, meski menolak gagasannya sebagai falsafah yang utuh dan komprehensif.
Saifuddin Zuhri dari NU mengatakan bahwa Pancasila mengandung pertentangan-pertentangan disebabkan tiadanya kebulatan pikiran. Perwakilan NU lain, Kiai Ahmad Zaini, menyatakan Pancasila adalah formula kosong yang ambigu, yang karena itu tak layak menjadi dasar negara; selain itu, Pancasila itu dapat mengakui keberadaan penyembah batu dan pohon. Ahjak Sosrosugondo, masih dari NU, menyebut Pancasila menoleransi ideologi anti-Tuhan, yaitu komunisme. Roeslan Abdulgani, tokoh PNI, berupaya menangkis kritik itu dengan mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah sintesis dari gagasan-gagasan Islam modern, Marxisme, dan demokrasi asli seperti dijumpai di desa-desa dan dalam komunalisme penduduk. Arnold Mononutu (PNI, Kristen), menyatakan bahwa Pancasila bersifat religius-monistis, yang dapat dia terima sebagai orang Kristen untuk dijadikan Dasar Negara Republik Indonesia.[6]
Pandangan yang terakhir memicu respons dari Saifuddin Zuhri (NU) ketika menyatakan bahwa konsep monoteisme di sila pertama kabur maknanya dan dapat ditafsirkan oleh tiap kelompok agama sesuai keinginan mereka sendiri. Mohammad Natsir, perwakilan Masyumi, menyebut pandangan Arnold Mononutu itu sebagai tragedi netralitas Pancasila, yang ternyata terbuka terhadap berbagai penafsiran relatif. Menurut Natsir, kalaulah ia memilih satu warna, salah satu ideologi, ia akan bercorak, ia tak akan netral lagi; raison d’etre-nya tak ada lagi; ia bukan Pancasila lagi. Menguatkan pandangan dari NU, Natsir juga menyebut Pancasila mengandung makna yang kabur. Lebih dari sekadar kabur, bagi Natsir, Pancasila adalah konsep sekuler “lā dīniyyah”, dalam pengertian bahwa ia tidak diderivasi dari wahyu Tuhan, tetapi dari paham-paham sekuler.[7]
Perwakilan Masyumi lain, Isa Anshary, menyatakan bahwa Pancasila tak memiliki makna yang jelas dan baginya, Islam lebih jelas dan berdasar pada wahyu Tuhan, sehingga Islam lebih baik sebagai dasar negara. Tahir Abubakar dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menyebut Pancasila versi UUD 1945 bukan merupakan konsensus politik nasional karena “tujuh kata” di Piagam Jakarta dihapus, satu hal yang turut dikuatkan Kahar Muzakkir dari Masyumi dan disebutnya sebagai intrik politik kaum nasionalis sekuler. Ringkasnya, kelompok Islam secara umum berupaya mengetengahkan kelemahan-kelemahan Pancasila sembari menunjukkan bahwa Islam lebih jelas dan komprehensif sebagai dasar negara.[8]
Persoalan dasar negara ini membuat Konstituante tak mampu mencapai keputusan yang memenuhi kuorum setelah hampir empat tahun bersidang. Geram dengan perdebatan yang tak usai ini, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, akhirnya Sukarno membubarkan Konstituante dan menetapkan kembali berlakunya UUD 1945 sebagai konstitusi dan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD ’45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan konstitusi. Ambiguitas makna “menjiwai” dan “satu rangkaian kesatuan” ini di kemudian hari masih mempengaruhi dis-kursus hubungan Islam-Pancasila dalam tata perundang-undangan dan sempat terangkat dalam upaya reformasi konstitusi pasca-Orde Baru.[9]
Pada masa Orde Baru, rezim Suharto menggalakkan penerapan Pancasila secara murni dan konsekuen, sehingga menjadi ideologi yang eksklusif. Untuk pertama kali, Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum disebut eksplisit, yakni melalui TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966. TAP MPRS ini juga mengunci Pancasila dengan menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 (yang memuat Pancasila) tidak dapat diubah oleh siapa pun juga, termasuk MPR hasil pemilihan umum, karena mengubah isi Pembukaan berarti pembubaran Negara. Pada masa ini, Pancasila merembesi hampir segala lini kehidupan, dari demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, hingga moral Pancasila, masyarakat Pancasila, bahkan manusia Pancasila.[10]
Pada masa Orde Baru, setidaknya tiga hal relevan disebut dalam hubungannya dengan organisasi/partai, khususnya organisasi/partai Islam. Pertama, dengan justifikasi untuk mengeliminasi antagonisme antar golongan akibat banyaknya partai, rezim merestrukturisasi partai-partai politik menjadi dua partai dan satu Golongan Karya. Semua partai Islam (NU, PSII, Perti, dan Parmusi) berfusi ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kebijakan ini dipicu, antara lain, oleh perwakilan partai-partai Islam yang mengangkat kembali isu Piagam Jakarta pada Sidang Umum MPRS 1968.[11]
Kedua, melalui TAP Nomor II/MPR/1978, MPR mengeluarkan ketetapan mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Ekaprasetia Pancakarsa. TAP MPR ini menyatakan bahwa P4 tidak dimaksudkan untuk menafsirkan Pancasila sebagai dasar negara, tetapi ditujukan untuk menjadi penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia dan dilaksanakan secara bulat dan utuh. Jika dibandingkan dengan Pidato Sukarno 1 Juni 1945 yang berisi pemikiran filsafat-politik, P4 lebih tampak seperti pedoman moral, moral Pancasila. P4 lalu diwajibkan untuk pegawai negeri dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa-siswi di sekolah.[12]
Respons politik Islam, yang direpresentasikan melalui PPP di parlemen, cenderung negatif terhadap kebijakan P4 ini. Dalam Sidang Umum MPR 1978 untuk mengesahkan P4 dan melegalisasi aliran kepercayaan, fraksi  PPP walk out, dipimpin oleh Rais Syuriah NU KH Bisyri Syansuri. Di antara argumen PPP waktu itu adalah bahwa MPR tidak punya hak untuk mengatur individu, sebagaimana tercermin dalam kebijakan P4, karena moral seharusnya diserahkan pada agama. Argumen PPP melawan penerapan PMP di sekolah ialah karena melihat detail buku-buku PMP yang, menurut PPP, antara lain telah menyatakan bahwa semua agama sama sakralnya dan mengafirmasi acara doa bersama lintas agama. Terlebih, menurut mereka, P4 dan PMP telah membuat Pancasila menjadi semacam agama. Tokoh-tokoh Muslim yang mendukung keberatan PPP ini antara lain Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan AM Fatwa.[13]
Ketiga, rezim Orde Baru mengumumkan dan kemudian menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan ormas dengan tujuan menjaga kohesivitas politik. Dengan terbitnya UU Parpol dan Ormas ini, PPP dan ormas-ormas Islam menghadapi pilihan sulit: berkompromi dengan mengubah asas organisasi atau dibubarkan. Pada akhirnya, PPP dan sebagian besar ormas Islam memprioritaskan kelangsungan hidup partai/organisasi. Ormas Islam yang menolak ialah Pelajar Islam Indonesia (PII) yang kemudian dibubarkan oleh pemerintah pada 1987. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pecah menjadi dua: HMI Diponegoro yang menerima Pancasila dan HMI Majelis Penyelamatan Organisasi (HMI MPO) yang bersikukuh dengan asas Islam.[14]
Penolakan kebijakan asas tunggal datang dari tokoh berpengaruh seperti Deliar Noer dan Sjafruddin Prawiranegara yang menyatakan bahwa Pancasila tidak pernah dimaksudkan oleh para pendiri bangsa sebagai asas untuk seluruh organisasi, tetapi sebagai dasar negara. AM Fatwa dalam satu khotbahnya menyeru umat Islam untuk mempertahankan asas Islam hingga titik darah terakhir. Pada 1980, muncul Petisi 50, yang terdiri dari 50 politisi kenamaan, termasuk di dalamnya Natsir, dan jenderal-jenderal pensiun, termasuk di dalamnya AH Nasution, yang mengeluarkan kecaman terhadap Orde Baru yang menganggap serangan terhadap dirinya sebagai serangan terhadap Pancasila. Prawiranegara secara khusus menulis surat panjang bertajuk Pancasila sebagai Azas Tunggal pada 1983 dan menyampaikannya pada Presiden Suharto dan mengirimkannya ke para pemimpin lembaga-lembaga tinggi negara. Dalam surat itu, ia menyatakan antara lain bahwa mendirikan organisasi berasas Islam ialah bagian dari kebebasan beragama umat Islam dan melarang hal ini berarti sama dengan melanggar UUD 1945 dan, dengan demikian, bertentangan dengan Pancasila sendiri.[15]
Politik asas tunggal ini turut memicu terjadinya kekerasan, seperti yang terjadi dalam peristiwa Tanjung Priok 1984, di musala tempat sering diadakan khotbah yang menentang asas tunggal itu, dengan korban 400 orang. Peristiwa besar lain adalah tragedi Talangsari 1989 di Lampung dengan 246 korban tewas. Poin minimal yang dapat ditarik dari peristiwa-peristiwa di masa Orde Baru ini sederhana saja: kemultitafsiran atau maleabilitas Pancasila, yang amat dipengaruhi oleh konstelasi politik di masanya, mengandung potensi untuk ditarik sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi alat pemukul oposisi politik atau mereka yang dianggap subversif.[16]

Pancasila dan Marxisme / Komunisme
Bila Orde Baru melarang komunisme / Marxisme-Leninisme dan menyatakannya bertentangan dengan Pancasila melalui TAP Nomor XXV/MPRS/1966 dan UU Ormas 8/1985, tidak demikian dengan Orde Lama. Orang yang sering dilabeli sebagai “penggali” Pancasila, Sukarno, sangat terpengaruh gagasan Marxisme dan, hingga taraf tertentu, juga Leninisme. Pada 1926, Sukarno menulis artikel panjang berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Dalam artikel itu, ia berargumen bahwa tiga kekuatan politik terbesar ini bisa dan harus bersatu dalam memperjuangkan kemerdekaan dan melawan imperialisme. Bila Orde Baru beralasan bahwa Marxisme bertentangan dengan Pancasila karena Marxisme adalah paham anti-agama, Sukarno dalam tulisan itu menyatakan bahwa kaum Islamis harus bekerja sama dengan kaum nasionalis dan Marxis – dalam dis-kursus waktu itu, Islamis merujuk pada Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh.[17]
Sukarno dalam tulisan itu juga mengajukan argumen tentang kompatibilitas Islam dan Marxisme. Mengikuti pandangan gurunya, HOS Tjokroaminoto yang menulis buku Islam dan Sosialisme (1924), Sukarno menyatakan bahwa konsep “nilai lebih” (meerwarde atau surplus value) dalam kritik Karl Marx terhadap kebijakan kapitalisme adalah sama dengan konsep riba dalam Islam. Sukarno juga menyatakan bahwa taktik permusuhan Marxisme dengan agama adalah taktik Marxisme kuno yang harus diubah. Ia meminta kaum Marxis untuk membedakan antara materialisme historis dan filsafat materialisme (wijsgerijg materialism), dan meletakkan Manifesto Komunis dalam konteks permusuhan kaum Marxis terhadap gereja-gereja di Eropa. Dalam banyak tulisan dan pidatonya, Sukarno berkali-kali mengutip pandangan-pandangan intelektual Marxis dan meletakkan imperialisme Belanda dalam satu paket dengan kapitalisme. Pikiran Marxisme itu pula yang mendasari lahirnya konsep marhaen ala Sukarno.[18]
Di masa-masa akhir pemerintahannya, Sukarno menggagas “sosialisme ala Indonesia” dan Nasakom, persatuan tiga kekuatan politik: nasionalis, agama, dan komunis. Sukarno merujuk sila kelima (keadilan sosial) ke konsep Marxis mengenai eksploitasi. Dengan tampak semakin gandrungnya Sukarno akan gagasan-gagasan Marxis, hampir mustahil ia akan mengatakan, seperti Orde Baru, bahwa Marxisme / Komunisme, sekurang-kurangnya sebagai ideologi dan bukan partai politik yang menginduk ke Communist Internasional (Comintern), adalah bertentangan dengan Pancasila. Di atas segalanya, menurut Sukarno, perumusan Pancasila itu sendiri, hingga taraf tertentu, terinspirasi oleh gagasan Marxis.[19]

Pancasila dan Liberalisme / Kapitalisme serta Demokrasi
Bagaimana Pancasila semestinya diterjemahkan ke dalam tata negara tidak selalu sama antar-periode pemerintahan. Dengan premis bahwa spirit Pancasila yang sila-silanya sudah tercantum dalam Pembukaan UUD merembesi batang tubuh UUD, fakta bahwa terjadi reformasi konstitusi pada masa Reformasi itu sudah mengonfirmasi bahwa sistem pemerintahan ala Pancasila mengandung tafsir yang tak tunggal. Sila yang secara khusus berkaitan dengan sistem pemerintahan ialah sila keempat (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan).
Sistem pemerintahan dalam kerangkan Pancasila tidak menjadi dis-kursus dominan di awal Orde Lama. Sepuluh tahun pertama pasca-proklamasi kemerdekaan bahkan Pancasila hampir terlupakan. Di masa Revolusi (1945-1949), pemerintah Republik disibukkan oleh perjuangan melawan Belanda yang mencoba kembali selepas Jepang pergi sembari meredam insurgensi dari dalam, seperti beberapa daerah yang tak ingin masuk dalam Republik (salah satu yang signifikan adalah Republik Maluku Selatan), pemberontakan Darul Islam, dan Peristiwa Madiun 1948. Periode 1950-1959, dengan dasar konstitusi berupa Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, merupakan periode demokrasi parlementer, atau sering juga disebut demokrasi liberal, demokrasi yang tidak sama dengan yang diimajinasikan Sukarno melalui pemerintahan dengan “musyawarah mufakat”. Sengitnya persaingan partai-partai memunculkan perpecahan antar-golongan dan kabinet yang jatuh-bangun.[20]
Didukung oleh elemen-elemen yang lelah dengan partai-partai yang berselisih di Konstituante dan tak juga mencapai mufakat dalam isu dasar negara, upaya untuk menerapkan demokrasi ala Pancasila mulai muncul di UGM, Yogyakarta, pada Februari 1959, dalam seminar yang diisi Sukarno dan tokoh-tokoh penting lain seperti Yamin, Ruslan Abdulgani, Notonagoro, dan Drijakara dengan tajuk Pantjasila Menundjukkan Demokrasi Terpimpin. Puncaknya ialah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tentang pembubaran Konstituante dan kembali ke UUD 1945. Inilah permulaan era Demokrasi Terpimpin. Menjelaskan motif di balik Dekrit itu, dalam pidatonya pada 17 Agustus 1959, Sukarno menyatakan bahwa dasar revolusi yang ada saat itu tidak keruan mana letaknya, oleh karena masing-masing partai menaruhkan dasarnya sendiri, sehingga dasar Pancasila pun sudah ada yang meninggalkan, diganti dengan politik liberal, diganti dengan ekonomi liberal. Ia juga mengatakan bahwa UUDS 1950 menekan jiwa revolusi, menghambat-mengendurkan jalannya revolusi dan Konstituante ternyata tak mampu menjadi penyelamat revolusi. Maka, lanjutnya, sistem liberalisme harus dibuang jauh-jauh, demokrasi terpimpin harus ditempatkan sebagai gantinya.[21]
Menurut Sukarno, Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kekeluargaan, tanpa anarki liberalisme, tanpa autokrasi diktator. Ia mengimajinasikan demokrasi ala Indonesia seperti demokrasi di desa-desa di mana keputusan-keputusan menyangkut manajemen desa dimusyawarahkan dan diputuskan oleh para sesepuh desa. Pidato itu kemudian menjadi “Manifesto Politik” (Manipol), dan setahun kemudian ditambah dengan USDEK (UUD 1945, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Manipol-USDEK kemudian menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN bersama beberapa dokumen lain dimasukkan ke dalam Tudjuh Bahan-Bahan Pokok Indoktrinasi, buku indoktrinasi yang diwajibkan sebagai buku daras untuk seluruh mahasiswa di universitas-universitas.[22]
Dalam ranah praksis, Manipol-USDEK mengubah sistem pemerintah dalam tiga hal. Pertama, demokrasi parlementer menjadi presidensial dan dengan demikian, meningkatkan kekuatan eksekutif (presiden). Kedua, dibentuklah lima lembaga baru dan/atau lembaga yang direstrukturisasi yang membentuk MPRS, yakni Dewan Menteri Kabinet Karya, Dewan Nasional (DN), Dewan Perancang Nasional (DPN), Front Nasional Baru (FNB), dan Parlemen Baru (restrukturisasi dari DPR, menjadi DPR Gotong Royong). Ketiga, dibentuknya Golongan Karya (Golkar, golongan berbasis massa sipil dari beragam profesi. Golkar mengisi DN, DPN, FNB, dan setengah dari Parlemen. Sesuai Manipol, sebagian besar orang-orang yang dipilih untuk mengisi lembaga-lembaga itu harus melalui persetujuan Presiden. Keputusan diraih melalui musyawarah-mufakat dan jika mufakat tak tercapai, keputusan akhir diserahkan pada Presiden.[23]
Dengan demikian, Manipol-USDEK telah memberikan kekuatan politik yang besar dan terpusat pada diri Presiden, apalagi setelah keluar TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. Pada kenyataannya, dengan alasan suasana revolusi, pemerintahan Sukarno sangat membatasi pers dan mewajibkan pada pegawai negeri, pemimpin partai, dan redaktur surat kabar menandatangani pernyataan kesetiaan pada Manipol-USDEK.[24]
Tak kalah mencolok dan kontroversial adalah pembubaran Masyumi dan PSI karena rezim menganggap keduanya terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Kedua partai itu dibubarkan dengan dasar Penetapan Presiden 7/1960 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang menyatakan bahwa, agar suatu organisasi dapat diakui sebagai partai, ia harus tegas mencantumkan dalam anggaran dasarnya bahwa ia menerima UUD serta mendasarkan program kerjanya atas Manifesto Politik 17 Agustus 1959 yang telah dinyatakan menjadi haluan Negara. Penetapan Presiden ini mengatur bahwa Presiden dapat melarang dan/atau membubarkan partai yang bertentangan atau memiliki program yang bermaksud merombak asas dan tujuan negara, juga partai yang pemimpinnya turut serta dalam usaha pemberontakan sementara partai itu secara resmi tidak menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.[25]
Dengan tujuan untuk mengamankan kehidupan bangsa dan negara yang sedang berevolusi membentuk masyarakat Sosialis Indonesia, muncul Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Pasal pertama dari PNPS 11/1963 ini memidana siapa pun yang dianggap memutarbalikkan, merongrong, atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau haluan negara. Ringkasnya, Demokrasi Terpimpin adalah otoritarianisme atas nama Pancasila. Menjelang pertengahan dekade, Sukarno berubah haluan, dari Manipol-USDK yang menekankan Golkar menjadi Nasakom. Karena itu, PKI makin menguat dan menjadi pemain dominan dalam kontestasi politik, sementara di sisi lain, kelompok militer yang berada dalam Golkar merasa ditinggalkan. Ini satu hal yang memicu permusuhan militer dengan PKI, yang nantinya akan berujung pada Peristiwa 1965 dan runtuhnya rezim Sukarno.[26]
Rezim selanjutnya, Orde Baru, membangun legitimasinya di atas premis bahwa komunisme bertentangan dengan Pancasila. Pada 1974, dalam pidatonya di acara Dies Natalis UGM ke-25, Suharto mengutarakan perlunya ada kesatuan tafsir mengenai Pancasila agar dapat menghindari penggunaan yang salah dari Pancasila, hanya sebagai cantolan untuk kepentingan ideologi golongan seperti dalam masa Nasakom di zaman Orde Lama, zaman yang menurutnya bangsa terkotak-kotak dalam kesempitan paham atau ideologi golongan. Rezim Suharto menamai demokrasinya “Demokrasi Pancasila”, yang pada ranah praktisnya sebagian diilhami oleh Demokrasi Terpimpin era Sukarno, yakni memperkuat Golkar sembari memperkecil peran partai politik dengan mengarahkannya agar lebih berorientasi pada program alih-alih ideologi. Seperti tampak dalam banyak retorika politik Orde Baru, Demokrasi Pancasila bagi Orde Baru adalah demokrasi yang mementingkan harmoni dan stabilitas politik daripada kegaduhan akibat pertengkaran ideologi.[27]
Seperti sudah disebutkan, pada 1973 Orde Baru memaksa partai-partai politik untuk fusi dan memilih satu dari dua partai saja: PPP atau PDI. Pada 1975, Orde Baru meluncurkan kebijakan “masa mengambang” yang membatasi struktur partai hingga tingkat kabupaten, tidak boleh rendah dari itu. Di sisi lain, Golkar yang saat itu disebut Organisasi Peserta Pemilu (OPP), memiliki struktur hingga tingkat desa/kelurahan. Pegawai negeri sipil diwajibkan memilih Golkar. Bila Golkar di era Orde Lama aktif secara politik melalui demonstrasi dan pengerahan massa, Golkar Orde Baru menjadi mesin elektoral rezim. Demokrasi Pancasila ala Orde Baru secara de facto bersistem politik satu partai. Kekuatan politik terpusat pada Suharto. Tanpa harus melalui persetujuan legislatif, ia bisa memecat anggota kabinet dan pejabat militer. Ia juga memiliki kuasa untuk menyeleksi anggota DPR melalui Komite Pemilu di bawah Departemen Dalam Negeri. Meskipun mengambil ekonomi kapitalis, dengan membuka keran investasi asing, secara politik, Orde Baru tetaplah sebuah rezim autokrasi.[28]
Alasan penerapan UUD 1945 yang menjadi turunan Pancasila menghasilkan dua rezim autokrasi adalah bahwa UUD 1945 mengandung otoritarianisme yang inheren di dalamnya, yang ditandai dengan pemberian kekuasaan yang berat ke eksekutif, tidak jelasnya sistem checks and balances, terlalu banyak hal diserahkan pada aturan di tingkat bawah konstitusi, adanya pasal-pasal ambigu, terlalu bergantung pada integritas dan kehendak baik politik, adanya persoalan yang mengalami kekosongan hukum, dan adanya Penjelasan setelah Batang Tubuh. Tampak bahwa Pancasila, khususnya sila keempat, dapat menjustifikasi otoritarianisme. Frasa “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” dipahami oleh dua rezim itu sebagai pembeda dari demokrasi liberal dan, pada gilirannya, justru melapangkan jalan bagi upaya pemusatan politik di tangan presiden.[29]

Pancasila Pasca-Reformasi
Pada tahun-tahun awal pasca-Reformasi, Pancasila tak banyak bergaung dalam dis-kursus politik, antara lain karena publik masih mengasosiasikannya dengan Orde Baru. Namun, ada perkembangan yang relevan dicatat. Di era awal Reformasi, MPR mengeluarkan TAP Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan TAP MPR II/1978 tentang P4 dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara. Dengan TAP MPR ini, P4 tak lagi berlaku dan Pancasila ditegaskan posisinya sebagai dasar negara. Selain itu, amandemen Konstitusi 1999-2002, meski masih mengundang kritik terhadap beberapa kelemahannya, telah berhasil mempertahankan Pembukaan UUD 1945 sebagaimana asalnya dan menghalau aspirasi untuk mengembalikan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta. Konstitusi yang baru hasil amandemen lebih demokratis; memiliki pemisahan kekuasaan yang lebih jelas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif; dan telah memperkuat jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).[30]
Di luar reformasi Konstitusi, Pancasila cenderung terlupakan dalam wacana publik. Pancasila baru menggema lagi di pertengahan dasawarsa 2000-2010. Yang berbeda dari masa Orde Lama dan Orde Baru, Pancasila yang digemakan di era pasca-Reformasi ini muncul mula-mula dari bawah, dari masyarakat sipil, khususnya dari elemen yang sebelumnya sangat kritis terhadap Orde Baru. Upaya “restorasi” Pancasila ini muncul terutama karena Reformasi telah membuka kran kebebasan berpendapat dan desentralisasi sehingga memberi jalan lapang bagi gerakan Islamis (dalam pengertian yang menghendaki formal-isasi hukum Islam dan, bagi sebagian, menginginkan Indonesia menjadi negara Islam) untuk naik ke permukaan dis-kursus politik. Gerakan Islamis ini tentu mengandung variasi dalam spektrum, dari yang kadang menempuh jalur kekerasan hingga yang bergerak di jalur konstitusional, dari yang model Majelis Mujahidin dan HTI, perjuangan “NKRI bersyariah” ala Front Pembela Islam, gerakan-gerakan pembasmian aliran sesat, aspirasi Islam melalui prosedur demokrasi, hingga munculnya perda-perda syariah di tingkat lokal, yang didukung berbagai partai politik, tak terbatas partai-partai Islam.[31]
Sebagaimana pola sejak awal kemerdekaan, di mana selalu ada kompromi dan kontestasi antara golongan kebangsaan dan golongan Islam, demikian pula kasus pasca-Reformasi. Penolakan aspirasi pengembalian Piagam Jakarta dalam proses amandemen Konstitusi memicu koneksi berupa aspirasi keislaman dalam aturan-aturan di tingkat yang lebih renda, seperti UU Sisdiknas 2003 dan UU Anti-Pornografi dan Porno-aksi (APP). Pada saat yang bersamaan, setelah tak berhasil dilakukan dari atas, islamisasi gencar bergerak dari bawah. Tahun 2005 menjadi tahun penting dalam sejarah aspirasi Islamis pasca-Reformasi. Pada tahun ini MUI mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pluralisme, sekularisme, dan liberalisme; fatwa keharaman doa bersama lintas agama; fatwa keharaman pernikahan beda agama; dan fatwa kesesatan Ahmadiyah. Aspirasi Islamis ini mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya, sekalipun kombinasi kekuatan partai-partai Islam atau berbasis massa Islam belum mampu hingga kini mengalahkan dominasi partai-partai sekuler dalam politik elektoral.[32]
Menguatnya aspirasi Islamis di satu sisi memicu reaksi dari sisi yang lain. Di antara yang layak dicatat ialah dis-kursus pada 2006, bertepatan dengan masih panasnya perdebatan mengenai RUU APP. Pada peringatan hari Lahir Pancasila 1 Juni 2006, pertemuan besar di Jakarta yang dihadiri ratusan orang bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), para menteri, dan tokoh-tokoh berpengaruh dari berbagai kalangan mendeklarasikan Maklumat Keindonesiaan, yang antara lain menegaskan Pancasila sebagai suatu hal yang telah digali, dilahirkan, dan disepakati oleh para pendiri republik dan tumbuh dari benturan kepentingan, sumbang-menyumbang gagasan.[33]
Selepas pembacaan maklumat itu, Presiden SBY memberikan pidato dengan tajuk Menata Kembali Kerangka Kehidupan Bernegara Berdasarkan Pancasila. Dalam pidato itu, Presiden menegaskan Pancasila sebagai falsafah, dasar negara, dan ideologi terbuka, open ideology, living ideology, bukan dogma yang statis dan menakutkan. Namun demikian, Presiden memberikan identifikasi terhadap ideologi-ideologi yang menjadi tantangan Pancasila, dan dalam pidato itu Presiden menyebut kapitalisme, liberalisme, komunisme, dan sosialisme sebagai sesuatu yang tidak sesuai jiwa dan semangat Pancasila. Bagian ini tampak paradoks, karena mempertentangkan Pancasila dengan ideologi lain sementara sebelumnya disebut bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka.[34]
Dalam dis-kursus pasca-Reformasi, Pancasila kerap disebut sebagai konsensus nasional dan ideologi terbuka. Bila di masa Orde Lama, Pancasila diadvokasi oleh golongan kebangsaan, banyak pihak di era pasca-Reformasi menjadikan Pancasila sebagai simbol pengawal kebinekaan. Namun, dis-kursus mengenai Pancasila pasca-Reformasi tidak berhenti di situ dan tak sesederhana itu. Kalangan Islam(is) pun berupaya untuk merebut tafsir Pancasila. Dalam sejarah Pancasila, agaknya baru di pasca-Reformasi inilah kalangan Islam(is) berupaya mengapropriasi Pancasila. Tentang ini, setidaknya tiga contoh signifikan layak dicatat.
Pertama, dari kalangan pejabat tinggi. Dalam wawancaranya dengan Majalah Tempo (2006), Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan bahwa Pancasila sering hanya dijadikan tameng untuk melindungi kepentingan pribadi atau kelompok. Misalnya, ia mencontohkan, seseorang yang tidak suka dengan syariat lalu berlindung di balik Pancasila. Waktu itu, suasana politik sedang panas oleh debat mengenai RUU APP, sementara sebagian dari para penolak RUU APP menyuarakan Pancasila. Mengenai hal itu, Ketua MPR dalam wawancara itu mengutarakan bahwa RUU APP tidak untuk menciptakan disintegrasi, karena kalau dirunut pasal menimbang dan mengingat, dia justru dalam rangka melaksanakan Pancasila juga. Jadi, tampak di sini bahwa penentang maupun pendukung RUU APP sama-sama berupaya menggantungkan legitimasi aspirasinya pada Pancasila.[35]
Kedua, dari kalangan pemimpin agama. Tak lama seusai deklarasi Maklumat Keindonesiaan itu, Ketua MUI waktu itu, KH Ma’ruf Amin, menulis kolom di Republika dengan judul “Mencegah Upaya Sekularisasi Pancasila”. Sebagaimana sudah tampak dari judulnya, tulisan ini ingin menekankan pentingnya unsur agama dalam Pancasila. Dalam tulisan itu, Kiai Ma’ruf memandang Maklumat sebagai upaya membenturkan “hak umat Islam menjalankan syariat agamanya” dengan Pancasila dan UUD 1945. Tulisan itu juga menekankan bahwa “Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan visi negara ... visi itu kemudian dituangkan dalam UUD 1945, pasal 29, yang menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, para pendiri negara ini justru ingin menegaskan bahwa negara yang dibangunnya itu bukanlah negara sekuler.” Dalam hubungan antara Pancasila dan Islam, tulisan itu menyatakan: “Sebagai ide terbuka, sebagaimana disampaikan Presiden SBY, seharusnya kontribusi agama, sebut saja Islam, dalam membimbing visi yang dicita-citakan itu tidak boleh dibendung, apalagi dengan membenturkan keduanya.”[36]
Ketiga, dari penulis Muslim berpengaruh. Di berbagai media, Adian Husaini, penulis buku Pancasila untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam (2010), kerap mengkritik pandangan yang meletakkan Pancasila dalam perspektif sekuler sembari menekankan bahwa makna sila pertama adalah tauhid. Di antara contoh tafsir Pancasila yang sekuler yang dikutip Ali Murtopo, mantan asisten khusus Suharto, yang menyatakan bahwa sila pertama mengandung makna hak untuk pindah agama. Husaini kerap menekankan bahwa sila pertama tak bisa dilepaskan dari Piagam Jakarta. Mengutip saksi sejarah pencoretan “tujuh kata”, Kasman Singodimedjo, Husaini menulis, “Bung Hatta yang aktif melobi tokoh-tokoh Islam agar rela menerima pencoretan tujuh kata itu menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah, tidak lain kecuali Allah.” Mengutip saksi sejarah lain, yakni Ki Bagus Hadikusumo, ketua Muhammadiyah waktu itu, Husaini menulis bahwa Ki Bagus bersedia menerima penghapusan tujuh kata itu “setelah diyakinkan bahwa makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid.” Husaini melanjutkan, “Itu juga dibenarkan oleh Teuku Mohammad Hasan, anggota PPKI yang diminta jasanya oleh Hatta untuk melunakkan hati Ki Bagus.”[37]
Makna sila pertama memang ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai pihak, bergantung falsafah hidup masing-masing. Dalam tulisan berjudul Tuhan Hanya Esa, Itulah Keyakinanku, Sukarno menyebut dirinya sebagai panteis-monoteis, dan ini juga ia tegaskan saat menerima doktor kehormatan dalam Filsafat Tauhid dari Universitas Muhammadiyah Jakarta pada 1965. Namun, pada periode Orde Baru, khususnya di era penerapan asas tunggal, untuk meningkatkan keberterimaan Pancasila terhadap organisasi-organisasi Islam, Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara menyatakan bahwa sila pertama itu terinspirasi dari tauhid. Ia juga menyatakan bahwa pencoretan tujuh kata merupakan hadiah umat Islam kepada bangsa Indonesia demi menjaga persatuan.[38]
Ahmad Syafii Maarif bahkan menulis bahwa “setiap usaha dari mana pun yang mencoba memisahkan Pancasila dari intervensi wahyu adalah ahistoris, sebab Pancasila yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945 itu tidak sama dengan formula Pancasila yang disampaikan Bung Karno pada 1 Juni 1945.” Lebih eksplisit lagi, Maarif menyatakan bahwa “sila pertama jelas sekali menunjukkan bahwa konsep Ketuhanan dalam Pancasila bukanlah semata fenomena sosiologis, melainkan refleksi dari ajaran tauhid”. Aksentualisasi terhadap Ketuhanan dalam sila pertama itu memiliki satu signifikansi tafsir tersendiri. Hatta berpandangan bahwa, dengan menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila pertama, negara memiliki “landasan moral yang kukuh” dan di bawah bimbingan sila pertama itu, “kelima sila itu ikat-mengikat”.[39]
Tampak dalam dis-kursus ini bahwa tafsir Pancasila dapat diapropriasi kelompok Islam(is), yang disokong dengan argumen yang menekankan pada makna sila pertama yang, dengan mengutip pandangan-pandangan dari sebagian tokoh generasi awal, merupakan manifestasi dari tauhid. Lebih dari sekadar dis-kursus, apropriasi terhadap tafsir Pancasila juga terjadi dalam proses uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2009-2010 terhadap UU Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU PPPA), yang diajukan oleh aktivitas kebebasan beragama, yang sebagian darinya juga kerap mengampanyekan Pancasila sebagai simbol kebinekaan di satu sisi dan untuk mengadvokasi hak beragama kelompok minoritas di sisi lain. Proses uji materi ini berakhir dengan ditolaknya tuntutan para pemohon untuk membatalkan UU PPPA.[40]
Jadi, bila diringkas, Pancasila di era pasca-Reformasi telah mengalami tarik-ulur diskursif. Setelah tak banyak dibicarakan di tahun-tahun awal, Pancasila mengalami restorasi sebagai simbol kebinekaan yang dikerek untuk membendung aspirasi Islam(is). Beberapa tahun berikutnya, Pancasila berusaha diapropriasi oleh kelompok Islam(is) untuk menghalau penafsiran terhadap Pancasila yang diletakkan dalam kerangka sekuler-liberal.[41]
Uraian terhadap sejumlah isu di atas menuju pada satu kesimpulan, yaitu tentang kemultitafsiran Pancasila; bahwa Pancasila dalam dirinya mengandung potensi untuk mengalami tarik-ulur interpretasi oleh berbagai golongan dari sisi-sisi yang berseberangan dalam suatu spektrum politik. Uraian di atas juga telah menunjukkan bahwa diskursus penafsiran terhadap Pancasila pada satu periode tak bisa dilepaskan dari konstelasi politik pada periode itu. Setelah dimasukkan dalam Pembukaan UUD 1945 di awal kemerdekaan, Pancasila sempat dilupakan di era Revolusi saat Republik disibukkan oleh upaya mengatasi kembalinya Belanda dan pemberontakan-pemberontakan dari dalam. Pada 1950-1955, dengan UUDS 1950, Pancasila juga masih tak menjadi perbincangan dominan seiring politik pemerintahan yang dikelola dengan sistem demokrasi parlementer-liberal. Dalam debat Konstituante 1956-1959, Pancasila dihadapkan dengan Islam dalam persaingan menjadi dasar negara. Pancasila mulai efektif lagi sebagai dasar negara setelah dibubarkannya Konstituante melalui Dekrit 5 Juli 1959.
Pada 1959-1965, Pancasila menjadi dasar diterapkannya Demokrasi Terpimpin dengan kekuasaan terpusat pada diri Presiden. Dengan kata lain, Pancasila menjadi justifikasi bagi otoritarianisme. Rezim berikutnya, mewarisi sebagian penafsiran Pancasila ala Demokrasi Terpimpin dan menamai demokrasinya “Demokrasi Pancasila”, dengan kekuasaan yang terpusat pada Suharto dan Golkar menjadi mesin politik. Pada Orde Baru, Pancasila merembesi hampir segala lini, dari demokrasi Pancasila, ekonomi Pancasila, moral Pancasila, hingga manusia Pancasila. Orde Baru juga menggunakan Pancasila sebagai instrumen untuk menekan oposisi. Selepas tumbangnya Orde Baru, Pancasila sempat dilupakan di tahun-tahun awal pasca-Reformasi. Mulai 2005, sebagai reaksi terhadap meningkatnya aspirasi politik Islamis, Pancasila mengalami restorasi, dikerek sebagai simbol penjaga kebinekaan. Namun, Pancasila juga mengalami apropriasi oleh kaum Islamis. Hingga tahun 2017, Pancasila untuk pertama kalinya sejak Reformasi menjadi instrumen legal untuk membubarkan organisasi.
Dalam konstelasi politik yang berubah-ubah itu, Pancasila mendapat penafsiran yang beragam, Di satu periode, Pancasila kental bernuansa sosialis dan terinspirasi hingga tingkat tertentu oleh Marxisme. Di periode berikutnya, komunisme dinyatakan bertentangan dengan Pancasila. Di satu periode Pancasila dipertentangkan dengan Islam. Di periode lain, Pancasila ditekankan sila pertamanya yang dimaknai sebagai terinspirasi konsep tauhid dalam Islam. Di satu periode, Pancasila diusung sebagai simbol perekat kebangsaan dan penjaga kebinekaan. Di sisi lain pada periode yang sama, Pancasila dipakai untuk melegitimasi peraturan yang membatasi kebebasan kelompok minoritas beragama.
Lebih dari persoalan tafsir terhadap kandungan maknanya, kontestasi juga berlangsung di ranah rujukan otoritas tafsir. Satu pihak merujuk ke Sukarno sebagai pemilik otoritas tafsir terhadap Pancasila. Namun, Sukarno memiliki ambiguitasnya sendiri, yakni antara pemikirannya dalam Pidato 1 Juni 1945 dengan penerapan Pancasila oleh Sukarno melalui Demokrasi Terpimpin. Pihak lain berpandangan bahwa Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 bukanlah kreasi Sukarno semata, melainkan produk konsensus para pendiri bangsa antara golongan kebangsaan dan golongan Islam, sehingga mesti ditafsirkan dalam kerangka konsensus itu, bukan pemikiran Sukarno.
Lebih dari persoalan otoritas tafsir, kontestasi juga berlangsung dalam apakah satu tafsir yang tunggal dan objektif dimungkinkan untuk diraih, seperti yang dicoba diupayakan oleh Orde Baru. Status Pancasila juga menjadi medan kontestasi: apakah ia cukup sebagai “dasar negara”; atau, ia bisa lebih dari itu, menjadi ideologi sehingga bisa disejajarkan dan punya potensi untuk dipertentangkan dengan ideologi-ideologi lain seperti komunisme, kapitalisme, liberalisme, Islamisme, dan lain-lain; atau bahkan lebih lagi dari itu, Pancasila masuk ke kawasan personal sebagai panduan moral dan pandangan hidup tiap individu.
Maka, seluruh pembahasan pengantar ini menegaskan suatu tesis bahwa kemultitafsiran Pancasila seyogyanya menjadi refleksi kritis akan upaya memperlakukan Pancasila sebagai satu “ideologi” yang memiliki tafsir tunggal yang sedemikian obyektif sehingga ia layak menjadi alat untuk memukul rival-rival politik rezim yang berkuasa atau membungkam setiap yang berupaya mengkritiknya. Banyak yang mengakui bahwa Pancasila mengandung sila-sila yang mengandung nilai-nilai “kebaikan”. Namun demikian, sifat keredaksiannya yang umum dan ambigu itu memang membuatnya terbuka terhadap kepelbagaian tafsir, meski ini bukan hal yang niscaya buruk. Sementara sifat multitafsir bisa menjadi nilai positif, tapi ketika digunakan sebagai instrumen dalam level praksis di ranah hukum, kemultitafsiran dapat mereduksi pemenuhan prinsip legal lex certa. Namun begitu, instrumentalisasi eksklusif Pancasila seperti pada era Demokrasi Terpimpin Orde Lama dan Demokrasi Pancasila Orde Baru tetaplah suatu keterpelesetan yang mesti dihindari.
Dalam pada itu, tulisan ini hendak secara bebas mengambil satu sudut pandang atau kerangka tertentu dalam upaya melakukan interpretasi Pancasila, di antara pelbagai kemungkinan dan ragam tafsir yang ada, dalam usahanya untuk menggali konsep adab sebagaimana yang terdapat dalam sila kedua Pancasila itu. Dengan demikian, dalam tulisan ini, dipandanglah bahwa kerangka penafsiran yang utuh dan baik bisa didapatkan dengan penyelidikan akar kata dari tiap-tiap konsep pokok yang ada di masing-masing sila, kemudian dilanjutkan dengan tinjauan hubungan antar-sila, dengan anggapan bahwa keseluruhan sila sejatinya ialah suatu kesatuan bangunan konseptual yang bulat dan tiada dapat dipisah-pisahkan. Selain itu, konteks historis dari sila-sila itu juga akan diulas, walaupun tidak seluruhnya mengingat keterbatasan kesempatan, guna menunjukkan pada jalan tafsir yang mengakar pada ruh asasinya.

Adab dan Sila Kedua
Kata adab secara eksplisit terdapat pada sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dalam sila itu, setidaknya terdapat tiga konsep pokok yang perlu digali, yaitu manusia, adil, dan adab. Kata adil dan adab berasal dari bahasa Arab, “ʿadl” dan “adab”, yang diserap melalui bahasa Melayu, “adil” dan “adab”. Sementara itu, kata manusia berasal dari bahasa Sanskerta, “manu”, yang diserap melalui bahasa Jawa, “manungsa” atau “menusa”. Terdapat juga pandangan bahwa kata manusia berasal dari dua kata bahasa Arab, “man” (من) dan “ūṣiya” (أوصي).[42]
Kata manusia dalam bahasa Indonesia berarti “makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain); insan; orang”.[43] Sementara itu, akal dimaknai sebagai “(1) daya pikir (untuk memahami sesuatu dan sebagainya); pikiran; ingatan; (2) jalan atau cara melakukan sesuatu; daya upaya; ikhtiar; (3) tipu daya; muslihat; kecerdikan; kelicikan; (4) kemampuan melihat cara memahami lingkungan”.[44] Kata budi memiliki makna “(1) alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk; (2) tabiat; akhlak; watak; (3) perbuatan baik; kebaikan; (4) daya upaya; ikhtiar; (5) akal (dalam arti kecerdikan menipu atau tipu daya)”.[45] Sementara itu, berakal dipahami sebagai “(1) mempunyai akal; (2) pandai mencari ikhtiar; cerdik; pandai”.[46] Sedangkan, berbudi dimaknai sebagai “(1) mempunyai budi; (2) mempunyai kebijaksanaan; berakal; (3) berkelakuan baik; (4) murah hati; baik hati”.[47]
Sementara itu, dalam asal-usul serapannya, kata “manu” dalam bahasa Sanskerta secara sederhana berarti berpikir atau berakal budi. Sedangkan dalam bahasa Jawa, kata “menusa” dapat diturunkan dari konsep “menus-menus sing gawe dosa” atau makhluk yang berbuat dosa. Sementara dalam turunan kata Arabnya, kata “man” berarti siapa atau suatu pihak, sedangkan “ūṣiya” memiliki akar kata yang sama dengan kata “waṣā” atau “awṣā” yang terkait dengan konsep wasiat, pesan, atau amanah.[48] Hal itu sebagaimana frasa “wa waṣṣā bihā Ibrāhīmu banīhi wa Ya’qūb” (Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anaknya, dan demikian pula Yaqub).[49] Dengan begitu, kata “ūṣiya” berarti orang yang diberikan wasiat/amanah. Dengan demikian, gabungan kata “man ūṣiya” dapat dimaknai sebagai pihak atau orang yang diberikan suatu wasiat atau amanah, yang dalam konteks ini adalah, untuk mengelola bumi.
Dengan demikian, arti manusia dapat dielaborasikan sebagai makhluk yang memiliki akal dan budi, yang digunakannya untuk memahami sesuatu (termasuk lingkungan sekitar), mencari jalan atau cara melakukan sesuatu, mengakali suatu kesulitan, menimbang baik dan buruk serta benar dan salah, mengupayakan suatu ikhtiar, dan mewujudkan perbuatan, akhlak, serta kelakuan baik, yang di antaranya diilhami oleh kebijaksanaan dan kemurahan hati, untuk menjalankan wasiat atau amanah yang dipikulnya sebagai pengelola bumi – yang dalam bahasa Islam disebut sebagai khalifah di bumi (khalīfah fil-arḍ) – sehingga menimbulkan manfaat yang luas dan meminimalkan mudarat yang dihasilkan, yang – di sisi lain – penggunaan akal-pikiran dan budi itu haruslah dilakukan secara hati-hati menurut suatu ketentuan dengan pokok-pokok yang abadi, karena manusia itu sendiri memiliki peluang atau kemungkinan untuk terjerumus dalam kesalahan, keburukan, atau kegagalan serta penyimpangan dari wasiat atau amanahnya itu, lantaran dia memiliki kecenderungan untuk melakukan dosa di dalam dirinya, yakni yang timbul dari hawa nafsunya dan godaan yang dinamik sepanjang zaman, yang mendorongnya berbuat maksiat.
Kata adil dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai “(1) sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; (2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; (3) sepatutnya; tidak sewenang-wenang”.[50] Kata adil menurut asal katanya bertalian dengan kata kerja bahasa Arab “ ʿadala” yang berarti bertindak secara proporsional, bertindak dengan benar, dan bertindak sesuai kadar menurut suatu penghakiman atau pertimbangan, seperti pada frasa “ ʿadala ʿalayhi fi-l-qaṣiyyah”. Kata tersebut juga terkait dengan “ ʿadila” yang berarti suatu sikap atau tindakan menolak, memantulkan, menyimpang, atau menjauh dari sesuatu. Hal itu seperti pada frasa “bal hum qawm taʿdilūn” (akan tetapi mereka adalah orang-orang yang menolak atau menjauh) dan “ ʿadala ʿan-i-ṭ-ṭarīq” (dia menyimpang dari jalan itu). Kata ini juga terkait dengan konsep kembali, seperti pada frasa “ ʿadala ilayhi” (dia kembali padanya). Selain itu, kata tersebut juga berhubungan dengan konsep membagi sesuatu secara sama atau menurut kadar yang tepat, seperti dalam frasa “ ʿadaltu amtiʿata l-bayt” (aku membagi barang-barang rumah ke dalam takaran yang sama/tepat).[51]
Pembagian takaran yang “sama” di sini tidaklah selalu berarti sama secara kuantitas, tetapi lebih kepada ketepatan, nilai, kondisi intrinsik, kebenaran, dan utilitas, sehingga bagian yang secara kuantitas lebih kecil, dapat memiliki kadar yang sama berat dengan bagian yang secara kuantitas lebih besar. Hal itu seperti pada frasa “ ʿaddala l-qassām l-anṣibāi li-l-qasmi bayna sy-syurakāi”. Dengan begitu, penentuan adil dilakukan menurut timbangan (al-wazn) dan kadar (al-qadr) tertentu, bukan dipukul sama rata. Adil juga bermakna bulat, penuh, atau integral, seperti pada frasa “ ʿsyariba ḥatta ʿaddala” (ia minum sampai menjadi penuh). Adil juga bermakna kondisi yang sulit atau berat di antara dua hal atau dua pilihan, seperti pada frasa “ ʿādaltu bayna amrayni ayyuhumā”. Adil dalam bentuk “taʿaddala” berarti menjadi lurus atau tegak pada suatu posisi yang tepat (taqawwama). Dengan begitu, “iʿtidal” atau “iʿtadal” selain bermakna menjadi benar atau lurus, juga bisa bermakna berdiri tegak.[52]
Sementara itu, kata “ ʿadl” sendiri bermakna “qaṣd” yang berarti “iʿtidāl”, yaitu moderat, berada di tengah, sedang, lurus, tegak, atau langsung (makān ʿadl bayna farīqayn); “qisṭ” yang berarti suatu kondisi berimbang dari bagian-bagian; “sawiyyah” yang berarti persamaan; dan “istiqāmah” yang berarti tegak lurus menetapi suatu posisi. Suatu pemberian yang adil dikatakan sebagai pemberian yang terukur (aʿṭāhu bi-l-ʿadl). Sedangkan orang yang “ ʿādil” adalah orang yang memiliki keadilan dalam dirinya (dzū ʿadl), yaitu orang dengan perkataan, penilaian, pertimbangan, penghakiman, keputusan, dan perbuatan yang lurus dalam kebenaran, yang tidak ada keraguan, kecurigaan, dan kejahatan di dalamnya. Sikap adil dengan begitu ialah sikap yang menyeimbangkan sesuatu agar berada pada jalur lurus yang benar, tidak terguling seperti beban di punggung unta yang setimbang (waqaʿa l-muṣṭariʿāni ʿidlā baʿīr).[53]
Berdasarkan seluruh uraian tersebut, seorang yang adil dapat dielaborasikan sebagai orang yang memiliki perkataan, pikiran, dan perbuatan yang lurus dalam kebenaran dengan menentukan kadar dan pertimbangan yang seimbang, proporsional, dan tepat pada tempatnya; dan jika ia berada dalam posisi untuk menghakimi, mengevaluasi, mengambil keputusan, mengaudit, dan pelbagai kegiatan terkait lainnya, ia akan mengambil posisi di tengah, moderat, dan sedang, sehingga senantiasa berupaya memihak dan tegak pada kebenaran dan tidak mudah terseret arus yang mengombang-ambingkannya pada jalan-jalan yang tidak lurus.
Kata adab dalam bahasa Indonesia berarti “kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak”. Seseorang yang beradab dimaknai sebagai seseorang yang “(1) mempunyai adab; mempunyai budi bahasa yang baik; berlaku sopan; (2) telah maju tingkat kehidupan lahir batinnya”.[54] Sementara menurut asal kata serapannya, adab berkaitan dengan kata kerja bahasa Arab “adaba” yang berarti mengundang seseorang ke dalam perjamuan (adaba ila ṭaʿāmih). Dalam perjamuan itulah, sesuatu yang baik dihidangkan untuk menghormati tamu (adabahu ya’dibahu bi-l-kasr idzā daʿāhu ila ṭaʿāmih). Dengan demikian, adab itu berkaitan dengan “ta’dīb”, yaitu suatu disiplin pikiran dan perilaku, kehalusan bahasa, kemuliaan akhlak, serta akuisisi kualitas dan atribut-baik dalam akal dan jiwa, seperti saat menghormati tamu dalam suatu perjamuan, yang memperlihatkan karakteristik terdidik, terpelajar, terlatih, tertata, teratur, patuh, mengerti, sopan, dan penuh dengan kecermatan serta kehati-hatian langkah (ta’addab). Jika disandingkan dengan kata negeri (dan konsep komunitas, wilayah, organisasional, atau otoritas lain), seperti pada frasa “ādaba l-bilād”, kata kerja “adaba” menjadi bermakna memenuhi suatu negeri dengan keadilan dan kebenaran.[55]
Karena kata kerja “adaba” dan bentuk proses “ta’dīb” itu dikaitkan dengan suatu disiplin pikiran, maka adab berhubungan dengan aspek keilmuan (ʿilm), ibarat (ʿibrah), atau pengetahuan (maʿrifah), yang mana semua itu ialah yang menghindarkan diri seseorang dari segala bentuk kesalahan. Hal itu untuk memenuhi unsur keteraturan, kepatuhan, dan sejenisnya, yang ada dalam “ta’dīb” itu. Dengan demikian, adab dapat dikatakan sebagai sifat-diri yang melindungi pemiliknya dari keburukan, di mana sifat-diri itu terbentuk oleh suatu proses akuisisi keilmuan, baik melalui pengajaran, pelatihan, pendidikan, pengaturan, dan lain-lain. Dengan begitu, adab berkaitan dengan suatu kultur pembelajaran atau literasi yang berbudaya/berbudi luhur. Pembelajaran, ilmu, dan pengetahuan yang sejati hanyalah yang dapat membuat seseorang menjadi beradab. Semua bentuk keilmuan yang membuat manusia menyimpang dari kebenaran adab bukanlah ilmu sejati. Dengan kata lain, adab dapat dianggap juga sebagai tujuan pedagogi.
Selain itu, bentuk kata kerja “adaba” bila dikaitkan dengan entitas wilayah, otoritas, organisasional, dan sejenisnya, diartikan sebagai perbuatan memenuhi sesuatu dengan keadilan dan kebenaran. Dengan begitu, adab juga berkaitan dengan suatu sikap dan etika profesional dalam mengemban suatu pekerjaan atau tanggung jawab, dalam rangka menjaga pelaksanaan tanggung jawabnya itu secara lurus, benar, dan berkeadilan. Sikap dan etika profesional itu tentunya timbul dari unsur-unsur yang ada sebelumnya, yaitu disiplin pikiran dan perilaku, kemuliaan akhlak, ilmu pengetahuan, pengalaman pembelajaran dan pelatihan, dan berbagai hal terkait yang telah disebutkan, yang semuanya bermuara pada pembiasaan diri untuk menetapi segala hal yang menjadi karakteristik keluhuran taraf hidup manusia. Dengan demikian, adab bukanlah sekadar sopan-santun sebagaimana yang jamak dipahami, melainkan sesuatu yang lebih kompleks.
Untuk menangkap gambaran utuhnya secara sederhana, adab dapat diinterpretasikan sebagai suatu disiplin jiwa, pikiran, dan badan yang memastikan seorang manusia mengenali dan menyikapi sesuatu dengan benar (proporsional dan pada tempatnya). Dengan begitu, adab secara sederhana dapat diuraikan ke dalam berbagai bagian, seperti adab kepada Tuhan, adab kepada nabi, adab kepada guru, adab kepada orang tua, adab kepada alam, dan lain-lain. Manusia yang beradab adalah manusia yang mampu membedakan setiap entitas tersebut dan memberikan hak yang sesuai pada masing-masingnya, yang menjadi kewajiban yang ditanggung oleh orang tersebut. Seseorang yang ramah dan sopan pada tetangganya tidak dapat disebut beradab jika melakukan eksploitasi yang merusak alam (biadab pada alam). Seseorang yang menghormati orang tuanya tidak dapat disebut beradab jika tidak menghargai gurunya. Demikian juga seseorang yang baik pada manusia tidak dapat disebut beradab jika ia tidak menempatkan otoritas Tuhan, nabi, dan ulama pada tempat yang semestinya.[56]
Dari sini, kita dapat melihat kaitan yang erat antara adab dengan ilmu dan proses pembelajaran (termasuk pembiasaan dan pelatihan). Seseorang yang mendapatkan pengetahuan yang parsial dan dualis, tidak akan dapat mencapai kebenaran ilmu yang sejati. Itu karena proses berpikir dan membuat-penilaian seseorang yang demikian akan menjadi paradoksal, penuh pertentangan dan inkonsistensi. Hal itu seperti orang yang mengatakan, “Walaupun saya seorang pelacur atau LGBT, saya orang yang baik secara sosial,” atau perkataan, “Walaupun saya sering berbohong, saya pemimpin yang baik dan merakyat.” Pemikiran dualis yang paradoksal itu pada akhirnya akan menghasilkan kerusakan-kerusakan, karena standar kebenaran tidak lagi integral, sehingga manusia tidak lagi menjadi beradab secara utuh. Hal itu membawa indikasi bahwa segala pemikiran, sikap, perilaku, dan perbuatan yang benar adalah adab; dan ia berasal dari pengambilan keputusan yang tepat, yang disebut sebagai hikmah; pengambilan keputusan yang tepat itu berakar dari pengetahuan yang benar, yang disebut sebagai “al-ʿilm”, yang umumnya diterjemahkan sebagai ilmu saja, yang lengkapnya ialah ilmu yang benar dan sejati.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa segala kerusakan yang terjadi berkaitan dengan ulah tangan manusia, seperti kemiskinan sistemis, kerusakan alam, pemanasan global, penyakit seks menular, ketimpangan ekonomi berlebihan, terputusnya pewarisan demografi, rusaknya peran institusi keluarga, dan lain-lain, sejatinya berakar pada satu titik yang sama, yaitu hilangnya adab. Hilangnya adab itu berasal dari kebingungan dalam pengambilan sikap atau keputusan, yang berarti ketiadaan hikmah. Ketiadaan hikmah itu berawal dari ketiadaan ilmu. Bukan berarti bahwa ketiadaan ilmu itu sama dengan tidak majunya sains dan teknologi. Ilmu di sini ialah ilmu sejati, suatu pengetahuan yang membuat manusia dapat mengatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Tidak semua sains (sosial maupun natural) dan teknologi adalah ilmu yang benar dan sejati. Sains dan teknologi itu secara inheren memiliki kandungan kebaikan dan keburukan di dalamnya, yang harus bisa dipilah oleh manusia menggunakan hikmah yang dia miliki. Namun, dunia pos-modern tempat manusia hidup saat ini, boleh dibilang merupakan dunia dengan kemajuan sains, tapi miskin hikmah ilmu.[57]
Tibalah saatnya kita harus merangkai segenap konsep pokok sila kedua ini. Berdasarkan uraian sebelumnya, kita dapat menangkap bahwa konsep manusia, adil, dan adab ialah saling bertalian. Seluruhnya berujung pada upaya manusia untuk menjalankan wasiat perannya secara lurus, baik, dan benar, sehingga maujudlah kehidupan yang beradab; yang mana, ikhtiar yang lurus, baik, dan benar itu tumbuh dari suatu hikmah dalam mengenali, meletakkan, dan menyikapi segala sesuatu secara adil, yakni proporsional, berimbang, tepat, moderat, sedang, di tengah, dan pada tempat yang seharusnya, sehingga pertimbangan mengenai baik-buruk dan benar-salah bisa berjalan dengan semestinya; yang mana hikmah itu lahir dari disiplin dan keteraturan dalam sikap jiwa, akal-budi, dan badan-lahir manusia, yang dicerminkan lewat pikiran, perkataan, dan perbuatan; yang mana masukan pada jiwa, akal, dan badan itu ialah ilmu, pelatihan, dan pembelajaran yang benar, yang hak dan sejati.
Namun, benarkah penafsiran yang demikian itu? Apatah dunia pos-modern tempat kita hidup ini senantiasa diperikan dengan kebebasan, persamaan, dan sikap mempertanyakan kebenaran yang ikonoklastik? Bukankah dengan demikian, semangat dunia pos-modern ini akan bertentangan dengan konsep manusia yang teratur dan disiplin dalam pertimbangannya akan baik-buruk dan benar-salah menurut tata nilai tertentu dalam penafsiran tersebut? Bukankah humanisme pos-modern itu menengahkan manusia sebagai standar segala sesuatu, sehingga segenap pokok nilai adabi dan keadilan dapat dengan mudah bergeser oleh keinginan diri manusia itu? Bukankah dulu LGBT dianggap sebagai penyimpangan tidak beradab, tapi lalu mengali legalisasi di berbagai dunia Barat? Bukankah status mariyuana bisa berubah-ubah dalam penentuan undang-undang di berbagai negara demokrasi? Apatah semangat dunia neo-liberal ini membuat semua pokok nilai menjadi rancu dan volatil? Tepatkah kerangka tafsir yang diuraikan tadi dalam kecenderungan manusia dunia pos-modern yang demikian?
Jawabannya dapatlah kita sarikan jika kita menghubungkan sila kedua itu dengan empat sila lainnya. Demikianlah seharusnya kita memahami Pancasila itu bukan sebagai sila-sila yang masing-masing memiliki nilai yang berdiri sendiri, karena jika demikian, kita akan menghadapi suatu kebingungan dan dapat pula menemui pertentangan-pertentangan antar-nilainya, terutama jika falsafah pandang kita dalam menafsirkan satu sila berbeda dengan sila lain. Misalnya, jika kita memahami sila kedua ini sebagai humanisme, tentu akan bertentangan dengan sila pertama dan mungkin pula sila ketiga. Hal itu karena natur dari humanisme demikian mendamba kesentralan manusia sebagai standar dari seluruh nilai, sehingga nilai-nilai Ketuhanan atau agama pada sila pertama akan dengan mudah ditabrak sesuka hati. Demikian pula, humanisme itu amat mementingkan “kesejahteraan dan kebahagiaan” manusia di atas segalanya, yang diejawantahkan dalam segala hal materialistis dan hedonis – makan-minum, membeli barang-barang, dan semua kesenangan duniawi manusia yang egois dan tidak menginginkan pengorbanan – yang sedikit-banyak akan membuat nilai-nilai sila ketiga (jika dipandang sebagai nasionalisme) menjadi tidak relevan, karena hak negara telah dipandang kalah dari hak manusia.
Demikianlah seyogyanya segenap butir Pancasila itu dipandang sebagai satu kesatuan yang jalin-menjalin, yang utuh-bertahap dalam perwujudan konseptualnya, mulai dari falsafah paling dasar yang mengilhami konsep manusia idealnya, jalan dan metode pengaturan yang mesti diwujudkan para manusia itu, hingga mencapai sebagian dari tujuan berbangsa-bernegara yang riil untuk dicapai. Anggapan ini ialah dalam susunan artian bahwa, sila kedua yang kita bahas sebelumnya merupakan konsepsi manusia ideal yang mesti diwujudkan dalam penyelenggaraan negara ini; yang mana konsepsi manusia ideal itu dijiwai, diilhami, dan didasari oleh nilai-nilai Ketuhanan yang terdapat pada sila pertama, yang hubungan keduanya secara natural tiada dapat dipisahkan (akan dibahas di pasal selanjutnya); yang dengan terwujudnya konsepsi manusia ideal itu, diharapkan dapat membangun dan menjalankan suatu metode dalam menjalani urusan hidup bersama, yang dijalankan melalui satu entitas dalam wadah persatuan, yang diatur menggunakan asas permusyawaratan/perwakilan; yang mana itu semua digunakan untuk mewujudkan keadilan sosial rakyat sebagai material-i-sasi atau perwujudan-riil dari sebagian tujuan hidup berbangsa-bernegara itu. Secara sederhana, sila pertama menjiwai upaya perwujudan sila kedua; yang dengan terwujudnya sila kedua itu, metode yang ada pada sila ketiga dan sila keempat dapat dijalankan secara maksimal untuk mewujudkan sila kelima, sebagai salah satu tujuan akhir hidup berbangsa-bernegara.

Sila Pertama sebagai Fondasi Seluruh Sila Lain
Demikianlah pembahasan selanjutnya dibangun atas dasar anggapan bahwa kelima sila itu ikat-mengikat dalam satu kesatuan dan bahwa sila pertama ialah sumber yang menjiwai dan menjadi titik pangkal seluruh sila yang lain. Anggapan ini bukanlah tanpa dasar, ialah dikarenakan makna adab yang terdapat jua pada sila kedua yang telah dibahas. Dalam pengertian adab pada uraian sebelumnya, telah teranglah dibahas bahwa adab tiada lain ialah berkaitan dengan suatu disiplin jiwa, akal-pikiran, dan badan-lahir manusia untuk mengenali dan menyikapi segala sesuatu secara tepat, benar, proporsional, dan pada tempatnya, sehingga timbullah dari dirinya suatu keteraturan untuk senantiasa menetapi jalan yang lurus-benar, dengan sikap-perilaku yang berkeadilan terhadap setiap realitas yang didapati dan dirasainya dalam hidup; sehingga terwujudlah dengannya suatu taraf peri-kehidupan yang luhur secara lahir dan batin.
Dengan demikian, pengertian adab yang seperti itu haruslah berakar pada suatu kesadaran diri manusia untuk memahami segala realitas hidup hanya sebagai suatu kesatuan kosmos yang berasal dari Tuhan, dikuasai oleh-Nya, dan pada akhirnya akan kembali jua pada-Nya; suatu perasaan bahwa ia bukanlah siapa-siapa dalam bentang luas jagat ini, tiada peduli pada segala kuasa, harta, kepintaran, dan berupa-rupa kemampuan yang ia miliki, pada hakikatnya semua ialah milik-Nya; suatu pengertian bahwa keberadaan, pemeliharaan, dan keberlangsungan dirinya ialah anugerah-kebaikan dari Tuhan, sehingga menimbulkan pemahaman dalam diri manusia itu bahwa ia berhutang-kebaikan pada-Nya, dan dengan demikian, berimplikasi pada sikap hidup yang penuh penyerahan-diri pada aturan-aturan dan ketetapan dari-Nya, termasuk dalam menentukan standar kebenaran dan kebaikan serta arah hidup. Pemahaman yang demikian itu ialah yang menjadi bangunan dasar konsep dalam istilah “ad-dīn”, yang secara sederhana, sering hanya diterjemahkan sebagai agama. Pada langkah selanjutnya, hendaklah kita terangkan bagaimana jalan adab itu bersumber dari “din”.
Paham yang terkandung dalam istilah “din”, yang pada umumnya biasa dipahami serta diartikan sebagai agama belaka, sesungguhnya tiadalah sama makna serta maksudnya dengan paham “agama” atau “religion” seperti ditafsirkan dan dipahami dalam sejarah keagamaan Barat, atau lain-lain agama yang bukan Islam. Namun, mengapakah Islam itu digunakan sebagai kerangkan pandang saat ini? Jawabannya akan diterangkan kemudian, di antaranya terkait dengan aspek historis Pancasila serta kedudukan adab sebagai konsep yang inheren dalam Islam; tapi pada langkah ini, kita terlebih dahulu mengkaji agama itu dalam kerangka konsep din. Maka, apabila kita mengatakan perihal Islam dan merujuk kepadanya serta menggelarinya sebagai suatu “agama”, justru sesungguhnya kita memaksudkan serta memahami makna “agama” itu dengan makna dan maksud istilah “din”, termasuk segala kandungan makna yang terdapat dalam istilah itu menurut rencana serta keistimewaan bahasa Arab. Ini dikarenakan apa yang disebut dalam perkataan kita sebagai “agama Islam” itu, sejatinya ialah penyempitan makna dari keseluruhan konsep dasarnya, yang aslinya tersebut sebagai “dīn al-Islām”, yang dalam serapan kamus bahasa Indonesia, dipadankan dengan “din Islam”.
Segala kandungan makna yang terdapat di dalam istilah din itu merupakan bibit-bibit atau dasar-dasar makna yang semuanya meramukan dengan seksama dan sempurnanya, segala arti yang terkandung di dalamnya masing-masing; dan segala bibit-makna atau makna-dasar itu, secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan paham yang padat-mendalam serta jelas pengertiannya, sebagaimana terbayang dalam Kitab Suci Quran dan bahasa Arab yang dimilikinya. Perkataan din berasal dari akar-kata Arab “DYN” (dal – ya – nun), yang mengandung banyak makna-dasar yang semuanya bersangkut-paut paham kandungannya masing-masing, sehingga jelas menayangkan suatu gambaran pengertian yang meliputi semua kemungkinan pengertian yang terkandung di dalamnya. Dan kandungan pengertian yang memerikan maksud paham din, yang menyeluruhi semua makna-dasar yang terdapat di dalamnya itu, mencerminkan “agama Islam” dengan sepenuh-lengkapnya; ialah bahwa “agama Islam” itulah yang merencanakan dengan sempurnanya segala kemungkinan pemahaman yang terkandung dalam makna dan maksud istilah din.
Kadang-kadang, antara pelbagai makna-dasar istilah din itu, seolah-olah berlaku perselisihan makna; berlaku makna yang masing-masing saling berlawanan arti dan maksudnya. Namun begitu, kenyataan yang berdasar hanya kepada pandangan sepintas-lalu ini, tiada harus pula mendatangkan kekeliruan dalam memahaminya. Justru karena arti dan maksud din itu adalah suatu paham Islam yang ditafsirkan dan dihidupkan dalam pengalaman hidup insan, maka itulah kenyataan terdapatnya makna-makna-dasar yang seolah-olah saling berlawanan arti dan maksudnya satu sama lain itu, sesungguhnya hanyalah membayangkan hakikat yang nyata terperi pada diri insan sebagai sifat insani jua. Demikian karena insan itu rohani, tapi juga jasmani; insan itu berakal, tapi juga hewani (ḥayawāni); insan itu baik, tapi juga jahat; insan itu berilmu, tapi juga jahil; dan seterusnya. Dan kenyataan hakikat ini, semuanya mengikrarkan dengan tegasnya betapa sangat istilah din itu, layak menayangkan suatu pemahaman asasi dengan jelas serta benar memerikan hakikat serta pengalaman lahir dan batin diri insani secara tepat, tiada bercampur yang samar. Dan daya istilah din itu demikian hingga dapat menangkap serta membayangkan arti pengalaman insan yang merupakan dasar dan puncak hidupnya inilah yang membuktikan kejernihannya bagi mencerminkan kebenaran.
Pelbagai makna-dasar istilah din itu dapatlah dirumuskan kepada lima makna yang mengandung maksud yang merujuk kepada: (1) keadaan berhutang; (2) keadaan taat atau takluk menyerahkan diri; (3) kuasa dan daya untuk mengatur; otoritas untuk menghukum, membalas, memberi penilaian, memberi ganjaran, memberi perhitungan, dan memberi pertimbangan; (4) bawaan kecenderungan yang ada pada diri insan atau kebiasaan yang menjadi adat-resam; dan (5) akidah, jalan, atau syariat yang diikuti oleh seseorang. Dalam kenyataan yang berikut, akan saya bentangkan suatu penjelasan yang ringkas tetapi tepat dan padat, yang akan menayangkan maksud terakhir istilah din itu, yaitu maksud yang membawa makna serta pengertian yang merangkumi keimanan, kepercayaan, amalan, ajaran, dan anutan yang dihidupkan oleh kaum Muslim, baik pun secara sendirian maupun berkumpul-gabung sebagai kaum dan umat, dan yang menjelmakan hakikatnya sebagai agama yang digelari Islam.[58]
Kata kerja dāna, yang terbentuk dari akar kata din, mengandung makna keadaan berhutang dan makna-makna lain yang terkait dengan hutang-piutang. Seseorang yang berhutang, dā’in, haruslah bersedia menaklukkan atau menyerahkan dirinya kepada kehendak dan perintah hukum serta undang-undang mengenai hutang piutang. Orang itu juga harus menerima syarat-syarat yang dikenakan kepadanya oleh pemberi hutang, dā’in. Akibatnya, orang yang berhutang itu telah mengikat dirinya dalam suatu perjanjian dan tugas atau kewajiban untuk membayar balik atau mengembalikan hutangnya. Keadaan terikat hutang tersebut dinamakan dayn.[59]
Dalam keadaan berhutang serta terikat perjanjian tersebut menimbulkan kaitan dengan perkara hukum, pertimbangan, atau penilaian terhadap sesuatu demi mencapai keputusan yang wajar (daynūnah) dan dengan itu semua, mengikut mana yang berkenaan padanya (idānah). Keadaan tersebut akan berlaku dalam susunan tata tertib serta peraturan kehidupan  insan yang bermasyarakat, yang hidup berlandaskan kegiatan perniagaan dan perdagangan dalam kota-kota atau bandar-bandar, yang dinamakan dengan kata majemuk: mudun atau madā’in.[60]
Bentuk tunggal dari kota atau bandar itu dinamakan madīnah. Di dalamnya, terdapat kuasa atau otoritas yang menjalankan kerja menjatuhkan hukuman, memberi pertimbangan dan penilaian, menetapkan kuasa pemerintahan, dan seterusnya, yang semuanya terangkum dalam makna istilah dayyān. Semua itu memiliki akar kata yang sama dengan kata din, yang secara sederhana sering diterjemahkan hanya sebagai agama, padahal secara lebih lengkap dapat dianggap sebagai suatu tatanan kehidupan adabi dengan tata susila yang luhur untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur dan tertib dalam kawalan hukum dan undang-undang serta kuasa keadilan dan hikmat kewibawaan.[61]
Istilah madīnah atau kota itu sendiri berkaitan erat dengan pembangunan karena kota diwujudkan melalui pembangunan. Kegiatan membina, membangun, mendirikan bandar-bandar, menaikkan ke taraf yang beradab, menghaluskan budi pekerti, menimbulkan sifat insani, dan menjadikan manusia lebih berperikemanusiaan terangkum dalam istilah maddana, yang dengan demikian tidak hanya mencakup pembangunan fisik. Kata kerja maddana tersebutlah yang membentuk istilah tamadun.[62]
Kata tamadun dapat diartikan sebagai keadaan kehidupan insan yang bermasyarakat yang telah mencapai taraf kehalusan tata susila dan kebudayaan yang luhur bagi seluruh masyarakatnya. Dengan begitu, kata tamadun dapat dimaknai sebagai peradaban, yang juga berarti negeri berlandaskan kebudayaan, kebudayaan berlandaskan negeri, atau suatu tempat yang dibangun atas dasar din.[63] Keseluruhan istilah tersebut memiliki akar yang sama dengan istilah din, sehingga peradaban memang terkait dengan din, di mana din Islam menjadi dasar tegaknya suatu tamadun atau peradaban masyarakat yang madani.
Apabila kita bayangkan saja dalam renungan-pandang-akal perihal gambaran suatu keadaan yang menayangkan berlakunya hukum dan undang-undang serta keadilan dan kewibawaan, dan suasana adab serta tata-susila luhur masyarakat dan tamadun – yang semuanya ini terkandung sebagai rumusan yang jernih dalam paham din seperti yang telah diringkaskan di atas – maka sudah barang tentulah harus tampak pula suatu keadaan diri insani tertentu yang wajib ada sebelumnya. Yakni, harus ada terlebih dahulu suatu gaya dan cara berkelakuan pada diri insan, suatu perangai, yang selari, seia, sebati dengan apa yang dibayangkan olehnya pada dirinya sehingga terbayang pula pada hukum dan undang-undang, keadilan dan kewibawaan, suasana adab serta tata-susila-luhur masyarakat, dan tamadun serta kehalusan budi-pekerti.
Harus ada terlebih dahulu perangai, cara-gaya berkelakuan, atau keadaan hidup serta kejadian diri: suatu tabiat yang sesuai dengan apa yang dijelmakan olehnya sebagai keadaan hidup lahiriahnya, sehingga keadaan hidup lahir yang tampak itu mencerminkan sesuatu yang sudah teradat, sudah jadi pada diri, sudah menjadi adat-resam diri insani, sudah membayangkan tabiatnya. Maka, dari kenyataan hakikat inilah, kita dapat memahami keterkaitan yang benar-benar munasabah yang menimbulkan dari kandungan paham din itu, makna-dasar yang keempat tersebut: bawaan kecenderungan yang sedia ada pada diri insan, yang sudah menjadi kebiasaan baginya, yang sudah menjadi adat-resamnya sehingga dapat digelari sebagai perangainya yang sebenarnya, sebagai tabiatnya.
Perangai dan tabiat asas insani yang sudah menjadi adat-resam ini, tiada lain adalah kecenderungan asasi diri insan untuk memenuhi suatu disiplin-keteraturan dalam sikap jiwa, akal-pikiran, dan badan-lahir tertentu, yang akan membawanya menuju kehidupan dengan taraf adabi yang luhur, suatu tamadun yang madani. Perangai, tabiat, dan adat-resam yang mengasas dalam diri insan itulah yang biasa kita namakan sebagai fitrah manusia, suatu kecenderungan asasi-alami yang sesuai dengan jati-dirinya yang suci dan luhur. Dengan begitu, segala tata-aturan dan keilmuan yang sejati ialah yang menuntun manusia untuk menetapi fitrahnya itu, yakni dengan menetapi petunjuk dari nilai-nilai din, yang padanya itu terdapat tuntunan dari Sang Dayyan, yang menjadi asal keberadaan dan keberlangsungan manusia itu.
Segala penyimpangan dari din adalah penyelewengan manusia terhadap tuntunan kesejatian yang memurnikan fitrahnya itu, sehingga kondisi yang menjadi prasyarat terbentuknya diri yang beradab tiada lagi terbentuk. Degan demikian, peradaban yang terbentuk dari diri yang berlepas dari tuntunan din itu ialah peradaban yang tiada lagi madani, yang akan membawa manusia itu kepada kerusakan akibat kebingungan dan kesalahan penentuan standar, penilaian, dan pertimbangan. Peradaban yang tiada lagi madani itu ialah peradaban berdasar nalar-akal dan hasrat-nafsu manusia belaka, tanpa tuntunan kebaikan dan kebenaran abadi, dengan nilai-nilai fundamen yang mudah bergeser dalam bentang dinamika zaman. Peradaban seperti itu pula, sungguh pun ia mampu menghadirkan kesejahteraan dan kebahagiaan, hanyalah kesejahteraan dan kebahagiaan parsial belaka: kaya tapi gampang bunuh diri, makmur tapi tingkat stres tinggi, berkuasa tapi zalim, dan seterusnya.
Pada takat ini, telah diuraikanlah kelima makna kata din yang disebutkan sebelumnya, dan bagaimana ia bertalian-erat dengan konsep adab. Hal itu karena din itu sendiri ialah suatu kesadaran dalam diri manusia bahwa ia berhutang kepada Allah, Sang Dayyan, yang telah memberikannya kehidupan serta menjaga keberlangsungan hidupnya; yang dengan kesadaran itu, menumbuhkan suatu tanggung jawab untuk membayar-balik hutangnya, dalam jalan menyerahkan-diri atau tunduk pada segenap otoritas, penilaian, pertimbangan, dan tuntunan Tuhan, yang jika diejawantahkan secara konsekuen, akan mewujudkan suatu pribadi yang berkomitmen penuh terhadap keseluruhan tata-aturan itu, sehingga ia akan hidup memenuhi kecenderungan fitrahnya yang luhur, baik secara sendirian maupun sebagai umat; yang dengan demikian, pada akhirnya akan mewujudkan tata masyarakat yang madani, suatu peradaban yang dibangun atas dasar din, suatu tamadun, suatu tata kehidupan adabi dengan tata-susila yang luhur dengan kehidupan masyarakat yang teratur dalam kawalan hukum dan undang-undang serta kuasa keadilan dan hikmat kewibawaan.
Demikianlah konsep adab dan din berjalin-rekat. Tampak nyata pula bahwa din itu mengilhami dan menjiwai konsep adab sebagai perwujudan ideal manusia yang mengemban wasiat/tugas/amanah din itu. Konsep din inilah yang ada pada sila pertama, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa” ialah suatu inti pokok dari risalah din itu. Dengan demikian, dapat diterangkanlah bagaimana sila pertama itu menjadi dasar dari sila kedua. Namun, ini baru menjawab pertanyaan soal hubungan antara adab dengan din, atau sila kedua dengan sila pertama. Pertanyaan mengenai kenapa kerangka pandang din ini, yaitu kerangka pandang yang bersesuaian dengan falsafah hidup Islam, digunakan dalam tinjauan adab belum dijawab. Memanglah kerangka din ini cocok digunakan dalam penyelidikan hubungannya dengan adab, tapi apakah kerangka din ini secara langsung dan inheren merupakan kerangka pandang Islam, dan tepatkah ia diterapkan pada sila pertama?
Sekarang, makna din itu dapat dihubungkan secara erat dengan makna Islam. Islam memiliki sejumlah lingkup makna: (1) berserah diri, terkait dengan aslama, istaslama, dan istislam; (2) mengakui, menyerahkan kuasa, dan menerima sesuatu, terkait dengan sallama, yusallimu, taslīm; (3) damai, sejahtera, stabilitas, keselamatan, dan harmoni, terkait dengan silm dan salām; (4) berada dalam kondisi yang baik, tidak rusak, tidak cacat, menjadi benar, lurus, penuh, lengkap, dan integral, terkait dengan salīm; (5) menyelamatkan, memperbaiki, menyatukan, dan merekonsiliasi, terkait dengan sallama dan sālama; dan (6) tangga, sesuatu yang bertingkat, terkait dengan sullam.[64]
Dengan demikian, makna Islam dapat dituangkan sebagai suatu bentuk penyerahan diri dan pengakuan serta penerimaan terhadap otoritas Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada memiliki sekutu dan berhala perantara, tiada memiliki anak, tiada menjadi anak, dan tiada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, sebagai satu-satunya Ilahi pemilik otoritas hakiki, dalam mengatur kehidupan seseorang, sehingga hidupnya dapat diarahkan kepada jalan yang lurus, dengan kebaikan dan keadilan yang sempurna dan integral, yang diupayakannya secara bertingkat sesuai kemampuan, agar manusia itu dapat mencapai keselamatan dan kesejahteraan pribadi, serta perbaikan masyarakat dan lingkungan.
Cocoklah makna Islam yang demikian itu dihubungkan dengan makna din yang telah dibahas sebelumnya, dengan pokoknya berjalin pada pengakuan atau penyerahan diri kepada otoritas Allah. Itu karena dalam din Islam, keberadaan manusia di dunia ini merupakan suatu karunia Allah, berikut juga segenap kondisi yang memelihara kehidupan manusia itu, seperti jasad, makanan, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain. Dengan demikian, manusia itu dipandang berhutang kebaikan kepada Allah, yang disebut sebagai ad-Dayyān, Sang Pemberi Hutang.[65]
Namun, karena manusia tidak memiliki dan menguasai apa pun, fakir di hadapan Allah Yang Maha Kaya, ia tidak punya pilihan untuk membayar hutang itu selain dengan menyerahkan dirinya kepada Allah. Dengan menyerahkan diri pada Allah, manusia mengakui otoritas Allah atas dirinya, sehingga hidupnya, matinya, ibadahnya, dan segala sesuatu yang ia lakukan diperuntukkan bagi Allah.[66] Dengan begitu, hidupnya pun diupayakannya agar senantiasa berada dalam tuntunan dan ketentuan Allah, menerima standar-Nya tentang kebaikan dan keburukan, serta memperjuangkan cita-cita yang sesuai dengan jalan-Nya.
Segenap tuntunan, ketentuan, dan jalan Allah yang diikuti manusia itulah din Allah, yang dengan sendirinya memiliki keselarasan dengan kecenderungan kebaikan alami manusia (fitrah insani). Sederhananya, dengan mengikuti din Allah itu, hidup manusia akan menjadi lebih insani, tidak diperbudak oleh nafsu hewani dalam dirinya, maupun ritme mekanis masyarakat pasarnya. Dengan demikian, akan terbentuk pribadi manusia yang utuh, insan kamil.[67] Pribadi-pribadi itu berkumpul membentuk keluarga dan komunitas, yang dalam skala lebih besar, akhirnya membentuk suatu masyarakat.
Karena pribadi sebagai unit terkecil masyarakat itu menjalankan hidupnya sesuai dengan din, maka komunitas dan masyarakat yang dibentuknya juga akan tumbuh berdasarkan din tersebut. Masyarakat demikian adalah masyarakat yang madani, masyarakat yang dibangun berbasis din. Di tengah masyarakat madani itulah, buah peradaban akan terbangun, sehingga berkembanglah tamadun. Sekali lagi, din Islam, adab, peradaban, dan tamadun memiliki kaitan yang erat.
Selain itu, redaksional dan latar historis sila pertama memanglah demikian lekat dengan konsepsi falsafah hidup Islam. Ketuhanan dalam bahasa Indonesia bermakna “(1) sifat keadaan Tuhan; (2) segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan; (3) kepercayaan kepada Tuhan; dasar percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa”.[68] Sedangkan kata esa bermakna “(1) tunggal; satu; (2) bersifat tunggal, tidak bersekutu”.[69] Dengan demikian, “Ketuhanan yang Maha Esa” berarti suatu dasar kepercayaan bahwa sifat Tuhan itu, serta segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya ialah berdasarkan kepada keesaan, yaitu bahwa Tuhan adalah esa, hanya ada satu, tiada melekat pada-Nya suatu sekutu apa-pun. Sekutu di sini berarti pihak-pihak lain yang diikutkan atau digabungkan dengan-Nya. Artinya, penggunaan berhala atau perantara dalam peribadatan kepada-Nya termasuk suatu tindakan menyekutukan, demikian pula pelekatan sifat terbagi pada diri-Nya dalam substansi apa pun, entah itu keluarga atau rekan-kolega dalam hal otoritas Ketuhanan.
Demikianlah ajaran keesaan Tuhan itu secara murni dan konsekuen menjadi pokok ajaran dari din Islam, ialah suatu yang disebut sebagai tauhid, berakar dari kata ahad, yang berarti satu, sehingga demikian tauhid itu bermakna pengesaan Tuhan. Tiada syak, tiada keraguan, tiada kekalutan apa pun yang membantah dan menentang bahwa din Islam itulah yang mengajarkan pengesaan Tuhan secara murni dan konsekuen. Seorang seperti Tan Malaka, seorang yang dianggap kiri sekalipun, mengakui seutuhnya hal ini. Tulisnya dalam bukunya, “Madilog”, yang terkenal itu sebagai berikut. “Demikianlah pada (ajaran) Muhammad SAW ‘ketunggalan’ Tuhan itu, keesaan Tuhan itu, sampai ke puncak, tak ada kesangsian.”[70]
Selain itu, telah nyatalah pula betapa sejarah dari sila pertama itu, ialah berpangkal pada redaksional sebelumnya, yaitu yang ditetapkan oleh Panitia Sembilan pada 22 Juni 1945, yang pula disetujui oleh wakil non-muslim di dalamnya, Mr. Alexander Andries Maramis. Walaupun kemudian redaksional itu diubah jua mengingat dinamika keadaan yang terjadi, tapi tetaplah nafas awal yang demikian itu, tiadalah salah bila diterapkan dalam pemaknaan dan penghayatan terhadap sila itu. Janganlah dicela bilamana seorang menyatakan bahwasanya makna sila pertama itu ialah tauhid. Namun tiadalah pula dapat dipaksakan pemahaman itu kepada tiap orang, terutama sekali kepada saudara-saudari kita yang non-muslim. Sebagaimana dalam ajaran Islam itu sendiri, “lā ikrāha fi-d-dīn” (tiada paksaan untuk memeluk din).
Begitu pulalah kita tiada perlu berlarut-larut dalam perdebatan mengenai penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang lalu menjiwai Pembukaan Undang-undang Dasar itu dan diformulasikan kepada bentuk Pancasila yang sekarang. Biarlah ia menjadi suatu bahan refleksi sejarah. Tiadalah perlu bagi kita suatu perselisihan yang memecah-belah dari mana bersumber dari perdebatan akan tujuh kata itu. Ia pun mesti dipahami bahwa terdapat orang muslim pula yang tiada menyetujui konsep itu dikembalikan saat ini, yaitu mereka yang mengambil kerangka pandang sekuler dalam hidupnya.
Namun, tiadalah kita boleh lupa latar historis dari sila itu, agar napas jiwanya tetaplah hidup menyala di dada umat ini, dan teranglah kita mengingat sebagaimana yang dinyatakan oleh Mr. Alamsyah Ratu Prawiranegara itu, bahwasanya Pancasila ini ialah suatu hadiah besar umat Islam bagi republik ini. Cukuplah bagi kita dalam tulisan ini, untuk menjadikannya hujah bagi dasar pemahaman kita, bahwa sila pertama ini dijiwai oleh din sebagaimana yang kita jelaskan sebelumnya. Dan dengan demikian, telah cocoklah konsep penafsiran kita, bahwa sila pertama yang berdasar din Islam itu, ialah sebagai dasar bagi sila kedua yang memuat konsep adab yang inheren dalam din itu. Dengan begitu pula, ialah sila pertama itu sebagai dasar jua bagi sila-sila lain, sebagaimana ia menjiwai sila kedua dalam bahasan sebelumnya.

Sila Ketiga dan Mosi Integral
Kata persatuan berakar dari kata dasar satu yang bermakna tunggal. Sementara itu, persatuan berarti “(1) gabungan (ikatan, kumpulan, dan sebagainya) beberapa bagian yang sudah bersatu; (2) perserikatan; serikat; (3) perihal bersatu”.[71] Secara sederhana, persatuan adalah suatu entitas yang merupakan gabungan atau kumpulan dari banyak hal dengan berbagai persamaan dan perbedaan. Persatuan Indonesia tumbuh dari suatu pengalaman sejarah yang sama, yaitu bahwa entitas-entitas geopolitik yang ada sebelumnya – kerajaan-kerajaan lokal – tidak dapat menghadapi fenomena sejarah yang muncul kemudian, yaitu kolonialisme. Karena itulah, muncul suatu gelombang gerakan baru dalam spektrum yang lebih besar dari kerajaan-kerajaan itu, yang bernama bangsa dan Republik Indonesia.
Namun, bangsa dan republik yang bersatu itu tidaklah selalu mengambil bentuk negara kesatuan. Hal ini banyak kita dapati pada republik-republik modern yang masih maujud sampai saat ini, seperti Amerika Serikat yang berbentuk negara federasi. Demikian pula arti dari persatuan itu sendiri malah memberi ruang bagi suatu bentuk gabungan perserikatan, suatu negara serikat. Namun, satu hal yang khas dalam khazanah republik ini ialah, secara konsekuen, selalu terdapat pihak yang memperjuangkan negara kesatuan sebagai bentuk ideal republik ini. Meskipun karena satu dan lain hal kita pernah mengalami periode Republik Indonesia Serikat (RIS), berbagai upaya untuk kembali kepada khitah awal sebagai negara kesatuan tetap dilakukan.
Sejatinya, pengupayaan bentuk negara kesatuan yang konsekuen itu amat lekat dengan konsepsi pemahaman tafsir Pancasila menurut kerangka pandang din, karena orang yang menjunjung tinggi din, orang yang beradab itu, termasuklah orang yang menjunjung tinggi persatuan, senantiasa berupaya menyusun suatu umat, suatu terminologi serapan dari bahasa Arab pula, yang dalam makna dasar umat itu, terdapatlah unsur kesadaran untuk bersatu dalam ikatan baru yang melebihi ikatan primordial, melebihi sekadar kaum, yang pula diserap dari bahasa Arab.
Tidak perlulah kita berpanjang-lebar membahas bukti dari hal ini. Satu contoh peristiwa sejarah telah cukup membuktikan bahwa, pelopor kembalinya Indonesia menuju bentuk negara kesatuan, setelah sempat menjadi RIS, tiada lain tiada bukan ialah seorang yang secara murni dan konsekuen memandang Pancasila itu menurut falsafah hidup din. Ia mengajukannya dalam pidatonya di parlemen pada tanggal 3 April 1950, suatu pidato yang berisi desakan pembentukan negara kesatuan, yang di kemudian hari dikenal sebagai “Mosi Integral”. Orang itu ialah Mohammad Natsir, seorang tokoh Masyumi.
“Berhubung dengan ini, saya ingin memajukan satu mosi kepada Pemerintah yang bunyinya demikian:
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara RIS dalam rapatnya tanggal 3 April 1950 menimbang sangat perlunya penyelesaian yang integral dan program-a-tis terhadap akibat -akibat perkembangan politik yang sangat cepat jalannya pada waktu yang akhir-akhir ini.
Memperhatikan:
Suara rakyat dari berbagai daerah, dan mosi-mosi Dewan Perwakilan Rakyat sebagai saluran dari suara-suara rakyat itu, untuk melebur daerah-daerah buatan Belanda dan menggabungkannya ke dalam Republik Indonesia.
Kompak untuk menampung segala akibat-akibat yang tumbuh karenanya dan persiapan-persiapan yang untuk itu harus diatur begitu rupa dan menjadi program politik dari Pemerintah yang bersangkutan dan dari Pemerintah RIS.
Politik peleburan dan penggabungan itu membawa pengaruh besar tentang jalannya politik umum di dalam negeri dan pemerintahan di seluruh Indonesia.
Memutuskan:
Menganjurkan kepada Pemerintah supaya mengambil inisiatif untuk mencari penyelesaian atau sekurang-kurangnya menyusun suatu konsepsi penyelesaian bagi soal-soal yang hangat yang tumbuh sebagai akibat perkembangan politik di waktu yang akhir-akhir ini dengan cara integral dan program yang tertentu.”
Demikianlah Natsir, sebagai anak kandung falsafah hidup Islam itu di tanah air kita, menjadi seorang pemersatu menurut Mosi Integral yang ia ajukan.

Sila Keempat sebagai Mekanisme Pengaturan
Sila keempat memuat sejumlah konsep pokok, yang mencakup kerakyatan, hikmat-kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan. Kata rakyat diserap dari bahasa Arab “raʿiyat”, demikian pula hikmat berasal dari kata “ḥikmah”. Kata musyawarah juga diserap dari bahasa Arab “musyāwarah”, “musywarah”, atau “masyūrah” yang memiliki pokok kata yang menjalin bentuk “syura”. Kata wakil juga diserap dari bahasa Arab “wakīl” yang berkaitan dengan kata kerja “wakkala”. Sementara itu, kata bijaksana diserap dari bahasa Jawa “wicaksana”.
Kata rakyat dalam bahasa Indonesia bermakna “(1) penduduk suatu negara; (2) orang kebanyakan; orang biasa; (3) pasukan (bala tentara); (4) anak buah; bawahan”.[72] Kata kerakyatan berarti “(1) segala sesuatu yang mengenai rakyat; (2) demokrasi; (3) kewarganegaraan”.[73] Kata rakyat menurut serapan bahasanya “ra’iyat” bermakna “(1) “raʿāyā”, yaitu kongregasi; perkumpulan orang; khalayak; massa; (2) “qaṭīʿ ”, yaitu kerumunan; kelompok; dan (3) “muwāṭin”, yang warga; penduduk. Kerakyatan dapat dipandang sebagai suatu sistem untuk mengakomodasi kehendak rakyat, suatu pemerintahan rakyat, yang jamaknya diterjemahkan sebagai demokrasi. Natsir mengatakan, “Pemerintah yang timbul dari rakyat dan untuk rakyat dan yang terdiri dari pemimpin perjuangan kemerdekaan sendiri, tentu tahu benar-benar dan sudah dapat merasakan, apa yang hidup dalam keinginan rakyat itu.”[74]
Kata hikmat dimaknai sebagai “(1) kebijakan; kearifan; (2) kesaktian (kekuatan gaib)”.[75] Menurut akar kata Arabnya, hikmah memiliki makna “(1) “ḥaṣāfah”, yang berarti kebijaksanaan, pandangan jauh ke depan, wawasan, kecerdikan, keadilan pandangan, pemikiran insani; (2) “falsafah”, yang berarti falsafah, filsafat, atau filosofi; (3) “qawl ma’tsūr”, yang berarti pepatah, perkataan bijak, nasihat, aforisme, pandangan; (4) kondisi berkepala dingin, kelayakan, kelihaian, dan penilaian yang sehat. Kata kebijaksanaan berarti “(1) kepandaian menggunakan akal budinya (pengalaman dan pengetahuannya); (2) kecakapan bertindak apabila menghadapi kesulitan dan sebagainya”.[76]
Secara sederhana, hikmat-kebijaksanaan bermakna suatu kebijaksanaan yang tumbuh dari proses berpikir yang sehat dan proporsional, dengan mendudukkan segala sesuatu menurut tempat yang semestinya, dalam suatu disiplin pandangan yang layak menurut wawasan yang sejati. Demikianlah dapat terlihat eratnya hubungan hikmat-kebijaksanaan (hikmah) ini dengan konsep adab dan ilmu yang telah dibasah sebelumnya; yaitu ilmu yang benar akan membawa pada hikmah dalam mengambil keputusan atau pandangan, yang pada akhirnya membentuk adab yang luhur.
Kata musyawarah berarti “pembahasan bersama dengan maksud mencapai keputusan atas penyelesaian masalah; perundingan; perembukan”.[77] Akar kata serapannya, syura, memiliki arti “(1) kegiatan membahas, mendiskusikan, atau mempertanyakan sesuatu; penalaran metodis; debat; beradu argumen; mempertahankan gagasan; (2) pertukaran pandangan; upaya konsiderasi; pemberian opini terhadap sesuatu; (3) nasihat, konsultasi, sugesti; (4) studi atau investigasi yang hati-hati. Secara sederhana, musyawarah adalah pengambilan keputusan atau pemecahan masalah melalui pembahasan bersama dengan saling bertukar pikiran dan mempertahankan gagasan masing-masing hingga tahap tertentu, untuk mencapai keseimbangan gagasan yang disepakati bersama.
Musyawarah adalah sistem pengambilan keputusan yang dirembesi prinsip-prinsip adab, karena pertukaran gagasan dalam musyawarah merupakan suatu pengujian kualitas pikiran, sehingga berkaitan erat dengan adab. Hal ini tentu amat berbeda dengan pengambilan keputusan melalui voting atau suara terbanyak, di mana pikiran semua pihak dianggap bernilai sama, entah dia ahli atau tidak, bodoh atau berilmu, awam atau berpengalaman, dan seterusnya, segala kualitas yang penting dalam penentuan gagasan yang demikian, tiada dipertimbangkan dalam voting itu, karena satu suara bernilai satu, sehingga lebih rawan menghasilkan keputusan yang salah, walaupun dipilih secara mayoritas. Dengan demikian, musyawarah sangat lekat dengan adab, dan nyatanya, ia sendiri merupakan bagian ajaran din Islam yang di dalamnya inheren konsep adab itu. “Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”[78] “ ... (bagi) orang-orang yang menerima seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.”[79]
Kata wakil bermakna “(1) orang yang dikuasakan menggantikan orang lain; (2) orang yang dipilih sebagai utusan negara; duta; (3) orang yang menguruskan perdagangan dan sebagainya untuk orang lain; agen; (4) jabatan yang kedua setelah yang tersebut di depannya”.[80] Kata perwakilan diartikan sebagai “(1) segala sesuatu tentang wakil; (2) kumpulan atau tempat wakil-wakil; (3) (kantor, urusan, dan sebagainya) wakil suatu negara sebelum ada duta; (4) (tempat atau kantor) wakil usaha; (5) seseorang atau kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban bicara dan bertindak atas nama”.[81] Kata kerja “wakkala” dalam bahasa Arab bermakna “memberikan kuasa pada suatu pihak, menguasakan, menunjuk representasi, memberikan kepercayaan pada seseorang”. Secara sederhana, perwakilan dapat diartikan sebagai pemberian atau pendelegasian kuasa dari rakyat, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, kepada pihak-pihak yang ditunjuknya untuk meneruskan kepentingannya dalam hidup bernegara.
Dengan demikian, sila keempat ini dapat kita maknai sebagai suatu sistem pemerintahan dan akomodasi kehendak rakyat, yang dilakukan melalui model delegasi kedaulatan dan kekuasaan kepada pihak-pihak yang dipilih oleh rakyat sebagai wakilnya, ke dalam suatu majelis tempat mereka bermusyawarah, membahas persoalan tersebut untuk mencapai suatu permufakatan. Sistem perwakilan rakyat ini bolehlah diterjemahkan ke dalam demokrasi, tapi asas pengambilan kebijakan yang dipakainya ialah melalui musyawarah, yang lebih memberi ruang bagi seleksi gagasan secara kualitatif alih-alih menyamaratakan nilai dan kualitas pikiran setiap orang dengan voting. Konsep musyawarah itu dengan sendirinya mengakui adanya muzakarah atau perbedaan pendapat yang ada. Penyelesaian perbedaan pendapat itu dipandu oleh hikmah pemikiran yang luhur dan beradab.
Demikianlah sila keempat ini merupakan suatu metode yang digunakan oleh manusia yang beradab yang telah dibahas sebelumnya, guna mewujudkan keadilan pada sila kelima. Metode pada sila keempat ini mengharuskan adanya suatu persatuan, yang menjadi metode atau jalan yang ditempuh untuk menuju musyawarah-mufakat itu. Dengan demikian, metode atau jalan dari sila ketiga pulalah satu kesatuan dengan jalan sila keempat ini. Dan kedua jalan atau metode itu, ialah jalan atau metode yang hanya akan dapat diwujudkan dengan seutuhnya oleh manusia yang beradab, konsep manusia ideal pada sila kedua.

Sila Kelima sebagai Material-isasi Tujuan Akhir Seluruh Sila
Kata keadilan sebagaimana pembahasan sebelumnya ialah berpokok pada proporsi-o-nal-i-tas dalam menetapkan dan melakukan pembagian kadar dan pertimbangan. Dengan demikian, keadilan tidak selalu dipahami sebagai pembagian yang dipukul sama rata. Pembagian secara adil di sini tidaklah selalu berarti sama secara kuantitas, tetapi lebih kepada ketepatan, nilai, kondisi intrinsik, kebenaran, dan utilitas, sehingga bagian yang secara kuantitas lebih kecil, dapat memiliki kadar yang sama berat dengan bagian yang secara kuantitas lebih besar. Keadilan sosial dengan demikian mestilah dipandang menurut asas proporsional berdasarkan suatu ukuran pertimbangan tertentu.
Nilai keadilan ini secara inheren merupakan bagian dari ajaran din Islam itu. Orang-orang yang beriman, yang menjunjung tinggi din, dan beradab itu diperintahkan untuk “senantiasa menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil (kepada mereka). Berbuat adillah karena ia lebih dekat dengan takwa.”[82] Dengan demikian, sifat keadilan – sebagaimana pula pada pembahasan sila kedua – melekat pada manusia yang beradab, sehingga keadilan secara sosial, dalam taraf hidup masyarakat, merupakan salah satu tujuan dari membangun tamadun atau peradaban, meski bukan satu-satunya tujuan. Dan karena keadilan sosial itu bisa tampak dan dirasakan, maka ia dapat dianggap sebagai material-isasi tujuan dari manusia yang beradab itu dalam menjalani metode persatuan dan kerakyatan yang dibahas sebelumnya, yang sekali lagi, seluruhnya diilhami oleh nafas din dari sila pertama.

Kesimpulan
Demikianlah seyogyanya segenap butir Pancasila itu dipandang sebagai satu kesatuan yang jalin-menjalin, yang utuh-bertahap dalam perwujudan konseptualnya, mulai dari falsafah paling dasar yang mengilhami konsep manusia idealnya, jalan dan metode pengaturan yang mesti diwujudkan para manusia itu, hingga mencapai sebagian dari tujuan berbangsa-bernegara yang riil untuk dicapai. Anggapan ini ialah dalam susunan artian bahwa, sila kedua memuat konsepsi manusia yang adil dan beradab sebagai konsepsi manusia ideal yang mesti diwujudkan dalam penyelenggaraan negara ini; yang mana konsepsi manusia ideal itu dijiwai, diilhami, dan didasari oleh nilai-nilai Ketuhanan yang terdapat pada sila pertama, yang hubungan keduanya secara natural tiada dapat dipisahkan; yang dengan terwujudnya konsepsi manusia ideal itu, diharapkan dapat membangun dan menjalankan suatu metode dalam menjalani urusan hidup bersama, yang dijalankan melalui satu entitas dalam wadah persatuan, yang diatur menggunakan asas permusyawaratan/perwakilan; yang mana itu semua digunakan untuk mewujudkan keadilan sosial rakyat sebagai material-isasi atau perwujudan-riil dari sebagian tujuan hidup berbangsa-bernegara itu. Secara sederhana, sila pertama menjiwai upaya perwujudan sila kedua; yang dengan terwujudnya sila kedua itu, metode yang ada pada sila ketiga dan sila keempat dapat dijalankan secara maksimal untuk mewujudkan sila kelima, sebagai salah satu tujuan akhir hidup berbangsa-bernegara.


[1] Aziz Anwar Fachrudin. “Polemik Tafsir Pancasila”. Laporan Kehidupan Beragama di Indonesia. Edisi III, Januari 2018, Program Studi Agama dan Lintas Budaya, CRCS, Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, UGM, ISBN 978-602-50445-3-3, hal.3
[2] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.19
[3] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.3
[4] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.3
[5] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.3-4
[6] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.4
[7] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.4-5
[8] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.5
[9] Aziz Anwar Fachruddin, Ibid., hal.5
[10] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.6
[11] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.6
[12] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.6-7
[13] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.7
[14] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.7
[15] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.7-8
[16] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.8
[17] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.8
[18] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.8-9
[19] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.9-10
[20] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.10-11
[21] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.11
[22] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.11-12
[23] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.12
[24] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.12
[25] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.12
[26] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.13
[27] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.13
[28] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.13-14
[29] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.14
[30] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.14-15
[31] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.15
[32] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.15
[33] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.16
[34] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.16
[35] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.16-17
[36] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.17
[37] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.17-18
[38] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.18
[39] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.18
[40] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.18
[41] Aziz Anwar Fachrudin, Ibid., hal.19
[42] Said Zulfikar. Manusia (Kompasiana, 25 Januari 2016, https://www.kompasiana.com/saidnazulfiqar/56a3ca9981afbd2d0917e45d/manusia, diakses pada 11 Mei 2020)
[43] KBBI daring, https://kbbi.web.id/manusia, diakses pada 12 Mei 2020
[44] KBBI daring, https://kbbi.web.id/akal, diakses pada 12 Mei 2020
[45] KBBI daring, https://kbbi.web.id/budi, diakses pada 12 Mei 2020
[46] KBBI daring, https://kbbi.web.id/akal, diakses pada 12 Mei 2020
[47] KBBI daring, https://kbbi.web.id/budi, diakses pada 12 Mei 2020
[48] Said Zulfikar, op cit.
[49] Q.S. 2: 132
[50] KBBI daring, https://kbbi.web.id/adil, diakses pada 12 Mei 2020
[51] Edward William Lane. An Arabic-English Lexicon. Book I – Part 5. (London: William and Norgate, 1874), hal 1972-1975, berdasarkan Lisanul Arab Ibnu Manẓur.
[52] Edward William Lane, Ibid.
[53] Edward William Lane, Ibid.
[54] KBBI daring, https://kbbi.web.id/adab, diakses pada 12 Mei 2020
[55] Edward William Lane. An Arabic-English Lexicon. Book I – Part 1. (London: William and Norgate, 1863), hal 34, berdasarkan Lisanul Arab Ibnu Manẓur.
[56] Naquib al-Attas. Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal.105
[57] Naquib al-Attas, Ibid., hal.106-110
[58] Hamid F. Zarkasyi. “Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam”. Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam. Vol. 11, No. I, Mei 2015, hal. 5-6. [DOI: http://dx.doi.org/10.21111/tsaqafah.v11i1.251 ]. Lihat juga Naquib Al Attas. Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak (Kuala Lumpur: IBFIM,2013) hal.5
[59] Al Attas. Ibid., hal.5-6
[60] Al Attas. Ibid., hal.6
[61] Al Attas. Ibid., hal.6-7
[62] Al Attas. Ibid., hal.8
[63] Zarkasyi. Op cit., hal.7-8
[64] Kamus Al Maany (https://www.almaany.com/, diakses pada 11 April 2020)
[65] Zarkasyi. Op cit., hal.7-8
[66] QS. 6:162
[67] Zarkasyi. Op cit., hal.17
[68] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ketuhanan, diakses pada 12 Mei 2020
[69] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/esa, diakses pada 12 Mei 2020
[70] Tan Malaka. Madilog (Jakarta: Penerbit Wijaya, 1951), hal.389
[71] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/persatuan, diakses pada 13 Mei 2020
[72] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/rakyat, diakses pada 12 Mei 2020
[73] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kerakyatan, diakses pada 12 Mei 2020
[74] Natsir, op cit., hal.6
[75] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/hikmat, diakses pada 12 Mei 2020
[76] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kebijaksanaan, diakses pada 12 Mei 2020
[77] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/musyawarah, diakses pada 12 Mei 2020
[78] QS. 3: 159
[79] QS. 42: 38
[80] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/wakil, diakses pada 12 Mei 2020
[81] KBBI daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/perwakilan, diakses pada 12 Mei 2020
[82] QS. 5: 8, lihat juga QS. 16:90

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan