Laksana Pohon dan Cahaya
Syahdan negeri Amerika Serikat yang digelari tanah segala impian
itu, tiada lain ialah negeri yang dibangun atas kerja pada budak. Dan di antara
berupa-macam manusia yang menjadi kebanyakan hamba-sahaya di sana pada masanya,
ialah kaum berkulit hitam dari Afrika. Tidak hanya diperbudak, mereka tercerabut
jua dari akar budaya, paham-pikiran, pandangan-hidup, din, dan pelbagai aspek
tamadun asal mereka sebagai orang Afrika, dan di atas segalanya, pada beberapa
bagian dari kaum itu, sebagai umat Islam. Memanglah di antara mereka itu,
seperti bangsa Wolof, Serer, Mandike, Bambara, Fulani, dan Hausa, ialah
muslimin atau minimal telah dipengaruhi oleh Islam. [Raboteau, 2004: hal.5]
Dipaksalah mereka melebur diri ke dalam segala falsafah-hidup dan
agama bangsa yang memperbudak mereka, kaum kulit putih yang berkuasa itu.
Bahasa mereka telah beralih menjadi bahasa Inggris, Perancis, Castellano, atau
Portugis. Nama-nama mereka pun banyak berganti kepada nama ala Eropa. Demikian
pula corak pandang mereka disapu bersih, memandang takjub kaum yang menguasai
mereka itu, bahkan terus hingga mereka telah merdeka. Meski tetap ada upaya
resistensi, termasuk di antaranya menjalankan Islam secara sembunyi-sembunyi, tapi
tetaplah sebagai budak yang terbelenggu, segala daya mereka itu tiada berarti,
sehingga terus lunturlah semua akar adabi yang mereka miliki, menjadi kaum yang
kosong, termasuk keislaman sebagian mereka, biarpun tersisa tinggallah sumir
belaka, malahan bengkok menjadi segala ritual-ajaran yang pada pokoknya sudah
lain sekali dari Islam.
Namun ajaibnya, beratus tahun setelah nenek moyang mereka mendarat
dengan jerat rantai di tanah itu, perlahan-lahan sebagian anak cucu mereka
kembali pada Islam jua, meski pula jalan kembali mereka itu mestilah
berliku-meliuk bahkan memotong ke luar jalur pada batas-batas kesesatan. Akan
tetapi sekali lagi, alhamdulillah, telah kembali lurus adanya. Tersebutlah
seorang pejuang bagi hak-hak kaum berkulit hitam itu, seorang yang menggelari
dirinya dengan nama Elijah Muhammad, seorang yang menjadi tokoh besar satu
gerakan yang mengklaim sebagai harakat Islam, walaupun sesat lagi menyimpang,
yang menggunakan semangat pseudo-Islam itu (bermakna Islam tapi palsu), untuk
menggelorakan perlawanan dalam jiwa segenap kaum kulit hitam yang menjadi
umatnya, agar merdeka lagi sama dalam hak, perkumpulan yang bernama “Nation of
Islam”.
Begitu termasyhurlah nama gerakan itu bukan karena nama Elijah
semata, tetapi bersangkut padanya pula orang-orang yang besar dalam sejarah
Amerika itu, yang pada bagian ujung masa hidup mereka telah insaflah jua pada
kesalahan akidah perkumpulannya itu, dan telah beralih-tapaklah pada jalan din
yang hak, sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW yang sebenarnya. Nama-nama itu
mencakuplah di antaranya Muhammad Ali, petinju juara dunia yang lekat dengan
syiarnya atas Islam; Malcolm X yang kemudian berhaji dan insaflah akan Islam
yang sebenarnya lalu mengambil gelar Elhaj Malik El Shabbaz, seorang orator
ulung dengan ide-ide yang menggelorakan perjuangan hak kaum kulit hitam Amerika
[Republika.co.id: Fadhilah, 2018]; dan anak Elijah sendiri, Warith Deen
Muhammad, yang kelak membubarkan perkumpulan yang dibesarkan ayahnya itu, dan mengembalikan
begitu banyak anggotanya kepada Islam yang lurus. [Republika.co.id: Amrullah,
2015]
Elijah Muhammad (Sandersville, 1897 – Chicago, 1975), asalnya
bernama Elijah Poole, adalah pemimpin gerakan keagamaan-politik Nation of Islam
(NOI), yang kadang disebut Black Muslims, di Amerika Serikat. Sebagai anak
seorang mantan budak dan petani penggarap, Elijah pindah ke Detroit pada 1923.
Di tempat itu pula, dia menjadi pendeta pembantu bagi sebuah sekte keagamaan
yang dibentuk oleh Wallace D. Fard di Temple No.1 sekitar tahun 1930. Waktu
Fard menghilang pada 1934, Elijah menggantikannya sebagai pemimpin gerakan, dengan
gelar “Minister of Islam” (pendeta Islam). Akibat pertikaian di kuil itu, dia
pindah ke Chicago dan membentuk Temple No.2 di sana. Selama Perang Dunia II,
dia menyuruh pengikutnya menolak kewajiban perang, yang membuatnya dikenai
undang-undang tentang Selective Service Act dan dipenjara (1942-46). [Britannica.com,
2020]
Pascaperang, Elijah takat demi takat memperluas keanggotaan NOI.
Programnya menyerukan pembentukan negara yang terpisah bagi kaum kulit hitam
Amerika dan adopsi agama yang dia klaim sebagai Islam serta paham bahwa orang
kulit hitam adalah manusia terpilih. Elijah menjadi terkenal dengan retorika-retorikanya
mengenai kaum kulit putih yang disebutnya sebagai “setan bermata biru”.
Meskipun begitu, dalam masa-masa akhir hidupnya, Elijah menurunkan tensi
anti-kulit-putihnya dan menekankan penguatan komunitas kulit hitam, alih-alih
perbenturan antarras. [Britannica.com, 2020] Terlepas dari isu rasisme, gerakan
NOI sesat secara akidah karena mengakui bahwa Elijah adalah nabi dan Wallace Fard
adalah perwujudan Tuhan dalam bentuk manusia. Selain itu, NOI juga
mencampuradukkan Quran dengan Bibel dan beragam ajaran lainnya. [Republika.co.id:
Hanifa, 2013]
Karena paham separatis dan kesesatannya itulah, Malcolm X, salah
satu muridnya yang paling menonjol, memisahkan diri lalu berangkat haji sebelum
meninggal pada 1965, dan bersama putra bungsu Elijah, Warith Deen, turut memelopori
pembentukan kelompok American Muslim Mission, suatu gerakan yang
terpisah dari NOI pasca-kematian Elijah, dengan ajaran Islam yang lebih
ortodoks, sesuai ahli sunah. [Republika.co.id: Fadhilah, 2018] Selepas hajinya
itu pula, Malcolm X menulis risalahnya yang termasyhur, Letter From Mecca.
Karena terbunuhnya Malcolm X saat tengah berorasi dalam gerakan
perjuangan hak kulit hitam, tokoh intelektual yang berperan sentral dalam pelurusan
kesesatan paham NOI tinggallah Warith Deen Muhammad. Ia lahir di Detroit pada
30 Oktober 1933 dengan nama asli Wallace Deen Muhammad. Nama Warith Deen baru
dipakainya setelah mempelajari paham Islam Sunni. Warith lalu tinggal di
Chicago bagian selatan, berinteraksi dengan para imigran asal Yordania dan Mesir,
kemudian masuk ke Akademi Chicago. Pada masa-masa itulah, Warith belajar bahasa
Arab pada Jamal Diab, seorang intelektual muslim asal Palestina di Chicago.
Berkat pemahaman bahasa Arab itulah Warith akhirnya menyadari kekeliruan
gerakan ayahnya. Di situlah pikiran kritisnya akhirnya bertemu dengan Malcolm X
yang mulai mempertanyakan kebenaran NOI. [Republika.co.id: Amrullah, 2015]
Namun, Warith menunggu hingga ayahnya meninggal untuk memulai perubahan
dalam NOI. Baru pada Februari 1975, ia menggantikan mendiang ayahnya memimpin
NOI. Selama setahun setelah awal kepemimpinannya, Warith mencoba mengembalikan
gerakan ini ke jalan Islam yang benar dan menghapuskan kesesatan pandangan NOI,
yang tampaknya terpengaruh oleh latar pendirinya, Wallace D. Fard, yang memiliki
koneksi dengan Ahmadiyah. [Harvard.edu, 2013] Pada 1976, Warith akhirnya
membubarkan NOI. Walau begitu, pembubarannya tidak berjalan mulus. Sekelompok
kecil pengikut setia ayahnya menolak reformasi keislaman Warith dan memilih
menghidupkan kembali NOI di bawah kepemimpinan Louis Farrakhan. Warith kemudian
mendirikan American Society of Muslim, yang hingga kini menjadi salah satu organisasi
Islam terbesar di Amerika Serikat. Warith wafat pada September 2008. [Republika.co.id:
Amrullah, 2015]
Sisanya ialah sejarah. Kaum kulit hitam yang dulunya diperbudak dan
tercerabut dari dinnya itu, setelah pula mereka terombang-ambing dalam
kesesatan-paham itu, akhirnya kembali jua pada Islam yang lurus-benar. Suatu
jalur pencarian kebenaran yang terasa amat berliku lagi panjang-membentang.
Demikian menakjubkannya gempita dari perjuangan itu, bagi berupa pihak macam Malcolm
X, Muhammad Ali, dan Warith Deen Muhammad, yang teruslah dengan akal-pikiran
mereka yang kritis itu, berijtihad dalam runyamnya keadaan, hingga mencapai
satu pandangan yang hak, membawa serta kaumnya yang papa dan kosong jiwa.
Demikian pula Elijah, walaupun telah nyata sesat ia, tetaplah
memainkan peran sejarah yang penting, yang dengan gerakan yang ditumbuh-besarkannya
itu, mengingatkan kembali pada kaum yang telah tercerabut dari jati dirinya akibat
perbudakan itu, suatu kata yang dulu sekali pernah menggelorakan jiwa para
moyangnya di Afrika sana, yaitu Islam. Walaupun dicampur-adukkannya mutiara hak
itu dengan lumpur kebatilan, lantaran kurang cakapnya pemahaman Elijah dan kesalahannya
memilih guru itu, pada akhirnya akan tetap nyata berhargalah ia sebagai mutiara,
dan tetaplah ia terpisah dari lumpur, meskipun untuk mengangkatnya kembali
orang harus bersusah-sungguh menghapus lumpur yang menyelimutinya. Telah
datanglah yang hak dan telah terhempaslah yang batil, karena yang batil itu
pastilah suatu saat akan terhempas!
Demikianlah riwayat ini, yang entah berapa jauhnya terpisah dari
kita dalam ruang dan waktu, mestilah mengandung hikmah yang dapat kita tekuni.
Bahwa din ini, bilamana ia telah menghunjam demikian dalamnya dalam kalbu suatu
kaum, tiada peduli betapa pun beratnya takdir sejarah yang harus mereka jalani,
tiada peduli teramat sangat sesat sudah jalan mereka, akanlah jua tetap dapat
digali suatu kelak nanti, dan pastilah ia tetap mendatangkan manfaat pada kaum
itu, walau nyaris luntur sudah penghayatan mereka, walau tercampur-baur
pengamalan mereka dengan segala bidah, sebagaimana ia, dalam bentuk
penyimpangan pseudo-parsialnya, menjadi nyala perjuangan melawan penindasan
yang berkobar dalam diri anak-anak Hamit itu.
Maka kalimat din ini, kalimat yang tayibah ini, demikian rupa
hingga ia ibarat sebuah pohon. “Akarnya teguh menghunjam dan cabangnya menjulang
ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya.”
“Dan perumpamaan kalimat yang buruk ialah seperti pohon yang buruk, yang telah
dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak)
sedikit pun.” Perumpamaan-perumpamaan itu dibuat untuk manusia supaya mereka
selalu ingat. [QS. 14: 24-26]
Demikianlah yang paling pokok dari pohon ialah akarnya. Bila
tercerabut akarnya, bagaimanapun jua tetaplah tiada akan dapat hidup ia. Bila
akarnya tetap hidup menghunjam, biar pun sudah tebang batangnya, biar pun gundul
pula dedaunannya, biar pun tiada ia berbuah lagi, ia masihlah hidup dan dapat
diupayakan tumbuh lagi, walau mesti susah-sangat pula perjuangan merawatnya
tumbuh-kembang kembali itu. Dan akar dari pohon din ini, ialah segenap gugusan
gagasan ilmunya. Bila masihlah ada sumber ilmu yang hak itu, baik pun berupa
kitab lagi catatan, baik pun berupa insan yang mengajar, akan tetaplah ia hidup
sebagai usul yang menopang keberadaan dirinya.
Tiada peduli pula akarnya itu dipenuh-lekati segala bintil cendawan
lagi parasit, bilamana ada petani yang menggali dan membersihkannya lagi, akan kembalilah
jua ia sebagai akar yang sehat. Demikian pulalah bagi din itu, tiap-tiap
seratus tahun, sebagaimana yang disabdakan sang nabi SAW, senantiasa akan ada
orang atau golongan yang memperbarui urusan din itu, mereformasinya kepada
bentuknya yang lurus lagi benar.
Demikianlah perumpamaan kalimat din sebagai pohon dan akar itu,
terdapat pulalah perumpamaan pohon lain yang berkenaan dengan cahaya. “Perumpamaan
cahaya-Nya (Allah) ialah laksana misykat (tanglung, sebuah lubang pada
dinding yang tak tembus) yang di dalamnya ada misbah (pelita besar), dan misbah
itu terletak di dalam kaca, dan kaca itu laksana bintang-gemintang yang
(bersinar-kilau) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon kayu
yang diberkati, yaitu zaitun, yang tidak di Timur dan tidak di Barat, yang
minyaknya (saja) hampir-hampir selalu menerangi walau pun tidak disentuh api. Cahaya
di atas segala cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa saja yang Dia
kehendaki; dan Allah mengadakan perumpamaan bagi manusia; dan Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu.” [QS. 24: 35]
Demikian jua perumpamaan orang yang menolak petunjuk cahaya itu
ialah “laksana gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak,
yang di atasnya ada ombak (pula), (dan) di atasnya (lagi ada) awan; kegelapan
yang bertindih-tindih. Apabila ia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat
melihatnya. Dan barang-siapa yang tidak diberi cahaya oleh Alah, tiadalah dia
mempunyai cahaya (petunjuk) sedikit pun.” [QS. 24: 40]
Demikianlah kita mendapati bahwa din ini ialah laksana cahaya yang
teramat terang, yang sinarnya akan senantiasa ada dan menerangi walaupun sumber
sinarnya tidak diaktifkan (diumpamakan seperti minyak yang tidak disulut api).
Kita mendapati masa di mana keadaan kaum muslim ini teramat gelap, terpuruk
dalam segala bidang, diperebutkan oleh kaum-kaum lain di dunia, sebagaimana
orang-orang berkumpul mengepung jamuan. Walaupun jua keadaan sudah mulai
bergerak ke arah yang lebih baik sejak era Deklarasi Balfour, Perjanjian Sykes-Picot,
dan Janji MacMahon kala itu, tetap saja kemunduran ini masih terasa. Namun,
berkaca dari perumpamaan itu, seyogyanya kita tetaplah tegar hati, lantaran
tersirat dalam ayat itu, suatu misal yang menggambarkan bilamana tetap
teranglah din itu walaupun orang tiada mau menyalakannya.
Kita mestilah mampu membedakan keadaan din Islam ini dengan ihwal kaum
muslim. Bilamana terpuruklah kaum muslim itu, bukan berarti rendah jua din
Islam, biar pun ia tetap terlihat rendah bagi dunia. Itu karena dia adalah
cahaya yang lebih luhur dari segenap cahaya lain. Ialah cahaya yang sejati.
Kita dapatlah melihat, biar pun ia dipersalahkan dan diperolokkan lantaran
buruknya, lemahnya, miskinnya, bodohnya, dan tidak mampunya kaum muslim itu
mengendalikan dirinya, biarpun ia dituduh sebagai teroris dan penganjur
kekerasan, biarpun ia dihujat sebagai pengekang wanita, biarpun ia disudutkan sebagai
penyebab tidak majunya suatu bangsa, tetaplah ia di segala penjuru mana pun di
dunia, baik di Timur dan di Barat, justru ia mengalami peningkatan pemeluk
dengan pesat, mengalami peningkatan peran di ruang publik dengan nyata, biarpun
dunia pos-modern ini semakin sekuler adanya, biarpun lain-lain agama telah mulai
banyak ditinggalkan para pemeluknya, ia tetaplah tegak jua adanya, bahkan perlahan
tapi pasti semakin nyata perannya.
Ini memberikan kabar gembira bahwa biarpun kaum muslim ini seluruhnya
tiada bersungguh-sungguh dalam mengupayakan penegakan dinnya, tetaplah din itu
akan luhur lantaran segenap tabiat-karakteristik adabi dan madani yang ada
inheren di dalamnya. Bukan berarti bahwa umat ini boleh selamanya bermalasan
dan larut dalam kejumudan, melainkan hanya sebagai suatu kabar agar kita tiada bersusah
hati dengan beratnya perjuangan di depan. Ingatlah bahwa janji Allah akan
keluhuran dan kemenangan din ini ialah pasti, begitu teramat pasti, bahkan jika
kita semua lalai dari memperjuangkan din ini, tiada masalah bagi-Nya, cukuplah
bagi-Nya mendatangkan suatu kaum pengganti yang tidak abai seperti kita!
Demikianlah din ini seperti cahaya yang selalu menerangi biarpun pupus
sudah segala upaya untuk menyalakannya, lantaran ia datang dari Yang Menguasai segenap
cahaya. Pastilah tiada mungkin Dia membiarkan cahaya din ini redup, seperti
pula dalam konsep pembaharu yang akan datang secara terus-menerus itu. Begitu
jua bagi kita, sungguh pun demikian lemah iman dan penghayatan kita akan din
ini, tetaplah bagi kita suatu kemanisan dalam rasa perjuangan, dalam segenap
batas daya-kuasa yang bisa kita upayakan, sungguh pun teramat kecil lagi
terlihat tiada berartinya, selagi pula masih bisa kita upayakan, mestilah tetap
kita lakukan. Itu sebagaimana pesan sang rasul SAW, bila kita punya benih yang
hendak kita tanam, biar pun kecil sangat ia, dan besok sudah akan kiamat,
tetaplah tanam! Segala kebaikan kecil dari benih itu tetaplah bermanfaat jua.
Demikian pula, dalam perumpamaan itu, pohon din ini akan senantiasa
memberikan manfaat dan menjadi sumber nyala yang menerangi segenap jalan kita, tiada
peduli teramat gulita gelap yang menyelubungi. Sungguh yang tiada menerima
manfaat dari cahaya itu, ialah orang yang menolak lagi menampiknya, yang kafaru,
sengaja menutup diri terhadapnya. Adapun bagi mereka yang tetap mengupayakan
arah jalan menuju cahaya itu, biarpun sudah amat jauh liku jalur mereka,
biarpun sudah sangat pekat mendung gelap yang menyelimuti mereka, selama ada tekad
menujunya, selama mereka tidak menolaknya, cahaya itu akan tetap ada kesempatan
untuk datang, dan semoga pun cahaya petunjuk-Nya itu senantiasa datang membimbing
jalan kita. Sebagaimana pula ia menerangi jalan kembali bagi kaum kulit hitam
yang diperbudak lagi tercerabut dan tersesat itu, di Amerika sana.
Referensi:
Britannica.com. (2020, 21 Februari). Elijah Muhammad. Diakses pada 15
Mei 2020, dari
Harvard.edu: Bowen, Patrick D. 2013. The Colored Genius: Lucius
Lehman and the Californian Roots of Modern African-American Islam. Diakses pada
15 Mei 2020, dari
Raboteau, Albert J. 2004. Slave Religion: The “Invisible
Institution” in the Antebellum South. Oxford: Oxford University Press.
Republika.co.id: Amrullah, Amri / Red: Indah Wulandari. (2015, 1 Juni).
Warith Deen Mohammed, Meluruskan Ajaran Islam Afro-Amerika (2-habis). Diakses
pada 15 Mei 2020, dari
Republika.co.id: Fadhilah, Umi Nur / Red: Ani Nursalikah. (2018, 20
Agustus). Perjalanan Haji Malcolm X Ubah Islam di Amerika. Diakses pada 15 Mei
2020, dari
Republika.co.id: Hanifa, Afriza / Red: Heri Ruslan. (2013, 18
Juni). Warith Deen Muhammad: Sang Imam dari Amerika. Diakses pada 15 Mei 2020,
dari
Comments
Post a Comment