Respons Psikologis Awal Kaum Elite: Suatu Kunci Hadapi Krisis


Sekilas ke belakang, kita akan mendapati suatu sikap yang cenderung denial, bahkan agak meremehkan atau mengolok-olok, dari sejumlah elite tertentu, saat kali pertama ada peringatan pihak luar terhadap potensi masuknya wabah Covid-19 ke sebuah negeri, misalnya dari sebuah tim dari Harvard.[1] Padahal, respons psikologis awal dari kaum elite ini, adalah suatu faktor penentu yang penting dalam menghadapi potensi krisis atau kondisi tidak terduga, mengingat langkah-langkah selanjutnya bersifat amat teknis menurut prosedural-penetapan yang spesifik. Sikap denial dan agak meremehkan itulah sikap yang sama dengan yang akan kita dapati pada lingkaran elite di sekitar Ratu Saba, saat menghadapi kondisi tidak terduga, berupa surat diplomasi-politis dari seorang raja sekaligus nabi, Solomon.[2]

Kita tiada dapat memungkiri bahwa, dalam setiap perkumpulan, termasuk negara, akan selalu ada lingkaran elite yang berada di sekitar seorang pemimpin tunggal, entah itu dalam atmosfer kerajaan, kediktatoran, atau demokrasi. Lingkaran elite tersebut merupakan komponen penting dalam penentuan kebijakan, baik itu dilakukan melalui kewenangan eksekusi (dalam suatu badan atau departemen), maupun peran advokasi (penasihat, pembisik, dll.). Tanpa terkecuali, lingkaran elite itu pula yang berperan dalam membaca arah masa depan dari entitas perkumpulannya, termasuk dalam menaksir arus dan gelombang potensi bahaya atau gangguan di masa mendatang. Potensi gangguan itu boleh datang dari unsur alam (wabah, kekeringan, bencana alam, dll.) maupun unsur manusia atau perkumpulan manusia (diplomasi, perang, terorisme, Brexit, dll.)
Respons psikologis awal yang tepat terhadap suatu potensi perubahan (shifting) fundamental, termasuk bahaya atau gangguan, di masa depan, akan membawa kepada arah langkah yang tepat dalam menyambutnya, meskipun memang tidak akan bisa seratus persen sempurna. Kita ambil contoh dari krisis 1998 misalnya, beberapa tahun sebelum ia menerpa, ada segelintir ekonom dan ahli-ahli tertentu yang telah memberikan peringatan pada pemerintah dan meminta mereka bersiap-siap. Namun, laporan dan pernyataan yang mereka berikan mendapatkan penolakan (sikap denial) dari lingkaran elite di sekitar kekuasaan, yang mengklaim bahwa fundamen ekonomi negara tengah kuat. Ternyata, ketika potensi itu benar-benar terwujud sebagai badai krisis, kesiap-siagaan yang diklaim itu mentah belaka, dan terhempaslah keadaan oleh badai krisis akibat kurang persiapan.
Sekilas sikap denial yang sama sempat kita dapati pada kasus krisis wabah saat ini, mulai dari penolakan dan bantahan atas peringatan secara eksplisit hingga guyonan terkait kekebalan masyarakat akibat nasi kucing, dan perizinan masuk yang susah bagi virus. Nyatanya, kurang lebih dua-tiga bulan pasca peringatan seperti itu datang, jumlah penderita telah menembus sepuluh ribu orang. Hal ini sekali lagi mengimplikasikan pentingnya respons psikologis awal kaum elite terhadap suatu potensi gangguan atau bahaya di masa depan. Respons yang tepat akan membuat semuanya mengambil langkah-langkah persiapan yang tepat, tidak menimbulkan kepanikan, juga tidak meremehkan keadaan.
Dalam kasus Ratu Saba, ketika datang padanya surat dari Raja Solomon, yang isinya, ”Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” Ratu Saba berkata pada para pembesar (mala’) atau lingkaran elitenya, “Hai para pembesar, berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) (yang mana) aku tidak pernah memutuskan suatu urusan sebelum kamu memberikan pernyataan dalam majelisku.”[3] Para elite itu menjawab, “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan [quwwat] dan keberanian yang sangat (dalam peperangan) [ba’s syadīd], dan (wewenang) keputusan [amr] (untuk melawan atau menyatakan perang) berada di tanganmu, maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.”[4]
Di sinilah terlihat bahwa para elite di sekitar Ratu Saba itu tiada menangkap potensi bahaya yang besar dari surat Raja Solomon. Mereka tampak menganggap bahwa surat itu ialah sama dengan surat diplomasi pada umumnya. Barangkali juga, mereka tidak mengambil sikap denial terhadap ancaman itu karena merasa memiliki daya upaya yang cukup untuk mempertahankan diri (kekuatan dan keberanian yang sangat), bilamana serangan itu suatu hari benar-benar datang. Dengan demikian, sikap denial dan meremehkan potensi bahaya masa depan dapatlah timbul dari suatu perasaan ketakjuban atas kekuatan dan kemampuan diri sendiri, tanpa menyadari bahwa perubahan di sekitarnya senantiasa terjadi secara cepat sehingga segala variabel yang ada menjadi dilekati dengan ketidakpastian.
Boleh jadi jua, sikap tersebut muncul karena mereka tiada menyadari signifikansi, level, atau skala bahaya dari potensi ancaman tersebut. Mereka tiada memahami bahwa Raja Solomon itu mewarisi kerajaan yang begitu kuat, yang mana itu akan terlihat dari kekagetan mereka terhadap kebesaran kerajaan Solomon saat ratu mereka di kemudian hari datang kepadanya. Mereka bisa jadi tiada mengerti kekuatan militer lawan yang sedang dihadapinya, yang “dihimpunkan untuk Solomon itu tentaranya dari (jenis) jin, manusia, dan burung; mereka diatur dengan pengorganisasian yang tertib dan kuat.”[5] Karena mereka merasa bahwa kerajaan mereka agung (“dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar”), mereka secara abai tidak merasa takut menghadapi kekuatan kerajaan Solomon yang memiliki segala aspek yang “lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu (kerajaan Saba)”[6] dan bahwa Raja Solomon memiliki “bala tentara yang mereka tiada kuasa melawannya” yang “pasti akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina”.[7]
Namun, sikap kurang tepat para elite tersebut masihlah dapat ditutupi oleh naluri kepemimpinan yang kuat dari Sang Ratu Saba, yang dapat menangkap realitas dan peta perimbangan kekuatan yang telah, tengah, dan akan ada. Ratu itu menyatakan bahwa, “Sesungguhnya raja-raja (dalam konteks kasus ini) apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka akan membinasakannya dan menjadikan penduduknya yang mulia menjadi hina (jaʿala aʿizzata ahlihā adzillah); dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat.”[8] Sang Ratu dengan bijak memilih tindakan berhati-hati dengan mengetes keadaan terlebih dahulu, semacam kebijakan testing the water. Ia berkata “Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan (delegasi) kepada mereka dengan (membawa) hadiah [mursilat ilayhim bi hadiyyah], dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”.[9]
Sikap waspada dan berhati-hati terhadap lawan itu terbukti menjadi suatu respons psikologis awal yang tepat untuk menjaga keberlangsungan kerajaan Saba. Sang Ratu tentu tidak akan memiliki peluang menang melawan kekuatan yang jauh lebih superior, yang memiliki level teknologi atau keilmuan untuk melakukan transportasi kuantum. Hal itu seperti dikatakan oleh “seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: ‘Aku akan membawa singgasana (ratu) itu kepadamu (Raja Solomon/Sulaiman) sebelum matamu berkedip’”. Begitu pulalah Sang Ratu juga merasa inferior ketika mengetahui fakta kebesaran lawannya, yang “memiliki istana licin yang terbuat dari kaca”[10]. Itu berujung pada pengambilan keputusan yang tepat dari Sang Ratu untuk “berserah diri bersama Solomon/Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”.[11]
Namun, tidak selamanya lingkaran elite di sekitar seorang penguasa bertindak gegabah atau meremehkan potensi krisis saat mereka menerima suatu informasi yang berkaitan dengannya. Terdapat pula para elite di sekitar Raja Mesir pada era Nabi Yusuf, yang meskipun kekurangan pengetahuan, pengalaman, atau kompetensi dalam menghadapi visi krisis Sang Raja, mereka tetap dapat mengambil sikap yang rendah hati dan terbuka dengan meminta pendapat Nabi Yusuf, seorang yang ada dalam penjara, sehingga pada akhirnya Mesir berhasil diselamatkan dari paceklik panjang. Bayangkan para elite kekuasaan, pembesar, menteri, wazir, dan sejenisnya mau repot-repot bermajelis dengan seorang tahanan yang sebelumnya menjadi seorang pembantu belaka.
Hal itu tampak saat mereka membahas visi mimpi Sang Raja tentang “tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus; dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering.” Para elite kerajaan tidak sanggup menginterpretasikan visi mimpi Sang Raja itu. Mereka hanya mampu merabanya sebagai suatu “visi-mimpi yang kosong dan kami sekali-kali tidak tahu bagaimana menakwilkan visi-mimpi itu.”[12] Visi itu dengan demikian mengharuskan mereka mencari suatu hikmat kebijaksanaan dalam diri seorang yang tengah dipenjara, seorang tahanan yang tiada dianggap penting oleh kebanyakan masyarakat. Di sinilah kita menangkap suatu kerendahan hati untuk mau menerima realitas, tidak bersikap denial dengan keangkuhan untuk mengakui kebenaran lawan politik atau bahkan kebenaran seorang yang dianggap kriminal dan penjahat, bilamana memang dia memiliki suatu hikmat kebenaran. Mereka bahkan memanggil Nabi Yusuf yang sedang dipenjara sebagai seorang ṣiddīq, seorang yang benar. [13]
Suatu visi yang menangkap potensi bahaya paceklik panjang itu akhirnya berujung pada interpretasi yang mengagumkan dari Nabi Yusuf sehingga membantu kerajaan itu untuk mempersiapkan diri menghadapi ketidakpastian masa mendatang. Interpretasi visi itu lalu diterjemahkan menjadi kebijakan kongkret yang bersesuaian dengan keadaan, yaitu “supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan; kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun-tahun paceklik), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan; kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu, mereka memeras anggur.”[14]
Demikianlah suatu respons psikologis awal yang tepat terhadap sepotong informasi atau gejala awal dari suatu potensi krisis masa depan, akan membawa segenap komunitas atau institusi untuk menjadi lebih siap menghadapi kerunyaman yang belum pernah dialami sebelumnya. Suatu sikap yang memerlukan kerendahan hati yang luar biasa dari pihak yang berkuasa untuk mau mengakui suatu peringatan atau menerima kebenaran dari suatu pihak yang mungkin ia anggap sebagai lawan politik atau kriminal yang rendah. Penerimaan terhadap kebenaran itulah suatu kejujuran atau integritas dalam kiyadat kepemimpinan, yang harus ada dalam masa normal, apalagi masa krisis. Satu sikap yang akan menuntun pada kebijakan yang integral dari seorang pemimpin dalam mengintervensi jalannya sejarah. Seorang yang dapat membaca tanda-tanda masa depan dan mau keluar dari comfort zone atau kenyamanan psikologisnya itulah yang akan dapat memecahkan masalah suatu komunitas, apalagi suatu peradaban.
Dalam pada itu, coretan ini tiadalah bermaksud jua untuk mendiskreditkan pihak-pihak tertentu atau memandang zonder terhadap segenap upaya penanggulangan yang telah dilakukan. Akan tetapi, ialah diharapkan sebagai suatu pelajaran untuk masa kemudian, terutama sekali buat kaum yang dalam diri mereka nyala api kemudaan, suatu kelas menengah baru yang sebagian akan menjadi elite masa mendatang.
Bandung, di kala WFH, 11 Mei 2020



[1] Marchio Irfan Gorbiano, “Govt to pay Rp 72 billion to influencers to boost tourism amid coronavirus outbreak” (The Jakarta Post, 26 Februari 2020, https://www.thejakartapost.com/news/2020/02/26/govt-to-pay-rp-72-billion-to-influencers-to-boost-tourism-amid-coronavirus-outbreak.html, diakses pada 11 Mei 2020); lihat juga Restu Diantina Putri, “ Di Balik Kekhawatiran WHO & Harvard Indonesia Masih Negatif Corona” (Tirto, 12 Februari 2020, https://tirto.id/di-balik-kekhawatiran-who-harvard-indonesia-masih-negatif-corona-eyjB, diakses pada 11 Mei 2020)
[2] Q.S. 27: 29-31
[3] Q.S. 27: 32
[4] Q.S. 27: 33
[5] Q.S. 27: 16-17
[6] Q.S. 27: 36
[7] Q.S. 27: 37
[8] Q.S. 27: 34
[9] Q.S. 27: 35
[10] Q.S. 27: 44
[11] Q.S. 27:44
[12] Q.S. 12:44
[13] Q.S. 12: 46
[14] Q.S. 12: 47-49


Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Pola Perubahan dalam Siklus Sejarah Menurut Model Panarchy: Tinjauan Ringkas