Melenyapkan Poenale Sanksi

 


Pidato Soekiman Wirjosandjojo di Konferensi Perburuhan Internasional di Liga Bangsa-bangsa, Genewa, 24 Juni 1939, Penerjemah: AHWS

Sidang yang saya hormati, saya ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk berbicara di sini, di hadapan pertemuan internasional ini.[1]

Pertama, saya merasa berhutang budi kepada Pemerintah Belanda dan Federasi Buruh Belanda atas kesempatan ini dan selanjutnya kepada semua saja yang telah memberi bantuan kepada saya. Saya tidak mengharapkan suatu keajaiban sebagai hasil pandangan saya, saya sungguh-sungguh akan bersikap realistis dan tidak mengharapkan hasil yang tiba-tiba. Selain itu, dalam Al Quran sendiri telah disabdakan, bahwa Tuhan hanya akan mengubah nasib mereka apabila mereka sendiri mau bersungguh mengadakan perubahan atas dirinya.[2]

Sekarang saya tidak percaya bahwa perubahan dan perbaikan dari rakyat banyak atau sebagian rakyat dapat dicapai oleh mereka tanpa susah payah dan keberanian dalam mencapai perubahan dan perbaikan itu. Tidak pernah perbaikan nasib itu datang (secara cuma-cuma) dari langit. Dalam pada itu saya merasa gembira bahwa suara saya yang mengadukan penderitaan rakyat saya dapat didengar dalam sidang ini.[3]

Dalam dua pertemuan konvensi ILO, telah diambil keputusan yang bermaksud mengatur dan memperbaiki banyak hal mengenai nasib teman-teman setanah air saya, yaitu konvensi tentang buruh kasar pada tahun 1929 dan 1930. Dalam pertemuan sekarang ini, konferensi mencoba membawa acara mengenai pengaturan internasional tentang perjanjian perburuannya buruh pribumi dan majikan non-pribumi, juga dengan tujuan untuk membawa perbaikan daripada buruh yang tak tertolong nasibnya dan tak dapat membela dirinya. Untuk semua pekerjaan yang mulia itu, ILO berhak mendapat ucapan terima kasih dari semua orang yang bermaksud baik untuk kemajuan buruh pada umumnya, khususnya kaum buruh pribumi.[4] Dengan usaha-usaha untuk memperbaiki nasib para buruh pribumi, ILO menunjukkan perasaan kemanusiaannya yang segera dan mudah dapat dikenal.[5]

Kaum buruh pribumi sebagai akibat dari larangan sejumlah sebab-sebab lain, secara umum dapat saya katakan, tidak berdaya dan tidak ada perlindungan, khususnya di Indonesia. Kaum buruh di negeri saya tidak memiliki suatu organisasi buruh yang tersusun baik dan tidak mempunyai partai politik seperti di Eropa dan Amerika yang dapat membela kepentingan mereka di DPR dan di mana saja.[6]

Rakyat kami dalam banyak hal masih terbelakang, karena itu berhak untuk mendapat santunan khusus dari lembaga seperti ILO yang memang didirikan dengan maksud untuk meningkatkan standar hidup dan memperbaiki kelemahan sosial di antara kaum buruh terutama untuk buruh pribumi.[7]

Bagaimanapun juga saya menyesal karena dalam diskusi mengenai masalah ini yang dilangsungkan dalam dua tahap sebelum konferensi, hanya saya sendiri yang secara langsung merupakan wakil dari buruh pribumi, sedangkan di pihak lain, wakil-wakil dari golongan majikan non-pribumi cukup banyak.[8]

Selanjutnya, saya juga ingin menyatakan penyesalan saya bahwa ternyata konferensi tidak melihat jalan keluar untuk sekaligus menghapuskan sistem poenale sanksi, dan kenyataannya memang tidak ada jaminan penghapusannya secara berangsur-angsur. Akibatnya, sistem tersebut masih akan dipertahankan dalam waktu lama (bertahun-tahun), sedangkan dalam kenyataannya sistem yang tidak adil itu telah sejak seperempat abad dipertengkarkan. Dilihat dari sudut pandangan moral, poenale sanksi sudah tidak dapat dipertahankan lagi dan harus dikutuk oleh setiap orang yang berpikiran benar. Bagaimana kedudukannya sekarang?[9]

Orang yang membela poenale sanksi sering kali menggunakan alasan dalam menyetujuinya, bahwa dalam kenyataannya para buruh pribumi yang bekerja di bawah sistem poenale sanksi tidak memiliki tanah garapan sendiri, dan setiap tindakan di bawah Undang-undang sipil yang diterapkan kepada mereka tidak berfaedah mengingat kemiskinan dan segala kemungkinan cara menggambarkannya. Apa yang tetap buruk ialah bahwa apabila seorang buruh pribumi, karena sesuatu sebab melanggar kontrak kerja yang kerap kali tidak ada maksud-maksud buruk, dapat begitu saja direnggut dari perkebunan oleh tangan-tangan kuat atas nama hukum untuk kemudian dipenjarakan.[10]

Saya ingin memberanikan diri untuk bertanya apakah ini (poenale sanksi) bukannya perbudakan yang terselubung? Dalam abad yang dikatakan beradab ini, sistem semacam itu benar-benar memerosotkan martabat kemanusiaan. Apabila dilihat kenyataan bahwa hampir seluruh buruh yang bekerja di bawah kontrak kerja itu sendiri dari bangsa berwarna yang terjajah, maka jelaslah apa sebabnya kami menuntut agar sistem kontrak kerja semacam itu dihapuskan.[11]

Bertolak dari pendapat di atas, sistem poenale sanksi itu melekat pada masalah kolonial dan ras, karenanya Liga Bangsa-bangsa telah mencoba mencari pemecahannya, setidak-tidaknya dalam teori, dengan cara memasukkan sistem mandat dalam perjanjian.[12]

Apa pun motif dari Pemerintah Amerika Serikat yang beberapa tahun yang lalu memutuskan untuk melarang barang-barang impor dari negeri di mana sistem poenale sanksi dilaksanakan, benar-benar sikap yang tidak mementingkan diri sendiri. Bagaimanapun juga, langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Amerika Serikat berakibat berkurangnya pelaksanaan poenale sanksi di Indonesia. Khususnya di perkebunan tembakau di Indonesia, para majikan Hindia Belanda terpaksa mempekerjakan para buruh dengan perjanjian sukarela (voluntary system).[13]

Dalam kenyataan tinggal 6,5 persen kontrak yang ada di Indonesia masih diselipkan pasal-pasal tentang hukuman. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan sudah dapat dilakukan persamaan antara buruh bebas dan yang lainnya (buruh pribumi).[14]

Menurut pendapat saya, sistem poenale sanksi hanya tinggal dipertahankan oleh sekelompok kecil majikan yang menarik keuntungan dari sistem itu, dan bukan untuk kepentingan umum sistem itu dipertahankan. Dengan tidak ragu-ragu, poenale sanksi telah dikenalkan, kemudian dipertahankan untuk menjamin kepatuhan para buruh kepada majikannya, karena itu poenale sanksi biasa diterapkan di daerah-daerah yang langka tenaga buruh. Agar terikat kepada kepentingan majikan, para buruh dibelenggu dengan sistem poenale sanksi yang tidak bermoral itu.[15]

Pada dasarnya, perwujudan dari sistem poenale sanksi sudah dibuang beberapa abad yang lalu di mana para buruh dianggap sebagai barang dagangan yang dapat disewakan dan dijual-belikan. Jadi jelaslah bahwa siapa pun yang masih mempunyai rasa kemanusiaan harus mengutuk sistem poenale sanksi yang palsu dan tercela itu.[16]

Atas nama beribu-ribu buruh pribumi yang melarat, yang membanting tulang untuk memperoleh sesuap nasi, yang selalu dalam ancaman penjara karena kesalahan-kesalahan kecil yang dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kontrak kerjanya, demikian pula atas nama keadilan dan peradaban, saya akhiri pidato saya ini dengan menyerukan satu seruan yang mendesak, agar Persidangan internasional ini atas kesadarannya mengutuk sistem kontrak kerja ini untuk selama-lamanya serta berusaha segiat-giatnya untuk segera menghapuskannya.[17]



[1] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal. 36

[2] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 36

[3] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 36

[4] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 36

[5] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 37

[6] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 37

[7] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 37

[8] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 37

[9] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 37

[10] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 38

[11] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 38

[12] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 38

[13] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 38

[14] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 39

[15] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 39

[16] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 39

[17] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 39

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan