Pendirian Sekolah Tinggi Islam
Tulisan Soekiman Wirjosandjojo di Pedoman
Masyarakat, Medan, 10 Mei 1939
Sebagaimana juga di negeri-negeri besar,
Amerika, Inggris, dan lain-lain ada mempunyai sekolah tinggi sendiri-sendiri
yang mendidik pengetahuan agama sampai setinggi-tingginya, begitu juga di
Indonesia orang luar negeri setuju adanya Hooge School Islam di negeri ini.[1]
Intellectueelen dulu tidak suka mempelajari
agamanya karena kaum ulama, kyai, dan guru-guru besar agama (dalam pengertian
Din) Islam di Indonesia umumnya tidak punya pengetahuan umum, sehingga pihak
intellectueelen tidak bisa campur padanya. Sebaliknya, pihak kyai dan
sebagainya itu tidak bisa bercampur dengan intellectueelen itu, karena kepandaiannya
tidak bisa selaras dengan intellectueelen itu.[2]
Tetapi sekarang kaum intellectueelen sudah
merasa, mereka tidak mau pisah dengan rakyat. Tiga macam sekolah (yang
memadukan pelajaran Islam dengan sains) sudah ada, yaitu guna orang terpelajar
seperti studi club yang sudah ada di Malang, Mojokerto, dan sebagainya. Sekolah
Tinggi itu perlu diadakan di kota-kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan
Solo.[3]
Islam college yang sudah ada itu sifatnya
seperti sekolahan rakyat untuk orang dewasa. Hooge School di Batavia-C yang
didirikan oleh MD (Muhammadiyah) itu untuk ekonomi, handel, dan sebagainya,
jadi seperti handelschool yang berdasar Islam. Tapi hoogeschool yang akan
didirikan di Solo itu semata-mata buat kepentingan agama Islam.[4]
Kyai dan penghulu-penghulu kebanyakan tidak
mengenal pengetahuan umum, sedang sebaliknya intellectueelen tidak mendapat
pengajaran Islam. Dengan itu santri-santri dan intellectueelen menjadi jauh
dalam pergaulan. Kaum kyai tidak bisa memasuki dalam kalangan intellectueel
sebab tidak punya pengetahuan umum; tapi sebaliknya kaum Domine bisa masuk
dalam kalangan intellectueelen sebab mereka punya pengetahuan umum.[5]
Untuk pembangunan sekolah luhur Islam itu,
perlu di bawahnya ada sekolah rendah Islam yang mendapat pelajaran Islam dan
disampingnya itu diadakan pula sekolah untuk kyai dan penghulu-penghulu supaya
mendapat pelajaran pengetahuan umum.[6]
Bagi pendirian itu yang terpenting ialah guru
dan kapital. Dalam sekolah itu orang akan dapatkan dua aliran, ialah yang ingin
mendapat pengetahuan umum (wetenschap) dan sebagian ingin mendapat pangkat
tinggi. Zaman ini zaman materialis, jadi siapa-siapa pun perlu mencari pengetahuan
itu untuk mencari rezekinya. Tetapi orang yang ingin menjadi kyai dengan tidak
mengharap bayaran tinggi, perlu juga pengetahuan agama yang luas sekali.[7]
Hoofd-penghulu dan penghulu-penghulu itu
bekerja bersama dengan President Landraad, ialah dengan orang-orang
rechtskundigen dan orang-orang yang dari sekolah luhur, tetapi penghulu umumnya
tidak tahu apa-apa, sehingga hanya menjadi tukang penyumpah saja. Kekuasannya
penghulu-penghulu itu semakin hari semakin disempitkan, karena memang tidak
cukup untuk kepentingan pekerjaannya. Penghulu-penghulu gajinya L 75 seblulan
dan hoofd-penghulu sampai L 100, ini buat pekerjaan yang hanya vak begitu saja
sudah terlalu besar (jika perannya dibatasi).[8]
Di salah satu tempat seperti di Bandung,
katanya hoofd-penghulu penghasilannya sebulan tidak kurang dari L 100, sedang
dibandingkan dengan pekerjaan Indische Arts yang dulu nama Inlandsche Arts
hanya L 75, tapi kemudian dalam tempo 10 tahun sudah berubah menjadi L 250
sebulan. Dengan begitu, jika negeri sudah banyak orang-orang keluaran akademi,
jika menjabat pekerjaan negeri gajinya harus disamakan.[9]
Untuk mencapai cita-cita sekolah tinggi itu,
perlu sekali tenaga pengajar (leerkracht) ialah guru-guru, buat ini lebih
dahulu guru-guru dari NU atau Muhammadiyah dan sebagainya diberi pelajaran dari
sekolah tinggi itu tentang wetenschap, kemudian akan bisa menjadi guru besar
dalam sekolah yang dimaksudkan.[10]
Studenten dari kelas satu umpamanya banyak
yang ditolak masuk kelas II karena dalam akademi itu kebanyakan dipilih orang-orang
yang betul-betul cerdas, karena tidak perlu terlalu banyak. Selain itu, di
sampingnya sekolah luhur itu, perlu didirikan sekolah AMS, tiga macam ialah
yang berbahasa Arab, Nederlandsch, dan Indonesia. Ini masing-masing dalam
sekolah luhur tadi.[11]
Pelajaran-pelajarannya diatur seperti di
Eropa, yaitu diadakan examen (ujian) tiga amcam: buat masuk, buat naik kelas,
dan examen penghabisan (ujian kelulusan).[12]
Diterangkan panjang lebar bahwa lain bangsa
punya doktor dalam rupa-rupa hal. Kita di Indonesia sudah ada doktor in de
letterkunde, in de rechten, dan sebagainya, tetapi tidak punya doktor in de
Islam.[13]
Dalam sekolah itu perlu dapat ajaran bahasa
Arab, tafsir, hadis, tauhid, dan ilmu-ilmu Islam dan juga pengetahuan yang
tidak berhubungan dengan Islam (sains sekuler atau ilmu umum) seperti adat
recht, Volkenkunde Indonesia, ilmu hukum Indonesia, dan sebagainya. Lamanya
sekolah itu hanya 5 tahun. Ongkosnya jika college Islam L 500, sedang buat
sekolah itu bisa jadi hanya L 300. Sekolah itu perlu pakai internaat (asrama
atau pesantren), supaya anak-anak itu bisa menjalankan praktiknya, jangan tahu
tentang teori saja. Jika tidak ada internaat, kuatir anak-anak itu berbuat
tidak baik di luaran.[14]
Dalam sekolah itu perlu pula bibliotheek
(perpustakaan). Ini dianggap paling penting sekali. Seorang ahli di Perancis
sudah menjanjikan akan menyokong pengumpulan bibliotheek Islam dalam Perancis,
karena negeri itu ada mempunyai tanah-tanah jajahan yang penduduknya beragama
Islam.[15]
Tetapi sekolah luhur itu akan diusahakan
supaya tidak perlu pakai bahasa asing lagi, agar bahasa Indonesia bisa menjadi
bahasa perantaraan (pengantar) dan bahasa wetenschap. Juga sekolah yang memakai
bahasa Indonesia itu dari tanah Malaka, Johor, Straits dan sebagainya bisa
ditarik kemari.[16]
Tentang organisasi tidak perlu terlalu
dipusingkan, itu semua bisa diserahkan kepada perhimpunan-perhimpunan yang
sudah ada dan zelf-bestuur-zelf-bestuur yang semuanya beragama Islam, dan hal
itu nantinya bisa minta subsidi pada pemerintah sama sekali, karena itu memang
ada kewajibannya pemerintah.[17]
Pemerintah sendiri dulu sudah punya cita-cita
serupa itu, tapi niatan itu tidak dilanjutkan, akrena katanya kautir pihak
Islam kolot menjadi salah sangka, dianggap merusak agamanya. Sebagaimana
sekolahan tingi buat technisch (teknik) di Bandung dulu dari tangan particulier
(partikelir), tetapi sekarang sudah menjadi sekolah pemerintah sendiri, yang
diurus oleh pemerintah sendiri.[18]
Hoogleeraar akan memberi pelajaran kepada kyai
dan ulama-ulama yang sudah pandai tentang ahama Islam, yang mana ini akan
menjadi guru dalam sekolah tersebut. Di Indonesia, sudah banyak orang yang
pandai agama Islam, tetapi tidak mempunyai kennis wetenschap sama sekali. Diterangkan
bahwa dari Al Azhar akan membantu kirim 3 orang guru dengan dipikul sendiri
ongkosnya dari sana.[19]
Tapi itu guru-guru tentu memakai bahasa Arab
dan Perancis. Dari itulah guru-guru dari sana itu hanya buat memberi pelajaran
kepada calon guru-guru di sini saja yang sudah pandai dalam urusan Islam,
supaya bisa mendapat pengetahuan umum. Hoogleeraren itu cuma sebagai pengawas
dari guru-guru di sini sendiri.[20]
Tentang urusan keuangan, diterangkan bahwa
hoogleraren itu tidak dibayar karena dapat sumbangan dari Mesir dan bayaran
guru itu tidak seperti guru sekolah tinggi gubernemen yang gajinya L 100 dan
tiap tahun dapat tambahan L 100, tetapi cukup dengan bayaran L 300 atau paling
tinggi L 600.[21]
Begrooting sekolah itu sudah dihitung secara
kasarnya kira-kira dalam setahun L 16.000 buat bagian tahun pertama karena
dalam tahun pertama itu banyak barang yang perlu diadakan; dalam tahun kedua L
12.000; dan dalam tahun ketiga juga L 12.000.[22]
Keadaan sekarang vak-vak pelajarannya
kyai-kyai itu sebagai pekerjaan samben (sambil lalu) saja, pekerjaannya di
Landraad atau pengadilan cuma sebagai adviseur atau tukang menyumpah saja.[23]
Untuk memikul beban yang begitu berat, uang
kas masjid bisa diminta dari pemerintah supaya digunakan untuk pekerjaan itu.
Kas masjid itu bukan uang pemerintah, tapi uang umat Islam, jadi kalau digunaka
buat keperluan Islam ada pada tempatnya.[24]
Buat mencapai cita-cita dan kemauan itu,
diminta sokongan di mana-mana supaya mendirikan komite, guna cari uang dan
propaganda. Dari rakyat yang sudah melarat itu bisa dikumpulkan juga bias tidak
banyak, tapi dari sedikit dan asal punya kemauan keras akan tercapai juga
maksud itu.[25]
Keadaan sekarang ini kemajuan Islam jalannya
pincang karena sampai ini waktu kita belum punya doktoren dan profesoren in de
Islam atau doktoren in de filosofie dan sebagainya. Maka dari itu, cita-cita itu
wajib kita kerjakan dan di belakang hari diminta supaya segala hal itu dipikul
oleh negeri kita yang mempunyai banyak penduduk (rakyat beragama Islam). Maka
jika badan particulier (partikelir) itu sudah memulai punya inisiatif demikian,
di belakang hari ada harapan pemerintah akan suka mengambil over itu
sebagaimana contoh yang sudah terjadi ialah di Surabaya dan Yogya.[26]
[1] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal. 27
[2] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27
[3] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27
[4] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27
[5] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 28
[6] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 28
[7] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 28
[8] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 28
[9] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 28
[10] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 28
[11] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 29
[12] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 29
[13] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 29
[14] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 29
[15] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 29
[16] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 29
[17] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 30
[18] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 30
[19] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 30
[20] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 30
[21] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 30
[22] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 30-31
[23] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 31
[24] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 31
[25] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 31
[26] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 31
Comments
Post a Comment