TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI
Tuhan, Bangsa,
Almamater. Itulah semboyan yang kita, sebagai mahasiswa ITB, banggakan selama
ini. Tiga kata dalam semboyan itu mengandung makna yang sangat dalam dan berat.
Tuhan berarti kita sebagai mahasiswa ITB adalah insan yang religious. Kita
belajar dan berkarya untuk mengabdi kepada Sang Pencipta dan
mengimplementasikan nilai-nilai keluhuran kita sebagai hamba-Nya dalam
kehidupan sesuai dengan agama kita masing-masing demi terwujudnya kehidupan
yang damai dan berkeadilan. Bangsa berarti kita memiliki tanggung jawab untuk
mengabdi kepada kemaslahatan bangsa kita, Indonesia, untuk membuatnya maju dan
sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Saya ingat kata-kata rektor saat Sidang
Terbuka 11 Agustus lalu, bahwa ITB bukanlah menara gading, ITB tidak berada di
atas atau di depan masyarakat, tapi berada di tengah-tengah masyarakat. ITB dan
seluruh jajarannya, termasuk kita, mahasiswa, seharusnya berperan sebagai
pionir pembangunan bangsa. Almamater berarti kita sebagai mahasiswa ITB harus
menjaga nama baik dan harum almamater kebanggaan kita sebagai sebuah institusi
pendidikan yang selama ini selalu menghasilkan lulusan-lulusan yang dapat kita
lihat sebagai “orang besar zamannya” semacam Sukarno, Habibie, dan sebagainya.
Namun, sudahkah
semboyan itu mulai kita jalankan sebagai mahasiswa baru ITB angkatan 2014?
Terdapat sebuah cerita ironi. Mungkin hanya ironi menurut saya sendiri, tapi
saya harap teman-teman mau mendengarkan keluh kesah saya ini. Hari ini, 19
Agustus 2014, setelah diklat selesai, selepas Ashar, saya berjalan-jalan di
jalan Ganesha sekitar Salman untuk mengambil pesanan buku di pedagang pinggir
jalan. Saat itu, saya melihat beberapa mahasiswa baru (maba) nongkrong-nongkrong
sambil merokok di pinggir jalan itu. Saya tahu kalau mereka adalah maba karena
mereka memakai jaket almamater (jamal) yang pada hari itu diwajibkan untuk
dipakai oleh seluruh maba. Saya sangat terkejut melihatnya. saya berpikir,
mungkin di luar sekolah saya – sampai SMA saya berada di sekolah berasrama –
merokok adalah suatu hal yang biasa. Namun perlu diingat bahwa saat ini, status
kita adalah masih maba. Jika sebagai maba saja kita sudah berbuat yang
macam-macam apalagi selanjutnya. Kita bahkan belum menyelesaikan OSKM.
Saya tahu bahwa
mungkin diantara teman-teman sekalian, saya bukanlah siapa-siapa, saya tidak
sepintar teman-teman, kemampuan memimpin saya juga tidak sebaik teman-teman,
apalagi dalam hal seperti seni, olahraga, dan semacamnya, saya terbilang hampir
tidak punya bakat sama sekali. Namun, saya jadi teringat suatu hal. Dulu saat
wisuda sekolah saya, seorang teman saya, saat ini ia juga ada di ITB,
mengguncang-guncang pundak saya, dan entah berapa kali dia mengatakan “prinsip,
prinsip, prinsip”. Saya menangis sejadi-jadinya ketika itu. Teman saya itu
sepertinya menganggap saya adalah orang yang baik, tapi sebenarnya tidak.
Mungkin di luar, saya terlihat sebagai orang yang pendiam dan tidak neko-neko. Namun, saat sedang
sendirian, saya sering kali melakukan hal-hal yang mungkin bisa membuat
teman-teman terlonjak ngeri atau bahkan jijik karenanya.Saya jadi sadar saat
itu, bahwa setelahnya saya bukan anak-anak lagi. Saya akan tidak hanya
bertanggung jawab atas perbuatan saya kepada diri saya sendiri, tapi juga orang
lain.
Bayangkan, jika
teman-temanku berada dalam situasi demikian. Misalnya saja teman saya yang
mengguncang-guncang pundak saya itu adalah orang tua teman-teman, guru-guru,
atau bahkan keseluruhan orang Indonesia. Mengapa kita juga harus bertanggung
jawab kepada mereka? Kita harus sadar bahwa mereka menyimpan harapan yang
teramat besar di pundak kita dan kita pun mendapat bantuan yang luar biasa dari
mereka, dari orang tua yang membesarkan dan membiayai kuliah kita, para guru yang
telah mendidik kita, teman-teman kita yang belum beruntung karena kita sisihkan
saat tes masuk ITB, dan juga seluruh rakyat Indonesia yang membayar pajak yang
digunakan untuk menyubsidi biaya pendidikan kita di ITB. Perlu kita ketahui
bahwa yang saya sebut terakhir ini tidak hanya berlaku untuk teman-teman yang
mendapat Bidik Misi maupun subsidi UKT. Menurut kakak pembina saya saat diklat
SSDK, meskipun kita semua membayar UKT secara penuh, sebenarnya total yang kita
bayarkan hanya sepuluh persen dari keseluruhan biaya pendidikan yang
dibutuhkan, artinya sembilan puluh persen kita dibiayai oleh negara yang
uangnya diperoleh dari pajak, hasil keringat rakyat.
Melihat itu,
kita seharusnya sadar diri. Kita harus tahu siapa sebenarnya kita ini. Bukankah
di jalan masuk terowongan menuju Sabuga terdapat spanduk bertuliskan “Selamat
datang putra-putri harapan bangsa”? Dengan semua harapan yang ditumpukan ke
pundak kita, kita seharusnya dapat lebih bertanggung jawab. Kita seharusnya
dapat memanfaatkan segala fasilitas yang diberikan oleh Tuhan, orang tua, dan
para pemberi beasiswa tersebut untuk mengembangkan diri kita dalam segala
bidang kompetensi secara positif. Bukankah nongkrong sambil merokok itu
tindakan yang sia-sia? Bukankah dalam bungkus rokok itu tertera tulisan “Merokok
Membunuhmu”? Bukankah ada lebih banyak hal selain merokok yang lebih bermanfaat
yang bisa kita lakukan? Bukankah kita ini masih berstatus maba? Bukankah kita
ini adalah putra-putri harapan bangsa?
Kita seharusnya
tidak menzalimi Tuhan, orang tua, dan para pemberi beasiswa dengan melakukan
tindakan yang tidak positif. Fasilitas berupa kesempurnaan fisik dan kelapangan
kesempatan yang diberikan Tuhan kepada kita bukankah tidak semua orang
memilikinya? Orang tua kita yang memberi kita uang apakah tidak sedih jika
mengetahui bahwa uang yang mereka cari dengan membanting tulang siang-malam
untuk keperluan kuliah dan kosan kita justru kita gunakan untuk membeli rokok? Para
buruh pabrik, kaum proletar, kaum yang lapar dan tertindas, apakah mereka tidak
marah jika melihat pajak yang diperas dari keringat mereka kita gunakan untuk
mengepulkan asap racun dari mulut dan hidung? Anak-anak jalanan dan anak-anak daerah
tertinggal nun jauh di sana apakah mereka tidak marah jika tahu bahka kita,
maba ITB, yang telah merebut kesempatan mereka dalam tes masuk justru
berleha-leha padahal mereka yang amat sangat membutuhkan pendidikan untuk
memperbaiki nasib justru terkucilkan oleh lebatnya hutan, keruhnya lumpur
sungai, dan kerasnya kolong-kolong jembatan?
Di Bojonegoro,
di daerah tempat tinggal saya, tepatnya di Kecamatan Sekar, terdapat sebuah SMP
Negeri yang terletak di pinggir hutan jati. Saat akan menghadapi UN, wali murid
siswa kelas IX SMP tersebut dikumpulkan. Jangan bayangkan para wali murid itu
seperti kebanyakan orang tua teman-teman! Mereka datang dengan celana pendek,
bertelanjang dada, dan masih mengenakan caping. Sebagian lagi datang dengan membawa
tumpukan kayu besar-besar yang mereka letakkan di halaman sekolah. Jangan
bayangkan pula sekolahnya bagus macam sekolah kalian! Apalagi murid-muridnya,
jangan bayangkan mereka seperti kalian!
Kepala sekolah
mengatakan kepada para wali murid itu (dalam bahasa Jawa tentunya), “Pak, Bu, apakah
Anda sekalian mau anak-anak Anda jadi maling atau jadi orang baik?”
Tentu saja
mereka semua menjawab bahwa mereka ingin anak mereka tidak menjadi maling tapi
menjadi orang baik. Kepala sekolah melanjutkan
“Pak, Bu, kalau
begitu terima saja kalau anak-anak ini tidak lulus UN.”
Akhirnya benar
juga. Dari semua siswa itu, yang bisa lulus UN bisa dihitung dengan jari.
Namun, sekolah itu masih terus berusaha sehingga para siswa itu bis lulus walau
dengan kejar paket. Mendengar itu, apakah kita tidak malu? Mengapa kita masih
berhura-hura? Mengapa kita masih menghabiskan waktu dengan merokok? Sebenarnya
yang lebih berhak masuk ITB itu kita atau mereka?
Maka, saya ingin
mengingatkan kepada diri saya sendiri juga kepada teman-teman, terutama yang
sore ini duduk-duduk sambil merokok di pinggir jalan itu. Kita masih maba, baru
seumur jagung di sini. Seyogyanga kita tidak berbuat demikian. Tidak hanya itu,
kita adalah harapan bangsa. Memang saya ini bukan siapa-siapa. Saya tidak
berhak melarang kalian dari kesenangan-kesenangan semacam itu. Saya sendiri
bukan seorang yang sangat sempurna dan ideal. Saya banyak melakukan kesalahan
yang justru seringkali berdampak bagi orang lain.
Namun, marilah
kita sama-sama belajar menjadi pemanggul tanggung jawab besar sebagai pemuda
Indonesia. Mimpi lepas landas tidak akan pernah terwujud jika kita tidak
berubah. Saya minta, bahkan jika kita diperbolehkan memohon kepada makhluk,
saya mohon kepada teman-teman sekalian, untuk menciptakan situasi yang kondusif
untuk mengembangkan diri dalam semua aspek kehidupan. Seyogyanya hal itulah yang dilakukan, karena kita, kaum
mudalah, tempat bangsa ini berharap, tidak hanya untuk mengawal proses demokrasi
yang sudah sekian lama berjalan, tidak hanya untuk mewujudkan Indonesia yang
benar-benar lepas landas, tidak hanya karena kita mahasiswa ITB, tapi lebih
dari itu semua, karena memang selain kita, tak ada lagi yang lain. Kang dhuwe lakon Sira, datan ana liyanmaning-maning.
M
Miftahul Firdaus lahir di Bojonegoro, 11 Juni 1996. Saat ini menempuh
pendidikan di FTMD ITB. 2014.
Berpikiran terbuka aja bro! Pusing sendiri lu ntar
ReplyDeleteMemang susah menjelaskan pada kalian yang sudah menganggap lumrah sesuatu yang biadab lagi menjijikkan. Inilah yang membuat sendi2 luhur bangsa kita semakin rapuh dan mengarah pada kebinasaan!
DeleteSudut pandang itu terbentuk karena kebiasaan dalam suatu lingkungan. Jika terbiasa dalam suatu lingkungan yang baik, maka hanya melihat sedikit kejanggalan saja hatinya terusik. Setuju dengan bung zaky. Mas atau Mbak Anonymus, berpikiran terbuka bukan berarti kemudian tutup mata, toleransi bukan kemudian menganulir kesalahan. Permisif itu bukan hal baik. Seringkali kita dengar dimana-mana, jejaring sosial, media, bahkan seminar-seminar, "sampai kapan bangsa kita akan terus begini?" lalu keluarlah segala keluh kesah tentang keburukan bangsa. Padahal, coba berkaca! apa saja yang sudah kita lakukan memangnya?
DeleteMungkin di mata anda ini masalah sederhana. Tapi coba lihat lebih dekat.
Lagipula, nggak usah hidup kalo memang nggak mau pusing. Justru 'pusing' itu yang bikin hidup ada maknanya. Kalau anda mau hidup lempeng lempeng aja, hepi hepi aja, seneng seneng aja, maka coba renungkan, mungkin saja hidup anda tidak bermakna.
Mati Ja lu anjing...
ReplyDeleteAstagfirullahaladzim, kok ngomongnya kasar yaa. Sangat ironi melihat generasi kita seperti ini
ReplyDeleteAstaghfirullah
ReplyDeleteSubhanallah alhamdulillah allahuakbar nerdekaa broo indonesia udh merdeka!!!!!
ReplyDeleteYuk nti cabs kubus
ReplyDeleteMau ikut aja gmna?
ReplyDeletejangan cuma ngomong doang, gada gunanya. TEGUR DONG!!!!!!!!!!!!
ReplyDeleteikut nongkrong di kubus yok !!
ReplyDeleteHahahahaha apaansih lu ah becanda yah
ReplyDeleteMaba cari sensasi
ReplyDeleteSaya juga terkejut melihat teman-teman maba sudah enak banget merokok di lingkungan ITB. Kalau yang bang Firdaus Miftahul ini masih di sekitaran Salman, saya jelas-jelas melihatnya di dalam area ITB. Dan saya jelas-jelas tahu bahwa mereka maba karena itu terjadi tepat setelah sebuah acara wajib untuk maba. Sedih sekali. Semoga kebiasaan buruk mereka tidak menular pada maba lainnya, semoga kebiasaan buruk mereka bisa dihilangkan.
ReplyDeleteMengingatkan orang-orang seperti itu sulit. Saya sudah pernah mencoba meski bukan pada mereka (oknum maba). Dan responnya adalah: mereka marah dan tetap enak-enak saja merokok. Saya sudah pernah juga ikut aksi peduli rokok yang turun ke jalan dan membujuk para perokok mematikan rokoknya saat itu juga sambil kami membagikan flyer bahaya rokok. Cara ini mungkin tidak bisa langsung membuat mereka menghentikan kebiasaan merokoknya, tapi paling tidak itu bentuk peduli & usaha kami.
Semangat terus bang Firdaus Miftahul!
Di area ITB ada area merokok kok
ReplyDeleteudah ayo ikutan ngrokok aja!
ReplyDeleteKetika kejelekan dianggap biasa, suatu saat kan binasa
ReplyDeleteKetika telinga tak mau mendengar, hati pula kan tertutup
ReplyDeleteKayaknya bang firdaus harus dkasih rokok nih. Nanti tanggal 1 september bang saya tunggu di kubus kita ngerokok bareng. Oce?
ReplyDelete