Dedaunan Protes kepada Asap
Sebuah cerpen oleh M Miftahul Firdaus
Pohon – pohon kares semakin sedikit memenuhi sisi-sisi jalan desaku.
Angin siang yang kini panas menerjang dan menggugurkan daun-daun pohon kares
yang coklat kerontang. Mentari siang ini juga begitu menyengat, seakan hanya
berbaring sepanjang galah di atas ubun-ubun. Sementara motor pikap yang
kutumpangi dari jalan depan pasar Sumberrejo yang penuh sesak kini melanggeng
tanpa hambatan. Jalan-jalan di desa-desa yang bahkan berkilo-kilo jauhnya dari
pusat kecamatan telah diaspal. Telah banyak yang berubah sejak aku pergi lima
tahun lalu. Jalan-jalan yang kulewati ini dulu begitu sepi, kepak lalat pada
sunyi. Tapi kini, tak terhitung jumlahnya sepeda motor dan truk-truk ukuran
sedang pengangkut hasil bumi dan ternak berlalu-lalang. Menciptakan pemandangan
berkelebat-kelebat yang diselimuti kepulan asap hitam dari mesin-mesin yang
sudah digilas usangnya zaman. Sementara pikap yang kunaiki juga tak kalah
bobroknya. Apalagi ditambah dengan sisa-sisa pengangkutan tembakau yang minta
ampun lengketnya.
“Kanor sudah dekat, Mas!” teriak sopir pikap di depanku dengan suara
yang sengau.
Kulirik jam tangan, sudah pukul sebelas tiga puluh, azan zuhur sudah
mulai berkumandang. Aku menguap dengan mulut terbuka lebar yang sudah tak bisa
kutahan lagi. Perjalanan mudik memang selalu melelahkan. Libur dari pesantren,
aku segera pulang sore harinya naik bus dari Serang ke Bojonegoro. Pagi hari
sekitar jam delapan pagi aku baru sampai. Setelah itu aku masih harus menempuh
perjalanan darat dari kota Bojonegoro menuju desaku yang lumayan jauh. Apalagi
ditambah panasnya cuaca di bulan puasa seperti ini. Untungnya, jalanan di
Bojonegoro sudah semakin baik. Kendaraan yang bisa ditumpangi pun sudah semakin
banyak di kota kecil ini bahkan sampai menjangkau ke pelosok-pelosoknya.
Kupandang sekelilingku. Perbaikan ekonomi kota kecil ini sudah
sedemikian terasa. Rumah-rumah penduduk, yang sebelum aku pergi masih
didominasi kayupun, kini sudah hampir semuanya menjadi rumah tembok yang
dilapisi marmer mengkilat di dinding dan lantainya. Sepeda motor sudah semakin
menjamur. Hampir semua rumah di kanan-kiri jalan ini memarkir lebih dari satu
sepeeda motor di halamannya. Mobil pun sudah mulai banyak dimiliki oleh para
penduduk desa. Tapi ada yang mengganggu ketakjubanku akan perbaikan yang
terjadi. Entah kenapa, rasanya daerah ini jadi semakin gersang. Mungkin karena
sudah banyak pohon-pohon yang hilang. Pohon-pohon yang dulu memagari
jalan-jalan dan membuatnya rindang.
Saat aku kecil, aku suka berlari di tengah-tengah jalan berkerikil
yang dipagari pohon-pohon kares menuju lokasi persawahan di desaku. Disamping
pagar hijau nan rindang, ada sungai kecil yang airnya jernih mengalir,
memisahkan tanaman-tanaman padi yang menguning dengan rumput-rumput liar yang
menggumpal begitu tebal di tepian sungai itu. Tapi kini, pagar hijau itu sudah
bolong-bolong. Kalaupun masih ada, itupun yang daunnya banyak meranggas
termakan kemarau. Air kedua sungai kecil yang mengapit jalan itu pun juga sudah
sedemikian hitam. “Semua perubahan pasti punya sisi negatif,” pikirku.
Mobil pikap yang kutumpangi terus melaju dengan suara mesinnya yang
merorong-rorong, memecah kesunyian siang saat semua penduduk desa memilih
beristirahat di dalam rumah masing-masing menghindari sengatan matahari siang
musim kemarau, menyisakan papan-papan berlapis rajangan tembakau berwarna
kuning di atas pagar-pagar mereka. Sementara angin melaju melalui bagian
terbuka bak mobil pikap ini, rasa lelah mencengkeramku dan mencampakkanku dalam
kantuk. Aku mencoba menahannya. Tapi kondisiku sudah sedemikian payah. Aku
seperti berada di persimpangan antara tidur dan terjaga.
“Apa, sih yang Kamu lakukan?” sayup-sayup aku mendengar suara,
seperti suara orang yang marah tapi merintih.
“Aku tak melakukan apa-apa!”
“Jangan konyol, sudah seharian ini kau membuatku terbatuk-batuk
sampai perutku keras!”
“Aku hanya numpang lewat saja, apa tak boleh!”
“Boleh kalau baumu itu wangi, sedah busuk, beracun lagi!”
“Kalau bukan begitu bukan asap namaku!”
“Bodoh amat soal namamu. Asal tahu saja, kau bisa membunuh siapa
saja hanya dengan melewatinya!”
“Bah, omong kosong! Itu kan hanya karena kau Cuma daun tua yang
besok pagi bakal rontok!”
“Ya, rontok karena ulahmu!”
“Sudah kubilang aku tak melakukan apapun!”
“Ya, tak perlu melakukan apapun kalau dengan keberadaanmu saja sudah
menyengsarakan orang lain!”
“Apa kau bilang, mau berkelahi?”
“Berkelahi bagaimana, memegangku saja tidak bisa. Beraninya cuma
membuat sesak orang lalu kabur terbirit-birit begitu!”
“Aku tidak kabur, aku inikan asap yang ditakdirkan selalu menempati
tempat yang lebih tinggi!”
“Ya, karena itu pula hujan sekarang jadi masam, air tanah jadi
masam, dan suasana batinku pun jadi masam. Aku ini kan butuh banyak air segar,
bukan air hujan asam!”
“Tak usah banyak protes, begitu lahir di dunia ini, aku sudah jadi
begini!”
“Lalu aku harus menyalahkan siapa, harus protes pada siapa, harus meminta
perubahan pada siapa!”
“Itu bukan masalahku!”
“Jangan seenaknya”
“Ada apa ini?”
Aku tak tahu apa yang sedang terjadi. Tapi di depanku, dua sosok
yang wujudnya kurang jelas kulihat sepertinya sedang berdebat dengan sengitnya.
Lalu tiba-tiba saja, sebuah suara lain yang terdengar begitu berat memotong
perdebatan itu. Suara yang terdengar begitu berwibawa.
“Ada apa ini, Daun, Asap, kenapa kalian bertengkar?”
“ Ini gara-gara ulah Asap!”
“Bukan aku tak melakukan apapun!”
“Cukup, cukup bertengkarnya. Sekarang, jelaskan baik-baik apa duduk
perkaranya.”
Perlahan-lahan, wujud ketiga sosok itu semakin lolos dari
keremangan. Sosok yang pertama berwujud seperti daun dengan tepi bergerigi.
Anehnya, daun itu berdiri tegak dan memiliki tangan dan kaki selayaknya manusia.
Daun itu juga memiliki wajah seperti wajah manusia, lengkap dengan sepasang
mata yang kelabu, hidung yang besar, dan bibir tipis yang samar-samar terlihat
dari jauh.”Apakah aku bermimpi?’ pikirku. Tapi bersamaan dengan semakin
jelasnya visiku akan sosok terebut, semakin jelas terasa pula nyatanya
peristiwa di depanku.
Kualihkan pandanganku ke sosok lainnya. Sosok kali ini terlihat
lebih abstrak. Sosok itu seperti segumpal, atau mungkin lebih tepatnya
sekepulan asap yang aanehnya tak membubung. Ia tidak memiliki kaki tapi
memiliki sesuatu mirip tangan yang kecil. Bagian bawah tubuhnya mengerucut
seperti sebuah putting beliung kecil, sementara bagian atas tubuhnya seperti
bulatan tak beraturan yang bagian-bagiannya seakan terus akan terlepas menjadi
serpihan-serpihan yang berkelebat-kelebat.
Sementara sosok yang terakhir terlihat menyeramkan. Dari leher ke
bawah seperti manusia yang tubuhnya sudah ratusan tahun berlatih angkat beban,
penuh dengan otot yang kekar dengan kulit hitam legam sekujur tubuh. Sementara
bagian kepalanhya adalah kepala kerbau dengan sepasang tanduk yang juga begitu
kekar, seakan sanggup menembus kendaraan lapis baja paling tebal sekalipun.
Kali ini, sosok ini mendengus mendengar perkataan sosok lainnya.
“Begini kawan Kerbau, Si Asap ini, setiap harinya selalu lewat di
depan pucuk hidungku dengan bau yang menyengatnya minta ampun. Ditambah lagi,
ia selalu membiarkan serpihan-serpihan beracunnya masuk ke hidungku. Apa jadi
menderita batuk akhir-akhir ini dan terkadang malah jadi pusing semua.”
“Tidak benar itu semua! Aku Cuma lewat sebagaimana aku lewat di
depan siapa saja dan serpihan yang kupakai juga selalu sama denga serpihan yang
kupakai saat aku bepergian ke tempat lain juga. Selama ini tak pernah ada yang
protes. Dia saja yang terlalu berlebihan!”
“Ah, hanya mengeles saja! Buktinya kenapa saat kamu lewat aku selalu
mendadak batuk tanpa bisa kutahan?”
“Mana aku tahu, masa bodoh!”
“Sudah, sudah, jangan ngotot-ngototan begitu! Tidak boleh bertengkar
lagi.Daun, bukannya kamu itu biasa menghirup udara kotor untuk disaring?”
“Benar, tapi itupun dalam batas tertentu. Keadaan udara yang aku
hirup akhir-akhir ini semakin pekat karena ulah Si Asap ini!”
“Itu tidak benar!”
“Itu benar Asap kawanku. Mungkin kamu memang lebih menyengat dari
biasanya. Hidungku yang tak sepeka hidung daun memang tidak terlalu merasakan
perbedaan itu. Tapi, lama-lama aku bisa manyadarai itu juga, kau memang lebih
menyengat kali ini.”
“Ah, tidak, aku sama sekali tak merasa berbeda!”
“Tidak, baumu memang lebih menyengat dari biasanya.”
“Tapi kenapa? Aku tak melakukan apapun. Kenapa bauku bisa berubah?”
“Mungkin kita bisa bertanya pada sumber masalah sebenarnya dari
pertengkaran kalian. Siapa lagi yang bertanggung jawab tentang hal ini kalau
bukan ia yang setiap hari hilir-mudik menebar asap busuk yang membuatmu lebih
berbahaya bagi yang lain.”
“Maksudmu manusia?”
“Ya, siapa lagi.”
“Bagaimana bisa? Bukanya sudah sifat Asap seperti itu.”
“Hus!”
“Bisa saja, karena manusia memang serakah. Dulu, sebelum manusia
memiliki kendaraan yang bisa menyemburkan asap itu, bangsa kerbau tiap hari
mereka tindas untuk mengangkut beban yang beratnya bisa tiga kali beratnya
sendiri.”
“Mengerikan!”
“Tapi bagaimana kita mengatasinya? Kalau manusia memang penyebabnya,
kita tak akan pernah bisa menggapai dunia mereka.”
“Aku rasa tidak. Lihat ke seberang sana! Pelajaran kepada satu anak
manusia pasti akan dapat menjadi peringatan bagi manusia lain, paling tidak bagi
manusia-manusia yang tinggal disekelilingnya.”
Sosok yang seperti daun dan asap itu menoleh bersamaan. Aku
benar-benar kaget. Entah di dunia mana aku berada tapi sepertinya mereka
menyadari keberadaanku. Padahal kukira aku cuma bermimpi. Si Kepala Kerbau
mendengus dengan keras, matanya merah melotot. Sementara Si Asap dan Si Daun
terlihat sedikit terperanjat, tapi lalu maju dengan mendengus pula mengikuti Si
Kepala Kerbau.
Merasa takut, aku langsung lari menjauhi mereka. Tapi semakin aku
berlari, aku semakin merasa bahwa aku tak berpindah tempat sama sekali. Tiba-tiba
kakiku kaku, lututku gemetaran. Kuusap keningku, basah oleh keringat.
Gigi-gigiku bergemeletuk demikian hebat. Kini, ketiga sosok itu tinggal
berjarak selangkah kaki dari tempatku berdiri. Tutuhku semakin lemas. Aku jatuh
terduduk. Kutekuk kepalaku dan kutempelkan wajah ke kedua lutut. Lalu aku mulai
merasakan tangan-tangan kasar Si Kepala Kerbau mencengkeram pundakku. Lalu
kakiku seperti di sayat-sayat oleh gerigi-gerigi gergaji dan mulutku seperti
disumpal oleh tangan yang baunya menyengat minta ampun. Aku terbatuk dengan
keras, tubuhku sampai terguncang. Semakin lama, aku semakin lemas. Rasa takutku
semakn bertambah. Lalu tiba-tiba, mataku terpejam.
“Mas, Mas, bangun, Mas!”
Dengan berat kubuka mata dan kuangkat kepalaku. Mataku terasa
disengat kilaunya cahaya. Ada apa ini? Di mana ini? Apa aku masih hidup? Lalu
sebuah tangan yang kasar menyentuh lenganku. Aku terlonjak kaget.
“Tenang, Mas. Mas sepertinya barusan mimpi buruk. Kita sudah sampai
di Kanor. Mas mau turun di mana?”
Betapa leganya aku. Ternyata, kejadian tadi memang benar hanya
mimpi. Ku pandang sekeliling. Ini desa tempat aku dilahirkan. Sebuah masjid
berdiri megah disamping kantor Kepala Desa yang gaya arsitekturnya perpaduan
gaya Jawa, Cina, dan Eropa. Meski sudah lapuk di sana-sini, bangunan itu
sekilas masih tampak sangat berseni. Hanya beberapa meter di sebelahnya,
berdiri gedung SD tempatku sekolah dulu. Dan di sana, di perempatan yang agak
jauh dari mobil pikap yang kali ini melaju siput di sempitnya jalan desa, di
bawah lampu jalan itu, rumahku, rumah yang kunanti-nantikan selama satu
semester ini.
“Itu, di sana, di perempatan.”
Matahari siang sudah tak seterik yang tadi. Angin kini
semilir-semilir berhembus dan sudah tidak membawa panasnya udara kemarau lagi.
Di sana, di depan rumah perempatan itu, seorang perempuan dengan rambut
disanggul sedang membolak-balikkan papan bambu bertabur tembakau di atasnya.
Musim tembakau memang biasa tiba saat bulan puasa begini. Begitu juga musim
kebahagiaan tiada ujung. Di tengah sudut paling pelosok kebupaten kecil ini,
roda-roda ekonomi semakin tumbuh besar meski menyisakan luka yang tiada terkira
perihnya. Dan di depanku, seorang pahlawan ekonomi, dan juga pahlawan dalam banyak hal lain, sudah menunggu dengan tangan menggenggam caping.
Comments
Post a Comment