Nabi, Dikenang Jaya, Ditinggal Hampa

Sebuah copy al Quran, yang kemudian diketahui ditulis pada abad kedua belas di Iran timur, dengan tulisan Kufi yang sederhana dan dari masa belakangan, mempunyai kekhasan yang mencolok : seluruh surah ke-112 mengenai pengakuan akan keesaan Allah, ditulis dengan huruf-huruf yang kuat dan jaln-menjalin, dan pada halaman lain, kata-kata Muhammadun rasul Allah, “Muhammad adalah utusan Allah”, seolah dibedakan dari yang lain-lainnya di halaman itu dengan bentuk kaligrafi yang menarik perhatian.
Penulis yang tak dikenal itu telah mengungkapkan, dengan cara yang nyata, kedudukan utama Nabi Muhammad dalam agama Islam. Sesungguhnya bagian yang dipilihnya untuk ditonjolkan adalah bagian kedua dari pernyataan iman kaum Muslim Laa iaaha illa Allah, Muhammadun rasul Allah, “Tidak ada tuhan selain Allah (dan) Muhammad utusan Allah”.
Dalam posisi beliau pada pengakuan keyakinan tersebut, Nabi Muhammad merupakan bagian dari pemegang hak, dengan disebut setelah Allah, sebagai pihak yang menetapkan batas-batas Islam sebagai agama dan karenanya, cara hidup beliau menjadi refleksi kesempurnaan kaum Muslim sekaligus memiliki tempat yang tinggi di antara semua makhluk. Hal itu seperti digambarkan oleh Quran bahwa Allah dan malaikat-malaikat Nya (sebagai makhluk yang selalu taat) memberikan sholawat kepada Nabi dan karenanya, seluruh orang Muslim juga wajib melakukannya.
Dalam suatu artikel mengenai profetologi Ibnu Arabi, Arthur Jeffrey menulis : “Bertahun-tahun yang lalu, mendiang Syaikh Musthafa al Maraghi berkata dalam kunjungannya kepada kawannya, Uskup Anglikan Mesir, bahwa penyebab penghinaan yang paling umum dilakukan oleh orang-orang Kristen kepada kaum Muslim adalah karena mereka sama sekali tidak dapat memahami penghargaan yang sangat tinggi seluruh kaum Muslim kepada pribadi Nabi Muhammad saw.
Ulasan ahli teologi Mesir itu sangat tepat. Kesalahpahaman tentang peranan Nabi Muhammad telah, dan masih stetap, merupakan salah satu penghalang terbesar bagi penghargaan orang-orang Kristen terhadap penafsiran kaum Muslim atas sejarah dan kebudayaan Islam. Sebab, lebih dari tokoh-tokoh sejarah lainnya, Nabi Muhammad adalah tokoh yang dapat membangkitkan rasa takut, keseganan, dan kebencian di dunia Kristen abad pertengahan.
Ketika Dante, dalam karyanya Divine Comedy, “melihat” beliau menanggung hukuman siksaan abadi di dasar neraka terdalam, dia mencoba mengungkapkan perasaan orang-orang Kristen yang tak terhitung jumlahnya pada masa itu yang tidak dapat memahami bagaimana, setelah munculnya agama Kristen, sebuah agama lain dapat muncul di dunia. Sebuah agama yang jauh lebih aktif dan rasional. Sebuah agama yang, tidak seperti Kristen, tidak mengakui hegemoni kependetaan, memberi luang lingkup yang luas kepada sains, dan bahkan memerintahkan pemeluknya untuk menggunakan rasio guna mendukung wahyu agama mereka. Terlebih lagi, secara political, sangat berhasil sehingga umatnya dapat membangun kekuasaan yang sangat luas bahkan meliputi bekas-bekas wilayah Kristen dan dapat membangun peradaban yang gilang-gemilang yang menjadi akar dari terjadinya transfer ilmu dari Arab ke Barat yang menelurkan renaisans yang menjadi kebanggan orang Barat setelah periode kegelapan mereka.
Di Eropa, yang di sana Nabi Muhammad begitu sering dipandang sebagai penyembah berhala atau diubah menjadi Mahound “jiwa kegelapan”, biografi-biografi Nabi telah disimpang-siurkan selama berabad-abad. Hampir tidak ada penilaian negatif yang pernah belum pernah dilontarkan Barat kepada laki-laki yang meluncurkan gerakan agama sekaligus politik dan mungkin juga ekonomi yang paling berhasil di muka bumi ini.
Seiring dengan agresifnya budaya Barat menginfiltrasi ke negeri-negeri Timur paling jauh, seperti Indonesia, dimana mayoritas populasi Muslim tinggal, sikap negatif Barat terhadap diri Nabi sedikit banyak menggoyahkan pemikiran dan mungkun juga keyakinan sebagian kaum Muslim di daerah itu, yang mayoritasnya adalah kaum Muslim awam yang kurang mendapat pelajaran keagamaan.
Kondisi tersebut saat ini juga diperparah dengan sikap skeptis yang mendera banyak orang Muslim saat ini yang terjepit berbagai macam masalah, mulai dari konflik antar jamaah suatu madhab, tingkat ekonomi dan pendidikan yang rata-ratanya masih rendah, diskriminasi oleh masyarakat internasional, hingga perang saudara memperebutkan kekuasaan yang banyak diistilahkan dengan Spring of Arab yang, tentu saja, banyak dipengaruhi dan dicampuri kepentingan-kepenntingan luar negeri negara-negara Barat.
Kondisi seperti itu tentu saja membuat miris karena menggambarkan bagaimana kaum Muslim, yang merupakan bagian kedua atau ketiga terbesar dari populasi dunia, harus menjadi semacam bulan-bulanan bagi kaum lain. Hal itu sebenarnya telah diprediksi oleh Nabi Muhammad sendiri bahwa nanti kaum Muslim akan menjadi ajang rebutan bagi kaum lain karena telah meninggalkan hukum Allah dan rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan di awal, kembali menegaskan betapa sentralnya posisi Nabi Muhammad sebagai penyampai pesan dari Allah sekaligus wakilNya untuk menetapkan hukum bagi umat Muslim, juga bagaimana kaum Muslim saat ini begitu lemah karena telah melupakan hal tersebut.
Kerana itulah suatu gerakan untuk kembali kepada ajaran Nabi begitu diperlukan. Karena itu pula, ajaran-ajaran Nabi tidak akan dapat menjadi nilai-nilai yang terus dipegang umat Muslim secara sempurna selama mereka sendiri tidak meneladani cara hidup beliau dan, tentu saja, mencintai pribadi rasul melebihi kecintaan mereka pada pribadi ayah, ibu, atau bahkan pribadi mereka sendiri.
Hal tersebut telah terbukti dengan diadakannya peringatan maulid Nabi untuk pertama kali pada masa pemerintahan Shlahuddin al Ayyubi dimana kaum Muslim telah mengalami pembantaian oleh tentara salib maupun serangan Mongol. Peringatan maulid tersebut terbukti ampuh untuk menggelorakan semangat kaum Muslim untuk hidup sebagaimana Nabi hidup dan, tentu saja, mencintai beliau dalam artain menjadikan semangat beliau untuk menegakkan Islam di masa-masa awal sebagai semangat mereka juga untuk melindungi wilayah kekhalifahan Muslim sekaligus menggentarkan musuh-musuh mereka saat itu, orang-orang Kristen Eropa abad pertengahan yang keras kepala.
Analog dengan apa yang terjadi di era pertengahan, kondisi kaum Muslim saat ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, juga sedang mengalami paceklik nilai-nilai keislaman akibat menjadikan figur-figur yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagai refleksi hidup. Karenanya, melalui momen maulid kali ini, mari kita ulangi strategi al Ayyubi untuk menjadikan kaum Muslim kembali mencintai figur Nabi dan sekaligus menjadikan beliau sebagai panutan hidup dan dengan demikian, Islam akan kembali jaya sebagaimana masa lampau.

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan