Lele - Lele Kolam Lumpur
Di sebuah desa
di pedalaman, kawan, yang tanahnya menguapkan bau sampah busuk, liur anjing
buduk, dan dijejali oleh gubuk-gubuk para pemabuk, terdapat seorang pemuda
kurus berwajah tirus yang senantiasa berdoa serampangan, berharap Tuhan
mengiriminya seorang malaikat tanpa sayap yang menjelma ke dalam wujud vedyadari
bermata safir, yang tubuhnya bening seperti kaca sihir istana-istana dongeng. Seorang
pemuda berambut acakadut yang selalu duduk nyekukruk di dalam growongan
makam berbau anyir, menanti akan kedatangan seorang malaikat tanpa sayap yang
datang menyembul dari balik lumpur makam seperti bunga wangi tujuh langit yang
tumbuh di rawa yang tanahnya menguapkan bau sulfur. Seorang pemuda yang
mengharapkan kedatangan malaikat tanpa sayap yang bisa membubungi tanah asalnya
dengan wangi kesturi dan legit kurma najwa, menggantikan bau tinja-tinja
cokelat tua yang dilemparkan sekenanya ke dalam sana.
Suatu waktu
pemuda kurus itu pergi ke kota. Di sana, di antara jalan-jalan bertahta emas
dan lemari-lemari kaca penuh buku-buku berhuruf liliput yang bagi penduduk desa
sepertinya serupa bahasa tujuh dunia serupa kitab segala mantra, pemuda kurus
berwajah tirus itu malu-malu dan sembunyi-sembunyi memandangi seorang malaikat
tanpa sayap yang menjelma ke dalam wujud vedyadari bermata safir. Tapi
dari segala doa serampangan yang ia panjatkan dan ayat-ayat kisah panjang yang
ia lantunkan dengan suara serak meruncing bambu dalam solat-solat tujuh waktu,
tak ada satupun yang mampu ia ucapkan di depan malaikat tanpa sayap itu. Lidahnya
kelu, bahkan matanya tak sanggup memandang wajah malaikat tanpa sayap yang
berpendar cahaya perak. Wajahnya selalu terikat ke tanah atau memandang ke arah
lain seperti ia punya mata juling.
###
Di desa tanah asal
itu juga, kawan, terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna hitam karena
bercampur lumpur. Di dalamnya, hidup beratus-ratus lele yang berenang-renang ria
di antara tinja-tinja berwarna cokelat tua yang dilemparkan sekenanya ke dalam
sana. Lele-lele itu melahapnya dengan rakus karena perut mereka buncit dan
sirip-sirip mereka kurus. Tapi anehnya, dari berton-ton tinja yang mereka lahap
setiap harinya, tak ada yang mampu mengubah perut buncit dan sirip-sirip kurus
mereka menjadi normal seperti kakap-kakap merah di laut sana.
“Tapi tak
mengapa”, kata salah seekor lele yang ditanya oleh pemuda kurus berwajah tirus
itu tentang mengapa mereka rela melahap tinja-tinja itu setiap harinya, tentang
mengapa mereka makan dari sisa-sisa yang membusuk dan tidak higienis itu.
“Yang penting,
kan, perut kami tiada lagi meronta-ronta. Toh, kami tak punya makanan lain
selain ini. Bahkan, kami bisa hidup berpuluh-puluh tahun dengan melahap
tinja-tinja itu.”
Pemuda kurus
berwajah tirus itu tak puas dengan jawaban si lele. Ia pergi ke kota, mencari
perpustakaan dengan kitab-kitab penuh mantra. Ia mencari mantra paling ampuh
untuk mengubah tinja-tinja itu, satu-satunya makanan yang dimiliki lele-lele
desa, menjadi paha-paha ayam atau iga-iga sapi bergizi tinggi agar lele-lele
itu bisa gemuk juga.
Ia menemukan
mantra pertama. Ia ambil bahan-bahan yang tertulis dalam kitab mantra itu. Ada
daun pepaya, bawang segala rupa, cabai keriting merah tua, dan garam beriodium
berbungkus gambar lumba-lumba. Ia gerus semua bahan dan ia bacakan mantra-mantra
seperti tertulis dalam kitab.
“Sumingkir!
Sumingkir sedayaning sadyakalaning karejan golang-galing!”
“Sumingkir!
Sumingkir sedayaning kamelarataning lele-lele weling!”
“Sumingkir!
Sumingkir sedayaning kasengsaraning lele-lele weling!”
Tapi tetap tak
ada perubahan. Tinja-tinja berbau busuk yang dilemparkan sekenanya ke dalam
sana tiada berubah menjadi paha-paha ayam atau iga-iga sapi. Lele-lele kolam
lumpur itu tetap saja berperut buncit dan bersirip kurus.
Pemuda kurus
berwajah tirus itu tiada menyerah juga. Ia coba bahan-bahan yang berlainan rupa
dan ia bacakan lagi mantra dari Begawan masa lama.
“Sumingkir!
Sumingkir sedayaning sadyakalaning karejan golang-galing!”
“Sumingkir!
Sumingkir sedayaning kamelarataning lele-lele weling!”
“Sumingkir!
Sumingkir sedayaning kasengsaraning lele-lele weling!”
Beratus-ratus
kali ia coba, beribu-ribu jenis bahan ia haluskan, dan bermonyong-monyong bibirnya
membaca mantra, tiada berubah sedikitpun tinja-tinja cokelat tua yang
dilemparkan sekenanya ke dalam sana menjadi paha-paha ayam atau iga-iga sapi
seperti diharapkannya.
“Sudahlah,
menyerah saja!” teriak seekor lele dari dalam kolam lumpur.
“Tak akan dapat
kau ubah nasib yang sudah dituliskan dalam lontar-lontar segala masa.”
Tapi pemuda
kurus berwajah tirus tiada menyerah juga. Ia pergi lagi ke kota. Ia jumpai
seorang pintar yang babad menyebutnya sebagai pria tua berjenggot lebat
bersorban ketat yang tersesat dan selalu salah menunjuk arah kiblat. Ia
bertanya tentang nasib lele-lele di desanya.
“Kudus … Kudus!
Lontar nasib adalah lontar nasib. Dan tiada berhak menulisinya kecuali Ia Yang
Menciptakan Tanah Asal. Pergilah ke tempat-tempat di mana saja kamu bisa
berdoa. Memohonlah, anak muda, agar Dia mengirimimu malaikat tanpa sayap yang
membawa mukjizat langit senyap. Berdoalah agar Ia memerintahkan malaikat itu
untuk menyusuri rel dan jalan-jalan sempit di antara gubuk-gubuk para pemabuk dan
kubur-kubur para pelacur agar sampai di desamu. Berdoalah agar Ia memerintahkan
malaikat itu untuk membubungimu dan desamu dengan pendar cahaya perak dan wangi
bebungaan surga. Memohonlah agar Ia memerintahkan malaikat itu membawa paha
ayam dan iga-iga sapi tergemuk di dunia, untuk dimakan lele-lele desa.”
Setelah itu,
pemuda kurus berwajah tirus senantiasa berdoa agar ia bisa bertemu dengan
malaikat tanpa sayap dan membawanya ke desanya agar bisa membubungi lele-lele
desa dengan paha-paha ayam dan iga-iga sapi terlezat di dunia.
###
Bertahun-tahun,
pemuda kurus berwajah tirus menetap di kota, mencari malaikat tanpa sayap yang
bisa membubungi desanya dengan awan-awan yang menerbangkan kelopak-kelopak sari
bebungaan surga, yang bisa menyapu bau sampah busuk dan bangkai-bangkai cacing
remuk. Sambil terus berdoa, pemuda kurus berwajah tirus senantiasa mencari
kitab-kitab tua berisi mantra-mantra paling mujarab untuk mengubah tinja-tinja
cokelat tua menjadi paha-paha ayam dan iga-iga sapi tergemuk di dunia.
Di sana, di
antara lemari-lemari kaca penuh buku-buku berhuruf liliput serupa bahasa tujuh
dunia serupa kitab segala mantra, pemuda kurus berwajah tirus itu menemukan
malaikat tanpa sayap itu menjelma ke dalam bentuk vedyadari bermata
safir. Tapi dari segala doa serampangan yang ia panjatkan dan ayat-ayat kisah
panjang yang ia lantunkan dengan suara serak meruncing bambu dalam solat-solat
tujuh waktu, tak ada satupun yang mampu ia ucapkan di depan malaikat tanpa
sayap itu. Lidahnya kelu, bahkan matanya tak sanggup memandang wajah malaikat
tanpa sayap yang berpendar cahaya perak. Wajahnya selalu terikat ke tanah atau
memandang ke arah lain seperti ia punya mata juling. Dan untuk beberapa lama,
lele-lele kolam lumpur desa tetap akan melahap ria tinja-tinja cokelat tua yang
dilemparkan sekenanya ke dalam sana. Dan malaikat itu …
M Miftahul Firdaus
Bandung, 26 Oktober 2014
Comments
Post a Comment