Sketsa Malaikat Hitam

Kereta terakhir bulan Desember baru saja berhenti di Stasiun Senen. Semula, seorang golem lumpur hitam yang baru saja dimuntahkan bersama ratusan yang lain seperti potongan daging kanibara dimuntahkan mulut anakonda itu, ingin menyusuri lorong-lorong kota. Sepanjang jalan-jalan yang di kanan-kirinya dinding-dinding penuh lukisan yang dipajang dalam pameran yang musisi-musisi pengiringnya adalah anak-anak pengamen bersuwal bolong bergitar ompong, golem lumpur hitam itu memantul-mantulkan kepalanya seperti penonton pertandingan bola ping-pong. Sementara para pelukis melolong-lolong, memanggil-manggil si golem agar datang ke lapak-lapak bodong. Tapi dari sana, dari pucuk katedral yang sisa-sisa bulan kemarin malam masih mengerlipkan seiris jeruk tipis keindahan, suara lonceng yang bergema membelah kabut lembut dan cahaya matahari selipat selaput menceracau di telinganya tentang pesta pernikahan yang harumnya semerbak tujuh lapis ruang, di mana seorang malaikat tanpa sayap berdiri berdampingan dengan seorang yang wajahnya berpendar cahaya perak. Maka si golem pun bergegas, meninggalkan lorong-lorong tempat hantu-hantu masa silam melukis percintaan ribuan pasang bangau yang disembunyikan akar-akar bakau.
###
Aku hanya ingin melukismu, Za. Aku hanya ingin melukismu. Tak salah kan, Za, jika aku melukis yang lain selain percintaan ribuan pasang bangau yang disembunyikan akar-akar bakau dalam selaput pendar cahaya yang dipantulkan air berwarna hijau? Tak salah kan, Za, jika aku melukis yang lain selain parang-parang merah meruncing bambu yang menceracau tentang penjagalan ribuan sapi di akhir Desember kelabu? Tak salah kan, Za, jika aku mencoba tidak menjadi Affandi yang selalu melukis tentang potret dirinya dan diri-diri golem-golem lumpur hitam yang menceracau tentang cat-cat warna mahal yang tidak habis dipelontot dan dibuang sekenanya ke dalam keranjang sampah sengau? Tak salah kan, Za, jika aku mencoba melukis malaikat yang dalam doa-doa serampanganku selalu kuharapkan mau merindukan tanah asal yang menguarkan bau sampah busuk dan dijejali gubuk-gubuk para pemabuk?
Tapi selama ini, Za, aku adalah Affandi yang hanya bisa melukis tentang potret diri. Bahkan aku lebih rendah, Za, karena potret diriku hanya mampu kulukis dengan cat yang kupelontot dari lumpur hitam yang dijual murahan di pasar-pasar yang tikusnya sebesar kucing-kucing tanah tebu. Tanganku terlalu kaku, Za, untuk melukis kabut lembut dan matahari susut sebagai latar belakang lukisanmu. Jemariku mengeras, Za, saban aku ingin menorehkan warna terang di sekujur kanvas seperti cokelat senja keemasan yang menyemburat, memilin, dan membentuk senar-senar harpa yang dipetik oleh jemari tanganmu yang pewarnaannya seperti ditumpahkan atas mega. Cat warnaku tidak lengkap, Za, untuk melukis setiap detil sayapmu yang berwarna ungu namun tidak kasat mata seperti sayap-sayap ungu malaikat-malaikat berwajah bocah yang dilukis oleh para maestro dalam karya teragung yang setiap potongnya berharga sekoper penuh dollar.
Karena itulah, Za, aku menyusuri lorong-lorong kota tempat pameran para pelukis yang setiap hari mengerat tangan mereka sendiri dengan kuas yang meruncing bambu, yang di kanan-kirinya dinding-dinding penuh lukisan yang dipajang dalam pameran yang musisi-musisi pengiringnya adalah anak-anak pengamen bersuwal bolong bergitar ompong. Aku setidaknya telah beberapa kali melihat lukisan mereka, Za. Meski sketsa mereka hanya beberapa lembar rupiahan, tapi tangan-tangan mereka yang penuh keratan oleh runcingnya ujung kuas setidaknya tidak gemetar kalau harus menggambar seorang malaikat tanpa sayap. Karena mata mereka sendiri, Za, telah beratus-ratus kali melihat malaikat itu terbang dengan pendar cahaya perak dalam mimpi-mimpi paling hitam. Karena mereka sendiri, Za, dulunya juga golem lumpur hitam yang selalu berdoa serampangan memohon datangnya malaikat tanpa sayap yang menyayat kegamangan pagi buta yang memeluk mereka dan dengan sayap-sayapnya yang tak kasat mata, menerbangkan mereka menjauhi tanah asal yang di dindingnya bergelayut takut akan kelabu. Sama sepertiku, Za, dulunya tangan mereka juga gemetar saban menyaksikan sayap-sayap ungu itu mengepak dalam kerembangan senja di kejauhan, tapi kini lontar-lontar nasib telah membutakan mata mereka akan seiris tipis keindahan. Lebih tepatnya akan seiris tipis harapan. Tapi setidaknya, Za, mereka masih mampu mengajariku menuangkan warna-warna paling terang untuk melukis sketsa malaikat yang senantiasa kumohonkan dalam ayat-ayat singkat dan wirid-wirid tujuh pangkat.
###
Kereta yang baru saja berhenti di Stasiun Senen itu semula memang ingin menumpahkan seorang golem lumpur hitam dan ratusan yang lain yang ingin merayakan pesta pernikahan di katedral yang pucuknya diselimuti patung ribuan pasang bangau yang percintaan mereka disembunyikan akar-akar bakau. Semula, kereta yang baru saja berhenti seperti anakonda memuntahkan potongan-potongan daging kanibara itu memang ingin mengantarkan seorang kurus berwajah tirus yang ingin menyambangi pesta pernikahan di katedral yang gema loncengnya membelah kabut selipat selaput dan cahaya matahari benang kusut di ruang tujuh lapis wujud. Tapi kemudian, di lorong-lorong kota, di sepanjang jalan yang di kanan-kirinya dinding-dinding penuh lukisan yang dipajang dalam pameran yang musisi-musisi pengiringnya adalah anak-anak pengamen bersuwal bolong bergitar ompong, golem lumpur hitam itu memantul-mantulkan kepalanya seperti penonton pertandingan bola ping-pong. Sementara para pelukis melolong-lolong, memanggil-manggil si golem agar datang ke lapak-lapak bodong. Maka, si golem pun menyerusuk ke lapak seorang pelukis yang tangannya penuh keratan oleh runcingnya ujung kuas.
“Lukiskanlah untukku seorang malaikat tanpa sayap yang memainkan harpa yang senar-senarnya dibentuk warna-warna terang senja keemasan yang menyemburat, memilin, dan dipetik oleh jemari yang pewarnaannya seperti ditumpahkan atas mega.”
“Lukiskanlah untukku, langit yang semburat, kabut selaput, dan cahaya mentari benang kusut, yang langitnya tidak disemiliri oleh angin lalu dan awan-awannya tidak menyerah pada tiupan waktu, sebagai latar belakang untuk malaikat yang dibubungi oleh wangi bebungaan surga, yang mampu mengusir kerat-kerat luka yang darahnya mengucur pada gerimis yang riwis yang menghardik tiang-tiang katedral tua.”
Tapi si pelukis yang tangannya penuh keratan oleh runcingnya ujung kuas malah terdiam dan menunjuk kepada pelukis yang lain. Pelukis yang ditunjuk itu juga menunjuk ke arah pelukis yang lain, dan seterusnya sampai semuanya saling tunjuk. Lalu tiba-tiba semuanya berdiri seperti patung yang wajahnya diterpa angin lalu. Mereka memandang lekat kepada golem lumpur hitam yang wajah sedihnya diam kebingungan.
“Kau minta terlalu banyak.” Ujar mereka bersamaan dengan tatapan yang menuju ke kelabu di kejauhan.
“Kami tidak dapat melukis malaikat yang sekujur kanvasnya dituangi warna-warna terang karena cat-cat kami tiada lain hanyalah cat dari lumpur hitam yang dijual murahan di pasar-pasar yang tikusnya sebesar kucing-kucing tanah tebu.”
“Yang bisa kami lukis hanyalah yang lekat pada kehidupan yang tanahnya menguarkan bau amis penderitaan. Kami telah terlalu lama lupa bagaimana rupa malaikat tanpa sayap yang dulu selalu kami harapkan dalam doa-doa serampangan agar datang dan menerbangkan kami dari tanah asal yang di dindingnya bergelayut takut akan kelabu.”
“Tapi aku ingin sketsa seorang malaikat yang selalu kumohonkan dalam ayat-ayat singkat dan wirid-wirid tujuh pangkat.”
Lalu salah seorang pelukis mulai mengerat-ngerat pada kanvas dan sejurus kemudian, ia menyerahkannya ke tangan golem lumpur hitam.
“Ini adalah skesta malaikat hitam.”
###
Sekali lagi, lonceng katedral berbunyi, memanggil para undangan segera datang karena pernikahan sebentar lagi akan dilangsungkan. Seorang malaikat tanpa sayap dan seorang yang wajahnya berpendar cahaya perak bergandengan tangan. Sementara golem lumpur hitam masih diam memandangi dinding-dinding yang semua lukisannya berubah warna jadi hitam. Lalu …
M Miftahul Firdaus
Bojonegoro, 26 Desember 2013

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee