Bertaubat dari Dosa Kemacetan



Tulisan ini dimuat di selasar.com dengan link

https://www.selasar.com/budaya/bertaubat-dari-dosa-kemacetan

Kemacetan adalah dosa yang mungkin paling banyak dilakukan setiap kota. Jakarta, Bandung, dan berbagai kota lainnya selalu mengulang cerita yang sama, baik di hari-hari biasa maupun di hari istimewa seperti mudik hari raya, berbagai kota di negara kita senantiasa terjerat derita kemacetan.
Bukan akhir-akhir ini saja, kemacetan telah terekam di Indonesia, ambil contoh di ibukota, sejak Desember 1969 oleh berbagai media massa. Pada masa itu, kemacetan disebabkan oleh becak-becak yang parkir seenaknya dan bus dalam dan luar kota yang menaikkan penumpang tanpa memperhatikan rambu-rambu yang ada.
Sekian puluh tahun kemudian, kemacetan itu tidak mereda dan malah menyebar ke berbagai sudut kota. Mengapa bisa tidak terjadi perbaikan? Apakah pemerintah setiap kota tidak memiliki cetak biru pembangunan transportasi masa depan?
Kita banyak berjumpa kritik terhadap kinerja-kinerja pemerintah. Namun perlu dicatat bahwa kemacetan bukan hanya dosa penguasa. Sejatinya, setiap pihak yang terlibat dalam denyut hidup kota memikul dosa masing-masing akan jerat kemacetan.
Penguasa memikul dosa kemacetan berupa tidak ada atau tidak terlaksananya rencana pembangunan transportasi masa depan. Ketika berbagai kota di dunia sejak lama telah berpaling kepada angkutan berbasis rel, kota-kota di Indonesia masih tenang-tenang saja dan bergantung kepada jalan raya.
Akibatnya, ketika angkutan yang ada tidak memadai dan warga banyak beralih ke kendaraan pribadi, jalan raya itu tidak lagi mencukupi. Kalaupun ada rencana jangka panjang, seringkali tidak terlaksana.
Pada masa Menteri Perhubungan dipegang oleh Giri Suseno pun anak-anak negara kita sudah menelurkan desain-desain transportasi kota, tetapi kemudian semuanya hanya disimpan di laci kerja. Ironis.
Pada masa kolonial sekalipun, Hindia Belanda bahkan mendahului negara-negara lain di Asia, dengan pembangunan jalur kereta pertama untuk menghubungkan Batavia (Jakarta) dengan Buitenzorg (Bogor), pada tahun 1869 juga dengan pernah beroperasinya trem di beberapa kota.
Keterbatasan dana selalu menjadi kendala. Namun bukankah pemerintah kota dapat membuat rencana pendanaan jangka panjang untuk pembangunan kota dengan mengalokasikan sekian persen dari anggaran kota setiap tahun?
Bukankah pemerintah kota dapat berupaya menarik investasi dalam maupun luar negeri untuk pendanaan pembangunan? Bukankah pemerintah dapat menghemat anggaran-anggaran lain yang tidak perlu dan tidak jelas seperti perjalanan-perjalanan dinas yang berlebihan?
Pemerintah juga berdosa dalam kacaunya tata kelola kota yang menyumbang potensi kemacetan. Kita melihat izin mendirikan bangunan diberikan pada gedung-gedung yang jaraknya terlalu dekat ke jalan sehingga pelebaran jalan raya mustahil dilakukan di berbagai kota, seperti yang terjadi di kawasan TB Simatupang.

"Pemerintah juga berdosa dalam kacaunya tata kelola kota yang menyumbang potensi kemacetan"

Selain itu, di pintu keluar atau masuk suatu lingkar jalan seringkali justru dibangun kawasan komersial. Pemerintah seperti tidak mampu mengendalikan pertumbuhan kawasan komersial. Pembangunan toko di persimpangan jalan pun tidak diatur.
Selain itu, pemerintah kerap membiarkan pasar tumpah atau pedagang kaki lima berjualan secara sembarangan yang memakan bahu jalan.  Itu seperti yang terjadi di pertigaan di persimpangan Tubagus Ismail dengan Dago, di pertigaan Cikutra Barat menuju ke arah Taman Makam Pahlawan, dan di kawasan sekitar Pasar Baru Kota Bandung.  
Permasalahan pedagang juga seperti itu juga dapat dijumpai di pertemuan arus kendaraan dari arah Pasaraya Manggarai dengan Jalan Padang Panjang atau di kawasan Duren Tiga dari arah Jalan Tegal Parang dan Jalan Gatot Subroto di Jakarta.
Pemerintah juga terkesan membiarkan parkiran yang berlokasi di pinggir jalan tanpa pengaturan yang memadai. Begitupun angkot, mobil pikap sewa, dan bahkan mobil pribadi yang parkir ataupun ngetem di pinggir jalan secara sembarangan.
Di Bandung hal ini dapat dilihat di kawasan depan Pasar Simpang, di depan Kebun Binatang Bandung yang mengarah ke Cisitu, dan di kawasan sekitar Terminal Tegalega dan Stasiun Bandung. Begitupun pula di kota-kota lain.
Keberadaan polisi lalu lintas terkadang juga tidak efektif untuk mengurai kemacetan karena terbatasnya jumlah personel sehingga tidak dapat berada di setiap titik sumber kemacetan yang ada.
Belum lagi jika ada oknum kepolisian yang tidak menjalankan tugasnya mengatur jalan raya. Keberadaan tambahan manajer lalu lintas diperlukan demi mengurai kemacetan di setiap titik.
Manajer jalan ini nantinya akan bekerja bersama dengan kepolisian lalu lintas untuk mengendalikan setiap teknis tersebut. Selain itu, diperlukan upaya pemerintah untuk menertibkan pengemudi angkutan umum agar tidak menaikkan penumpang dan ngetem di sembarang tempat.
Perlu dilakukan pembangunan halte untuk angkot di titik-titik tertentu. Halte ini didesain efektif dan efisien secara spasial serta ikonik secara visual sehingga dapat menjadi warna indah bagi kota yang bersangkutan.
Pemerintah juga perlu mengatur kawasan komersial yang bersentuhan langsung dengan jalan raya agar lebih tertib dan tidak memakan bagian jalan. Begitupun parkiran liar yang terdapat di jalan harus ditertibkan.
Sistem transportasi sendiri juga perlu dibenahi dari segi ekonomi. Sistem setoran masih banyak digunakan oleh penyedia jasa angkutan umum kota. Akibatnya, kejar setoran menjadi fokus utama para sopir sehingga menyebabkan ketidaktertiban yang berujung kepada ketidaknyamanan penumpang sehingga banyak warga enggan untuk menggunakan moda transportasi umum tersebut.
Dapat dijumpai bagaimana angkot ngetem terlalu lama di suatu titik. Hal ini tentunya mempersempit lebar jalan dan menambah potensi kemacetan. Pemerintah perlu mencari inovasi manajemen angkot dan tipe transportasi umum lain agar hal seperti itu tidak terulang.
Bukan hanya pemerintah, warga suatu kota juga menanggung dosa akan kemacetan kota tersebut. Alasannya? Dapat dilihat di jalan bahwa ketika terjadi kemacetan, mobil adalah penyebab utama kemacetan tersebut.
Jumlah pengguna mobil pribadi di berbagai kota di Indonesia kian meningkat. Apalagi sempat ada kebijakan mobil murah. Tentunya dengan lebar jalan yang terbatas, terlalu banyak jumlah mobil berakibat buruk pada kelancaran arus lalu lintas.

"Tentunya dengan lebar jalan yang terbatas, terlalu banyak jumlah mobil berakibat buruk pada kelancaran arus lalu lintas"

Namun apakah salah memakai mobil pribadi ketika angkutan umum belum memadai? Sebanarnya hal itu tidak salah, tetapi perlu digarisbawahi bahwa banyak pengguna mobil adalah pengguna mobil tunggal, artinya satu mobil pribadi hanya diisi oleh satu orang saja, tanpa membawa penumpang, tanpa membawa barang dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat dilihat di jalan-jalan Kota Bandung setiap jam berangkat dan pulang kerja.
Tidaklah mengapa jika mobil digunakan untuk transportasi seluruh keluarga atau membawa barang, tetapi jika hanya diisi oleh satu atau dua orang saja tanpa membawa barang yang sigifikan tentunya akan boros tempat dalam pemanfaatan jalan.
Akan lebih baik jika pengguna mobil tunggal tersebut beralih ke sepeda motor atau angkutan umum seperti angkot, taksi, ojek, dan moda transportasi online. Apalagi jika jarak yang ditempuh sebenarnya tidak terlalu jauh.
Bersepeda atau mengendarai sepeda motor akan lebih menguntungkan karena memungkinkan untuk mengambil jalur alternatif yang lebih kecil sehingga lebih cepat sampai tujuan. Bayangkan jika setengah pengguna mobil adalah pengendara tunggal dan semuanya beralih ke transportasi umum atau sepeda motor, akan banyak tempat di jalan yang bisa dihemat.
Sayangnya warga cenderung tidak ambil pusing akan hal ini. Terbukti, meski sudah ada kebijakan three in one, tetap saja terjadi banyak pelanggaran seperti mobil berpengendara tunggal yang menerobos hingga keberadaan para joki. Hal ini tentunya suatu masalah besar.
Bagaimana mungkin warga menuntut pemerintah untuk mengurai kemacetan tetapi warga sendiri bertindak seperti itu? Berbagai upaya rekayasa lalu lintas akan percuma jika pengguna mobil tunggal tetap egois. Kesadaran dan kesabaran untuk melakukan konversi ke angkutan umum perlu dibangun.
Meskipun pada saat ini angkutan umum di banyak kota di Indonesia belum dapat dikatakan berada di kondisi yang layak, dukungan dari warga terhadap upaya peningkatan kualitas angkutan umum diperlukan. Warga tidak boleh hanya menuntut pemerintah mengakhiri dosa kemacetan. Warga harus membantu dari sisi yang mungkin dilakukan.
Selain itu, kesadaran warga dalam ketertiban lalu lintas juga berpengaruh terhadap kemacetan yang ada.  Kemacetan dapat terjadi lantaran semrawutnya lalu lintas akibat manuver pengguna kendaraan pribadi, khususnya kasus yang sering terjadi pada sepeda motor, yang tidak tertib dengan misalnya tidak mengindahkan rambu-rambu lalu lintas.
Selain itu banyak pengguna jalan mengambil jalur yang bukan jalur seharusnya seperti kasus yang kerap terjadi pada jalur busway di ibukota. Terdapat pula pengguna jalan yang tidak sabar sehingga mengambil sisi yang berseberangan pada jalur dua arah ketika terjadi arus yang tidak lancar.
Hal ini tidak menghindarkan pengguna jalan dari kemacetan justru akan memperparah karena penggna jalan tersebut menghambat arus dari arah berlawanan sehingga terjadi ketersendatan arus kendaraan di ruas jalan yang sempit.
Begitu pula kesadaran warga yang berprofesi sebagai pedagang perlu ditingkatkan agar lapaknya tidak sampai melebihi lokasi yang seharusnya sehingga memakan sebagian jalan.
Para pedagang tersebut juga perlu ditertibkan agar tidak memindahkan barang dagangan melalui jalan raya saat terjadi antrian kendaraan yang panjang. Dapat dijumpai di jalan-jalan di Kota Bandung bagaimana kemacetan akan semakin parah saat ada pedagang yang nekat memindahkan gerobak mereka dengan mendorongnya melalui jalan raya.
Jikapun harus memindahkan gerobak atau sejenisnya, sebaiknya dilakukan bukan pada jam berangkat atau pulang kantor saat arus kendaraan sedang ramai-ramainya.
Kemacetan berujung pada banyak kerugian, mulai dari waktu, anggaran, energi, hingga mengakibatkan gesekan sosial. Jika terus dibiarkan, dosa bernama kemacetan akan semain menggerogoti dan menjadikan kehidupan di kota tak ubahnya seperti neraka. Dosa harus ditinggalkan.
Apalagi jika dosa itu merupakan dosa berjamaah. Jika pada bulan November terdapat banyak momen heroik bagi bangsa seperti Hari Pahwalan, maka marilah kita semua bersumpah untuk menjadi pahlawan bagi bangsa ini dengan bertaubat dari dosa yang bernama kemacetan.

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan