Jika Dunia Tanpa Agama: Redefinisi Sebagai Sudut Pandang
Tulisan ini dimuat di selasar.com dengan link berikut.
https://www.selasar.com/budaya/jika-dunia-tanpa-agama-redefinisi-sebagai-sudut-pandang
Pelbagai peristiwa yang baru-baru ini terjadi nampaknya membersitkan pertanyaan di benak sebagian orang, bagaimanakah jadinya dunia ini tanpa agama? Akankah lebih baik atau lebih buruk?
Jika melihat pemberitaan berbagai media massa, kita tentu akan menghadapi suatu paradoks, di satu sisi agama adalah suatu bentuk sistem nilai yang mengajarkan tentang kebaikan dan jalan menuju Tuhan, tetapi di sisi lain agama dipandang sebagai penyebab terjadinya perpecahan, intoleransi, dan kekerasan.
Lalu seperti apakah jika dunia tidak pernah mengenal agama? Hal ini sebenarnya di luar kemampuan akademik saya, tetapi sebagai seorang yang berasal dari keluarga yang multiajaran (sebagian keluarga saya adalah penganut tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah, sebagian anggota Muhammadiyah, sebagian kejawen, dan ada sebagian kecil yang pernah menjadi simpatisan komunisme di Indonesia).
Saya juga pernah mengenyam pendidikan di beberapa sekolah berlatar belakang agama, saya mencoba berkontemplasi untuk menemukan jawabannya.
Hal pertama yang sangat penting dalam menjawab pertanyaan tersebut adalah mendefinisikan terlebih dahulu makna agama, sejauh mana dia memegang peran dan berpengaruh dalam hidup manusia.
Mukti Ali, salah seorang pakar perbandingan agama di Indonesia, mengakui sulit untuk menentukan secara pasti pengertian agama. Barangkali tak ada kata yang paling sulit diberikan pengertian dan definisi selain dari kata agama.
"Barangkali tak ada kata yang paling sulit diberikan pengertian dan definisi selain dari kata agama"
Walaupun J.H Leuba dalam A Psychological Study of Religion telah mengutip 48 definisi agama yang berasal dari para tokoh, tetap saja ia tak puas. Walter Houston Clark dengan tegas mengakui bahwa tidak ada yang lebih sulit daripada mencari kata-kata untuk mendefinisikan agama (Jalaluddin, 1996: 12)
Namun, kesulitan itu bukan berarti agama tak bisa didefinisikan. Walau mungkin tak disetujui semua pihak, kita dapat menyimpulkan bahwa pengertian agama dapat dikaji melalui dua cara.
Pertama, dari segi etimologis, yakni melalui asal-usul bahasa dan tinjauan sejarah. Kedua, melalui segi terminologis, yakni melalui berbagai definisi yang memberikan batasan-batasan terhadap pengertian agama itu sendiri (Sukardji, 1993: 26)
Pengertian Etimologis
Ada dua pendapat mengenai asal-usul kata “agama”. Pertama, berasal dari bahasa Indo-German, yaitu “gam”, identik dengan “go” dalam bahasa Inggris yang berarti “jalan, cara berjalan, cara-cara sampai pada keridhaan Tuhan”.
Namun, menurut Sukardji, orang yang mengatakan bahwa kata “agama” berasal dari bahasa Indo-German berarti belum mengetahui bahasa Sansekerta. Kedua, berasal dari bahasa Sansekerta.
Dalam kitab Upadeca tentang “Ajaran-ajaran Agama Hindu”, disebutkan bahwa “agama” tersusun dari kata “a” yang berarti “tidak” dan “gam” yang berarti “jalan”.
Dalam bentuk harfiah, “agama” berarti “tetap di tempat, langgeng, abadi, diwariskan secara terus-menerus dari generasi ke generasi” (Sukardji, 1993: 26-27).
Ada pula pendapat lain, yaitu “agama” berasal dari kata “a” yang berarti “tidak”, dan “gama” yang berarti “kacau” atau “goyah”. Maksudnya, orang-orang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya, hidupnya tidak akan kacau.
Pengertian Terminologis
Menurut KBBI dalam jaringan, agama berarti sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Sukardji, saya buku Agama-Agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya, mendefinisikan agama sebagai “Suatu tata aturan Tuhan yang berfungsi dan berperan, mendorong, memberi arah, bimbingan, dan isi serta warna perilaku orang yang berakal dalam mengembangkan potensi-potensi dasar yang dimiliki dan melaksanakan tugas-tugas hidupnya yang seimbang antara lahiriah dan batiniah dalam usahanya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan bekal kebahagiaan hidup di akhirat kelak” (Sukardji, 1993: 37-38)
Eropa
Dalam bahasa Inggris, kata “agama” memiliki bentuk kata “religion”. Secara etimologis, kata “religion” berasal dari bahasa Latin, yakni “re” yang berarti “kembali” dan “ligere” yang berarti “terkait, terikat”.
Kemudian perkataan itu tersebar ke seluruh Eropa dengan lafal yang bervariasi, seperti religie(Belanda), religion (Inggris), dan lainnya. Sedangkan relegere berarti “mengumpulkan dan membaca”. Kemudian religare berarti “mengikat”.
Webster New 20th Century Dictionary mengungkapkan bahwa definisi “religion” adalah “the system of rules of conduct and law of action based upon the recognition of belief in, and reverence for human power of supreme authority”.
Batasan itu menggambarkan bahwa “religion” adalah suatu sistem peraturan-peraturan dari kegiatan yang semuanya itu didasarkan pada adanya kepercayaan dan pegangan pada kekuatan yang Mahakuasa dan norma perilaku manusia yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan Tuhan (Sukardji, 1993: 33)
Arab
Kata “agama” dalam bahasa Arab memiliki bentuk “ad-dien”. Munjied mengatakan bahwa arti harfiah dari “ad-dien” cukup banyak, misalnya “pahala, ketentuan, kekuasaan, peraturan, dan perhitungan”.
Fairuzabadi dalam kamusnya, Al-Muhieth, mengatakan bahwa arti harfiah “ad-dien” adalah “kekuasaan, kemenangan, kerajaan, kerendahan, kemuliaan, perjalanan, peribadatan, dan paksaan” (Sukardji, 1993: 28).
Sedangkan menurut Harun Nasution, “ad-dien” mengandung arti “menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan” (Jalaluddin, 1996: 12).
Sementara Sukardji memberikan definisi “ad-dien” sebagai “undang-undang kebutuhan yang mendorong dan menjiwai orang berakal dengan usahanya untuk sejahtera hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat” (Sukardji, 1993: 34-35)
Seorang guru saya pernah mengajarkan bahwa kata dien memiliki arti yang sangat luas, tidak hanya mencakup sistem peribadatan kepada Tuhan, tetapi juga mencakup sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem hukum, sistem sosial, sistem politik, dan berbagai macam aspek dalam kehidupan.
Nampaklah bahwa kata dien memiliki arti yang dekat dengan kata weltanschauung, yang berasal dari kata “welt” yang berarti “dunia” dan “anschauung” yang berarti “pandangan” sehingga berarti pandangan seseorang tentang kehidupan yang pada akhirnya berpengaruh terhadap pemikiran, tingkah laku, dan perbuatannya.
Mengambil sintesis dari semua pengertian di atas, saya mengartikan agama sebagai satu sistem baik tertulis ataupun tidak tertulis formal atau tidak formal yang menjadi landasan hidup bagi manusia sehingga mendasari setiap pemikiran, tingkah laku dan perbuatan dalam setiap aspek kehidupan baik ekonomi, hukum, sosial, politik, dan lain-lain untuka menuju suatu keteraturan, keselarasan, ketundukan, dan kedekatan terhadap nilai-nilai Ilah atau Tuhan yang dipercaya oleh manusia itu.
"... saya mengartikan agama sebagai satu sistem baik tertulis ataupun tidak tertulis formal atau tidak formal yang menjadi landasan hidup bagi manusia"
Tuhan itu sendiri diwujudkan secara berbeda-beda dalam setiap agama. Ada agama yang mewujudkan Tuhan dalam bentuk materiil, ada agama yang menolak mewujudkan Tuhan sebagai benda atau persona, dan ada pula agama yang tidak memiliki Tuhan di dalam sistemnya. Bagaimana bisa seperti itu?
Di sini, saya mengambil kesimpulan bahwa agama atau dien memiliki pengertian yang dekat dengan weltanschauung sehingga agama-agama sesuai definisi saya, tidak hanya agama yang dipandang berkaitan dengan wahyu saja seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, ataupun Yahudi, tetapi juga mencakup kepercayaan atau keyakinan yang dirumuskan oleh manusia itu sendiri seperti Ateisme, Materialisme, Konfusianisme, Taoisme, Laoisme, Liberalisme, Komunisme, dan lain sebagainya.
Kesemuanya itu memenuhi kriteria untuk bisa disebut agama atau dien atau religion. Kesemuanya berbentuk pemahaman atau nilai-nilai yang mendasari pemikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia dalam sebagian atau seluruh aspek hidup dengan berdasarkan kepercayaannya pada sesuatu yang pemeluknya sebut sebagai Tuhan. Ini juga termasuk Pancasila.
Ingat pada masa Orde Baru dulu, ketika Pancasila dijadikan asas tunggal setiap sendi kehidupan, sebagian organisasi kemudian mengajukan keberatan, terutama organisasi agama sehingga kemudian Pancasila tidak dijadikan asas tunggal, tetapi dipakai bersamaan dengan asas khas dari masing-masing organisasi.
Tidak setuju atau bingung? Sah-sah saja. Seorang ateis misalkan, dalam hidupnya tidak mengakui adanya Tuhan dan ia bertindak atas dasar nilai kebebasan dirinya sendiri, bukankah dengan demikian ia mengnggap dirinya sendiri sebagai pusat dari semua struktur kehidupannya?
Bukankah itu adalah definisi dari Tuhan, yaitu apa yang dijadikan manusia sebagai pusat dari semua perputaran roda hidupnya? Seorang ateis hidup dan mati untuk dirinya sendiri, di pusaran hidupnya, ia adalah pusat dari semuanya, ia menuhankan dirinya sendiri.
Seorang materialisme menuhankan materi sebagai poros dari semua roda hidupnya. Seorang Muslim memusatkan kehidupannya pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Seorang Kristen memusatkan hidupnya pada 3 entitas Tuhan, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Seorang Budha meskipun tidak memiliki Tuhan secara formal dalam agamanya, begitu menekankan kehidupan yang selaras dengan alam, karena manusia adalah bagian dari alam. Begitupun dengan seorang Hindu yang memusatkan kehidupan dirinya pada dewa-dewa yang beragam.
Perlu diingat bahwa definisi agama di sini tidak harus secara penuh dimiliki kriterianya oleh setiap agama karena memang ada agama-agama yang mengatur pemeluknya tidak pada satu aspek tapi pada aspek yang lain.
Agama tidak harus mengatur hidup pemeluknya dalam setiap aspek kehidupan. Misalkan ada agama Kristen yang begitu kental dengan konsepsi teologisnya tentang Tuhan, terutama konsep Trinitas, tetapi di sisi lain ada agama yang secara formal memang tidak memperkenalkan kepada pemeluknya konsep Tuhan, seperti Budhisme misalkan.
Islam misalkan yang mengatur pemeluknya dari aspek paling besar sampai paling detail dalam hidup, mencakup sistem ekonomi, politik, hukum, hingga cara tidur, cara makan, dan sejenisnya tapi ada juga agama lain yang tidak mencakup aspek ekonomi dan pemerintahan misalkan dalam ajarannya.
Karena itu, secara general, pengertian agama mengacu kepada seperangkat nilai yang menjadi landasan hidup manusia sehingga mendasari pemikiran, tingkah laku, dan perbuatannya sesuai dengan poros hidup atau Tuhannya masing-masing.
"... pengertian agama mengacu kepada seperangkat nilai yang menjadi landasan hidup manusia sehingga mendasari pemikiran, tingkah laku, dan perbuatannya sesuai dengan poros hidup atau Tuhannya masing-masing"
Karena itu dapat dibayangkan bahwa jika tidak ada agama di dunia ini, tidak akan ada Islamisme, Christianism, Budhisme, Hinduisme, Konfusianisme, Laoisme, Taoisme, Materialisme, Komunisme, Liberalisme, maupun isme-isme yang lain yang mendasari perbuatan pemeluknya dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
Dapat dipastikan, manusia akan kehilangan panduan atau minimal kehilangan jati dirinya karena secara individu sekalipun, ia tidak memiliki dasar pemikiran atau ia tidak memiliki suatu identitas yang khas dalam mendefinisikan suatu pola perbuatan untuk menyikapi suatu permasalahan dalam suatu aspek hidup. Akibatnya, akan ada kekacauan yang timbul, sebagaimana arti kata agama itu sendiri, tidak kacau.
Oleh seorang yang meyakini Ispapol (Islam, Pancasila, dan Proletarisme) sebagai jalan hidupnya.
Comments
Post a Comment