Fenomena Populisme di Dunia dan Hubungannya dengan Dunia Kampus
Dimuat di http://www.qureta.com/post/fenomena-populisme-di-dunia-dan-hubungannya-dengan-dunia-kampus
Perkembangan dunia belakangan ini semakin mengarah kepada ketidakpastian. Dalam ceramahnya pada Studium Generale di Institut Teknologi Bandung, Jumat, 24 Maret 2017, Menteri Keuangan, Sri Mulyani yang baru kembali dari pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara anggota G20 di Jerman, menyampaikan kekecewaan dan kekhawatiran terhadap arah kebijakan berbagai negara utama dunia akhir-akhir ini.
Sri Mulyani (SM) mengungkapkan, dalam pertemuan G20 tersebut, kebijakan proteksionisme presiden baru Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menjadi pembicaraan utama. AS tidak bisa berkomitmen untuk menjaga ekonominya tetap terbuka, demikian menurut SM. Pemerintahan Trump berpikir bahwa ekonominya yang sebesar 17 triliun dolar AS hanya dimanfaatkan negara-negara lain.
AS akan memverifikasi negara-negara yang memiliki neraca perdagangan surplus terhadap AS. Kondisi ini tidak hanya berdampak bagi Indonesia. Menurut SM, Menkeu Meksiko terlihat amat khawatir lantaran kebijakan deportasi AS terhadap warga imigran asal Meksiko dan penetapan tarif tinggi bagi perusahaan di Meksiko sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan Meksiko dan mengurangi banyak lapangan kerja nantinya.
Menurut SM, proteksionisme Pemerintahan Trump membuat Indonesia harus amat hati-hati. Jika Indonesia berada dalam posisi defensif, kita akan sulit berjalan karena pertentangan dengan kebijakan AS bisa semakin besar. Padahal, proteksionisme semacam itu akan memantik kebijakan defensif kekuatan-kekuatan besar dunia lainnya sehingga kita, meminjam kalimat SM, seakan berjalan menghindari bom di kanan dan kiri.
Fenomena negara yang kembali kepada hal yang mereka sebut sebagai identitas awal atau kepentingan bangsa sendiri, menutup diri dari interaksi dengan negara lain, dan mengambil kebijakan protektif terhadap perekonomian yang surplus terhadap mereka, mengarah kepada fenomena populisme dan tidak hanya terjadi pada AS.
Meski kemenangan Trump sebagai presiden AS menjadi cerminan paling menonjol, tren ini telah terjadi di beberapa negara, tapi efek kejutnya tidak semengglobal Trump. Terpilihnya Sinzo Abe dari kalangan ultranasionalis sebagai Perdana Menteri Jepang, Thaksin di Thailand, Narendra Modi di India, dan Rodrigo Duterte di Filipina serta keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) memiliki banyak karakteristik serupa dengan tren populisme global.
Lantas apakah yang dimaksud dengan populisme? Berdasarkan KBBI daring, populisme berarti paham yang mengakui dan menjunjung tinggi hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Populisme adalah filsafat politik yang berpihak pada hak-hak dan kepentingan orang banyak, alih-alih berpihak pada elit dan pemerintah.
Gerakan-gerakan populis umumnya membagi masyarakat menjadi “rakyat ” dan “elit korup”, dengan individu yang memiliki kekuatan terbatas dianggap sebagai rakyat serta elit dideskripsikan sebagai orang-orang yang memiliki pengaruh besar dengan jumlah sedikit. Elit biasanya merupakan orang kaya dan sering menggunakan kekayaan mereka untuk mempengaruhi sistem politik yang menguntungkan mereka.
Kaum populis merasa bahwa pemerintah justru melindungi kepentingan elit dan kurang memperhatikan kebutuhan rakyat biasa. Karena itulah, tujuan kunci di balik populisme adalah rakyat banyak harus memiliki kesempatan dan peran aktif dalam pemerintahan. Karenanya, wakil atau pemimpin rakyat haruslah menyuarakan kepentingan rakyat dan karena itu, berasal pula dari rakyat, bukan elit.
Pada kenyataannya, ketika populisme digunakan untuk menggambarkan retorika politik individu atau partai politik, istilah ini sering membawa konotasi peyoratif dan dianggap sebagai “lip service” yang hanya ditujukan untuk menyenangkan orang banyak tanpa pembuktian yang jelas. Pada akhirnya, kebanyakan politisi yang berkampanye dengan membawa isu populisme berasal dari kalangan elit, bukan rakyat (dalam benak banyak orang langsung mengarah kepada Trump).
Dalam ranah internal negara tersebut, politisi populis cenderung membawa isu konflik kepentingan antara dua kelompok itu yang pada akhirnya meninmbulkan kesenjangan. Bahwa program-program pemerintahan yang berjalan selama ini salah arah dan karenanya harus dikembalikan kepada tujuan yang benar. Melalui program-program yang politisi tersebut bawalah “kembali ke jalur yang benar” itu bisa terwujud.
Hal ini akan menimbulkan simpati banyak orang di tengah krisis yang terjadi. Dukungan mengalir kepada sang politisi dari kelas menengah dan bawah yang merasa termarjinalkan oleh para elit. Kemudian, pihak elit yang dikonotasikan si politisi kepada kelompok politik yang menjadi lawannya dalam pemilihan, akan dijadikan common enemy bagi massa yang mulai bersimpati padanya, apalagi jika tidak ada mekanisme verifikasi yang memadai dalam demokrasi tersebut.
Tidak hanya meninjau konflik kepentingan internal, ranah praktis populisme juga menyinggung konflik eksternal. Pola pikir tentang adanya kepentingan asing yang mengeksploitasi negara yang bersekongkol para elit korup akan menjadi tawaran politik dan ekonomi yang diberikan oleh politisi populis kepada rakyat. Menentang kepentingan-kepentingan asing itu, menjadi jalan satu-satunya jalan untuk kembali meraih kejayaan.
Kebijakan elit korup yang memarjinalkan rakyat biasa dan seringkali memihak “donatur” asing mereka, memunculkan kekecewaan publik (popular discontent) yang mendalam. Kekecewaan itu pada akhirnya memobilisasi banyak orang ke dalam suatu solidaritas kelompok “kita” lawan “mereka” yang kuat, dengan garis pembatas bisa berdasarkan kelas atau status ekonomi (seperti di Thailand), kita vs imigran dan negara asing (Trump dan Brexit), bahkan ras dan agama.
Mobilisasi tersebut umumnya diejawantahkan dalam kampanye dan slogan-slogan yang bersifat apokaliptik hiperbolik seperti negara kita sedang bangkrut, perekonomian kita dikuasai asing, dan lain sebagainya. Ketiga hal terakhir inilah yang menjadi karakteristik utama populisme meskipun sebenarnya secara definitif, para ahli memiliki pendapat yang tidak mengerucut satu sama lain. Ini sesuai pendapat Cas Mudde dan Soeripto J Said.
Selain itu, terdapat karakteristik lain yang, meski tidak senantiasa berlaku, penting untuk dipertimbangkan dalam menyusun pengertian populisme. Gerakan-gerakan populis cenderung terjadi pada kaum mayoritas yang termarjinalkan. Kaum mayoritas tersebut merasa bahwa terlalu banyak keuntungan atau kebebasan yang diperoleh kaum minoritas yang justru merugikan mereka.
Contohnya pada kasus AS, keseimbangan perekonomian yang tak kunjung terbentuk pasca krisis 2008-09 berimbas pada kompetisi lapangan kerja yang tinggi dan manufaktur yang berpindah ke negara lain seperti Meksiko dan India. Keluhan pekerja manfaktur di kota-kota industri yang dahulu jaya lalu kini meredup seperti Philadelphia dan Detroit membuat kebijakan yang US first lebih menjual .
Justru di tanah mereka sendiri, kaum natif mayoritas AS, merasa hak mereka mendapatkan pekerjaan tergusur oleh kaum imigran, minoritas, yang dibiarkan terlalu bebas atau penduduk negara lain tempat manufaktur perusahaan AS dipindahkan. Kampanye Trump mendapatkan poin besar di sana sehingga ia bisa berhasil mematahkan prediksi kemenangan Clinton sebelumnya.
Selain aspek ekonomi, aspek benturan antar kelas dan kultur terlihat menjadi pendorong menguatnya populisme. Komunitas Hispanik dan Muslim yang semakin besar di AS membuat kampanye Trump melakukan deportasi imigran Meksiko dan melarang Muslim masuk AS memperoleh dukungan besar, meski banyak juga yang menolak.
Di Inggris, generasi tua yang besar ketika Inggris masih menjadi kekuatan ekonomi, politik dan militer dunia, merasa Uni Eropa mencabut semua status itu. Nigel Farage, penggagas Brexit, bersamaUnited Kingdom Independent Party (UKIP) memanfaatkan kondisi itu untuk menggiring opini publik tentang defisit akibat bergabung dengan Uni Eropa dan pertentangan kultural dengan negara-negara Eropa daratan.
Meskipun lekat dengan kesenjangan ekonomi dan konflik antar kelas atau kultur, populisme tidak melulu berkonotasi dengan gerakan kiri. Pada kasus-kasus yang telah disebutkan, populisme justru banyak terjadi dengan dipromotori oleh kalangan ultranasionalis konservatif atau kalangan sayap kanan.
Di Indonesia, fenomena populisme terjadi pada golongan yang beragam. Isu kebangkitan komunisme di Indoneia yang menyeruak beberapa waktu terakhir mengindikasikan adanya gejala populisme kiri, terutama pada kaum muda yang dilanda ketidakpuasan atas keberjalanan negara.
Populisme juga terjadi pada masyarakat Islam dengan berbagai aksi bersama menanggapi kasus Ahok yang belakangan terjadi. Suatu gejala yang menggambarkan kekhawatiran umat Islam akan semakin termarjinalkan dari percaturan politik di tahan air. Juga dengan isu Sembilan Naga, sekelompok elit kecil yang menguasai mayoritas aset perekonomian Indonesia, yang mayoritas Muslimnya merupakan pribumi.
Gejala-gejala tersebut merupakan perkembangan yang tidak dapat dihindari dan lumrah dalam dinamika demokrasi dimana tarik-ulur antara kelompok ideologi dan kepentingan biasa terjadi. Hal ini akan membuat demokrasi Indonesia lebih berwarna dan lebih banyak belajar daripada praktik pragmatisme berbasis keuntungan yang selama ini mendominasi demokrasi kita yang dapat dilihat dari koalisi oposisi partai yang sedemikian acaknya.
Namun, jika tidak dikelola dengan baik, hal tersebut rawan menimbulkan konflik horizontal internal dalam lingkup rakyat, maupun konflik eksternal dengan negara lain. Seperti telah dibahas, bahwa kecenderungan proteksionisme telah ada sebelum kemenangan Trump, pernyataan Trum yang eksplisit dan frontal akan menimbulkan reaksi baik internal maupun dari negara lain.
Demonstrasi kemudian sempat terjadi di beberapa wilayah AS terkait kebijakan-kebijakan Trump dengan pendukung yang juga tidak sedikit. Hal ini juga dapat terjadi di Indonesia dalam kasus demonstrasi terhadap Ahok, junta militer dalam pemerintahan Thaksin di Thailand, dan protes sejumlah tokoh terkait Brexit.
Selain konflik internal, populisme jua menimbulkan konflik eksternal dengan kasus AS yang paling kentara. Dengan posisi perekonomiannya yang besar, populisme Trump akan menggiring AS ke arah yang amat defensif terhadap dunia luar sehingga negara-negara yang selama ini mengandalkan perdagangan dan investasi dengan AS harus putar otak.
Kunjungan Raja Saudi, Salman, ke sejumlah negara dapat diartikan sebagai langkah antisipatif jika nanti AS, sebagai lahan dagang dan investasi besar Saudi, mengubah haluan terhadap kemesraan keduanya yang terjain erat pada dekade terakhir. Selain itu, persaingan dan ketegangan akan semakin tajam mengingat “musuh-musuh” tradisional AS tidak akan diam saja. Reaksi mereka terhadap kebijakan AS akan memunculkan dinamika geopolitik yang amat masif.
Indonesia perlu mempersiapkan diri terhadap dampak populisme, baik internal maupun eksternal. Pada wilayah internal, populisme yang terjadi pada berbagai golongan masyarakat harus diantisipasi sedemikian hingga tidak mengarah kepada konflik horizontal. Di sini, keadilan pemerintah dan kesediaan untuk menerima dan memberikan verifikasi amat diperlukan.
Dari sisi eksternal, kompetisi yang menajam membuat kita wajib meningkatkan berbagai kompetensi yang kita butuhkan agar memiliki daya tawar dan wibawa yang kuat dalam percaturan tapi tetap tidak terkesan intimidatif ataupun defensif sehingga kita masih bisa mendayung di antara dua pulau dengan selamat.
Dalam konteks kehidupan kampus, terdapat pertanyaan yang harus dijawab. Bagaimana dunia kemahasiswaan mengambil peran dalam mempersiapkan SDM untuk menyambut persaingan itu? Apakah politik kampus kita dapat terbebas dari konflik horizontal yang tidak perlu akibat populisme golongan-golongan? Sejauh manakah kaderisasi mahasiswa yang selalu kita elukan mampu mengantisipasi hal itu?
Comments
Post a Comment