Sultan Ngabdulkamid Erucokro Kalifat Rasulullah

18819.jpg
https://www.satujam.com
Akhir-akhir ini, dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara kita tengah mengalami berbagai fenomena yang luar biasa yang tidak lain merupakan akibat dari semakin lanjutnya tahapan pemikiran masyarakat beserta berbagai kelompok yang terdapat di dalamnya dalam pencarian dan pengungkapan jati diri.
Terlepasnya kita dari masa Orde Baru memberikan kesempatan bagi munculnya berbagai macam rasa keadilan yang sebelumnya selalu dipendam dan ditekan pada diri setiap orang. Kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan tidak berlakunya lagi Pancasila sebagai asas tunggal wajib perkumpulan massa menjadi ruang gerak baru bagi lahirnya sekian banyak ormas, partai, dan lembaga pers dengan corak yang berwarna-warni tanpa harus takut dilabeli subversif.
Dengan semakin semaraknya identitas yang diunggah oleh berbagai rasa tersebut, kemudian terjadilah percaturan berbagai pemikiran tentang bentuk entitas yang tepat untuk mewadahi semua bagian dari kaum ini menuju kesejahteraan dan keadilan yang hakiki. Percaturan-percaturan itu terkadang menimbulkan sejumlah gesekan, baik pada tingkat akar rumput maupun pada level elite politik dan ormas, secara internal juga eksternal.
Gesekan yang terjadi dewasa ini tidak terlepas dari fenomena kebangkitan rasa untuk menjadikan Islam sebagai identitas, baik secara pribadi maupun komunal. Salah satu pucuk gunung es dari fenomena ini dapat dilihat pada sejumlah aksi damai bela umat Islam atau bela fatwa MUI yang terjadi beberapa waktu lalu.
Usai berbagai peristiwa itu, wajar jika perdebatan kemudian muncul di ruang publik yang juga tidak terlepas dari berbagai pemberitaan yang ada di media-media massa nasional, baik yang pro ke satu pihak atau pro ke pihak lain. Gesekan itu terus merembes hingga ke level komentator dan pengamat politik “cap jempol”, yaitu yang berkegiatan mengetik di media-media sosial menggunakan gawai.
Perdebatan-perdebatan yang menyundul ke permukaan berputar di sudut-sudut yang berlainan, bercabang, tapi kerap berhubungan satu sama lain. Mulai dari isu makar, kepentingan politik terselubung, toleransi, terancamnya Pancasila, terancamnya NKRI, konspirasi pemerintah, Islam garis keras vs moderat, “Islam liberal” vs “Islam jenggotan”, hingga rongrongan ideologi khilafah, semua seperti benang kusut yang sulit diurai ke solusi partikuler yang independen.
Ibarat suatu persamaan diferensial orde tinggi, penguraian ke dalam solusi-solusi partikuler berdasarkan kondisi-kondisi batas yang ada amat diperlukan untuk membuatnya bisa diselesaikan. Jika tidak dilakukan, solusi yang terbentuk selamanya berupa solusi homogen yang berarti banyak nilai dapat dimasukkan dan menjadi benar. Dengan kata lain, perdebatan dan gesekan yang tidak berujung.
Katakanalah sistem yang kita bahas di sini merupakan NKRI dengan kondisi batas berupa ideologi, pemikiran, haluan, garis kebijakan, dan berupa-rupa konstituen lainnya yang semisal. Mari kita ambil salah satu konstituen kondisi batas tersebut yang tengah hangat beredar di media pemberitaan maupun media sosial belakangan, yaitu ancaman masuknya ideologi khilafah ke NKRI pada ormas-ormas yang disinyalir dipengaruhi fenomena global ISIS.
Bagi kedua pihak, yaitu mayoritas yang merasa terancam oleh sistem khilafah terhadap NKRI maupun minoritas yang menginginkan berdirinya sistem khilafah (secara harfiah) di Indonesia, sama-sama memiliki sisi benar dan sisi salah tersendiri, dilihat dari kacamata sebelumnya, yaitu rasa keadilan, dan pisau bedah lain, yakni latar historis.
Pertama, dari latar historis, ideologi khilafah tidak baru-baru ini masuk Indonesia akibat fenomena ISIS. Ideologi khilafah telah ada di Indonesia jauh sebelum Indonesia ada, yang tercatat dengan cukup baik yaitu pada masa Perang Jawa, sebagaimana tertulis dalam babad-babad dan buku-buku tentang tokoh utama saga tersebut, Pangeran Diponegoro.
Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Peter Carey, Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, yang ditebitkan oleh LKiS dan mendapatkan kata pengantar dari Ong Hok Ham, banyak dinyatakan bahwa Perang Jawa merupakan suatu perang yang dianggap sebagai perang sabil (perang suci dalam agama Islam) yang bertujuankanti amangun kaluhuranipun agami Islam wonten ing Tanah Jawi sedoyo.
Ong Hok Ham, dalam kata pengantarnya untuk buku tersebut menuliskan sebagai berikut.
“Dalam korespondensi selama berlangsungnya Perang Jawa (1825-30), Dipanegara yang ketika itu bergelar Sultan Ngabdulkamid Erucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagamaning Jawa Kalifat Rasulullah berulang-ulang mengemukakan tujuannya mendirikan sebuah negara agama (Islam) di Jawa (mangun luhuripun agami Islam ing Tanah Jawa).
Menurut pendapat Elout (Menteri Wilayah Jajahan Belanda 1824-9), pangeran tersebut meminta diakui sebagai pangeran pelindung agama (Ratu Paneteg Panatagama) di Jawa.”
(Carey. 2001. Yogyakarta. LKiS Yogyakarta : Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh. hal : xxii dan 177)
Kata dalam gelar tersebut, Kalifat Rasulullah, merujuk kepada khalifah yang menjadi pemimpin dalam sistem khilafah. Khalifah pertama setelah Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar, dijuluki sebagai khalifatur rasulullah (wakil atau penerus rasul Allah). Gelar tersebut awalnya bermakna netral dan tidak kejam, karena hanya berarti pemimpin umat sepeninggal rasul, itu saja.
Gelar tersebut tetap demikian pada masa Khulafaurrasyiddin (4 khalifah awal yang diberi kecerdasan) yang pemilihannya banyak menggunakan sistem musyawarah melalui ahlul halli wal aqdi (semacam dewan permusyawaratan). Sistem ini tidak sepenuhnya mirip demokrasi, tapi dapat dikatakan tidak memiliki perselisihan yang banyak bahkan bisa klop dengan demokrasi, terutama model permusyawaratan (parlementer).
Gelar tersebut menjadi berkonotasi negatif, khususnya bagi literatur yang menjunjung tinggi liberalisme, terutama pasca masa Khulafaurrasyiddin, yaitu pada masa mulkan aadhon, sebagaimana terdapat dalam sejumlah hadis Nabi. Kata mulkan aadhon dapat berarti raja yang menggigit atau raja diktator, yaitu pada masa kerajaan dinasti yang sistemnya diadopsi dari pemerintahan Persia dan Roma Timur.
Sejurusnya dengan demikian, kata khalifah seharusnya memiliki makna istilah yang netral sebagai pemimpin, yaitu pemimpin pada sektor kehidupan dunia sekaligus pemimpin pada bidang akhirat (pemimpin keagamaan). Pada kasus Diponegoro, dalam buku Carey tersebut, banyak disebutkan bahwa Diponegoro mencoba menjadi pemimpin yang demikian, dengan membangkitkan rasa keislaman sekaligus kejawaan sebagai landasan perjuangan.
Hal tersebut berarti, keislaman dan kejawaan (nasionalisme Jawa) dapat hidup sejalan dan beriringan dalam sanubari Diponegoro, tanpa harus mengalami konflik yang mempertentangkan sifat nasionalis dengan islamis belakangan ini. Hal itu karena Diponegoro menyadari bahwa Islam merupakan identitas sebenarnya dari keraton Jawa yang saat itu tengah merosot akibat banyaknya anjrah cara Welandi “bergaya hidup Belanda (kapitalistik liberal)”.
(Carey. 2001. Yogyakarta. LKiS Yogyakarta : Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh. hal : 68)
Perjuangan Diponegoro yang bersemangat khilafah Islam sekaligus nasionalisme Jawa ini juga diamini pada buku-buku yang ditulis oleh E. R. Asura, seperti Sadyakala Mataram : Sirnanya Impian Sang Khalifatullah Tanah Jawa. Pendapat itu dapat langsung terlihat pada sampul depan novel sejarah tersebut dengan “sirna impian” merujuk pada dijebaknya Diponegoro oleh De Kock untuk ditangkap dan dibuang ke pengasingan yang mengakhiri Perang Jawa.
Dari uraian singkat tentang Diponegoro yang memperjuangkan diperbaikinya sistem Keraton dengan landasan agama Islam dan nasionalisme Jawa tersebut menujukkan bahwa ideologi khilafah telah ada sejak dulu di Jawa. Jika khilafah dan khalifah dianggap seperti setan, monster, dan ancaman yang kejam, maka status kepahlawanan Diponegoro tentu harus dipertanyakan karena ia membela khilafah, bukan Keraton yang saat itu tunduk di bawah kompeni.
Namun, di sisi lain, mewaspadai bangkitnya khilafah juga dibenarkan jika perwujudannya tidak sesuai dengan koridor yang disepakati bersama. Terdapat perbedaan konteks yang cukup jauh di sini. Pada masa Diponegoro, terdapat dikotomi yang jelas antara kesejahteraan dengan keterpurukan. Dijajah berarti terpuruk, merdeka berarti sejahtera. Kompeni (baik Belanda maupun Inggris yang datang pada masa Diponegoro) merupakan “musuh bersama yang jelas”.
Pada masa ini, musuh bersama yang jelas tersebut tidak berwujud secara nyata sebagai satu kaum seperti masa itu. Setiap kelompok masyarakat saat ini memiliki kepentingan yang dapat berbeda. Jika kemudian terjadi liberal lawan “Islam garis keras”, nasionalis lawan islamis, dan lain-lain, yang ada hanyalah orang Indonesia lawan orang Indonesia, bahkan KTP Islam lawan KTP Islam yang lain.
Maka dari itu, pemojokkan, pengucilan, pemberian stigma, pengonotasian negatif, maupun langkah-langkah lain yang serupa dengan itu, mesti dihentikan sekarang juga agar tidak terjadi timbulnya pertentangan dan gesekan lebih jauh, utamanya agar tidak ada pihak yang merasa dizalimi sehingga dikhawatirkan nekat mengambil tindakan di luar koridor fiqih Islam “maslahat masyarakat lebih banyak, mudharat lebih sedikit”.
Pemberian stigma bahwa umat Islam merupakan umat paling intoleran harus dihentikan, karena semua itu bahkan ahistoris. Bahkan dalam perumusan Pancasila pun, umat Islam telah menunjukkan sikap toleransi jauh sebelum konsep negara selesai dibangun. Sila pertama yang aslinya tentang ketuhanan yang berkaitan dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluknya (ingat hanya pemeluk Islam, artinya tidak memaksa agama lain) rela diubah.
Padahal redaksi sebelumnya juga sudah toleran (bagi pemeluk Islam saja, ingat, yang lain tidak dipaksa). Atas kearifan para ulama pada masa itu, sila itu diubah menjadi yang berkaitan dengan ketuhanan yang bersifat keesaan. Ini merupakan toleransi yang mengharukan. Bentuk toleransi umat Islam yang mana lagikah yang kamu dustakan?
Selain itu, konteks perjuangan keislaman Diponegoro tetap tidak keluar dari keraton. Ia bercita-cita mengubah keraton menjadi seperti masa keemasannya yang seharusnya, bukan menghancurkan keraton. Diponegoro bahkan tetap mengakui raja dan institusi-institusi yang ada, tidak menabrak institusi tersebut, tapi mengajaknya menuju nilai yang lebih baik. Langkah perang hanya ditujukan pada musuh bersama yang telah jelas, kompeni Belanda.
Perjuangan perwujudan sistem Islam dalam kehidupan keseharian jika memang mau dilakukan, tidak boleh dengan menciptakan revolusi melalui terorisme dan pengeboman karena tidak ada musuh bersama yang jelas, seperti kompeni. Sebaliknya, meminjam kata-kata Mahfud M. D. di ILC, harus dilakukan melalui DPR, seperti dengan merumuskan peraturan pembatasan minuman keras atau aturan Islami lainnya. Harus konstitusional dan tetap NKRI.
Jikapun pembaca merupakan pendukung liberalisme, yang mengusung pemisahan agama dari negara, agaknya jika memang mau berjuang memishkan agama dari negara secara benar-benar, hapuslah terlebih dahulu sila pertama Pancasila. Karena sila tentang ketuhanan justru sila yang melegitimasi negara untuk menjamin kehidupan bernegara melalui institusi-institusi bentukannya, seperti Kementerian Agama RI.
Atau jika pembaca memang pendukung liberalisme, sebelum banyak bercakap-cakap di tulisan yang pembaca sebar, saya mengajukan pertanyaan bagi pembaca tersebut. Diponegoro memperjuangkan nasionalisme Jawa bersamaan dengan agama. Kalau agama dan negara mau dipisahkan, apakah Sultan Ngamid itu salah?
“Setiap pihak membuat rencana, tapi Tuhan adalah perencana paling baik.”

Tulisan ini dimuat di : http://www.qureta.com/post/sultan-ngabdulkamid-erucokro-kalifat-rasulullah

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan