Terjemah Fil Falsafah al Ula "Tentang Filsafat Pertama" (update 9 Februari 2020)


Pengantar Penerjemah
Nama Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al Kindi dikenal cukup luas oleh para pelajar di dunia Islam, walaupun banyak pula dilupakan. Banyak karya telah ditulis oleh Sang Filsuf Arab tersebut. Namun, sedikit sekali yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Naskah aslinya dalam bahasa Arab maupun terjemahannya dalam sejumlah bahasa Eropa pun jarang beredar di pasaran. Kalaupun ada, kita dapat meragukan jika banyak orang di Indonesia telah membacanya.
Hal itu memang dapat dimaklumi. Umat Islam di Indonesia ini khususnya, bahkan juga dunia, telah lama terjebak dalam perpecahan dan perdebatan dalam perkara yang dangkal sehingga umat Islam di berbagai penjuru terpuruk dan hidup di bawah hegemoni kapitalisme dan postmodernisme Barat ataupun State capitalism yang bercampur komunisme politik ala Tiongkok, yang menjadi kekuatan baru dunia akhir-akhir ini.
Umat Islam di Palestina, Syria, Iraq, Libya, Rohingya, Xinjiang, Yaman dan banyak tempat lain masih mengalami kesulitan-kesulitan dalam hidup. Sementara itu, umat Islam yang negerinya relatif damai justru sibuk saling sikut. Di Indonesia, kaum tradisionalis kerap konlfik dengan kaum reformis (modernis). Kalangan Islam liberal sering menebarkan keresahan di kalangan Islam lain. Kelompok politik Islam juga saling menjatuhkan satu sama lain.
Kita seakan tidak pernah belajar dari kesalahan di masa lalu. Perbedaan pendapat memang kewajaran. Namun, perbedaan itu tidak perlu kita sikapi dengan konflik yang tidak produktif. Apalagi jika perbedaan itu hanya menyangkut masalah furu’iyah. Masih banyak permasalahan ushul yang mesti diselesaikan umat ini. Hal ini diperparah dengan fanatisme kelompok dan kurangnya literasi umat atas karya-karya keilmuan peradaban Islam.
Kurangnya literasi peradaban Islam pada umat menyebabkan segala perbedaan disikapi dengan cara penuh sentimen, bukannya dengan landasan keilmuan yang utuh. Hal ini membuat situasi publik menjadi panas dan rawan konflik horizontal. Untuk mencegah hal itu dan dalam rangka menghidupkan kembali khazanah keilmuan Islam, maka penulis memandang penting agar naskah-naskah keilmuan umat Islam dari berbagai masa dan wilayah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Penerjemahan “Fi al Falsafah al Ula” karya al Kindi ini adalah salah satu upaya tersebut. Masih banyak ulama, filsuf, saintis, dan para tokoh Muslim lain yang menulis karya-karya besar, tetapi jarang dibaca publik. Dari masa klasik, kita mengenal banyak ahli hadits, penulis tafsir, imam madzhab fiqih, al Ghazali, al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Haitsam, Nashiruddin at Thusi, Suhrawardi, Jabir ibnu Hayyan, Jamaluddin al Afghani,
Banyak juga tokoh dalam negeri yang memiliki pemikiran besar dalam keislaman, seperti Tirtoadhisoerjo, H.O.S. Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso, Bagoes Hadikoesoemo, Ahmad Dahlan, Hasjim Asj’arie, Natsir, Hamka, Soekiman Wirjosandjojo, hingga Prawoto Mangkoesasmito. Nama-nama penulis filsafat kontemporer seperti Hamid Fahmy Zarkasy dari Gontor hingga Salim A. Fillah yang banyak menulis sastra bernapas Islam juga menarik untuk disimak.
Semoga umat Islam di seluruh dunia dan Indonesia khususnya mampu bangkit dari keterpurukan dan membangun kembali suatu peradaban besar yang berbasis keimanan dan keilmuan, sebagaimana yang pernah kita capai pada masa lalu, di saat Eropa dan Barat sedang dalam masa kegelapan “Dark Ages”, sementara kita mencapai tingkat peradaban yang gilang-gemintang melalui ajaran Islam.


Abstrak
Tulisan ini berisi terjemahan kritis terhadap naskah berbahasa Arab “Fi al Falsafah al Ula”, sebuah karya besar dari Ya’qub ibnu Ishaq al Kindi, serta studi hubungan naskah ini terhadap baskah-naskah lain al Kindi dan filsafat Yunani. Ide-ide al Kindi juga dibandingkan dengan ide-ide kontemporer di kalangan teolog dan filosof abad IX dan X.
Terjemahan ini secara baku didasarkan pada pola penulisan edisi bahasa Arab buku tersebut oleh Muhammad Abu Ridah (Kairo, 1950). Bahan pendamping lainnya adalah edisi yang diterbitkan oleh Ahmad al Ahwani (Kairo, 1948) yang memberikan pandangan lain jika terdapat perbedaan pembacaan atas manuskrip terbut.
Pengantar terjemahan ini terdiri atas empat bagian : 1) ringkasan riwayat hidup al Kindi dan literatur-literatur terpenting yang berkaitan dengan studi al Kindi; 2a) deskripsi dan ringkasan isi Fi al Falsafah al Ula; 2b) analisis filosofis terhadap pandangan-pandangan al Kindi dalam Fi al Falsafah al Ula; 3) re-evaluasi terhadap hubungan al Kindi dengan Mu’tazilah. Berikut ini adalah ringkasan poin-poin utama dari komentar dan pengantar yang menjelaskan catatan dan kiasan dalam terjemahan tersebut.
Kesadaran kita yang terus tumbuh terhadap kekuatan-kekuatan sosial dan budaya yang bekerja pada abad ke-9 di Baghdad, membantu kita untuk menandai al Kindi, Sang “Filsuf Arab”, dalam lingkungan yang kompleks dimana kelompok-kelompok etnis, religius, dan pemikiran saling bersaing dalam masyarakat. Al Kindi meski begitu, tidak dapat kita identifikasi dengan salah satu kelompok tersebut. Keterlibatan utamanya adalah dengan tradisi filsafat Yunani dan sains yang baru bersentuhan dengan kaum Muslim ketika itu, menuju penjelasan dan perngembangan tradisi tersebut melalui tulisan-tulisannya.
“Fi al Falsafah al Ula” memiliki kesamaan dengan banyak tulisannya yang lain, yaitu kombinasi baru dari definisi-definisi filosofis dasar dan argumen-argumen yang agak rumit. Formulasi argumen favorit al Kindi – dimana dia menggunakan gabungan premis-premis logikal dan faktual – diidentifikasi dengan logika Stoic, begitu juga kebalikannya, suatu silogisme hipotetis dan terpisah-pisah.
Dalam penyajian yang kadang repetitif dan tidak merata, “Al Falsafah al Ula” nampaknya pada awalnya merupakan kuliah-kuliah lisan, kemungkinan di dalam lembaga pendidikan khalifah. Sejumlah catatannya pada karya ini dan karya-karya lain yang berkaitan dengan al Kindi, yang baru-baru ini ditemukan di perpustakaan Abu Sulaiman al Sijistani Siwan al Hikmah, sumber yang cenderung memberikan revisi dari sisi al Kindi dan sumber lain yang mengkritik tulisan maupun personanya.
Meski begiru, filsafat teoritis al Kindi dapat dikumpulkan dari studi terhadap “Fi al Falsafah al Ula”. Karya ini menganalisis kausasi, persepsi, substansi, dan kategori serta predikabel dari eksistensi; menghadirkan prinsip-prinsip dasar logika; dan mendefinisikan konsep kekekalan benda, gerak, serta waktu yang umumnya dianggap finit. Wujud dan perwujudan dibahas secara terpisah dan ditunjukkan untuk mengisi satu sama lain dalam eksistensi setiap benda; yang kemudian dilihat sebagai pembentuk wujud secara non esensial dan aksidental.
Hal tersebut membawa pada asumsi kausa esensial untuk semua wujud aksidental, dimana wujud esensial harus berbeda secara penuh dari semua wujud yang dapat dibayangkan, baik dalam jumlah, bentuk (termasuk akal dan jiwa), jenis, maupun analogi. Wujud Esa yang unik ini, sebagai penyebab dari semua wujud yang lain, dapat dianggap sebagai “Kausa Asal” dari semua substansi dan kreasi di dunia dari ketiadaan (creation ex nihilo), yang tampaknya dicapai melalui proses emanasi yang baru saja disebutkan.
Penyebutan terhadap emanasi itu dan titik perhatian terhadap eksistensi Wujud Asal di atas semua kreasi, mengindikasikan pengaruh Neo-Platonic yang kuat terhadap pemikiran al Kindi, meskipun dia tidak berupaya untuk membangun skema ontologi dari hipotesis keberadaan universal antara Sang Wujud Esa dengan manusia. Dia agak samar, dalam “Fi al Falsafah al Ula” ini dan karya-karya yang lain, dalam kedudukan akal individu dan keseluruhan hubungannya dengan kemungkinan agen intelektual universal.
Al Kindi menggunakan beragam sumber dalam area tersebut, seperti pembagian akal dari Aphrodisias Alexander, meskipun tidak pada identifikasinya atas Wujud Intelektual Pikiran Ilahi. Al Kindi membedakan antara Sang Esa dengan wujud-wujud yang lain, kemungkinan lebih jauh dalam pandangan transedentalnya daripada yang terdapat dalam sumber-sumber Platonian.
Justru Metafisika Aristoteles-lah yang menjadi sumber utama al Kindi daripada Enneads Plotinus. Dia juga sering mengikuti naskah Arab karya Aristotel, meskipun tidak pernah benar-benar menurutinya. Dia bekerja dengan catatan Aristoteles terhadap sifat umum semua substansi dan keberadaan, melengkapi sumber-sumber Metafisika dengan bahan-bahan yang sepertinya merujuk pada Kategori, Analitik Posterior, Fisika, dan De Anima.
Namun demikian, dia tidak merujuk sama sekali pada “penggerak tidak bergerak”-nya Aristoteles. Dia menolaknya dengan penolakan terhadap ketakterbatasan potensial sebagai konsep yang secara filosofis signifikan, yaitu gagasan semesta eternal dan ekstensi tak terbatas dari waktu dan gerakan. Bukti yang diajukannya tentang keterbatasan dan keseiringan wujud, mengikuti argumen yang awalnya disampaikan John Philoponus dan sering muncul dalam tulisan kontemporer al Kindi. Sementara itu, argumennya tentang absurditas wujud dan perwujudan yang akan datang secara eksklusif dari wujud yang lain, nampaknya diturunkan dari Parmenides Plato.
Suatu komentar Helenistik terhadap Isagoge Porphyry menyajikan sumber utama lain bagi sejumlah bagian “Al Falsafah al Ula”, khususnya untuk pembahasan predikabel dan hubungan wujud serta perwujudan dengannya. Al Kindi mungkin merujuk pada sumber yang sama untuk pembahasan kritis terhadap sejumlah teori, yang sudah akrab dengannya dari Metafisika dan dari Pengenalan Aritmatika karya Nichomachus dari Gerasa. Meski demikian, perbedaan pandangan metafisik yang signifikan terlihat antara Nichomachus dan al Kindi.
Para Ikhwan as Shafa generasi berikutnya juga sangat akrab dengan karya Nichomachus, juga dengan referensi-referensi lain yang digunakan al Kindi dalam “Fi al falsafah al Ula” maupun karya lain. Perbandingan singkat antara Rasail (kumpulan risalah) mereka dengan tulisan-tulisan al Kindi, menunjukkan kesamaan sumber untuk banyak pandangan mereka.
Al Kindi memiliki sejumlah murid, diantaranya Isaac Israeli dan Ahmad at Thayyib as Sarakhsi. Keduanya, seperti al Kindi, terlihat sebagai figur apolitis dalam masyarakat mereka masing-masing. Seperti al Kindi pula, as Sarakhsi juga tidak dapat melarikan diri dari pergerakan anti-Mu’tazilah. Berdasarkan catatan bebas dalam bab pertama “Fi al falsafah al Ula” dan analisis terhadap pandangan al Kindi terhadap fisika dan wahyu, al Kindi sepertinya tidaklah dekat dengan Mu’tazilah sebagaimana jamak disangkakan.
Dia umpamanya, meskipun dianggap sibagai filsuf Mu’tazilah, justru memiliki sejumlah kesamaan dengan para teolog rasional (ahli kalam) dalam beragam tema, teknik eksegetis, sumber referensi, dan tujuan. Hanya saja, perspektifnya berbeda. Komitmennya terhadap proses rasional membentuk formulasinya atas kepercayaan religius.
Meskipun dia membicarakan, dalam “Fi al Falsafah al Ula”, kejadian aksidental (creation ex nihilo) dari semua wujud dan kebergantungan semua wujud tadi terhadap Tuhan Sang Pencipta, dia juga membahas kausalitas dan substansi yang menunjukkan bahwa dia percaya secara praktis, jika tidak teoritis, terhadap autonomi. Ini adalah gagasan bahwa setiap bentuk dan materi memiliki keterbatasan dan kebergantungan terhadap wujud eksternal. Kemudian setiap wujud tadi bergantung pada Wujud Asal, Causa Primae, tetapi menerima dalam batasan dan ketergantungan tersebut, semesta fisik tempatnya berada.
Dengan kata lain, pandangan al Kindi tersebut menganggap bahwa wujud Tuhan adalah sumber dari segala wujud, yaitu wujud Tuhan beremanasi menimbulkan alam semesta. Dengan demikian, alam semesta itu akan tetap ada selama adanya Tuhan. Suatu pandangan yang tentunya paradoksial dan berkontradiksi satu sama lain, serta tentu saja terdapat hal yang berlawanan dengan ajaran Quran “Kullu man ‘alaiha faan, wa yabqa wajhu Rabbika dzul jalaali wal ikraam”.
Meski demikian, al Kindi tetaplah seorang filsuf besar pertama dalam tradisi keilmuan Islam. Dia bekerja dengan berbagai sumber yang berbeda dan mencoba membangun struktur keilmuan dan filsafat yang dia rasa akan dapat diterima oleh masyarakat Islam.



Al Kindi dan Studinya
Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al Kindi lahir di Kufah pada akhir abad VIII menjelang awal abad IX saat ayahnya, Ishaq ibn as Sabbah, menjabat sebagai gubernur di sana. Keluarganya menempati posisi penting dalam pemerintahan dan merupakan keturunan raja-raja dari suku Kindah di Arab Selatan. Salah satu leluhurnya juga termasuk sahabat Nabi SAW. Al Kindi memulai pendidikannya di Kufah dan Basrah lalu menyelesaikannya di Baghdad, pusat peradaban dunia ketika itu.
Dia menjadi terkenal di ibukota Abbasiyah sebagai sarjana dan ahli fisika, menikmati keistimewaan yang diberikan Khalifah al Ma’mun dan al Mu’tashim kepada para cendekiawan. Dia juga ditunjuk sebagai guru bagi putra Khalifah, Ahmad. Dalam lingkungan yang nyaman ini, dia melanjutkan studi di berbagai bidang hingga menjadi figur yang legendaris. Karena sejumlah alasan, al Kindi jatuh dari posisinya pada masa Khalifah al Mutawakkil.
Perpustakaan pribadinya yang besar diambil alih dan dia terusir. Meski kemudian perpustakaannya dikembalikan padanya, al Kindi tidak pernah mendapatkan kembali kedudukan tinggi seperti semula. Dia meninggal di Baghdad pada 870 M. Untuk melihat kisah hidupnya lebih baik, kita mesti memahami latar belakang kultural dan sosial saat al Kindi hidup. Dengan demikian, kita dapat melihatnya dari perspektif yang lebih baik.
Masa itu merupakan awal-awal terjadinya gelombang penerjemahan dan studi berbagai pengetahuan dari sejumlah peradaban, termasuk filsafat Yunani, ke dalam Bahasa Arab di pusat intelektual abad VIII dan IX di Iraq. Kita dengan demikian dapat menempatkan al Kindi pada awal era arus filsafat yang tetap penting dalam dunia Islam hingga berabad-abad kemudian.
Para pendengar al Kindi terdiri dari keluarga Khalifah dan para aristokrat lain, sejawat cendekiawan dan ulama, murid-murid, serta teolog berbagai madzhab. Kebanyakan dari mereka yang mengikuti kuliahnya seringkali terkaget mendapati bahwa naskah-naskah yang ia gunakan sebagai rujukan adalah terjemahan dan komentar terhadap pemikiran-pemikiran yang rumit, tetapi dapat ia tuangkan dalam definisi dan diskusi yang dasar dan relatif sederhana.
Al Kindi tentu saja tidak bekerja dalam kekosongan filosofis. Para teolog Kristen di kemudian hari bahkan cukup akrab dengan ide-idenya. Namun demikian, jelas sekali bahwa dedikasi karya-karya al Kindi, mulai dari komentar pengantar hingga suatu tulisan monumental seperti “Fi al Falsafah al Ula”, sejatinya merupakan upaya parafrase, inisiasi, dan pengakraban filsafat kepada kaumnya, umat Islam.
Bahwa pada kemudian hari ajarannya tidak selalu diterima dengan baik mungkin dapat dideduksi dari pembelaannya terhadap sejumlah karyanya. Kita juga dapat mengetahui bahwa dia harus berjuang menghadapi kecurigaan terhadap filsafat yang dipandang oleh sebagian kelompok sebagai budaya sekuler dan asing yang menjadi anatema terhadap lingkaran yang jauh lebih tradisionalis. Di antara mereka tidak hanya kalangan yang lebih tradisionalis seperti Ahmad ibn Hanbal, tetapi juga kaum Mu’tazilah yang lebih rasional.
Hubungan al Kindi dengan kelompok Mu’tazilah, yang akan dibahas kemudian, diperumit dengan politisasi kepercayaan dan keulamaan yang mengikuti pendirian Mihna pada 218 H / 833 M. Di bawah sanksi institusi tersebut dan atas nama keimanan rasional, kaum Mu’tazilah dipersekusi dengan intensitas yang beragam oleh berbagai ahli hukum dan tentara pemerintah. Namun, sejatinya sulit untuk mengelompokkan al Kindi ke dalam salah satu di antara kelompok-kelompok yang berebut pengaruh tersebut.
Kemalangan al Kindi pada era Khalifah al Mutawakkil nampaknya lebih dikarenakan alasan pribadi, intrik personal, atau pergantian orientasi intelektual dalam dewan-dewan pemerintahan daripada alasan keagamaan. Demikian juga sifat al Kindi terkadang cukup ambigu. Di satu sisi dia sering disebut sebagai pribadi yang tamak. Namun, di sisi lain, seperti dalam catatan-catatan yang ditemukan di as Sijistani Siwan al Hikmah, dia juga disebut sebagai orang yang bijak dan berbudi luhur.
Yang jelas adalah, masih banyak pengetahuan tentangnya yang belum ditulis dan masih menarik untuk dipelajari. Sayangnya, karya-karya tentangnya memang kebanyakan klasik dan sedikit terdapat dalam Bahasa Indonesia. Koleksi terjemahan latin dari karya-karya al Kindi misalnya diedit oleh A. Nagy. R. Walzer juga menulis dua analisis tekstual terhadap terkemuka tentang karya-karyanya. M. Abu Ridah menulis dua edisi tentang dua puluh lima naskah filsafat al Kindi, disertai evaluasi umum dan pengantar personal yang panjang. Begitu pula naskah ini mencoba menerjemahkan karya filsafat utamanya ke dalam Bahasa Indonesia.
Tentu saja banyak hal negatif ditulis tentang al Kindi oleh para filsuf dan penulis riwayat hidup di kemudian hari, bahkan terkadang seperti suatu penghakiman. Memang benar bahwa logika al Kindi tidak selalu analitis dan filsafatnya tidak sepenuhnya konsisten atau tanpa cacat. Meskipun begitu, hal itu tidaklah mengurangi pentingnya al Kindi dalam rangkaian khazanah keilmuan di dunia Islam, khususnya pada masa klasik.
Upayanya untuk mengajukan filsafat sbagai bagian esensial dari tradisi yang integral antara keimanan Islam dengan rasionalisme filsafat menjadi tonggak yang penting. Bahkan, hal itu juga menjadi salah satu hujjah bahwa Islam bukanlah agama dogmatis yang menghukum penemuan sains dan pemikiran filsafat, juga bahwa Islam adalah agama yang masuk akal dan mendorong penggunaan akal. Eranya menjadi pembuka zaman selanjutnya dimana perdebatan keilmuan umat Islam begitu hidup, seperti “Tahafut al Falasifah” al Ghazali melawan “Tahafut at Tahafut” Ibnu Rusyd. Begiru pula al Farabi, Suhrawardi, Ibnu Sina, dan lain-lain.
Upayanya untuk memperkenalkan filsafat ke dalam dunia Islam juga tak kalah pentingnya, menjadi salah satu rangkaian yang mengubah masyarakat gurun yang awalnya banyak buta huruf menjadi memiliki peradaban termaju pada masanya, yang sering kita sebut : The Islamic Golden Age. Semoga kita bisa mengulanginya. Amin.



 Ringkasan Isi Naskah
Naskah “Fi al Falsafah al Ula” ini secara ringkas terdiri atas bagian-bagian berikut.
Bab 1
Al Kindi memulai karyanya dengan menyatakan perghargaan kepada Khalifah, yang menjadi tujuan dedikasi buku ini, al Mu’tashim Billah. Dia kemudian memperkenalkan bahasannya dengan menjabarkan filsafat sebagai seni manusia yang paling agung dan mulia, lantaran filsafat itu mencari tahu sifat segala sesuatu. Pengetahuan tentang hal dianggap bergantung pada pengetahuan tentang sebabnya. Sebab paling asal dari segala sesuatu adalah Sang Esa, yang memiliki pengetahuan “Filsafat yang Pertama”.
Empat sebab Aristotelian dideskripsikan dan dihubungkan dengan empat jenis penyelidikan dan substansi. Kesulitan memperoleh seluruh kebenaran membangkitkan upaya bersama yang diperlukan dalam filsafat dan rasa terimakasih atas upaya seluruh filsuf sebelumnya, sesuatu yang amat dipahami al Kindi. Dia melawan pihak-pihak yang tidak menghargai tradisi filosofis dan bertaqlid begitu saja pada standard dan metode orang lain sehingga membusukkan motivasi keilmuan diri sendiri.
Dia menyeru pada para pemegang posisi keagamaan di masyarakat. Pesan kebenaran dari agama adalah kompatibel dengan filsafat, akunya, bahwa seseorang yang ingin menolak filsafat haruslah mengetahui filsafat itu sekadar untuk menolaknya. Bab ini lalu diakhiri dengan seruan tentang perlunya bantuan Ilahi (wahyu) dalam tugas menyusun bukti keilahian (keberadaan) dan keesaan Tuhan.
Bab 2
Al Kindi memulai bab ini dengan membandingkan persepsi indera dan intelektual, yang disebut terakhir dianggapnya lebih superior. Suatu contoh spasial dipilih untuk mengilustrasikan sifat persepsi intelektual, menuntun al Kindi untuk menegaskan keyakinan terhadap keberhinggaan alam semesta, terhadap prinsip ketidakmungkinan sesuatu hal untuk menjadi tak terbatas dalam kenyataan.
Kembali pada persepsi lain, al Kindi menekankan kebutuhan untuk menggunakan metode yang tepat dalam penyelidikan suatu subjek partikuler, alih-alih mencampurkan argumen kemungkinan dengan kepastian secara matematis. Hal ini membawa al Kindi untuk menegaskan prinsip-prinsip kerja yang ia gunakan dalam “Fi al Falsafah al Ula”. Pertama, prinsip mengacu dahulu pada konsep suatu keberadaan kekal, mengklarifikasi artinya secara logis, dan menghubungkannya dengan keberadaan yang unik dan tunggal.
Kedua, prinsip mengacu pada ide dasar tentang persamaan dan pertaksamaan jasmani, yang ada dalam hukum-hukum identitas, kontradiksi, dan pengecualian (excluded middle). Bekerja dengan prinsip-prinsip tersebut, al Kindi menawarkan sejumlah argumen untuk membuktikan bahwa benda, beserta propertinya dalam waktu dan gerak, tidak dapat menjadi tak terhingga dalam kenyataan. Sembari membangun argumen perlunya semesta yang berhingga, dia juga menunjukkan bahwa suatu benda, dalam pengertian fisika sederhana, tidak dapat muncul dengan sendirinya ataupun berada dalam keadaan diam sebelum bergerak.
Bab 3
Bab 3 dibuka dengan pengujian dan penolakan terhadap konsep-konsep autokausasi dan keterpisahan esensi dari substansi yang substansi itu merupakan esensi itu sendiri. Kedua istilah terakhir ini berhubungan salah satunya dengan predikabel-predikabel yang didefinisikan. Predikabel-predikabel tersebut – genus, spesies, individual, perbedaan spesifik, property, dan kejadian umum – bertindak sebagai subjek-subjek diskusi detail tentang jalan sesuatu didasarkan.
Al Kindi menunjukkan bahwa pada setiap kasus, predikabel tersebut tidaklah secara esensial tunggal. Kejadian wujud dalam setiap hal dianggap sebagai indikasi keberadaan agen eksternal yang menimbulkan wujud tanpa harus ada predikabel dan jumlah yang terkait. Agen itu secara esensial menentukan wujud.
Sifat segala sesuatu dalam pengalaman kita terlihat mensyaratkan elemen wujud maupun perwujudan. Asumsi adanya salah satu dari keduanya secara sendiri akan menghasilkan kesimpulan yang absurd, yang al Kindi kerjakan secara detail pada keduanya. Asosiasi yang dibutuhkan pada segala sesuatu dari wujud dan multiwujud dipandang sama dibutuhkannya seperti suatu sebab yang tidak dapat sama dengannya apapun caranya dan harus merupakan suatu wujud yang absolut.
Bab 4
Wujud absolut ditunjukkan tidak ditemukan pada segala sesuatu yang memiliki kuantitas, ukuran menjadi relatif. Tidak ada sesuatu benda pun yang besar atau kecil secara absolut, tidak pula angka 2. Kemungkinan angka 1 sebagai bilangan diuji dan ditolak. Angka itu dipandang sebagai elemen bilangan, memperkalikan dalam hubungan dirinya terhadap angka-angka lain. Ukuran relatif hanya dapat diterapkan pada anggota lain dari genus yang sama, contoh yang luas diberikan.
Sang Esa Sejati tidak memiliki genus dan tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Ia kekal dan tunggal secara absolut, dan al Kindi menjelaskannya dalam istilah kebalikan (negasi). Dia tidak dapat dibandingkan dengan segala predikabel dan tidak memiliki suatu properti fisikal apapun. Sang Esa Sejati juga bukan jiwa, bukan pula akal, yang keduanya (jiwa dan akal) dianggap terbilang dan tidak tunggal secara esensial. Perbandingan tersebut kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bahwa Sang Esa Sejati tidak bersinonim maupun berhomonim dengan sesuatupun. Wujudnya juga esa secara absolut, bukan esa secara jumlah, bentuk, genus, maupun analogi.
Sang Esa Sejati dengan demikian adalah wujud yang unik, secara esensial tunggal, dan menjadi penyebab kekuatan emanasi yang mewujudkan semua kejadian wujud yang lain. Namun, kesemua wujud yang lain itu tidaklah menjadi bagian dari wujud Sang Esa. Sang Esa Sejati oleh karena itu menyebabkan keberadaan segala sesuatu, suatu penyebab asal semuanya (causa prima). Ia juga menyebabkan penciptaan semesta dari ketiadaan (creation ex nihilo). Tanpa wujud, sebuah benda akan lenyap, sehingga Sang Esa Sejati juga menjadi pemelihara keberlangsungan semua wujud lain pada sekalian semesta alam.
Al Kindi menyimpulkan bab ini dengan menyebutkan sifat kreatif (menciptakan), emanatif (memancar menjadi wujud penciptaan), dan mahakuasa sebagai sifat dari Sang Esa Sejati. Dengan demikian, ia menunjukkan seluruh wujud dan keberadaan yang lain sebagai bersifat metaforis.



 Analisis terhadap “Fi al Falsafah al Ula”
Segala upaya untuk menganalisis karya al Kindi ini secara filosofis seringkali rumit menurut gaya yang ringkas, dengan sejumlah premis dari argument yang ada mungkin hilang, istilah-istilah penting mungkin digunakan tanpa sebelumnya didefinisikan, dan keseluruhan karya ini sebenarnya dapat disarikan ke dalam beberapa lembar saja. Peringkasan ini diseimbangkan sebagaimana mestinya dengan teks yang berlapis dan argumen yang berulang untuk membentuk proposisi universal dengan menawarkan bukti dengan tipe formulasi yang sama, dalam pernyataan-pernyataan untuk setiap anggota kelas. Salah satunya adlah kecenderungan penggunaan metode induktif daripada metode deduktif.
Karakteristik gaya nalar ini mengindikasikan bahwa kerja filosofis al Kindi tidaklah dimaksudkan untuk dibaca sebagai suatu naskah yang terpisah, alih-alih harus dipadukan dengan naskah-naskah yang lain dalam suatu konjungsi. Kita mungkin mendapati bahwa setiap kitab dan risalah yang ditulis olehnya merupakan bagian dari rangkaian kuliah atau ceramahnya yang bersambung kepada sekelompok pendengar. Para pendengar itu bisa jadi merupakan orang-orang yang tak berpengalaman dalam filsafat atau bahkan spektis.
Ini memberikan penjelasan terhadap alasan ia menggunakan argumen yang membingungkan juga merujuk pada tulisannya yang lain. Hipotesis ini berarti bahwa pemikiran al Kindi dalam bentuk tradisi semi-oral dan semi-privatlah yang bisa memenuhi bagian-bagian yang dirasa tidak lengkap atau tidak memuaskan dari sebagian karya tulisnya. Bahkan, sebagian korpus tulisannya baru dituliskan dan mendapatkan bentuk definitif setelah dia meninggal.
Jika seseorang dapat mengklaim kredibilitas filosofis tertentu untuk naskah-naskah Kindian tersebut yang pada masa kini berwujud fragmen-fragmen, kepastian yang serupa juga dapat dikatakan untuk karya filsafat besarnya, “Fi al Falsafah al Ula”, suatu karya yang menunjukkan kesadaran dan perhatian seorang filsuf, sebagaimana ketegangan dan kompromi yang tak terhindarkan yang diberlakukan pada filsafat agar mengakomodasikan diri terhadap keimanan. Naskah itu memulai dengan perayaan dan penjelasan pencarian kebenaran filosofis yang diterjemahkan sebagai berikut.
“Sungguh, seni manusia yang tertinggi dalam derajat dan paling mulia dalam peringkat ialah filsafat, suatu pengertian tentang pengetahuan sifat sejati segala sesuatu, sejauh mungkin ia dapat digapai oleh manusia. Tujuan dari para filsuf, sebagaimana pengetahuannya sendiri, ialah untuk memperoleh kebenaran dan sebagaimana perbuatannya sendiri, ialah berbuat dengan penuh kebenaran. Bukan karena pencarian itu tanpa akhir sehingga kita menjadi hampa dan amal menjadi luntur saat kita sudah mencapai kebenaran itu. Kita tidak dapat menemukan kebenaran yang kita cari tanpa menemukan sebab. Sebab dari keberadaan dan keberlangsungan segala sesuatu tiada lain adalah Sang Esa Sejati, sehingga setiap yang memiliki keberadaan memiliki kebenaran untuk ada. Oleh karena Sang Esa Sejati itu ada, segala sesuatu menjadi wujud. Oleh karenanya, filsafat paling mulia dan paling tinggi ialah ‘Sang Filsafat Pertama’, ialah cahaya pengetahuan dari ‘Sang Kebenaran Pertama’ yang menyebabkan semua kebenaran.
Kutipan itu dengan jelas memperlihatkan bahwa tujuan dari seorang filsuf adalah menemukan kebenaran, sedangkan “Sang Kebenaran Pertama” ialah sebab dari semua kebenaran itu. Pandangan yang demikian itu menyebabkan seseorang untuk berpikir dalam pengertian filosofis tentang ide Neoplatonic terhadap asal tunggal segala sesuatu. Dengan melihat pada model Neoplatonic, sejumlah hal yang tidak jelas dalam bab ini dan bab-bab berikutnya menjadi lebih jelas. Dengan demikian, hubungan antara keberadaan dan kebenaran, secara tidak cukup dinyatakan di atas, dapat dipahami dengan asumsi bahwa pembaca – atau pendengar – telah memahami (atau sekadar mengetahui) bahwa segala wujud memperoleh keberadaannya dengan bergantung pada keberadaan Sang Esa Sejati, kombinasi dari identitas mutlak dari wujud dan kebenaran atas sifat-Nya sendiri yang berwenang atas segala kejadian dan korelasi partikuler di semesta ini.
Namun, cukup signifikan bahwa al Kindi tidak mendetailkan hubungan kausalitas ini dan bahwa dia tidak mengembangkan gagasan tentang identitas kebenaran dan keberadaan. Selain itu, doktrin emanasi Neoplatonik menempatkan suatu rangkaian tak terpisahkan dari keberadaan yang memiliki epistemology yang membawa pada kesatuan mistik wujud dengan Sang Esa, suatu yang dielakkan oleh al Kindi. Sebenarnya, kualifikasi dan batasan fisik telah membebankan upaya filosofis sejak paragraph pebukaan. Ini terlihat didesain untuk menyatakan kesadaran al Kindi terhadap batasan-batasan tersebut – pun begitu dengan semua kemungkinannya – tentang filsafat.
Lagi-lagi, latar belakang Neoplatonik membuat penggunaan kausalitas oleh al Kindi pada kutipan di atas masuk akal. Ini karena dia menyambung teks tersebut dengan teks lain yang menitikberatkan bahwa hanya terdapat empat sebab, yang dikenal sebagai sebab “material”, “formal”, “efisien”, dan “final” dalam konsep Aristotelian. Al Kindi menyatakan dengan jelas bahwa setiap sebab haruslah merupakan salah satu dari keempatnya. Namun, tentu saja semua sebab kecuali “Sebab Pertama” yang memuat semua yang lain dan melampaui segala sesuatu.
Meskipun membenarkan hal tersebut, kita mesti mengakui bahwa al Kindi mengabaikan pendirian tentang sebab ini untuk nyaris keseluruhan naskah dan bahwa dia tetap berpijak dengan kerangka kerja Aristotelian tentang kausalitas dan wujud fisik. Dalam kerangkan itu, dia berupaya untuk membuktikan bahwa : a) tidak ada satupun wujud semesta yang secara esensial tunggal dan oleh karenanya b) Tuhan secara esensial esa. Lagi-lagi, kita melihat ambivalensi penggunaan terminologi. Al Kindi menyinggung doktrin Neoplatonik, tetapi tidak benar-benar menjustifikasi atau bekerja dengannya.
Penerapan istilah tersebut unik. Gagasan kemutlakan secara partikuler hanya terdapat pada pembahasan tentang “Sang Esa Sejati”. Ini karena al Kindi menemukan bahwa kerangka Neoplatonik itu bertentangan dengan eksistensi suatu dzat yang esa secara mutlak hanya sebelum adopsinya terhadap konsep hubungan dengan Tuhan yang demikian itu. Pada dasarnya, al Kindi merasa bahwa tidak ada kuantitas atau bilangan yang sedemikian besar yang secara teori tidak ada lagi yang lebih besar darinya, demikian juga jumlah atau bilangan yang begitu kecil yang tidak ada lagi yang lebih kecil darinya.
Al Kindi menggunakannya pertama kali untuk membuat pengecualian terhadap aturan itu. Dia mengklaim bahwa dua adalah batas numerik terendah, dengan pendirian bahwa istilah satu adalah suatu jumlah satuan (seperti konsep vector satuan dalam fisika i, j, dan k) dan tidak mengandung kuantitas dalam dirinya sendiri, sebagaimana harus dimiliki suatu jumlah atau bilangan. Dua, pada saat yang sama, dianggap sebagai penggandaan dari suatu satuan, dan dengan demikian tidak kecil secara absolut.
Namun, dalam pengakuan atas hal ini, satu dibawa ke dalam hubungan yang dapat terkuantifikasi dan pengecualiannya terhadap bilangan tampaknya agak dipaksakan dan sepenuhnya semantic. Al Kindi akan menyadari hal ini kemudian dalam naskahnya, saat dia mengatakan bahwa satu secara numerik, terhadap posisinya dibandingkan dengan semua benda, juga terbilang.
Al Kindi mungkin tertarik dengan ide satu yang non numerik karena kesamaan dengan konsep keesaan Tuhan, yaitu terpisah dari bilangan, satu adalah basis dasar dari seluruh bilangan dan karenanya bukan sebagai bilangan. Ini adalah perangkat dimana enumerasi, kuantifikasi, dan singkatnya penegtahuan tentang dunia ini menjadi mungkin diketahui. Begitu pula “Sebab Pertama” “Sang Esa Sejati”, saat dipandang sebagai sumber dan penjamin segala keberadaan, Dia juga secara jelas terpisah, yaitu bukan menjadi bagian dari semua keberadaan itu. Terpisah di sini tidak berarti tak berhubungan dengan dunia. Sang Esa Sejati juga tidak dapat disifati dengan sifat segala keberadaan yang lain (makhluk). Demikian juga sifat tunggal secara numerik. Ini pada titik terjauhnya merupakan suatu homonym, walaupun al Kindi tidak mengakuinya sejauh itu.
Meskipun dengan berbagai ambiguitas filosofisnya, al Kindi merujuk – walaupun jarang – Sang Esa Sejati sebagai Sang Awal dan Sang Kekal (yang dikatakan memiliki keberadaan dan keberlangsungan diri sendiri). Penggunaannya atas istilah-istilah ini tidaklah serampangan dan bukan pula hanya sebagai homonym. Kekuatan dari keseluruhan sistem konseptualnya bergantung pada keberadaan suatu dzat yang secara esensial esa yang menjadi sumber asal dan independen dari segala realita.
Dengan demikian, al Kindi membangun gagasan pada satu sisi “Fi al Falsafah al Ula” bahwa gerak dalam semesta tidak dapat bermula dari ketiadaan – karena asumsi ketakmungkinan sesuatu berada tanpa sebab dan suatu wujud eskternal harus berasal dari penyebab gerakan – maupun berasal dari keadaan diam tanpa ada sebab yang menyebabkannya bergerak. Pada sisi yang lain, seluruh keberadaan bermula dari sebab asal yang tunggal, “Sang Awal”, yang menjadi penyebab semua keberadaan tapi independen terhadap semua keberadaan itu, yang ada tanpa memerlukan sebab dan unik terhadap semua sifat definitive dari segala keberadaan yang disebabkannya, yang dengan demikian, merupakan “Sang Esa Sejati” yang senantiasa absolut.
Hal tersebut merupakan penggunaan istilah yang samar-samar yang memungkinkan al Kindi untuk menyelesaikan masalah-masalah fisik dengan konsep-konsep nonfisik, yang dia sajikan dalam terminologi fisik. Namun, sejumlah gelar yang digunakan untuk mendeskripsikan Tuhan dalam hubungan fisik dengan dunia kebanyakan merupakan istilah dari argumen pribadi al Kindi. Via negative tersebut hanya dapat membawa pada Deus Negativus atau Absconditus; Sang Pencipta – suatu istilah nonfilosofis yang al Kindi gunakan – tentang Dia walaupun kita tidak mengetahui apapun.
Masalah ini disadari oleh al Kindi, walaupun dia tidak sepenuhnya sadar seberapa rapuhnya pendekatan teologi negatifnya. Ini adalah struktur emenasionis, yang tidak terlalu banyak disebutkan dalam naskahnya, yang ditujukan, sebagaimana kita lihat, untuk menjembatani celah kognitif dan ontologis ini. Dengan demikian, cukup mengejutkan untuk mendapati bahwa al Kindi meminjam begitu sedikit doktrin eksplisit dari karya besar Neoplatonisme, Enneads Plotinus; suatu parafrase yang dia persembahkan dengan – sejumlah koreksi “ashlahahu” – untuk Khalifah al Mu’tashim Billah.
Setelah sejumlah kemiripan antara kedua karya tersebut di awal penulisan, kesejajaran tekstual dengan “Theology” baru terjadi menjelang akhir “Fi al Falsafah al Ula”, dimana latar belakang pengetahuan karya sebelumnya dapat mengklarifikasi posisi al Kindi. Dengan demikian, deskripsinya tentang hubungan Sang Esa Sejati dengan sebab atau kejadian suatu wujud, hubungan Tuhan dengan dunia, berputar di sekitar dunia wujud, keberadaan, dan emanasi. Namun, al Kindi berpendapat, dengan sejumlah proses emanatif yang belum tereksplorasi bahwa wujud suatu benda “datang dari” suatu “Wujud Absolut”.
Sekarang, “Theology” Aristoteles secara pokok menjadi penguji detail dari struktur emanasi ini; menjelaskan beragam hipotesa universal akal, jiwa, dan sifat; menganalisis hubungan mereka terhadap satu sama lain dan terhadap Sang Esa. Fakta bahwa al Kindi mengabaikan dunia entitas-entitas yang jelas ini mungkin mencerminkan hubungannya yang belum terselesaikan dengan metafisika Neoplatonik. Namun, dia sepaham dengan ide emanasi meskipun tidak pada detailnya dan menerima kulit persitilahan Neoplatonisme sembari merevisi makna dalamnya. Dengan demikian, tampaknya dia memperlakukan proses “datang dari” (sebagai terpisah dari kerja dzat Tuhan) sebagai sebanding dengan generasi fisikal karena dia melihat secara praktis semua keberadaan sebagai multiwujud sehingga dapat terbagi dan fana.
Namun, dalam teks Theology yang sebanding, yang memperlakukan hubungan antara “sebab awal” dengan “semua yang datang darinya”, huwiya dianggap sebagai emanasi pertama yang menyembur keluar – inbajasa – dari Sang Esa, yang darinya, kecerdasan universal dan entitas-entitas berikutnya terbentuk. Dengan kata lain, huwiya diperlakukan dalam Theology sebagai prinsip kreatif emanasi dari Sang Esa, meskipun Sang Esa berada di atasnya. Al Kindi menolak gagasan itu, bahkan saat dia menggunakan istilah-istilahnya, mengklaim bahwa wujud Sang Esa sejati adalah keberadaan-Nya yang tidak pernah dibagikan kepada satupun ciptaan-Nya, meskipun itu mengharuskan keberadaan itu untuk menjadi satu dengan wujud Sang Esa.
Dengan demikian, penggunaan al Kindi atas Theology dan mungkin juga beberapa tulisan terkait begitu hati-hati. Tampaknya, dia menolak ontologi Neoplatonik, tetapi tertarik dengan pandangan trasedennya tentang Sang Esa yang tidak lain adalah Sang Pencipta.
Karena itu, kita bermaksud untuk meletakkan filsafat al Kindi dalam suatu kerangka kerja Aristotelian yang lebih sempit, khususnya telah jelas bahwa dia memodelkan “Fi al Falsafah al Ula” kepada bagian besar dari Metaphysics. Sebetulnya, sejumlah bagian tulisan al Kindi seperti parafrase dari bab-bab tertentu dalam Alpha Elatton. Selain itu, kita juga tahu bahwa al Kindi sedikit tertarik pada Metaphysics dan sejumlah Astat atau Eustat menerjemahkannya untuknya. Terlebih, al Kindi secara terbuka menyatakan kekagumannya pada Aristoteles dan Stagirite jelas merupakan pengaruh moral dan intelektual baginya. Namun, terdapat pula sejumlah kesimpulan anti-Aristtotelian yang ditarik dalam “Fi al Falsafah al Ula”.
Terdapat indikasi bahwa perilaku yang ambivalen terhadap ajaran Aristotelian ini telah ada sejak pembukaan “Fi al Falsafah al Ula”, bahkan dapat dikatakan sejak pemilihan judulnya. Hal itu karena al Kindi lebih memilih untuk membicarakan aspek yang dalam Metaphysics disebut oleh Aristoteles sebagai σοϕία, prinsip-prinsip umum dari semua keberadaan, (). Dengan demikian, ia pada dasarnya menolak keberadaan zat-zat yang terpisah dan tidak dapat digerakkan, yaitu area “Theology” sebagaimana yang juga didefinisikan dan dikembangkan oleh Aristoteles dalam “Metaphysics”. Dengan demikian, meskipun ia menamai naskah ini dengan al-Falsafah al-Ula menggunakan sebutan ketiga Aristoteles terhadap “Metaphysics”, al Kindi memperlakukan “Fi al Falsafah al Ula” seperti Sophia yang dipindahkan dari Teologia.
Hal tersebut tampak jelas terlepas dari pernyataan yang dikutip di atas tentang Kebenaran Pertama yang merupakan penyebab semua kebenaran dan komentar pengantar lainnya dengan nada yang sama, seperti pernyataannya bahwa pengetahuan tentang sebab pertama telah secara benar disebut Filsafat Pertama, karena semua filsafat lain terkandung di dalam pengetahuan-Nya. Oleh karena itu, Dialah yang pertama dalam kemuliaan, yang pertama dana genus, yang tertinggi dalam peringkat pengetahuan paling pasti, dan yang pertama dalam waktu karena Dia menyebablan waktu.
Dengan memuji pengetahuan Kebenaran Pertama dan Sebab Pertama sebagai Filsafat Pertama, al Kindi dapat dianggap berada di dalam tradisi Teologia Aristotelian, meskipun formulasinya memiliki lingkaran Neoplatonik. Namun pernyataan-pernyataan ini tidak ditindaklanjuti satupun dengan pemeriksaan "Sebab Pertama" atau "Kebenaran Pertama", atau dengan analisis terhadap satupun substansi yang terpisah dan tidak dapat digerakkan; alih-alih kita diberi pekerjaan yang dipersembahkan untuk prinsip umum sebab-akibat dan "kebenaran", yaitu suatu keberadaan.
Dengan demikian, al Kindi memberi tahu kita bahwa semua yang dapat kita ketahui tentang Sang Kebenaran Pertama, yaitu Tuhan, adalah bahwa semua pengetahuan kita terhadap yang lain tidak dapat diterapkan pada-Nya. Secara lebih sederhana, hal ini dapat diterjemahkan menjadi “Dia bukanlah satupun hal yang sama dengan atau ada di dunia ini”. Tentu terdapat kemungkinan bahwa al Kindi membahas “Fi al Falsafah al Ula” sebahai Teologia pada bagian kedua terakhir buku tersebut. Namun, ketiadaan hal itu pada tulisan-tulisan analisis filsafatnya yang lain dalam topik ini, baik itu secara Aristotelian atau Neoplatonik, membuat hal itu agak mustahil.
Paling mungkin al Kindi merasa bahwa argumennya mengenai sifat terhingga dan tergantung dari alam semesta mau tidak mau menghasilkan kesimpulan tertentu tentang keberadaan dan sifat Pencipta; dan bahwa pendekatan tidak langsung ini adalah satu-satunya metode yang secara filosofis layak untuk "Filsafat Pertama". Ketercapaian dan validitas filosofis sungguh merupakan kriteria utama bagi al Kindi. Naskah-naskah dan komentar Aristotelian memberikan otoritas terhadap petunjuk metodologi, definisi istilah, dan aturan logika yang kita temukan di dalam “Fi al Falsafah al Ula”.
Faktanya, al Kindi menerima kebanyakan argumen Aristoteles terhadap kebergantungan alam semesta sebagaimana terdapat di dalam “Metaphysics” dan “Physics”, yaitu bahwa bentuk dan materi, aktualitas dan potensi, merupakan atribut utama suatu zat; juga bahwa waktu dan gerakan juga hanya ada dalam kaitannya dengan substansi, seperti fungsi tubuh; dan juga bahwa, sementara urutan sebab-akibat harus digunakan untuk menjelaskan hubungan fisik, suatu regresi sebab-akibat yang tak hingga ialah tidak mungkin baik secara logika maupun fisik.
Aristoteles membebaskan waktu dan gerak dari generalisasi terakhir ini ketika ia menganggap mereka, menurut definisi kodrat mereka, bersifat abadi, yang dengan demikian, mengharuskan bahwa posisi benda yang tak berhingga, meskipun secara spasial terhingga, ialah bergerak secara abadi. Hal ini kemudian membawa Aristoteles untuk menempatkan keberadaan sebab awal abadi yang dianggapnya sebagai penggerak yang tidak bergerak “unmoved mover”.
Namun, al Kindi menolak eksepsi dasar tentang sifat waktu dan gerak dari Aristoteles tersebut. Dia memandang bahwa, seperti segala hal yang lain (selain Sang Sebab Pertama), (kemungkinan) sesuatu memiliki ketakberhinggaan secara potensial merupakan hal yang tidak masuk akal (inkonsisten). Dia mengetengahkan bahwa secara aktual, tidak ada keberadaan, selain Sebab Pertama, yang bersifat dan yang dapat menjadi tak berhingga.


Semuanya tunduk, al Kindi berpendapat, kepada kuantifikasi dan, karenanya juga pada, pembatasan. Jauh dari membawa wujud ke dalam keabadian, waktu dan gerak selalu dibatasi oleh wujud aktual hingga dimensi yang terukur dan terukur. Akibatnya seseorang tidak dapat berbicara tentang waktu, gerak, atau wujud secara terpisah satu sama lain. Al Kindi menegaskan, dalam kenyataannya, mereka adalah konsep yang saling bergantung yang merujuk pada wujud yang terbatas dan karenanya makhluk yang fana.
Al-Kindi melanjutkan untuk menguraikan doktrin tentang "timbal balik konseptual" ini dalam bab 3 dan 4 dari "Fi al Falsafah al Ula". Sebagian ia lakukan dengan menggunakan metode dan langkah pembahasan masalah menurut cara yang dikemukakan oleh Plato dalam Parmenides-nya, yang mungkin telah mencapai al-Kindi dari beberapa sumber Neoplatonik atau Platonis Tengah, seperti yang dinyatakan oleh beberapa cendekiawan. Dengan demikian kita mendapati bahwa al Kindi menggagas tetang perlunya keberadaan wujud dan multiwujud dalam semua hal dan konsep. Tidak ada yang dengan sendirinya yang secara esensial satu, dan dunia dicirikan dengam kombinasi subjek dan predikat, secara sendiri maupun bersama.
Sekarang dalam membantah gagasan Aristoteles tentang dunia abadi, al-Kindi menawarkan dunia nyata yang terbatas yang membutuhkan sebab pertama yang tidak terbatas. Namun, hal itu tidak dapat ia hadirkan dalam batas-batas filsafat Aristotelian karena ia menolak gaggasan Aristoteles tentang wujud tidak bergerak yang terpisah (dari semesta) yang bertindak sebagai penyebab gerakan abadi.
Dalam berbagai pembahasan, al-Kindi lagi-lagi membantah kemungkinan keberadaan abadi yang terpisah dan independen sejauh kita dapat memahami makna semua istilah ini di dunia fisik kita. Namun keberadaan substansi yang sangat "tiba-tibaa" mengindikasikan kepada al-Kindi penegasan sah dari keberadaan "esensial" yang ada sebelumnya, yaitu wujud yang sepenuhnya "satu", meskipun wujud semacam itu berada di luar kompetensi wacana filosofis.
Dengan begitu, argumen al-Kindi diakhiri dengan penggunaan metaforis terhadap istilah-istilah deskriptif, meminjam, setidaknya sebagian dari visi Neoplatonik tentang Sang Esa, sementara sumber untuk semua keberadaan berada di luar analisis dan pemisahan yang dilakukan Aristoteles. Namun, al Kindi tidak mau merinci hubungan Sang Esa tersebut dengan dunia. Dia merasa sudah cukup untuk "membuktikan" bahwa dunia membutuhkan Sang Pencipta yang tak lain adalah Sang Esa Sejati.
Penyimpangannya yang paling signifikan dari tradisi Aristoteles dan filsafat Peripatetik adalah penolakannya terhadap alam semesta yang kekal. Hal itu sebagian dicapainya dengan sikap yang sangat berkualitas terhadap konsep potensi dan, secara terkait, pernyataannya tentang apa yang menjadi jenis kausalitas kelima, yang dikerjakan oleh Allah dan yang paling nyata dalam tindakan penciptaan dari ketiadaan. Hal ini pada gilirannya mengarah pada anggapan tentang semua sebab dan tindakan lain, dan kesatuan semua zat, sebagai hal yang "metaforis", sebuah perspektif tentang dunia ini yang, jika pun tidak mewakili pandangan total al Kindi, masih asing bagi pemikiran Aristotelian.
Hal tersebut merupakan tradisi Neo-Platonis dalam filsafat, sebagaimana juga perspektif teologis Islam, yang di sini membuat kontribusi mereka pada pemikiran al-Kindi. Pengaruh lain juga bekerja, yaitu yang terinspirasi oleh pembahasan filosofis Hellenistik dan karya matematika Yunani. Memang, dalam membahas tentang satu dan banyak serta pengertian jumlah dalam “Fi al Falsafah al Ula”, al-Kindi memadukan filosofi dialektika dan matematika, sebuah pendekatan yang tidak biasa untuk tradisi Neo-Platonis.
Terlebih lagi, perlakuan al Kindi terhadap angka menunjukkan bahwa dia akrab dengan teori aritmatika dan meningkatkan kemungkinan bahwa dia menggunakan sumber aritmetika di sini. Kemungkinan yang dianggap lebih masuk akal oleh pengetahuan kita tentang karya-karyanya yang lain. Selain itu, muridnya, Abu Sulaiman Rabi 'ibn Yahya, menulis sebuah naskah untuk Nicomachus dari Gerasa tentang pengantar aritmatika, yang sering ia akui sebagai pandangan gurunya.
Namun demikian, perbandingan teks kita dan Nichomachus menghasilkan sedikit perbedaan tertentu. Bahkan, bagian tertentu aritmetika “Fi al Falsafah al Ula” tampaknya berasal dari sumber sekunder, mungkin dari beberapa diskusi seperti yang ditemukan dalam pengantar pembahasan “Isagoge”, sumber yang digunakan al Kindi di tempat lain dalam naskah ini.
Pernyataan tertentu mengenai kedua buku itu tampak bersesuaian karena al Kindi mungkin bereaksi terhadap teks Nichomachus secara tidak langsung dan, seperti yang akan kita lihat, mungkin mengikuti beberapa garis besar pekerjaan yang kemudian tercermin dalam “Rasa'il Ikhwan as Shafa” (Risalah-Risalah Persaudaraan Kemurnian; kumpulan 52 risalah tentang matematika, geometri, astronomi, geografi, politk, akhlak, logika, psikologi-rasional, universalisme makrokosmos, prinsip-prinsip intelektual, keyakinan kebangkitan, kausalitas, aqidah, hukum, dan dunia ghaib dari Ikhwan as Shafa, sebuah kumpulan persaudaraan para peneliti muslim yang mulai aktif pada kisaran abad ke-8 atau abad ke-10 M, yatu pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, penerj).

Meskipun al-Kindi umumnya akan bersimpati dengan deskripsi Nichomachus tentang filsafat berkaitan dengan pengetahuan keberadaan abadi, dia tidak akan setuju dengan pendapat Nichomachus tentang unsur-unsur angka, wujud tunggal dan angka dua, sebagai keberadaan yang seperti itu, atau dengan asumsi Neo-Pythagorasnya yang sama tentang keberadaan universal, yaitu pola numerik abadi yang dengannya dunia diatur.


Al Kindi hanya akan bersimpati kepada gagasan-gagasan Nichomachus, tentang bilangan satu dan dua serta hal-hal yang lain, pada pandangan yang melihat angka sebagai hal yang setara dengan bentuk, meskipun dia tidak akan menyetujui ide keberadaan “terpisah” yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut. Hal itu karena al-Kindi juga menyatakan perlunya menempatkan wujud dan multiwujud, yang satu dan yang banyak bersama, dalam segala hal. Seperti Nichomachus, ia menganggap yang satu lebih mendasar daripada yang banyak.
Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Nichomachus, konsep yang serupa tentang hal yang terbagi dan tak terbagi, telah terdapat pada naskah pra-Sokratik dan Platonik, sehingga familiaritas al Kindi dengan hal-hal itu tidak dapat ditarik secara langsung kepada Introduction karya Nichomachus. Selain itu, penekanan pada satu sebagai elemen asli dan penyebab semua, seperti yang telah kita lihat, merupakan prinsip NeoPlatonisme.
Namun demikian, ada poin tambahan yang layak disebutkan dalam mempertimbangkan kemungkinan hubungan antara Nichomachus dan al-Kindi. Dalam Theologoumena Arithmeticae-nya, Nicomachus secara eksplisit membandingkan monad (sifat tunggal) dengan Tuhan; karena Dia berada dalam segala hal, maka monad dalam semua bentuk numerik (yaitu, dalam semua hal).
Sekarang, sementara pandangan al-Kindi tentang hubungan satu numerikal dengan angka dapat membangkitkan analogi hubungan Allah dengan dunia kepada para pembaca, al-Kindi cukup tegas dalam menyangkal adanya perbandingan nyata antara keduanya. Sang Esa Sejati dianggapnya sebagai sepenuhnya unik dan tidak memiliki kesamaan dengan seluruh ciptaan. Namun, dalam mengemukakan hal ini, dan karena khawatir dengan seluruh pertanyaan tentang sifat angka, al-Kindi mungkin mencerminkan kesadaran akan posisi Nicomachus dan reaksi terhadapnya.
Sangat menarik untuk dicatat bahwa ensiklopedia yang disusun oleh Ikhwan al-Safa sekitar 100 tahun setelah kematian al-Kindi membandingkan hubungan Pencipta terhadap semua makhluk dengan hubungan angka satu terhadap angka lainnya; dan bahwa secara umum, bab pertama dari karya ini, "Tentang Angka", sering berhutang budi pada karya Nichomachus tentang pengantar aritmatika.
Akan tetapi, para penulis Rasa'il (Ikhwan as Shafa) secara eksplisit menyatakan bahwa angka-angka tidak memiliki keberadaan yang independen, bahkan pengetahuan lengkap tentang berbagai subdivisi mereka mengarah pada kesadaran bahwa semua adalah kejadian yang wujud dan keberadaannya hanya terletak di dalam jiwa. Demikianlah seseorang dibawa dalam pengejaran pengetahuan dari angka ke jiwa.
Al-Kindi, tentu saja, memiliki pandangan yang sama dengan Ikhwan mengenai sifat angka yang tidak disengaja; dan, lebih dari yang mereka anut, tentang sifat jiwa yang kebetulan juga. Mungkin bukan hanya kebetulan bahwa ia melanjutkan, tak lama setelah diskusi tentang angka, ke diskusi tentang jiwa, kemudian segera melanjutkan dari sana ke subjek tertinggi dari semua ilmu teoritis, sifat Allah.
Dengan melakukan hal itu, ia mungkin mengikuti metode yang ditentukan oleh sumber yang sama dengan Ikhwan (as Shafa) dan dirinya sendiri, yang sumbernya mungkin sudah memasukkan beberapa pandangan dasar serta proposisi aritmetika Nichomachus.



Al Kindi dan Mu’tazilah: Sebuah Reevaluasi
Sudah sering ditegaskan bahwa al Kindi memiliki kedekatan dengan sudut pandang tertentu dengan Mu'tazilah dan bahwa ia memberikan rumusan filosofis beberapa beberapa prinsip dasar mereka. Dukungan untuk pernyataan ini sebagian besar telah dikumpulkan oleh Walzer dan Abu Ridah. Yang pertama, dalam artikelnya "New Studies on Al Kindi", disajikan bukti "eksternal" dan "internal" untuk mendukung klaim, yang dibuat dalam penelitian sebelumnya, bahwa al Kindi adalah "filsuf teologi Mu'tazilah". Bukti eksternal bergantung pada dedikasi dari beberapa risalah al Kindi kepada khalifah yang mendukung Mu'tazilah, serta sejumlah dedikasi kepada putra khalifah al Mu'tashim, Ahmad, murid al Kindi.
Jenis bukti ini paling banyak mengindikasikan, seperti yang dinyatakan Walzer sendiri, bahwa "al Kindi tidak dapat sepenuhnya (membuat interpretasi tentang Islam yang) berbeda dengan interpretasi resmi Mu'tazilah yang diikuti oleh para khalifah al Ma'mun dan al Mu'tashim." Memang akan menyulitkan bagi al Kindi, hidup dalam bayang-bayang pengadilan, untuk "sepenuhnya berbeda" dengan doktrin agama resmi yang disahkan negara. Terlebih lagi, akan menjadi sikap yang buruk bagi al Kindi untuk tidak mendedikasikan setidaknya beberapa risalahnya kepada para pelindungnya (kepala negara yang berkuasa beserta kelompok pendukungnya).
Bahwa al Kindi bukan lawan khalifah memang dapat disimpulkan dari dedikasi ini dan dari semua yang kita ketahui tentang kehidupan al Kindi, tapi ia mendukung doktrin Mu'tazilah dengan cara yang signifikan adalah kesimpulan yang tidak beralasan dari sumber-sumber terbatas ini. Walzer sendiri mengakui bahwa "akan terburu-buru untuk membangun terlalu banyak informasi semacam ini kecuali didukung oleh bukti internal". Oleh karena itu, bukti (internal) semacam itulah yang mesti diselidiki kemudian.
Informasi di sini lebih bervariasi dan mengesankan. Walzer mengutip sebuah bagian yang menarik dari risalah al-Kindi "Tentang Kuantitas: Kitab Aristoteles" yang menyebutkan bahwa "Ilmu Pengetahuan Ilahi" (العلم الالهي), yaitu pengetahuan tentang masalah-masalah teologis, dapat diperoleh dengan mudah, tanpa persiapan, dan secara langsung, karena lebih unggul dari "ilmu manusia" (العلوم-الانسانية), yaitu filsafat dan sains (yang hanya memungkinkan untuk mencapai kebenaran setelah proses penyelidikan yang panjang yang seringkali mengalami kesalahan pada tiap percobaan penyelidikannya – penerj.). Para nabi (secara konteks risalah ini lebih berarti rasul) dipandang sebagai penerima pengetahuan unik ini, diberikan kepada mereka atas kehendak Allah, yang membedakan sifat mereka dari orang lain.
Al Kindi mengikuti pernyataan ini dengan tegas, merujuk pada surah 36 (dalam Quran), ayat 78-82, tentang supremasi tak terhindarkan dari argumentasi retoris Alquran atas setiap alasan filosofis yang mungkin dalam hal-hal yang menjadi dasar narasi iman, seperti penciptaan dunia dari ketiadaan (creatio ex nihilo) dan kebangkitan. Ayat 82 berbunyi, "Sesungguhnya perintah-Nya, ketika Dia menginginkan sesuatu, adalah dengan mengatakan kepadanya (sesuatu itu) 'Jadilah!' maka terjadilah ia" (إنما أمره إذا أراد شيئا أن يقول له كن فيكون).
Al Kindi menafsirkan pernyataan itu, bahwa Tuhan mengucapkan kata "Jadilah!" dalam cara metaforis yang non-literal, merujuk pada analogi metafora puitis sebagaimana dipraktikkan oleh penyair pra-Islam. Walzer kemudian mengidentifikasi pernyataan-pernyataan al Kindi ini dengan pandangan-pandangan yang dipegang oleh Mu'tazila tentang supremasi kebenaran yang diwahyukan dan tak dapat ditirunya Kitab Suci (إعجاز القران), keyakinan yang sering dimiliki Mu'tazila berdasarkan kriteria filologis dan retoris; dan khususnya dengan penolakan pengajaran yang dikaitkan dengan Bishr ibn al Mu'tamir (w. 825-6 A.D.) dan muridnya, Abu Musa Isa bin Sabih al Murdar.
Mu'tazila tentu saja, sama sekali tidak unik di antara orang-orang beriman yang menganut kepercayaan pada i'jaz Alquran, atau dalam supremasi wahyu - firman Tuhan - untuk segala jenis pengetahuan lainnya; meskipun pendekatan mereka, sebagaimana dicirikan oleh penegasan bahwa Alquran diciptakan (sebagai makhluk – penerj.) dan oleh metode eksegetis mereka, adalah untuk memenuhi syarat sifat dogmatis dari keyakinan agama dengan menafsirkannya secara rasional. Dengan demikian al Kindi memang dapat diidentifikasikan dengan Mu'tazila dalam penggunaan kriteria filologis dan puitis untuk mencapai pemahaman non-literal dari Firman Tuhan; meskipun pendekatan ini adalah apa yang diharapkan seseorang dari orang yang berorientasi rasional yang menganggap dirinya sebagai seorang filsuf.
Faktanya, argumen yang dibawa al Kindi dalam pembelaan Alquran ini, kebenaran yang pertama kali ditegaskannya secara dogmatis, secara filosofis berakar. Mereka bersandar pada prinsip generasi pertentangan dari pertentangan, yang prinsip umumnya kemudian diterapkan pada penciptaan keberadaan (أيس) dari sebaliknya, ketiadaan (ليس). Kepercayaan pada creatio ex nihilo inilah, yang dipegang (salah satunya) hanya oleh Al Kindi di antara banyak filsuf Islam, bersama dengan penggunaan prinsip-prinsip rasional yang diperkenalkan oleh metode tafsir filosofis dan retoris dalam penjelasan dogma Islam, yang membuat Walzer merasa hubungan al Kindi cukup aman dengan Mu'tazila dan tampaknya akan menunjukkan pertalian yang kuat di antara mereka.

Abu Ridah, pada bagiannya, menulis tentang hubungan antara al Kindi dan Mu'tazilah dalam pengantar edisi risalah filosofis al Kindi, menyebutkan judul-judul beberapa risalah yang dianggap berasal dari al Kindi oleh para bibliografis, yaitu risalah-risalah yang tampaknya berkenaan dengan tema-tema Mu'tazilah seperti "wujud" dan "keadilan" Tuhan. Abu Ridah kemudian merujuk pada judul-judul risalah yang dianggap berasal dari al Kindi di bidang polemik, prophecy, dan fisika, mata pelajaran yang umum bagi semua Muttakallimun. Sayangnya, satu-satunya risalah yang dibawa untuk mendukung bukti "eksternal" ini adalah "Fi al Falsafah al Ula" dan risalah yang dibahas di atas "Tentang Kuantitas: Kitab Aristoteles".


Abu Ridah beralih ke ekspresi dan tema yang umum bagi al Kindi dan semua penulis Kalam pada zamannya dan kemudian, khususnya mengenai keterbatasan yang diperlukan dari semua hal dan keterciptaan mereka. Namun, sebagaimana disebutkan oleh Abu Ridah, para teolog tidak sepakat dalam pandangan mereka tentang akhir dunia, dan meskipun ada klaim umum, tidak ada di antara mereka yang sepakat dengan pandangan al Kindi mengenai hal ini. Namun, tidak dapat disangkal bahwa pernyataan Abu Ridah sangat baik, dan bahwa al Kindi memiliki keprihatinan yang sama dengan Mu'tazila, seperti halnya dengan semua Mutakallimun, dan ini sering diekspresikan dalam kosakata dan bentuk pernyataan yang sama.
Perbandingan lain antara tulisan-tulisan al Kindi dan Mu'tazila muncul dari penelitian terbaru H. Davidson tentang argumen abad pertengahan untuk penciptaan. Davidson telah menunjukkan bahwa baik al Kindi dan Mu'tazila, serta banyak penulis lain, menggunakan argumen yang mirip dan sering kali sama, sebagian besar berasal dari John Philoponus, untuk menetapkan doktrin penciptaan alam semesta.
Dengan demikian, dalam adaptasi salah satu bukti Philoponus tentang generasi alam semesta berdasarkan pada ketidakmungkinan gerak abadi, al Kindi serta Iskafi (wafat. 854 AD) dan Nazzam (wafat 845 M) terbukti berpendapat bahwa saat ini tidak akan pernah tercapai jika itu didahului oleh waktu yang tak terbatas, dengan prinsip bahwa waktu yang tak terbatas (atau serangkaian peristiwa) tidak dapat dilintasi. Sementara itu, al Kindi, Abu al Hudhayl (wafat sekitar tahun 841 M), dan Nazzam memiliki perbedaan, dalam istilah temporal dan spasial, terhadap bagian pendapat Philoponus tentang ketidakmungkinan ketidakterbatasan, yaitu bahwa apa yang terbatas di satu arah (satu hal) haruslah terbatas di hal-hal yang lain juga.
Masih ada argumen yang berdasar kepada Philoponus yang lain yang digunakan al Kindi yang muncul dalam (tulisan) para mutakallimun masa kemudian, dan mungkin juga telah digunakan semasa al Kindi. Jadi, argumen al Kindi yang menentang ketidakterbatasan yang menunjukkan kesimpulan-kesimpulan yang tidak masuk akal yang dicapai dengan menambah dan mengurangi dari besaran tak terhingga, telah digunakan, dengan cara yang sedikit berbeda oleh Nazzam. Sementara pernyataan al Kindi bahwa benda, yang dengan sendirinya dikaitkan dengan "hal-hal yang terjadi secara bersamaan", yaitu aksiden (khususnya, untuk al Kindi, gerakan dan waktu), tidak mendahului mereka dan karenanya terbatas seperti mereka serta tampaknya merupakan formulasi awal dari argumen yang dilaporkan digunakan oleh Abu al-Hudhayl juga, yang menjadi, dalam kata-kata Davidson, "bukti standar Kalam tentang penciptaan".
Harus diingat bahwa kesamaan al Kindi ini dengan pandangan John Philoponus tidak meniadakan perbedaan penting yang ada dalam filosofi kedua orang itu. Benar bahwa keduanya menekankan pada keterbatasan waktu dan gerak, keadaan jasmani dan sifat semua benda yang tidak dapat berlangsung lama (secara tak terbatas – penerj.), dan penciptaan dari ketiadaan karena kehendak Tuhan. Namun, meskipun al Kindi berpendapat, dalam "Fi al Falsafah al Ula" dan di tempat lain, tentang keterbatasan dan dapat rusaknya semua tubuh, dalam “Fi al Falsafah al Ula” dan sejumlah risalah lain, ia rupanya menerima deskripsi Aristoteles tentang elemen kelima sebagai zat yang sederhana dan bergerak tanpa henti. Ia juga setuju dengan deskripsi Aristoteles tentang bola supra-lunar yang tidak pecah dan rusak yang berbentuk lingkaran sempurna dan konsentris, sebagai zat dasar kelima yang menyusun semua benda beserta sifatnya.
Ini berarti, tampaknya, bahwa al Kindi menerima secara prinsip pendapat John Philoponus bahwa fenomena selestial dan terestrial memiliki sifat yang identik, dan membuktikan dengan caranya sendiri maupun mengikuti Philoponus baik secara langsung maupun tidak langsung, bahwa semua alam semesta tunduk pada hukum keterbatasan ruang dan waktu yang sama. Namun, dia menolak banyak argumen spesifik Aleksandria, serta penolakan astronomis dan empirisnya terhadap sejumlah pendapat Aristoteles.
Dunia, seperti yang dikatakan al Kindi, berlaku seperti yang dikatakan Aristoteles, kecuali itu tidak perlu begitu dan tidak akan demikian, kalau bukan karena kehendak Tuhan. Dengan kata lain, tampaknya al Kindi puas bahwa ia dapat membuktikan secara teori bahwa dunia pada akhirnya terbatas; dan, sebagaimana dipahami, ia merasa bahwa fisika Aristotelian, termasuk fisika selestial, dapat menjelaskan fenomena keberadaan sehari-hari.
Contoh hubungan al Kindi dengan John Philoponus yang rumit ini dapat membantu kita memahami posisinya yang sebagian tergolong berlawanan dengan Mu'tazila. Dia memiliki, seperti yang mereka lakukan, gagasan tentang keterbatasan dunia dan ketergantungannya pada Pencipta yang menjadikannya ada dari ketiadaan, membuktikan hal ini dengan argumen serupa yang menekankan sifat aksiden dari semua keberadaan dan, seperti sebagian besar Mu'tazila, ketidakmungkinan segala jenis ketidakterbatasan. Selain itu, baik al Kindi dan mu'tazila menekuni (studi dan pembuktian) Keesaan Tuhan yang Unik, dan mencoba untuk membatasi sejauh mana atribut (yang dipikirkan pada mutakallimun) dapat didasarkan pada-Nya.
Namun, tidak satu pun dari hal ini yang unik bagi Mu'tazila, karena dalam iklim intelektual Baghdad abad kesembilan dan kesepuluh, tema-tema dan argumen-argumen ini tampaknya merupakan pembahasan yang biasa bagi kebanyakan orang yang cenderung rasional. Misalnya, kita menemukan seorang ensiklopedis, Ayub Edessa (lahir sekitar 760 M), yang mengacu, sebelum al Kindi, sejumlah poin filosofis dan argumen yang juga muncul dalam tulisan al Kindi. Sementara itu, filsuf Yahudi Saadia Gaon (882-942) tak lama setelah al Kindi, memiliki banyak argumen yang sama yang ditemukan dalam sejumlah risalah al Kindi.
Sementara Davidson telah menunjukkan secara terperinci kesamaan yang mencolok antara al Kindi dan Saadia, patut dicatat kesamaannya dengan sedikit komentar filosofis penting dari Ayub. Ayub mengontraskan "keesaan sejati" Allah, karena sifat unik-Nya yang tak terbatas, yang mengakui tidak ada penambahan atau pengurangan, dengan "kesaan relatif" dari segala sesuatu yang lain, yang terbatas.
Keterbatasan ini dibuktikannya dengan kombinasi sejumlah elemen – kombinasi yang membatasi dimensi eksternal mereka – dalam membentuk tubuh, argumen yang secara eksplisit menyatakan bahwa apa pun yang memiliki ujung (atau batas dalam satu arah) juga memiliki awal (yaitu batas di sisi lain (atau arah lain.) Permulaan ini, terlebih lagi, digambarkan sebagai penciptaan dari ketiadaan oleh kehendak Allah, dengan Ayub cukup bersikeras bahwa tidak ada hubungan fisik antara Allah dan ciptaan-Nya, dan dengan demikian tidak ada proses emanatif dari keberadaan.
Tuhan juga dipandang sebagai satu-satunya Dzat yang mampu menggabungkan unsur-unsur (sifat-sifat) yang bertentangan yang dengan sendirinya saling berlawanan, argumen yang tidak digunakan al Kindi tetapi ditemukan di antara para teolog Kristen, Yahudi dan Islam yang semasa, dan dapat ditelusuri ke Yahya dari Damaskus dan Athanasius abad keempat. Ayub juga membedakan antara esensi dan aksiden yang sangat penting bagi al Kindi dalam bab tiga “Fi al Falsafah al Ula” meskipun, tidak seperti al Kindi, ia membedakan antara unsur-unsur yang dapat dilihat sebagai esensi ketika dipertimbangkan sendiri, dan sebagai aksiden ketika dipertimbangkan dalam hubungannya ke elemen lain, membentuk wujud oleh hubungan mereka.
Di satu sisi, kemiripan dengan pemikiran al Kindi tidak terbatas pada Mu'azila. Sementara di sisi lain, perbedaannya dengan Mu'tazila, secara filosofis maupun lainnya, nyata dan signifikan. Dengan demikian, merujuk hanya kepada para teolog yang telah disebutkan, Iskafi mengikuti pernyataannya tentang permulaan dunia yang disebabkan dengan sebuah perkataan, sangat asing bagi al Kindi, bahwa kata itu, yang muncul dari sumber yang abadi, dapat tetap ada selamanya. Juga bahwa gagasan keterbatasan akhir, a parte post (لا إلى اخر), tidak bertentangan dengan gagasan "pelaku” sebelum "perbuatan" (الفاعل سابق الفعل) seperti halnya pandangan keterbatasan awal, a parte ante (لا إلى أول).
Nazzam, di sisi lain, mengikuti buktinya tentang keterbatasan dengan pernyataan yang tampak kontradiktif bahwa semua benda, dan ruang yang mereka lintasi, dapat dibagi habis tanpa batas. Gagasan terakhir ini tentu saja terkait dengan penolakan Nazzam yang terkenal tentang keberadaan atom, yang diketahui telah ditegaskan oleh sejumlah tokoh lain, seperti Abu al Hudhayl. Selain itu, Abu al Hudhayl dan Nazzam, keduanya terlihat terlibat dalam pertikaian dengan Mu'tazila tentang masalah keberlangsungan hidup yang diberkati dan dibendung di dunia berikutnya.
Sekarang al Kindi tidak memiliki simpati dengan fisika atomistik, dan tampaknya tidak memiliki selera untuk merasionalisasi dogma teologis di luar kepercayaan yang paling mendasar, yang paling sesuai dengan penyelidikan filosofis. Ketika ia menyentuh isu teologis yang khas, seperti subjek atribut Ilahi, ia melakukannya dalam istilah yang paling umum, menghindari diskusi tipe-Kalam tentang atribut jasmani yang ditemukan dalam Alquran. Tampak bahwa titik rujukan al Kindi, perspektif totalnya, pada dasarnya berbeda dari sudut pandang Mu'tazila.
Sementara mereka (Mu’tazila) mengambil titik keberangkatan mereka dari Alquran dan sunah dan menggunakan alat filosofis apa pun yang mereka rasa tepat untuk menjelaskan dan mendukung iman mereka; al Kindi, tampaknya, mulai dari literatur dan tradisi filsafat, mengakomodasinya agar sesuai dengan ajaran agama di mana pun dia bisa dan menegaskan ajaran agama di mana pun dia harus, tetapi pada dasarnya bertujuan untuk penegasan yang filosofis dan koheren terhadap kebenaran.
Perlu dikaji ulang, dalam perspektif ini, bagian dari risalah al Kindi Tentang Kuantitas: Kitab Aristoteles yang dijelaskan di atas. Pertama-tama kita perhatikan bahwa keseluruhan risalah ini sangat bertolak belakang dengan risalah lain, yang merupakan deskripsi dari ilmu pengetahuan yang harus dimiliki manusia — yaitu manusia biasa — untuk memperoleh kebenaran dan merupakan korpus tulisan Aristotelian.
Seolah menyela dirinya sendiri, al Kindi meyakinkan pembacanya bahwa seluruh tradisi ilmiah ini tidak dapat dibandingkan dengan Kitab Suci, sang filsuf tidak dapat menyamai nabi. Setelah mengatakan ini dan memberikan beberapa contoh untuk mendukung klaim tersebut, al Kindi kemudian kembali memperkenalkan pembacanya (atau pendengar) ke tradisi ilmiah, akuisisi yang dia sendiri telah kuasai dan yang jelas-jelas dia nilai paling tinggi untuk semua kecuali utusan Tuhan.
Kesan yang diterima adalah bahwa al Kindi percaya bahwa bagi orang-orang seperti dirinya, yaitu, dalam keadaan normal untuk semua orang, filsafat adalah satu-satunya pendekatan terhadap kebenaran dan filsuf adalah sosok ideal yang aktual (karena tidak mungkin mencapai tingkat kebenaran seperti para nabi dan rasul yang langsung menerima kebenaran dari Sang Sumber Kebenaran – penerj.).
Kesan ini diperkuat oleh penelitian cermat atas pernyataan al Kindi, dalam bagian ini, tentang keunggulan kenabian dan kebenaran Alquran; karena pernyataan ini dibuat dari perspektif filosofis dan menerapkan kriteria filosofis. Pertama, pengetahuan kenabian digambarkan sebagai yang lebih unggul daripada yang filosofis hanya dalam tingkat, bukan dalam bentuk. Nabi dengan demikian menjadi semacam filsuf yang luar biasa berbakat. Kemudian, wahyu yang diberikan kepadanya dirumuskan kembali menurut garis filosofis (lihat FP 104.10 dan catatan di sana), yang kemudian dirumuskan kembali sebagai "bukti" kebenaran Alquran.
Reformulasi pernyataan Alquran tentang penciptaan dunia sangat menarik. Penciptaan dipandang, seperti yang telah disebutkan, sebagai contoh dari prinsip umum pembentukan pertentangan dari pertentangan: memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam, mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan mengeluarkan yang hidup dari yang mati. Jadi, secara umum dia (هو) berasal dari apa yang bukan dia (لا هو), badan dari non-badan, dan keberadaan (أيس) dari ketidakberadaan (ليس).
Sekarang, sejauh Allah dipandang bertanggung jawab atas tindakan penciptaan materi dari ketiadaan yang unik dan atemporal, sehingga dapat dikatakan bahwa Da juga bertanggung jawab, dalam perkiraan al Kindi, atas penciptaan masing-masing dan setiap pertentangannya yang juga muncul, di satu sisi setidaknya, dari keadaan tidak ada. Ini akan membawa al Kindi dekat dengan Mu'tazila dan pandangan Kalam umum tentang penciptaan Ilahi yang berkelanjutan dari ketiadaan. Walzer dengan tepat mencatat tidak adanya singgungan terhadap potensi yang akan merusak hubungan ini.
Namun, bahwa ini bukan pandangan penuh al Kindi dapat disimpulkan dari perbandingan bagian ini dengan pernyataan dalam “Fi al Falsafah al Ula” dengan efek bahwa itu hanya bentuk (secara harfiah "predikat", المحمول) dari sesuatu yang berubah dan bukan miliknya, substratum primer, yang disebut "keberadaan" (الأيس) dan yang dikatakan abadi.
Karena kita harus memahami penggunaan istilah "abadi" (الأزلى) ini untuk substratum primer, yaitu, hal pertama, di sana dalam arti bertahan hanya sepanjang kehendak Tuhan, maka kita harus memahami pertentangan di sini sebagai lawan dari substrat umum (antimaters). Allah pada akhirnya bertanggung jawab, kata Kindi, atas penciptaan seluruh dunia, termasuk penciptaan keadaan yang bertentangan untuk segala sesuatu (berpasang-pasangan); tetapi Dia tidak benar-benar terlibat dalam pembentukan dan penghancuran setiap hal pada setiap saat.
Benar, al Kindi tidak ingin memperluas keberadaan potensial, dengan konsep yang umumnya tidak ia senangi; tetapi dia tidak akan berharap pembaca yang dituju risalah ini untuk menganggap bahwa intervensi Ilahi terjadi terus-menerus secara fisik, terutama karena ini akan bertentangan dengan pandangan dunia fisika dasar Aristoteles yang al Kindi kenal.
Kita dapat mengasumsikan bahwa pendekatan al Kindi dalam "Risalah tentang Ketauhidan Beserta Tafsirnya" (secara harfiah "komentar", رسالة التوحيد بالتفسيرات) yang (masih) hilang, mengambil pendekatan yang sama dengan yang kami temukan dalam bagian ini dan dalam risalah lain al Kindi, "Sebuah Penjelasan terhadap Benda Langit dan Ketundukannya kepada Allah. " Di sana, seperti di sini, pernyataan-pernyataan keagamaan dimasukkan ke dalam kerangka filosofis yang non-literal, sesuai dengan fisika yang menetapkan Tuhan sebagai sumber utama dari semua makhluk namun memungkinkan bagi ciptaan-Nya suatu fungsi harian yang independen.
Penerimaan alam semesta fisik yang semi-independen (quasi-independen) ini, sejauh aktivitasnya sehari-hari berlangsung, menempatkan al Kindi secara umum di sebelah kiri tradisi Mu'tazila yang memandang Allah sebagai terus-menerus terlibat dengan dunia dan secara erat bertanggung jawab atas kelangsungan hidup fisik manusia pada masing-masing bagiannya. Hal yang dalam istilah Aristotelian disebut sebagai penyebab akhir (penyebab yang berada di akhir semua penyebab, yang tidak disebabkan oleh apapun yang lain – penerj.) dan efisien dari alam semesta.
Bahwa al-Kindi membedakan antara dua peran ini jelas, lebih jauh, dari risalahnya “Tentang Agen Sempurna Pertama yang Benar dan Agen Kurang Yaitu Agen Metaforis”. Betapapun ia ingin memenuhi syarat sifat-sifat agen selain Tuhan, al Kindi dengan jelas menganggap bahwa makhluk ciptaan memiliki tanggung jawab langsung untuk bertindak atas makhluk lain, Allah menjadi penyebab yang jauh (yaitu final, tidak secara langsung) dari semua kecuali makhluk ciptaan pertama.
Dalam risalahnya Pada Penjelasan tentang Proximate Penyebab Aktif Generasi dan Korupsi. Al Kindi memilih matahari dan bulan sebagai penyebab langsung terdekat dari pembentukan dan kerusakan di dunia sub-lunar, penciptaan mereka, pada gilirannya, karena Tuhan, penyebab (akhir) yang jauh dari semua makhluk.
Sikap Al Kindi terhadap pandangan dunia fisik dari Mu'tazila dapat disimpulkan lebih jauh dari bagian penting dalam “Fi al Falsafah al Ula”, di mana ia menetapkan bahwa segala sesuatu yang dapat dipikirkan orang di dunia hanya aksiden dan bukan esensi yang esa, dan bahwa wujudnya, yaitu identitas dan keberadaannya, datang dari suatu sebab luar. Karena semuanya sama-sama dilihat sebagai aksiden, al Kindi membawa pada prinsip bahwa keberadaan esensial adalah prasyarat untuk keberadaan aksidental dari suatu jenis yang sama (dan mengasumsikan kemustahilan dari kemunduran yang tak terbatas dari keberadaan aksidental), kepada penegasan dari Sang Esa Yang Esensial (Tuhan), agen eksternal, penyebab dari semua makhluk.
Dalam membuat pernyataan ini, al Kindi tidak mungkin tidak menyadari kemiripan pernyataannya dengan pernyataan Mu'tazila yang juga mengklaim tidak ada keberadaan esensial untuk apa pun dan menganggap semua yang diciptakan berasal dari agen eksternal, yaitu Tuhan. Akan tetapi, sebagian besar Mu'tazila membagi semua makhluk menjadi atom dan aksiden, dan meskipun keduanya dianggap diciptakan, atom-atom itu dipahami tidak dapat dibagi-bagi.
Oleh karena itu, al Kindi akan muncul menolak pandangan ini, bersikeras bahwa tidak ada yang dapat dianggap sebagai satu atau tidak terpisahkan, bahwa konsep itu sangat tidak masuk akal. Semua, kemudian, akan menjadi aksiden dalam pemikiran al Kindi, tampaknya, dan dengan demikian sepenuhnya tanpa karakteristik yang ditetapkan.
Namun jelas bahwa al Kindi tidak memahami aksiden dengan cara ini, memandangnya sebagai kategori permanen dari keberadaan nyata. Aksiden baginya penting sebagai lawan esensi hanya dalam hal pertanyaan tentang wujud. Al Kindi menerima semua makhluk individu yang membentuk dunia Aristoteles sebagai unit substansi, jika hanya unit aksidental. Selain itu, setelah mengemukakan pendapat mengenai wujud esensial, al Kindi melanjutkan untuk menunjukkan bahwa wujud, bersama dengan multiwujud, adalah unsur penting dalam komposisi semua makhluk. Ini adalah bentuk dan materi yang diterima al Kindi, dengan ketentuan bahwa mereka, bersama-sama dengan yang lainnya, bukan eksistensi independen. Setelah mengatakan ini, dia puas untuk memungkinkan mereka berfungsi seolah-olah mereka independen.
Dengan demikian al Kindi sama-sama menyangkal doktrin Mu'tazilah mengenai pembagian dunia menjadi atom dan aksiden, dan, sambil menegaskan sifat kontingen dan aksidental dari semua makhluk, yang akan mengembalikannya ke golongan Mu'tazila, jelas bekerja dengan penciptaan seolah-olah itu independen. Teori keberadaan yang aksidental baginya adalah kebenaran teoretis yang penting bagi pertanyaan akhir penciptaan dan eksistensi Tuhan. Itu karena pengetahuan tentang dunia seperti "sebaliknya", tidaklah relevan.
Perhatian al Kindi adalah pada dunia sebagaimana adanya, dalam segala ragamnya, dan dengan berbagai pencapaian ilmiah manusia, jelas dari daftar panjang tulisan-tulisannya yang sangat beragam. Dia, menilai dari sumber ini, tampaknya sedikit atau tidak sama sekali memiliki kecenderungan untuk bersikeras pada rincian kelompok keyakinan agama atau politik tertentu.
Satu catatan yang masih ada tentang gayanya ketika terlibat dalam polemik agama, penolakannya terhadap konsep Kristen tentang trinitas, menunjukkan bahwa ia sedang mengambil jalan utama pertikaian filosofis. Rupanya dia tidak tertarik pada klaim-klaim khusus etnis, yang juga dapat kita simpulkan dari fakta bahwa meskipun memiliki keturunan Arab murni, dia berdedikasi pada bidang pembelajaran yang diidentifikasi dengan ide-ide asing dan sebagian besar dikejar oleh mawali non-Arab.
Oleh karena itu, akan menjadi asumsi yang masuk akal untuk melihat al Kindi sebagian besar sebagai dirinya sendiri, orang yang banyak belajar, dengan kepedulian yang tidak memihak, terhadap kebenaran dalam batas-batas yang dapat diterima masyarakat pada umumnya dan, tidak diragukan lagi, terhadap keyakinan agamanya sendiri (Islam); yang menurutnya pengetahuan ilmiah memiliki kecocokan dengan agamanya itu. Al Kindi yang asli mungkin seperti tokoh sejarah yang bijak yang kisah-kisah dan perkataannya diceritakan orang. Sosok seperti itu mungkin tidak akan senang dengan Mu'tazila yang didukung mihnah (Lembaga pengetahuan) yang diprakarsai oleh al Ma'mun dan diikuti oleh sejumlah penggantinya, yang memajukan polarisasi masyarakat dan intimidasi penyelidikan intelektual.
Orang bisa membayangkan al Kindi menggunakan posisinya di pengadilan untuk mengungkapkan kebenciannya terhadap praktik Mu'tazilah, baik teoretis maupun politis; dan, memang, kita menemukan dia berbicara dalam bab pengantar “Fi al Falsafah al Ula” sedemikian rupa sehingga, dalam konteks pernyataannya dan dalam terminologi yang dia pilih, bagian itu paling baik dipahami sebagai dakwaan tipis terselubung terhadap Mu'tazila.
Paragraf itu mengikuti parafrase dari bagian satu dari Metaphysics alpha ellaton”, di mana al Kindi memuji Aristoteles dengan namanya dan menyatakan komentarnya mengenai rasa terima kasih kepada semua yang telah mendahului dalam pencarian kebenaran. Al Kindi kemudian mulai menyerang mereka yang tidak berada dalam tradisi filosofis, tetapi yang "pada zaman kita diakui (statusnya) karena spekulasi".
Jika mereka dimahkotai secara tidak pantas dengan mahkota kebenaran, itu karena pemahaman mereka yang sempit tentang metode kebenaran dan sedikit pengetahuan mereka tentang apa yang Yang Mulia minta sehubungan dengan pendapat dan penilaian dalam penggunaan universal yang umum berlaku di antara mereka; serta kecemburuan kotor yang merupakan kecenderungan jiwa hewani mereka, mengaburkan persepsi pemikiran mereka dari cahaya kebenaran dengan menggelapkan pembungkusnya; dan (untuk) menempatkan mereka yang memiliki kebaikan manusiawi – dalam pencapaian yang mereka kekurangan di dalamnya, berada di pinggirannya yang terpencil – dalam posisi yang biasa, mencurangi lawan-lawan; dengan demikian mempertahankan tahta palsu mereka yang mereka dirikan tanpa sepatutnya.
(Namun, status mereka itu) benar-benar karena kepemimpinan dan lalu lintas mereka dalam agama, meskipun mereka tidak memiliki agama; karena orang yang-memperdagangkan-sesuatu membelinya dan orang membeli apa yang tidak ia miliki. Jadi orang yang berdagang dalam agama tidak memiliki agama dan orang yang menolak memperoleh pengetahuan tentang sifat sebenarnya dari sesuatu dan menyebutnya sebagai ketidakberimanan, harus dihindarkan dari (kantor otoritas) agama.
Mengacu kepada "penggunaan" (الأنفاع) terhadap "spekulasi" (نظر), "pendapat" (رأي) dan "penilaian" (اجتهاد), al Kindi menentukan metode-metode penalaran yang dengannya Mu'tazila diidentifikasi, dan yang tidak dapat dibandingkan dengan "metode kebenaran" (أساليب الحق) al Kindi, yaitu, bukti silogistik. Bahwa Mu'tazila khususnya yang diserang al Kindi dapat disimpulkan lebih jauh dari kenyataan bahwa, pada saat penyusunan risalah ini, mereka sendiri menikmati posisi otoritas dan kehakiman resmi, menggunakan kantor politik mereka untuk memaksakan aliran agama mereka, dengan ancaman dan tuduhan ketidakpercayaan, yang disinggung oleh seluruh bagian paragraf ini.
Jadi, sebagai orang yang siap menyerukan pemecatan Mu'tazila dari jabatan politik dan lembaga resmi pemerintahan, al Kindi tidak boleh terlalu diidentifikasi dengan mereka. Di sisi lain, seseorang seharusnya tidak mengambil paragraf ini sebagai kata terakhir tentang hubungan al Kindi dengan Mu'tazila juga, karena ia memang memiliki, seperti yang telah kita lihat, banyak titik kontak dengan mereka; dan dia menghindari, sejauh yang kita tahu, aktivitas politik nyata dalam bentuk apa pun.
Sikap yang relatif netral ini tidak membantunya dalam masa pemerintahan al Mutawakkil. Meskipun dari fakta bahwa perpustakaannya akhirnya dipulihkan, kita dapat menyimpulkan bahwa dia tidak dianggap sebagai ancaman politik atau agama yang nyata. Kehidupan Al Kindi, sebanyak yang dapat kita rekontruksi, dengan demikian menunjukkan kesulitan pribadi dan kekuatan-kekuatan (kelompok aliran) yang saling bertentangan yang harus dihadapi oleh para filsuf Muslim pada masa itu.


Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
Tiada daya dan upaya kecuali atas pertolongan Allah
Buku al Kindi, (ditulis) untuk (Khalifah) al Mu’tashim Billah

Tentang Filsafat Pertama

Semoga Allah melimpahkan kepadamu umur yang panjang, wahai putra para raja dan karib (orang yang termasuk dalam golongan – penerj.) orang-orang yang beruntung dalam kehidupan duniawi dan kehidupan abadi (akhirat) karena mereka menganut din mereka yang sebenarnya. Semoga Dia menghiasimu dengan semua catatan kebaikan dan memurnikanmu dari segala jenis kejahatan.
Sungguh, seni manusia yang tertinggi dalam derajat dan paling mulia dalam peringkat ialah filsafat, suatu pengertian tentang pengetahuan sifat sejati segala sesuatu, sejauh mungkin ia dapat digapai oleh manusia. Tujuan dari para filsuf, sebagaimana pengetahuannya sendiri, ialah untuk memperoleh kebenaran dan sebagaimana perbuatannya sendiri, ialah berbuat dengan penuh kebenaran. Bukan karena pencarian itu tanpa akhir sehingga kita menjadi hampa dan amal menjadi luntur saat kita sudah mencapai kebenaran itu.
Kita tidak dapat menemukan kebenaran yang kita cari tanpa menemukan sebab. Sebab dari keberadaan dan keberlangsungan segala sesuatu tiada lain adalah Sang Esa Sejati, sehingga setiap yang memiliki keberadaan memiliki kebenaran untuk ada. Oleh karena Sang Esa Sejati itu ada, segala sesuatu menjadi wujud. [Oleh karenanya, filsafat paling mulia dan paling tinggi ialah ‘Sang Filsafat Pertama’, ialah cahaya pengetahuan dari ‘Sang Kebenaran Pertama’ yang menyebabkan semua kebenaran.]
Filsafat paling mulia dan tingkat paling tinggi ialah Sang Filsafat Pertama, yaitu pengetahuan tentang Sang Kebenaran Pertama yang menjadi sebab semua kebenaran. Oleh karena itu, sangat benar jika dikatakan bahwa filsuf yang paling mulia dan sempurna ialah ia yang memahami secara penuh pengetahuan yang paling mulia tersebut. Hal itu karena pengetahuan tentang sebab lebih mulia dari pengetahuan tentang akibat. Itu disebabkan kita baru memiliki pengetahuan lengkap tentang setiap objek pengetahuan hanya saat kita telah memperoleh pengetahuan penuh tentang penyebabnya.
Setiap sebab dapat berupa sebab material; sebab formal; sebab efisien, yang keseluruhanya menjadi asal gerakan dimulai; atau sebab final, yang memenuhi kepentingan tentang adanya benda. Pertanyaan ilmiah ada empat, seperti yang telah kami tentukan di tempat lain dalam risalah filsafat kami; baik "apakah", "apa", "yang mana", atau "mengapa".
"Apakah" hanya merupakan penyelidikan atas keberadaan (sesuatu); "apa" menyelidiki genus setiap eksistensi yang memiliki genus; "yang mana" menyelidiki perbedaan spesifiknya; "apa" dan "yang mana" bersama-sama menyelidiki spesiesnya; dan "mengapa" menyelidiki penyebab akhirnya, karena ini merupakan penyelidikan sebab mutlak.
Jelaslah bahwa ketika kita memperoleh pengetahuan penuh tentang masalahnya, kita dengan demikian memperoleh pengetahuan penuh tentang genusnya; dan ketika kita memperoleh pengetahuan penuh tentang bentuknya, kita dengan demikian memperoleh pengetahuan penuh tentang spesiesnya. Pengetahuan tentang perbedaan spesifik dimasukkan dalam pengetahuan spesies.
Oleh karena itu, ketika kita memperoleh pengetahuan penuh tentang materi, bentuk, dan penyebab sesuatu, berarti kita memperoleh pengetahuan penuh tentang definisinya. Sifat sebenarnya dari setiap objek yang didefinisikan tiada lain terdapat dalam definisinya.
Pengetahuan tentang penyebab pertama telah secara jujur disebut "Filsafat Pertama", karena semua filsafat lainnya terkandung dalam pengetahuannya. Oleh karena itu, itu merupakan yang pertama dalam kemuliaan, yang pertama di antara semua genus, yang menempati peringkat pertama di antara pengetahuan yang paling pasti; dan yang pertama kali, karena itu adalah penyebab waktu.
Kebenaran menuntut kita untuk tidak menyalahkan siapa pun, bahkan hal-hal yang hanya menyebabkan manfaat kecil dan remeh bagi kita. Lalu bagaimana kita akan memperlakukan hal-hal yang menjadi asal atas banyak sebab dan manfaat yang besar, nyata, dan serius bagi kita? Meskipun kurang dalam beberapa kebenaran, mereka telah menjadi saudara dan rekan kita karena kita diuntungkan oleh buah pemikiran mereka, yang telah menjadi pendekatan dan instrumen kita; menunjukkan kita pada banyak pengetahuan sifat nyata yang gagal mereka peroleh sebelumnya.
Kita harus bersyukur terutama karena sudah jelas bagi kita dan para filsuf terkemuka sebelum kita yang bukan penutur bahasa kita (Arab), bahwa tidak ada manusia dengan kekuatan pengejarannya sendiri yang dapat memperoleh kebenaran yang layak bagi suatu kebenaran (partikuler) itu sendiri maupun memahami kebenaran itu secara keseluruhan. Alih-alih, setiap dari mereka tidak akan memperoleh kebenaran sedikitpun atau mendapatkan sedikit saja kebenaran yang terkait dengan keseluruhan kebenaran. Namun, ketika sedikit yang dicapai masing-masing dari mereka itu dikumpulkan, sesuatu yang sangat berharga dapat diperoleh.
Sudah selayaknya kita rasa terimakasih yang besar diperuntukkan bagi mereka yang telah menyumbangkan sedikitpun kebenaran, apalagi kepada mereka yang telah berkontribusi banyak kebenaran, karena mereka telah membagikan kepada kita buah dari pemikiran mereka dan memfasilitasi kita dengan penyelidikan-penyelidikan yang nyata. Juga karena kita diuntungkan oleh premis-premis mereka itu yang memfasilitasi pendekatan kita terhadap kebenaran.
Jika mereka tidak hidup, prinsip-prinsip tersembunyi yang dengannya kita telah dididik untuk mencari kesimpulan tersembunyi dari penyelidikan kita tidak akan dapat dikumpulkan untuk kita, bahkan dengan penelitian intensif sepanjang waktu kita. Namun, memang ini semua telah dikumpulkan sejak masa lampau, zaman demi zaman hingga saat ini, disertai dengan penelitian intensif, ketekunan yang diperlukan, dan cinta terhadap kerja kerasnya. Hal itu tidak dapat dikumpulkan dalam masa hidup satu orang saja. Bahkan jika masa hidupnya diperpanjang, penelitiannya intensif, wawasannya halus, dan dia gandrung atas kegigihan, dia tetap tidak akan dapat mengumpulkan semuanya.
Aristoteles, orang Yunani yang paling terkenal dalam filsafat, berkata:
"Adalah pantas bagi kita untuk berterima kasih kepada para ayah dari mereka yang telah menyumbang kebenaran apa pun, karena mereka adalah penyebab keberadaan putra mereka; apalagi mereka menjadi penyebab putra mereka dan kita mendapatkan kebenaran." Betapa indahnya apa yang dia katakan dalam hal ini! Kita seharusnya tidak malu menghargai kebenaran dan memperolehnya dari mana pun itu datang, bahkan jika itu datang dari orang-orang yang jauh dari kita dan bangsa-bangsa yang berbeda dari kita. Bagi pencari kebenaran tidak ada yang lebih utama daripada kebenaran; tidak ada meminimalkan kebenaran atau meremehkan para penyeru dan pendukungnya. Kemuliaan seseorang tidak diturunkan oleh kebenaran. Kebenaran justru memuliakan semuanya.
Adalah baik bagi kita untuk mematuhi, dalam buku kita ini, praktik dalam semua susunan untuk menyajikan pernyataan lengkap orang terdahulu tentang hal ini (falsafah) dengan cara yang paling langsung dan mudah sehingga dapat masuk pada pemahaman tentang pendekatan ini. Patut juga untuk melengkapi, mengikuti kebiasaan bahasa serta penggunaan (konteks) kontemporer, dan sejauh mungkin bagi kita, menjelaskan apa yang tidak mereka nyatakan sepenuhnya serta sebab yang telah menghambat kita dalam (memahami) hal ini. Ketidakhadirannya membatasi upaya mencukupkan pemahaman dan menyelesaikan kesulitan serta kebingungan masalah, sembari tetap waspada terhadap penafsiran buruk banyak orang asing terhadap kebenaran yang pada zaman kita diakui sebagai spekulasi.
Jika mereka dimahkotai secara tidak pantas dengan mahkota kebenaran, itu karena pemahaman mereka yang sempit tentang metode kebenaran dan sedikit pengetahuan mereka tentang apa yang Yang Mulia minta sehubungan dengan pendapat dan penilaian dalam penggunaan universal yang umum berlaku di antara mereka; serta kecemburuan kotor yang merupakan kecenderungan jiwa hewani mereka, mengaburkan persepsi pemikiran mereka dari cahaya kebenaran dengan menggelapkan pembungkusnya; dan (untuk) menempatkan mereka yang memiliki kebaikan manusiawi – dalam pencapaian yang mereka kekurangan di dalamnya, berada di pinggirannya yang terpencil – dalam posisi yang biasa, mencurangi lawan-lawan; dengan demikian mempertahankan tahta palsu mereka yang mereka dirikan tanpa sepatutnya.
(Namun, status mereka itu) benar-benar karena kepemimpinan dan lalu lintas mereka dalam agama, meskipun mereka tidak memiliki agama; karena orang yang-memperdagangkan-sesuatu membelinya dan orang membeli apa yang tidak ia miliki. Jadi orang yang berdagang dalam agama tidak memiliki agama dan orang yang menolak memperoleh pengetahuan tentang sifat sebenarnya dari sesuatu dan menyebutnya sebagai ketidakberimanan, harus dihindarkan dari (kantor otoritas) agama.
Dalam pengetahuan tentang sifat sejati segala sesuatu ada pengetahuan tentang Keilahian, persatuan dan kebajikan, dan pengetahuan lengkap tentang segala sesuatu yang bermanfaat beserta pendekatan terhadapnya. Sementara itu, ada jarak dari sesuatu yang berbahaya (terhadap keimanan) dengan tindakan pencegahan terhadapnya. Ini adalah anugerah, semua yang dibawa oleh para utusan sejati dari Allah, alhamdulillah. Bagi para rasul yang sejati, semoga rahmat Allah turun atas mereka, hanya membawa penegasan Ketuhanan Allah saja dan kepatuhan pada kebajikan, yang mendatangkan ridlo dari-Nya; sembari melepaskan sifat buruk yang bertentangan dengan kebajikan, baik dalam diri mereka sendiri maupun dalam dampaknya.
Karena itu, pembaktian diri pada kepada kepemilikan (pengetahuan) yang berharga ini diperlukan bagi orang-orang yang jujur dan kita harus mengerahkan diri kita sebaik-baiknya dalam pengejarannya, mengingat apa yang telah kita katakan sebelumnya dan apa yang akan kita katakan sekarang; yaitu, akuisisi (pengetahuan) ini bisa diperlukan melalui dua ungkapan yang bertentangan; karena mereka harus mengatakan bahwa akuisisi (pengetahuan) ini perlu atau tidak perlu.
Jika mereka mengatakan bahwa itu perlu, maka pengejaran itu perlu bagi mereka. Di lain pihak, jika mereka mengatakan bahwa itu tidak perlu, maka perlu bagi mereka untuk menyatakan sebabnya dan untuk menunjukkan ketidakperluannya. Pernyataan sebab dan pertunjukkan ketidakperluan adalah bagian dari kepemilikan pengetahuan tentang sifat asli segala sesuatu. Karena itu, pengejaran pengetahuan ini menjadi perlu dengan sendirinya akibat (prinsip-prinsip) ungkapan kebalikan dan pengabdian kepada hal-hal yang diperlukan bagi mereka.
Kita akan mengajukan studi mental dan penilaian kognitif dalam membangun bukti Keilahian-Nya dan penjelasan tentang keesaan-Nya, membela terhadap musuh-musuh-Nya yang tidak percaya kepada-Nya, dengan bukti-bukti yang menundukkan ketidakpercayaan mereka dan merobek selubung tindakan memalukan mereka yang diketahui dari kekurangan kredo kekufuran mereka. Itu agar Dia dapat meliputi kita, dan siapa pun yang mengikuti pendekatan kita, dalam lingkup kekuasaan-Nya; memberi kita pakaian perlindungan dari-Nya; melimpahkan kepada kita bantuan dari ujung tajam pedang-Nya; dan dukungan dari kekuatan-Nya.
(Semua itu) sehingga Dia membawa kita ke tujuan akhir kita, yaitu membantu dan mendukung kebenaran; dan agar dia membawa kita ke tingkat persetujuan dengan tujuan-Nya dan penerimaan atas tindakan-Nya. Karena milik-Nya segala keberhasilan dan kemenangan atas lawan-lawan-Nya yang menyangkal anugerah-Nya dan yang menyimpang dari pendekatan yang benar yang menyenangkan Dia. Marilah kita sekarang menyelesaikan bagian ini, memohon dukungan dari Sang Pelindung Kabajikan dan Penerima Perbuatan Baik.



Bab Dua dari Bagian Pertama Tentang Filsafat Pertama “Fi al Falsafah al Ula”
Setelah mendahulukan hal yang mesti diprioritaskan pada awal buku ini, mari kita ikuti dengan hal yang alami (dibahas setelahnya). Kita (dapat) mengatakan (bahwa) sesungguhnya ada dua jenis persepsi manusia tentang wujud.
Yang pertama (persepsi tentang wujud yang) lebih dekat dengan kita (pengamat / pengindera) dan lebih jauh dari alam (objek). Ini adalah persepsi wujud inderawi (sensorik) yang menjadi milik kita sejak awal perkembangan kita dan milik jenis yang serupa bagi kita dan banyak lainnya, yaitu sensasi indera (pada) hewan (animalia). Persepsi kita tentang wujud dengan (menggunakan) indera (terjadi) melalui kontak indera dengan objek yang diamati tanpa selang waktu (durasi; terjadi pada satu waktu partikuler – penerj.) dan tanpa pengumpulan (agregasi citra berbagai waktu dalam satu kali pengamatan – penerj.).
Persepsi wujud sensorik itu tidak tetap (stabil) karena perubahan, aliran (fluktuasi – penerj.), dan gerakan dari (objek) yang diindera. Kuantitasnya dibedakan oleh "lebih" atau "kurang", "sama" (setara; sama dengan – penerj.) dan "tidak sama". Sementara kualitasnya dikontraskan dengan "serupa" dan "berbeda" (serta) "lebih kuat" dan "lebih lemah". Itu selalu terjadi secara terus-menerus (kontinu – penerj.) dan perubahan (itu sendiri) tidak terpisahkan.
(Persepsi wujud sensorik) itu(lah) yang mewujudkan citra (suatu keberadaan) ke dalam suatu gambaran; dan (gambaran) itu disampaikan kepada memori (benak); dan (objek yang diindera) itu diwakili dan digambarkan dalam diri (benak suatu) makhluk hidup (manusia atau hewan). Meskipun ia (citra sensorik tersebut) tidak memiliki ketetapan (perwujudan) di alam, jauh dari alam (objek yang diindera) sehingga tersembunyi, ia sangat dekat dengan pengindera (pengamat). Itu karena persepsi wujudnya disebabkan oleh indera secara langsung, (yaitu) melalui kontak indra dengan (objek penginderaan) itu sendiri.
Semua yang dapat diindera selalu memiliki (dzu) hayula (sesuatu yang ada di awal atau lebih dulu dari persepsi yang mengikutinya, mungkin dapat diterjemahkan sebagai keberadaan primordial, tetapi mungkin lebih mudah untuk diartikan sebagai material saja, artinya wujud fisiknya mendahului wujud citranya – penerj.) sehingga semua yang dapat diindera selalu merupakan suatu benda fisik (jasad).
Persepsi wujud yang lain lebih dekat dengan alam dan lebih jauh dari kita, yaitu persepsi wujud intelek. Memang benar bahwa ada dua jenis persepsi wujud, persepsi sensorik dan persepsi intelektual. Segala sesuatu (terdiri atas) “universal” dan “partikuler”. Yang saya maksud sebagai “universal” adalah jenis (ajnas) dari suatu spesies (anwa’) dan spesies dari suatu individu (asykhas). Sementara itu, yang saya maksud dengan “partikuler” adalah individu dari suatu spesies.
Individu material partikuler dapat tertangkap oleh indera. Sementara itu, jenis dan spesies tidak tertangkap oleh indera dan tidak mewujud sebagai wujud yang tertangkap secara sensorik, tetapi tertangkap oleh kemampuan jiwa yang sempurna, yaitu atribut manusia yang dinamai akal insani (intelek).
 Ketika indera mendapati objek-objek individual, setiap objek yang terindra akan direpresentasikan dalam diri (pengindera) melalui alat-alat indera dan kemampuan kerja penginderaan. Namun, setiap makna (sense) bersifat spesifik dan setiap hal yang berada di atas (di luar) hal-hal spesifik itu tidak dapat direpresentasikan oleh diri (pengindera). Hal itu karena setiap representasi (matsal, yakni wujud yang khusus dan asasi – penerj.) dapat diindera. Namun, representasi itu harus dibenarkan, divalidasi dan diafirmasi dengan (konsep) kebenaran yang masuk akal, yang lebih dulu ada (dalam pikiran pengindera), secara terbatas.
Hal itu seperti “dia” dan “bukan dia” yang tidak dapat benar bersamaan dalam suatu hal tanpa adanya suatu sebab lain. Maka, sesungguhnya persepsi wujud jiwa ini tidak sensorik dan, secara terbatas, tidak memerlukan perantara. Representasi bagi wujud tersebut tidak juga direpresentasikan dalam diri (pengindera) karena dia tidak memiliki representasi makna. Hal itu karena dia tidak memiliki warna, suara, bau, atau sesuatu yang dapat diraba padanya. Alih-alih, dia adalah konsepsi yang tidak terbayangkan.
Segala sesuatu yang material dapat terbayangkan (direpresentasikan di dalam pikiran – penerj.). Akal sehat akan merepresentasikannya di dalam diri (pengindera). Sementara setiap hal non-material dapat diterima bersama dengan material, seperti bentuk yang ada bersama warna. Karena batasan warna itulah, perwujudan bentuk itu dapat ditangkap oleh indera penglihatan. Hal itu karena batasan (warna) itulah yang ditangkap oleh indera penglihatan.
Terkadang dianggap bahwa bentuk itu diwakilkan dalam diri (pengindera) melalui perolehan pikiran sehat atasnya dan bahwa representasinya dalam diri manusia itu merupakan hal yang menyertai representasi warna. Demikian itu sebagaimana hal yang menyertai warna adalah batas dari hal yang diwarnai. Maka representasi wujud dari batas (benda) itu adalah wujud itu.
Persepsi wujud intelektual yang tidak sepenuhnya terindera, (terkadang) dipertunjukkan oleh indera. Dengan demikian, setiap yang tidak memiliki keberadaan material, tetapi didapati bersama dengan suatu material, telah dianggap dapat direpresentasikan di dalam diri (pengindera). Meskipun, sesungguhnya apa yang direalisasikan (dalam pikiran) oleh hal yang terindera itu tidak memiliki representasi wujud.
Sedangkan hal yang tidak memiliki wujud material dan tidak berasosiasi dengan suatu material, tidak memiliki representasi wujud dalam diri (pengindera) sama sekali. Kita juga tidak menganggapnya sebagai suatu representasi wujud. Kita mengakuinya hanya karena itu adalah keharusan untuk menegaskannya. Hal itu seperti saat kita mengatakan bahwa setiap hal di luar benda fisik bukanlah kekosongan maupun isi, yaitu bukan kehampaan maupun benda fisik.
Pernyataan tersebut tidak direpresentasikan dalam jiwa karena tidak ada satupun dari kekosongan maupun isi itu yang dapat dicapai dan dibenarkan oleh indera. Maka, terdapat representasi bagi hal itu dalam diri (pengindera) atau dianggap ada representasinya. Itu adalah sesuatu yang hanya diterima akal sehat jika dibutuhkan terkait dengan premis-premis yang telah dinyatakan sebelumnya.
Karena itu, dapat kita katakan, dalam penyelidikan ini, bahwa makna "kekosongan" adalah tempat tanpa objek spasial (objek yang menempati) di dalamnya. Sementara itu, "tempat" dan "objek spasial" berada dalam hubungan di mana satu tidak mendahului yang lain, sehingga jika ada tempat, ada objek spasial dan jika ada objek spasial, ada tempat. Oleh karena itu, tidak mungkin tempat ada tanpa objek spasial. Dengan “kekosongan" itu sendiri ialah suatu tempat tanpa objek spasial tersebut, maka tidak mungkin ada kekosongan absolut.
Bersambung ...

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee