La Unidad de Dios dalam “Tentang Filsafat Pertama”


Pembahasan Keesaan Tuhan Menurut al-Kindi dalam “Fil Falsafah al-Ula

Artikel ini ditulis sebagai pengantar analisis dalam proyek penerjemahan “Fil Falsafah al-Ula”. Setiap kutipan terjemahan risalah tersebut merupakan hasil terjemahan pribadi penulis berdasarkan naskah Abu Riidah, kecuali dinyatakan sebaliknya. Dapat terjadi ketidakcocokan interpretasi dengan naskah akademik lain yang ditulis tentang al-Kindi.


M Miftahul Firdaus
Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq as-Sabah al-Kindi (185 H / 801 M – 252 H / 870 M), yang sering disebut sebagai “filsuf bangsa Arab”, besar di Kufah, tempat ayahnya menjadi gubernur, dalam keluarga yang tergolong sebagai bangsawan. Dia memegang posisi penting dalam dewan khalifah di masa al-Ma’mun (198/813-218/833) dan al-Mu’tashim (218/833-227/842). Nama terakhir juga menunjuknya sebagai pembimbing bagi anaknya, Ahmad. Namun, dia mengalami kejatuhan pada masa al-Mutawakkil (232/847-247/861), karena menjadi korban intrik rivalnya, Banu Musa, atau karena dianggap berpaham Mu’tazilah.[1]
Al-Kindi secara tepat digambarkan sebagai seorang polimat dan cendekiawan universal yang dijiwai dengan semangat penulisan ensiklopedia, yang merupakan karakteristik Baghdad awal abad ke-9, yang menumbuhkan gerakan penerjemahan. Terdapat kurang lebih 250 judul risalah yang ditulisnya menurut “Kitab al Fihrist” an-Nadim.[2] Tulisan-tulisannya menunjukkan rentang minat yang luar biasa luas, dengan sekitar 50 di antaranya didedikasikan untuk filsafat. “Fil Falsafah al-Ula” bisa dibilang sebagai yang paling penting dan paling terkenal.
1.        Judul
Risalah itu mengusung judul lengkap “Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim billah Fil Falsafah al Ula” (Buku al-Kindi untuk al-Mu’tashim billah tentang Filsafat Pertama). Al Kindi sendiri merujuknya dengan judul yang lebih pendek, Fil Falsafah al-Ula, dalam risalahnya “Fil Ibaanah ‘an Sujuud al-Jirm al-Aqsha wa Tha’atihi li-Allaah ‘Azza wa Jall” (Tentang Penjelasan atas Sujud dan Ketaatan Benda-Benda Terluar kepada Allah Yang Mahakuasa dan Maha Tinggi), juga dalam “Fil Ibaanah ‘an al-’Illah al-Faa’ilah al’Qariibah lil Kawn wal Fasaad” (Tentang Penjelasan atas Penyebab Aktual Langsung dari Generasi dan Deteriorasi) dan pembukaan “Fil Shinaa’a al-’Udzmaa” (Tentang Seni Berpikir yang Agung).[3]
Filsafat pertama merupakan sebutan Aristoteles tentang filsafat teoritis. Namun, al-Kindi memandang filsafat pertama sebagai suatu teologi, walau tentu saja berbeda dengan teologi Aristoteles. Teologi Aristoteles mengambil dasar logika dalam konteks alam semesta abadi yang diatur dalam gerakan oleh suatu kehendak objek primer. Sementara itu, dalam bab kedua risalah itu, al-Kindi mencoba membuktikan bahwa alam semesta tidak abadi, tetapi diciptakan. Bagi al-Kindi, filsafat pertama adalah sains tentang Sebab Pertama, yang menjadi sebab waktu, juga sebagai sains tentang Kebenaran Pertama, yang menyebabkan semua kebenaran.
Hal itu dinyatakan dalam pembukaan dan diulangi pada kesimpulan risalah, yang diakhiri dengan penjelasan atas Sang Esa Sejati, Sang Pencipta Yang Mengawali, dan Sebab Kreasi. Dengan demikian, Sang Esa Sejati adalah Allah Yang Mahakuasa dari agama yang diwahyukan, sementara henologi bab keempat risalah diakhiri dengan deskripsi tindakan kreatif dari Sang Esa Sejati, yang bisa dibilang juga dipengaruhi inspirasi Neoplatonisme dalam jalinan konsep-konsep religius dan teologis Muslim pada suatu lembaran yang rumit, yang menempatkan al-Kindi pada persimpangan tradisi Islam, Aristoteles, dan Neoplatonisme. [4]
2.        Lingkup dan Struktur
Tentang Filsafat Pertama adalah salah satu risalah terpanjang al-Kindi yang sampai pada kita, tetapi tidak secara lengkap. Bab keempat, bab terakhir, berakhir dengan penyebutan, “Mari kita selesaikan bab (al-fann) ini dan mengikutinya dengan hal yang alami (dibahas) setelahnya,”[5] yang diikuti dengan tanda penerbit, “Bagian pertama (al-juz al-awwal) dari buku Yaqub bin Ishaq al-Kindi selesai,” yang memperjelas bahwa masih ada bagian lanjutan. Tinjauan silang dengan tulisan-tulisan al-Kindi yang lain juga menguatkan asumsi itu.
Bertujuan utama untuk membuktikan keesaan Tuhan, bagian pertama dan satu-satunya yang tersisa dari risalah itu terdiri atas empat bab yang membentuk satu unit yang konsisten. Sejak halaman pertama, yang menjelaskan Sang Kebenaran Pertama sebagai sebab dari semua kebenaran, sampai halaman terakhir yang menutup bagian pertama tersebut dengan penjelasan Sang Esa Sejati sebagai sebab semua kesatuan dan eksistensi makhluk, risalah itu memberikan argumen yang sengit dengan setiap langkahnya membuka jalan untuk pembahasan-pembahasan berikutnya.
Meskipun ada beberapa perulangan dan gaya yang sering tidak jelas, risalah tersebut disusun untuk memberikan ruang bagi “henologi” yang berkembang secara progresif dalam bab tiga dan empat, yang mengarah ke tesis yang menjadi tujuan keseluruhan risalah tersebut: Sang Esa Sejati, yang merupakan prinsip kesatuan, dan karenanya juga prinsip keberadaan semua makhluk, di satu sisi, dan Allah yang sepenuhnya transenden, yang hanya dapat didekati melalui teologi negatif, di sisi lain, adalah satu dan merupakan prinsip yang sama.
3.        Sumber dan Metode
Meskipun ia dipuji karena telah melantik tradisi filosofis dalam Islam, al-Kindi adalah bagian dari tradisi di mana ia mempertaruhkan klaim, seperti ditunjukkan dari prolog risalah itu.[6]
“Kita seharusnya tidak malu menghargai kebenaran dan memperolehnya dari mana pun itu datang, bahkan jika itu datang dari orang-orang yang jauh dari kita dan bangsa-bangsa yang berbeda dari kita. Bagi pencari kebenaran tidak ada yang lebih utama daripada kebenaran. Kebenaran itu tidak akan diminimalkan atau diremehkan oleh para pencari dan pengusungnya. Kemuliaan seseorang tidak diturunkan oleh kebenaran. Kebenaran justru memuliakan semuanya.
Adalah baik bagi kita – karena kita berupaya untuk menyempurnakan spesies kita dan di dalam (upaya) itu ada kebenaran – untuk mematuhi, dalam buku kita ini, kebiasaan kita dalam semua subjek (yang telah kita bahas): untuk menyajikan hasil kerja orang terdahulu tentang hal ini (falsafah) secara lengkap, dengan cara yang paling langsung dan mudah, sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh mereka yang akan mengikuti pendekatan ini; dan untuk melengkapi apa yang belum mereka tuntaskan, menurut kebiasaan bahasa serta penggunaan (konteks) zaman sejauh mungkin bagi kita; serta sebab yang telah menghambat kita dalam (memahami) hal ini.”[7]
Memang, nama al-Kindi dikaitkan dengan pergerakan terjemahan karya-karya ilmiah dan filosofis dari bahasa Yunani ke bahasa Arab, meskipun secara umum diakui bahwa ia tidak mengenal bahasa Yunani. Dia agaknya “koordinator” sekelompok penerjemah. Versi Arab dari beberapa karya Aristoteles, termasuk fragmen penting dari Proclus dan Philoponus, telah diproduksi dalam “lingkaran” al-Kindi. Luas dan dalamnya aktivitas lingkaran al-Kindi serta beragam sumber yang diterjemahkan berpengaruh pada karya al-Kindi sendiri, dalam doktrin, metode, dan gaya. Mungkin lebih dari karya-karyanya yang lain, “Fil Falsafah al-Ula” mencerminkan pengaruh yang telah membentuk pandangan alam penulisnya.
Tujuan akhir dari kegiatan pemilihan, penerjemahan, parafrase, dan penataan ulang ini telah dinyatakan dengan jelas dalam paragraf yang dikutip di atas: (1) asimilasi filsafat dan sains Yunani; (2) menyelesaikan apa yang tidak dicapai oleh para filsuf terdahulu dan karenanya mengembangkan metafisika Aristoteles menjadi sebuah teologi yang menyampaikan interpretasi monoteis dan kreasionis terhadap sistem Neoplatonisme yang kompatibel dengan kredo Tuhan Yang Esa dan Unik, tauhid Islam; (3) menciptakan terminologi filosofis dan ilmiah untuk menempatkan korpus filsafat dan sains Yunani dalam jangkauan komunitasnya sendiri.
4.        Eklektisisme
Sulit untuk menempatkan al-Kindi dalam tradisi filosofis yang spesifik. Meskipun menggunakan sejumlah terminologi yang terlihat mirip terminologi Neoplatonisme, risalah tersebut tidak dikembangkan dalam struktur Neoplatonisme, Al-Kindi meminjam henologi Neoplatonisme yang konsisten dengan tauhid Islam, tapi menanggalkan teori hipostasis dan sistem emanasi. Keberadaan Tuhan yang harus Esa dan transenden absolut, yang menyediakan keberadaan bagi semua makhluk, sambil memberikan kesatuan kepada mereka, akan mengarah pada teologi negatif yang dekat dengan gagasan Mu’tazilah tentang tauhid, serta doktrin tentang Tuhan yang sesuai dengan Plotinus.[8]
Terdapat pengaruh dalam risalah tersebut dari Teologi Aristoteles, meskipun lebih lemah dibandingkan dengan ketergantungan yang lebih signifikan pada fragmen Arab dari Unsur Teologi Proclus serta Teologi Platonis. Pengaruh John Philoponus pada argumen Kindi yang menentang keabadian dunia juga telah disorot, meskipun struktur argumennya berbeda. Sebaliknya, risalah itu diungkapkan dalam kerangka kerja Aristoteles yang jelas sejak berangkat secara progresif. Sementara itu, risalah tersebut terus beroperasi dengan beberapa konsep utama Aristoteles, seperti kategori dan predikabel, tetapi juga dengan konsep kausalitas, waktu, tubuh, dan gerak. Selain itu, terdapat pengaruh Metafisika I dan II Aristoteles pada sambutan pembukaannya. Fisika Aristoteles tampak berpengaruh pula, dan al-Kindi meminjam dari “De Caelo”, untuk mencapai kesimpulan yang sering kali non-Aristoteles.[9]
Naskah “Fil Falsafah al-Ula” menguraikan sintesis yang kompleks dan orisinal dari gagasan Aristoteles, tradisi Neoplatonisme, serta komentator-komentator Yunani, yang memuncak dengan demonstrasi kesatuan absolut dari Sebab Pertama, di mana wacana filosofis pada akhirnya menghasilkan perkembangan teologis, yang diakhiri dengan identitas dari Sang Esa Sejati secara Neoplatonisme, dengan Sang Pencipta dan Allah Islam Yang Maha Esa.
5.        Metode Matematis
Dalam “Fil Falsafah al-Ula”, juga sejumlah risalahnya yang lain, al-Kindi menggunakan metode argumentasi geometris yang diinspirasi oleh Elements Euclides. Pembaca risalah itu akan terkejut oleh penggunaan metode aksiomatis yang luas, misalnya dalam bab 2, dan pembuktian reductio ad absurdum yang tampak besar dalam metode argumentasi al-Kindi di seluruh risalah tersebut. Dalam risalah tersebut, ia mencoba membuktikan bahwa alam semesta berhingga. Kurang lebih, al-Kindi menggunakan pola argumentasi Euclides: memberikan definisi awal suatu istilah utama, kemudian menuliskan satu-persatu “premis pertama yang benar dan langsung dapat dipahami”[10], dengan kata lain aksioma, dan akhirnya melanjutkan ke pembuktian dengan deduksi yang sering mengikuti argumen reductio ad absurdum.
Al-Kindi sendiri adalah seorang saintis dan matematikawan yang, menurut “Kitab al-Fihrist” an-Nadim, menulis sedikitnya enam puluh risalah matematika dalam empat cabang[11], termasuk sejumlah komentar terhadap “Elements” Euclides. Namun, yang menarik di sini adalah penerapan metode geometri untuk penyelidikan filosofis. Perlu dicatat bahwa dalam bab kedua “Fil Falsafah al-Ula”, ia menetapkan secara eksplisit pemeriksaan matematis (al-faḥṣ al-ta’limi / al-faḥṣ al riyaḍli) sebagai metode investigasi yang paling tepat untuk “hal imaterial”[12], yaitu metafisika. Filosofi al-Kindi ditulis dalam bentuk geometris secara paradoks untuk mencapai, melalui bukti geometris yang kuat tetapi tekun, kebenaran “sains ilahi” (al-’ilm al-ilahi) yang langsung dapat diakses oleh nabi.
6.        Pembuatan Terminologi Filsafat
Bagian awal risalah sedikit menyiratkan keraguan akan kesadarannya untuk menjadi filsuf pertama yang menulis dalam bahasa Arab. Para filsuf terkemuka yang ia panggil sebagai pendahulunya yang tidak berbagi bahasanya (al-mubarrizin min al-mutafalsifiin qablana, min ghayr ahl lisaaninaa)[13]. Hal itu menempatkan dia sebagai pewaris langsung tradisi filsafat Yunani dan memikul beban yang diuraikannya dalam pengenalan risalah: yaitu, untuk menyajikan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu secara utuh dan untuk melengkapi apa yang belum mereka tuntaskan, “menurut kebiasaan bahasa serta penggunaan (konteks) zaman.”
Bahasa adalah jantung dari usaha al-Kindi dalam transmisi filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, karena ia sendiri menekankan dengan terus-menerus merujuk pada komunitasnya sendiri, dalam konteks itu, sebagai “orang-orang yang berbicara bahasa kita” (ahl lisaaninaa). Al-Kindi adalah pemimpin kelompok penerjemah yang dikenal lewat ungkapan dan terminologi yang unik, misalnya, dengan menggunakan kata-kata pinjaman atau transliterasi langsung dari bahasa Yunani, pembentukan neologisme, dan gaya yang sering kasar yang mencerminkan konstruksi gaya Yunani.
Inniyyah tampaknya setara dengan huwiyya, dan mereka sering digunakan secara bergantian, meskipun yang kedua, berasal dari kata ganti huwa, kadang-kadang dimaknai sebagai “entitas”, suatu ipseity. Yang lebih tidak biasa adalah tahawwii atau ta’yiis untuk “tindakan mewujudkan”. Yang terakhir ini berasal dari ays, yang juga merujuk pada keberadaan khusus, tetapi yang, seperti inniyya dan huwiyya, dapat menandakan keberadaan secara umum, khususnya bertentangan dengan lays yang digunakan sebagai makna substantif ketiadaan, khususnya dalam bab tiga.[14]
7.        Prolog
Risalah dibuka dengan mengikuti struktur yang jelas. Pertama, pujian dan pembelaan terhadap filsafat yang membenarkan praktiknya sebagai bagian dari studi tentang “sains tentang Sebab Pertama,” dianggap sebagai bagian paling mulia dari filsafat. Ini juga meletakkan poin utama yang akan dikembangkan sepanjang risalah. Lalu, program dan metode: filsuf harus bekerja di atas hasil para filsuf terdahulu, yang telah membuka jalan dalam penelitian tentang kebenaran, dan untuk mengejar dengan cara yang sama dalam rangka mengembangkannya.
7.1.Apa Itu Filsafat Pertama?
Setelah dedikasi kepada khalifah al-Mu’tashim billah, bab pertama dibuka dengan definisi “seni filsafat” sebagai “seni manusia tertinggi” dan “yang termulia dalam peringkat”, dengan definisi sebagai “pengertian tentang pengetahuan sifat sejati segala sesuatu, sejauh mungkin ia dapat digapai oleh manusia”.[15]
“Tujuan dari para filsuf, sebagaimana pengetahuannya sendiri, ialah untuk memperoleh kebenaran dan sebagaimana perbuatannya sendiri, ialah berbuat dengan penuh kebenaran. Bukan karena pencarian itu tanpa akhir sehingga kita menjadi hampa dan amal menjadi luntur saat kita sudah mencapai kebenaran itu.
Kita tidak dapat menemukan kebenaran yang kita cari tanpa menemukan sebab. Sebab dari keberadaan dan keberlangsungan segala sesuatu tiada lain adalah Sang Esa Sejati, sehingga setiap yang memiliki keberadaan memiliki kebenaran untuk ada. Oleh karena Sang Esa Sejati itu ada, segala sesuatu menjadi wujud.
Filsafat paling mulia dan tingkat paling tinggi ialah Sang Filsafat Pertama, yaitu pengetahuan tentang Sang Kebenaran Pertama yang menjadi sebab semua kebenaran. Oleh karena itu, sangat benar jika dikatakan bahwa filsuf yang paling mulia dan sempurna ialah ia yang memahami secara penuh pengetahuan yang paling mulia tersebut. Hal itu karena pengetahuan tentang sebab lebih mulia dari pengetahuan tentang akibat. Itu disebabkan kita baru memiliki pengetahuan lengkap tentang setiap objek pengetahuan hanya saat kita telah memperoleh pengetahuan penuh tentang penyebabnya.”[16]
Seperti yang telah diamati, al-Kindi tampak mengikuti pendekatan eklektik[17]: sambil meminjam terutama dari Metafisika I dan II Aristoteles, definisi keseluruhan tampaknya juga diilhami oleh prolog komentar Aleksandria terhadap “Isagoge” Porphyre yang biasa memulai dengan “penjelasan awal tentang apa itu filsafat secara umum,” termasuk penjabaran enam definisi filsafat yang berbeda, pembagian filsafat antara teori dan praktik, serta uraian empat penyebab Aristoteles (materi, bentuk, efisien, dan final) dikombinasikan dengan empat pertanyaan epistemologi, “apakah”, “apa”, “yang mana”, dan “mengapa”.[18]
Sebenarnya, dalam sejumlah risalahnya yang lain, al-Kindi memberikan rangkaian enam definisi filsafat, yang diilhami oleh para komentator Neoplatonisme (al-falsafah, ḥaddahaa al-qudamaa’ bi ‘iddat ḥuruuf), tetapi tidak secara persis sesuai dengan daftar yang biasa mereka hasilkan. Definisi “Fil Falsafah al-Ula” mendekati definisi keempat yang menganggap filsafat dari sudut pandang keunggulannya sebagai seni dari semua seni dan sains dari semua sains, serta yang terakhir yang mencirikan filsafat sebagai “pengetahuan tentang hal-hal yang abadi dan universal, tentang keberadaan mereka (inniyyaatuhaa), hakikat mereka (maa’iyyaatuhaa), dan penyebabnya, menurut kapasitas manusia). Yang patut dicatat bahwa pembagian yang sama antara filsafat teoretis dan praktis juga terjadi dalam prolog “Fis Ṣinaa’a l-’udzmaa”, di mana ia terinspirasi oleh kata pengantar Ptolemeus dalam “Almagest”.[19]
Namun, sumber inspirasi utama al-Kindi dalam risalah ini tetaplah deskripsi filsafat Aristoteles dalam Metafisika II, sebagai “pengetahuan tentang kebenaran” yang ia baca dalam terjemahan Asṭaath sebagai ‘ilm al-ḥaqq dan dipahami sebagai pengetahuan tentang sifat tertinggi dari segala sesuatu dan prinsip pertama keberadaan. Perlu dicatat bahwa al-Ḥaqq dan al-Awwal termasuk di antara nama-nama Tuhan, yang memungkinkan al-Kindi untuk mengidentifikasi filosofi dan teologi pertama sebagai “ilmu tentang Kebenaran Pertama yang merupakan penyebab dari semua kebenaran,” menjadi “penyebab keberadaan dan stabilitas dari semua hal,” sehingga mendamaikan kepercayaan agama pada Kebenaran Tertinggi dengan doktrin pengetahuan Aristoteles dalam pencarian sebab.
Dengan demikian, filsafat pertama yang didefinisikan sebagai “ilmu tentang Kebenaran Pertama” akan ditentukan sebagai “ilmu tentang Sebab Pertama”[20] mengingat bahwa semua isi filsafat dimasukkan dalam ilmu tentang Sebab Pertama, yang dengan demikian, pertama dalam kemuliaan, pertama dalam genus, pertama dari sudut pandang kepastian ilmiah, juga pertama dalam waktu, karena Sebab Pertama adalah penyebab adanya waktu (naskah ini  menggemakan kata pengantar dari Teologi Aristoteles, tapi juga mereproduksi pola Neoplatonisme akhir dari dimasukkannya semua ilmu teoritis dalam metafisika). Kausalitas dalam waktu adalah petunjuk lebih lanjut menuju teori penciptaan dan penolakan keabadian dunia yang menjadi bahasan bab berikutnya. Definisi semacam itu menyimpulkan bagian pertama dari prolog, membenarkan judul keseluruhan risalah, dan memberikan orientasi keseluruhan naskah.
7.2.Asimilasi Filsafat Yunani
Selanjutnya, al-Kindi memaparkan program dan metode yang telah kita bahas di atas: untuk membangun penyelidikan atas hasil orang-orang Yunani dan mengejar kebenaran dengan cara yang sama untuk memperluasnya. Al-Kindi menyusun sejarah kumulatif pengetahuan: kita harus berterima kasih kepada semua yang berkontribusi sebelum kita pada kebenaran, bahkan jika sedikit. Mereka telah menjadi “pelopor dan rekan kita” karena mereka membagikan kepada kita produk dari pikiran mereka dan memfasilitasi kita dengan penyelidikan-penyelidikan mereka.
“Jika mereka tidak pernah hidup, prinsip-prinsip tersembunyi yang dengannya kita telah dididik untuk mencari kesimpulan tersembunyi dari penyelidikan kita tidak akan dapat dikumpulkan untuk kita, bahkan dengan penelitian intensif sepanjang waktu kita. Namun, memang ini semua telah dikumpulkan sejak masa lampau, zaman demi zaman hingga saat ini, disertai dengan penelitian intensif, ketekunan yang diperlukan, dan cinta terhadap kerja kerasnya. Hal itu tidak dapat dikumpulkan dalam masa hidup satu orang saja. Bahkan jika masa hidupnya diperpanjang, penelitiannya intensif, wawasannya halus, dan dia gandrung atas kegigihan, dia tetap tidak akan dapat mengumpulkan semuanya sendirian.”[21]
Faktor waktu yang menambah sejarah kumulatif pengetahuan, ide tentang kemajuan ilmiah menuju suatu tujuan, tidak ada dalam gagasan Aristoteles. Ini tampaknya diilhami oleh “Almagest” Ptolemeus.
7.3.Pembelaan atas Filsafat
Pembelaan terhadap filsafat Yunani dipertaruhkan sebagai momen dasar dalam sejarah kemajuan ilmiah, menuju kebenaran yang tidak bertentangan dengan wahyu yang dibawa oleh para nabi. Sebaliknya, keduanya berbagi konten yang sama, dengan al-Kindi menyatakan beberapa baris di bawah ini.[22]
“Dalam pengetahuan tentang sifat sejati segala sesuatu ada pengetahuan tentang keilahian (‘ilm ar-rubuubiyyah), kesatuan (‘ilm al-wahdaaniyyah), kebajikan, dan pengetahuan lengkap tentang segala sesuatu yang bermanfaat beserta pendekatan terhadapnya. Sementara itu, ada jarak dari sesuatu yang berbahaya (terhadap keimanan) dengan tindakan pencegahan terhadapnya. Ini adalah anugerah, semua yang dibawa oleh para utusan sejati dari Allah, alhamdulillah.”[23]
Harmonisasi semacam itu disertai dengan kecaman yang panjang dan keras terhadap lawan yang tak disebutkan namanya, yang menentang perolehan pengetahuan tentang hal-hal dalam sifat sejati mereka dan menyebutnya ketidakpercayaan. Mereka adalah orang-orang sezaman dengan al-Kindi, “yang telah mengklaim spekulasi untuk diri mereka sendiri” (al-muttasimuun bin-nadhar fii dahrinaa) dan yang tampaknya menempati posisi kekuasaan yang tinggi. Dalam mengidentifikasi orang-orang ini, setidaknya kita dapat menunjuk ke beberapa pihak untuk membantu mempersempit ruang lingkup pembahasan.
Risalah ini didedikasikan untuk khalifah al-Mu’taṣhim yang dulunya banyak memberi kemudahan untuk al-Kindi, dengan mencatat bahwa ia ditunjuk sebagai tutor untuk putranya Aḥmad. Pada saat itu, ia menduduki posisi tinggi di dewan khalifah. Orang-orang yang ia kecam tampaknya juga berada dalam posisi kekuasaan dan wewenang seperti yang dia garisbawahi dengan menggambarkan mereka sebagai orang yang “mempertahankan takhta palsu yang mereka dapatkan dengan tidak semestinya.”
Tidak hanya mengklaim bekerja dengan spekulasi (al muttasimuun bin-nadhar), mereka juga tampaknya menggunakan posisi kekuasaan mereka untuk mencapai otoritas dalam hal-hal agama yang dengannya mereka berniaga (li-at-tara’-us wat-tijaarah bid-din). Semua elemen ini tampaknya merujuk pada sekelompok teolog yang dekat dengan wilayah kekuasaan – yang, pada waktu itu, pastilah Muʿtazilah – dengan tuduhan “kecemburuan kotor,” yang diajukan oleh Kindi, tampaknya mengisyaratkan konteks persaingan sengit yang berlangsung di dewan khalifah. Mengingat keragaman manusia dan doktrin yang menandai periode awal pergerakan i’tizaal ini, setiap upaya untuk mengidentifikasi mereka menjadi tidak pasti dan melebihi ruang lingkup tulisan ini.
Patut dicatat bahwa hal yang diperselisihkan di sini tampaknya adalah kredo dari keesaan mutlak Tuhan dari pihak yang oposisi terhadap warisan filosofis orang-orang Yunani. Dua kali selama kecamannya, al-Kindi menyatakan, dalam pembelaan filsafat, bahwa “pengetahuan tentang hal-hal dalam sifat sejati mereka” mencakup pengetahuan tentang kedaulatan serta pengetahuan tentang keesaan (Tuhan). Baris penutupnya menggambarkan dengan cukup fasih tujuan risalah tersebut sebagai “membangun bukti keilahian-Nya dan penjelasan tentang keesaan-Nya, serta menghalau musuh-musuh-Nya (al-mu’aaniduun lahu) yang tidak percaya kepada-Nya. “
Dengan demikian, risalah itu tampaknya merupakan kontribusi filosofis dalam diskusi-diskusi teologis pada masa itu mengenai konsep tauhid. Dalam hal ini, dua elemen patut diingat:
(1)   risalah telah beralih menuju kitab tauhid, seperti yang ditunjukkan pada awal bab tersebut, meskipun al-Kindi selalu menyebutnya sebagai “Tentang Filsafat Pertama”;
(2)   dua karya tulis yang memelihara fragmen risalah itu berkaitan dengan masalah tauhid: Ibn Ḥazm, yang mencela al-Kindi karena tidak konsisten ketika menggambarkan Tuhan sebagai penyebab, yang langsung menyiratkan efek sehingga menghalangi kesatuan-Nya, sementara pada saat yang sama menyangkal keberagaman dalam Tuhan; lalu Ibn Abd Rabbih, yang membahas masalah kehendak Allah, karenanya menyinggung kontroversi antara Asyari dan Mu’tazilah mengenai definisi apakah kehendak Allah adalah atribut dari esensi atau tindakan.
Meskipun keduanya mungkin mencerminkan masalah teologis dan filosofis yang terjadi setelah masa al-Kindi, mereka tetap membangun materi pembahasan dalam “Fil Falsafah al-Ula” yang terkait dengan masalah tersebut.
8.      Pembuktian bahwa Dunia Terbatas
Bab pertama risalah diakhiri dengan kesimpulan Kebenaran Pertama sebagai Sebab Pertama yang bukan hanya sebab dari semua kebenaran dan keberadaan serta keberlangsungan segala sesuatu, melainkan juga sebab dari waktu. Hal itu memerlukan pembuktian keterbatasan “dunia yang masuk akal” (dunia fisik) sehingga tubuh, waktu, dan gerak harus berhingga.
Dengan demikian, bab kedua dimulai dengan serangkaian peringatan metodologis awal yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa “ilmu tentang apa yang di luar hal-hal alami (metafisik) adalah ilmu tentang apa yang tidak bergerak”.[24] Oleh karena itu, hanya memerlukan persepsi intelektual sehingga hanya metode (logika) matematika yang berlaku untuk itu. Bagian pertama dari bab ini menetapkan kader epistemologi, yang melaluinya seseorang harus memahami argumen yang membantah kekekalan dunia yang ada di bagian kedua.
Al-Kindi mulai dengan membedakan dua jenis persepsi wujud: “satu lebih dekat dengan kita dan lebih jauh dari alam, yang disebut sebagai persepsi sensoris/indra (wujud al-hawaass)”[25] yang tidak stabil akibat perubahan natur benda amatan itu sendiri “karena persepsi itu selalu bekerja pada tubuh fisik”; sedangkan yang lain “lebih dekat dengan alam dan jauh dari kita, yang disebut persepsi intelektual (wujud al-’aql), yang “dibenarkan, divalidasi, dan dianggap pasti melalui kebenaran prinsip-prinsip intelektual yang diketahui secara pasti. Hal itu seperti “dia” dan “bukan dia” yang tidak dapat benar bersamaan dalam suatu hal tanpa adanya suatu faktor lain.”[26]
Contoh pertama yang menggambarkan prinsip non-kontradiksi ini diikuti oleh contoh lain yang lebih kompleks: “di luar tubuh alam semesta, tidak ada kekosongan maupun isi (laa khalaa’ wa-laa malaa’), yaitu bukan kehampaan (faraagh) maupun benda fisik.” “Baik kekosongan maupun isi ... adalah sesuatu yang hanya dapat dirasakan oleh intelek melalui dengan premis-premis yang telah dinyatakan”.[27]
Argumen ini kemudian diungkap dalam dua langkah untuk menunjukkan, pertama, kemustahilan adanya kekosongan absolut dan, kedua, kemustahilan bahwa ada isi di luar tubuh alam semesta. “Pernyataan tersebut adalah suatu yang harus dipenuhi, sementara tidak ada baginya gambaran dalam diri (pengindra). Sesungguhnya itu hanyalah persepsi wujud intelek yang mesti ada (wujuud ‘aqlii idlthiraarii).”[28]
Al-Kindi mendukung tesis yang dibela oleh Aristoteles dalam “Physics IV”, walaupun tidak sama persis, di mana hanya pertanyaan tentang kemustahilan kekosongan yang dimunculkan. Namun, di “De Caelo”-lah tempat ia menemukan masalah penolakan setiap kekosongan di luar “batas ekstrem” (alam semesta), yang dibahas dalam demonstrasi yang menyangkal keberadaan tubuh (fisik) apa pun di luar batas alam semesta. Namun, al-Kindi tampaknya tidak terlalu tertarik pada argumen empiris tentang kemungkinan kekosongan di luar batas ekstrem alam semesta. Dia tampaknya lebih memikirkan kekosongan dalam beberapa pengertian logis absolut, yang memungkinkannya untuk membangun suatu kontradiksi istilah langsung.[29]
Bahkan, sebagian besar argumen dikhususkan untuk penolakan kemungkinan isi di luar alam semesta, yang merupakan langkah lebih jauh ke arah demonstrasi tentang kefanaan dunia. Untuk membuktikan bahwa dunia yang masuk akal (dunia fisik) itu terbatas, al-Kindi perlu mengesampingkan, setidaknya secara logis, kemungkinan adanya isi di luar dunia fisik. Dia masih harus membuktikan bahwa tidak mungkin ada ketidakterbatasan aktual – seperti yang dia tuliskan[30] – untuk menunjukkan bahwa dunia adalah besaran yang terbatas, dan dengan demikian, kekekalan hanya berlaku untuk Sang Esa Sejati.
Tiga argumen yang menentang keabadian dunia, yang akan dipaparkan, juga didahului oleh serangkaian “aturan” (qawaanin) yang perlu diperhatikan dalam seni berpikir itu, terdiri dari serangkaian definisi mengenai sifat kekal. Mereka diikuti oleh tiga argumen pendek yang dimaksudkan untuk membuktikan, melalui reductio ad absurdum, bahwa yang kekal tidak memiliki genus, juga tidak mengalami kerusakan atau perubahan apa pun, sehingga “Yang abadi itu harus sempurna” (fal azalii taammun idlthiraaran):
Yang kekal adalah yang sama sekali tidak mengharuskan atau memerlukan “yang bukan dirinya” secara mutlak (innal azalii huwa alladzii lam yajib “laysa huwa” muṭlaqan). Karena itu, sejauh menyangkut generasi, yang abadi adalah yang tidak ada sesuatu “sebelum” keberadaannya (li-hawiyyatihi); yang kekal adalah yang perwujudannya tidak melalui sesuatu yang lain; yang kekal tidak memiliki sebab (‘illah); yang abadi tidak memiliki subjek dan predikat, tidak memiliki agen dan sebab/alasan (keberadaan) (sabab), yaitu hal yang karenanya sesuatu akan ada, karena tidak ada sebab selain yang disebutkan sebelumnya.[31]
“Sebab-sebab yang disebutkan sebelumnya” adalah empat sebab dalam pandangan Aristoteles yang disebutkan dalam bab 1. Dengan demikian, al-Kindi selanjutnya mengesampingkan di premis-premis ini, kemungkinan perlakuan fisik terhadap yang abadi. Karena tidak memiliki sebab, yang abadi secara alami tidak cocok dengan segala jenis perubahan. Di sini, al-Kindi mengantisipasi argumen pada bab 3 dan 4, dan yang “abadi” yang tidak dapat diubah itu adalah Tuhan.[32]
Sesungguhnya, hanya Allah saja yang sempurna. Argumen ini menyimpulkan dari ketidakcocokan keabadian dengan perubahan sampai ketidakcocokan keabadian dengan tubuh (fisik): “Jika suatu benda fisik memiliki jenis dan spesies, sementara Sang Kekal tidak memiliki jenis, maka benda fisik itu tidaklah abadi (fal jirm laysa huwa al-azalii)[33].” Tiga argumen berikut berfokus pada pembuktian bahwa dunia, sebagai tubuh (fisik), memiliki awal dan akhir.
8.1.Tiga Argumen Membantah Dunia yang Tidak Terbatas
8.1.1.      Tubuh, Gerak, dan Waktu Tidak Saling Mendahului
Argumen pertama yang menentang keabadian dunia dalam “Fil Falsafah al-Ula” bertujuan untuk membuktikan bahwa tubuh, waktu, dan gerakan tidak saling mendahului sehingga, jika waktu terbatas, “perpanjangan keberadaan” alam semesta adalah terbatas. Ini bergantung pada asumsi bahwa waktu bukanlah suatu wujud (az-zaman laysa bi-mawjuud), melainkan atribut atau predikat (maḥmuul) tubuh (fisik), sebagaimana besarnya, tempat, dan gerakan. Al-Kindi memulai dengan membuktikan kemustahilan besarnya yang tak terbatas:
“Mari kita mengatakan sekarang bahwa tidak ada tubuh (fisik), yang memiliki kuantitas dan kualitas, yang tidak terbatas secara aktual (laa nihaaya lahu bil fi’l). Ada pun yang tidak memiliki batas (laa nihaaya), hanya ada secara potensial.”[34]
Argumen itu kemudian dijabarkan dalam empat langkah. Mengikuti bentuk Euclidian, ia mulai (a) dengan serangkaian enam aksioma atau “premis pertama yang langsung dapat dipahami dengan benar” (muqaddimaat uwwal ḥaqqiyya ma’quula bi-laa-tawassuṭ). Empat di antaranya akan digunakan al-Kindi dalam argumentasi berikutnya, seperti “(tubuh-tubuh) dengan jarak yang sama antara batas mereka adalah sama secara aktual dan potensial” (aksioma 2) atau “ hal yang terbatas tidaklah tak terbatas” ( aksioma 3).[35]
Dengan mempertimbangkan premis-premis ini dan menerapkan argumen metode reductio ad absurdum, al-Kindi akhirnya membuktikan (b) bahwa tidak ada besaran yang tak terbatas secara aktual, dengan menunjukkan absurditas yang akan muncul ketika seseorang mencoba menerapkan operasi aritmatika biasa terhadap besaran yang secara hipotetis tak terbatas. Dengan demikian, itu menunjukkan “bahwa tidak mungkin bagi sebuah tubuh menjadi tak terbatas” sehingga tidak ada besaran yang dapat menjadi tak terbatas secara aktual. Al-Kindi berpindah ke (c) langkah ketiga dari argumen.
Karena waktu adalah kuantitas, tidak mungkin ada waktu yang tak terbatas secara aktual, mengingat waktu memiliki awal yang terbatas. Hal-hal yang dikaitkan dengan (tubuh) yang terbatas pasti juga terbatas. Karena itu, setiap atribut tubuh, baik itu besarnya, tempat, gerakan, atau waktu — yang terbagi (mufaṣṣal) oleh gerak — dan jumlah keseluruhan semua atribut tubuh secara aktual, juga terbatas, karena tubuh sendiri terbatas. Karena itu, tubuh alam semesta terbatas, seperti halnya setiap atributnya.[36]
Keterbatasan waktu tampaknya merupakan konsekuensi langsung dari bukti keterbatasan setiap besaran, sedangkan waktu adalah besaran; atau konsekuensi tidak langsung dari keterbatasan dalam ekstensi alam semesta, waktu menjadi terbatas sebagai atribut dari alam semesta. Oleh karena itu, dari kemustahilan adanya besaran tak terbatas secara aktual, al-Kindi menyimpulkan:
“Dengan demikian, telah ditunjukkan bahwa secara aktual, waktu tidak mungkin menjadi tak hingga. Dan waktu itu adalah waktu badan alam semesta, yakni ekstensi (muddatuhu) dari badan fisik alam semesta itu. Jika waktu itu berhingga, maka keberadaan badan alam semesta ini juga berhingga. Itu karena waktu bukan ekstensi yang independen (dari suatu objek). Begitu pula, tidak ada objek (benda fisik) yang tanpa kerangka waktu, karena waktu adalah suatu bilangan gerak, yakni dia adalah ekstensi yang dihitung dalam suatu gerakan (muddah ta’udduhaa l-ḥarakah). Jika ada gerakan, ada waktu. Sebaliknya, jika tidak ada gerakan, tidak ada waktu.”[37]
Setelah menunjukkan bahwa tubuh, waktu, dan gerak ko-ekstensif dan terbatas, al-Kindi masih harus mengesampingkan kemungkinan (d): bagaimana jika seseorang berpikir bahwa adalah mungkin bagi tubuh alam semesta (jirm al-kull) untuk menjadi diam terlebih dulu, memiliki potensi untuk bergerak, dan kemudian bergerak? Dengan kata lain, al-Kindi masih harus memeriksa apakah suatu alam semesta, yang dianggap semula diam dan kemudian bergerak, dapat dikatakan dihasilkan dari ketiadaan atau kekal, di mana pandangan tentang tubuh alam semesta yang pertama kali diam disebabkan oleh Aristoteles kepada Anaxagoras.[38]
Setelah menunjukkan bahwa gerakan itu terbatas, al-Kindi masih harus menegasikan kemungkinan istirahat/diam tanpa batas, yang ia lakukan dengan anggapan bahwa generasi, dipahami di sini sebagai yang muncul dari ketiadaan (fa-in kaana kawnan ‘an lays fa-inna tahawwiihi aysan ‘an laysa), “adalah salah satu spesies gerak.” Karena tubuh tidak dapat mendahului generasinya, maka generasi “adalah esensinya,” sehingga keberadaan tubuh tidaklah sebelum gerakan. Di sisi lain, jika alam semesta diam selamanya, gerakan tidak akan pernah muncul, karena gerak adalah perubahan dan kekekalan tidak berubah, memang begitu adanya. Oleh karena itu, adalah kontradiksi diri untuk mengatakan bahwa alam semesta adalah kekal, tapi gerak memiliki permulaan. Al-Kindi sekarang dapat menyimpulkan:
“Jadi, jika ada gerakan, pasti ada benda fisik, sementara jika ada benda fisik, pasti ada gerakan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa waktu tidak mendahului gerakan. Juga, tidak mungkin ada waktu sebelum ada benda fisik. Hal itu karena tidak ada waktu selain melalui gerakan dan karena tidak ada benda fisik tanpa ada gerakan, serta tidak ada gerakan tanpa ada benda fisik. Tubuh juga tidak ada tanpa ekstensi (muddah) (kerangka waktu), karena ekstensi adalah apa yang ada di dalam identitas sesuatu, yaitu, keberadaan (huwiyya) sesuatu yang ada di dalam keberadaan tertentu (huwa maa). Dan tidak ada ekstensi tubuh kecuali ada gerakan, karena benda fisik selalu terjadi dengan gerakan, seperti yang telah dijelaskan... dan dengan demikian, tubuh (fisik), gerakan, dan waktu tidak pernah saling mendahului satu sama lain...
Dengan demikian, telah dijelaskan bahwa tidak mungkin bagi waktu untuk menjadi tidak terbatas. Itu karena tidak mungkin bagi kuantitas atau sesuatu yang memiliki kuantitas untuk memiliki ketidakterbatasan secara aktual. Oleh karena itu, semua waktu secara aktual terbatas. Karena tubuh tidak ada sebelum waktu, maka tidak mungkin bagi tubuh alam semesta (jirm al-kull), karena keberadaannya itu (li inniyyatihi), menjadi tak terhingga. Keberadaan tubuh alam semesta dengan demikian pasti terbatas dan tidak mungkin bagi tubuh alam semesta untuk menjadi abadi.”[39]
Berhubungan erat dengan inniyyah dan huwiyyah, yang merupakan korelasinya, muddah adalah wadah segala sesuatu yang ada di dunia dan karenanya merupakan tanda keterbatasan setiap keberadaan yang ada di sini. Sama bagi waktu dan tubuh, kesentralan keduanya akan menjadi sangat penting untuk demonstrasi spasial dan temporal dunia, seperti yang akan dikonfirmasi dalam argumen berikutnya.
8.1.2.      Bukti berdasarkan Komposisi
Bukti ini dimaksudkan untuk menunjukkan keterbatasan tubuh, didasarkan pada komposisi ganda tubuh, yaitu setiap tubuh tersusun (murakkab) dari materi dan bentuk atau substansi dan dimensi. Namun, (proses) komposisi adalah perubahan (tabaddul) (memengaruhi kondisi non-komposisi) sehingga merupakan suatu gerakan. Tanpa gerakan, tidak akan ada tubuh, karena tubuh adalah komposit. Karenanya tubuh, dan gerak tidak mendahului satu sama lain tetapi terjadi berdampingan.
Waktu dan gerakan juga ada berdampingan, karena gerakan adalah perubahan dan perubahan adalah “jumlah ekstensi dari hal yang berubah” (al tabaddul ʿadad muddat al-mutabaddil). Sedangkan waktu adalah perpanjangan yang diberi bilangan oleh gerakan. Setiap tubuh memiliki ekstensi, yang berarti “bahwa di mana ada keberadaan (maa huwa fiihi inniyyah), maksud saya bahwa di mana ada keberadaan tertentu (huwa maa)”.[40] Namun, tubuh tidak mendahului gerakan, atau ekstensi yang diberi nomor oleh gerakan, sehingga tubuh, gerakan, dan waktu “bersama-sama sejauh menyangkut keberadaan” (fa-hiya ma’an fil-anniyya). Akibatnya, waktu terbatas secara aktual karena keberadaan tubuh terbatas secara aktual.
Seluruh argumen bertumpu pada asumsi bahwa komposisi harus dipahami sebagai semacam perubahan sehingga merupakan spesies gerakan (in kaana l-tarkiib wat-ta’liif tabaddulan maa). “Komposisi dan kombinasi adalah bagian dari perubahan, karena itu adalah penyatuan dan pengorganisasian berbagai hal / benda.”[41]
Bukti keterbatasan tubuh dan juga akibat wajarnya, keterbatasan waktu sebagai aksiden tubuh/benda fisik, keduanya dimaksudkan untuk menunjukkan ketergantungan dari setiap keberadaan/makhluk yang diciptakan kepada Sang Esa Sejati dan Kekal, yang kesatuan dan kekekalannya secara radikal terpisah dari kebilangan dan ekstensi apa pun.
Sementara argumen kedua tetap sejalan dengan argumen pertama, bertujuan untuk memperkuatnya agar “untuk menambah keterampilan para penyelidik terhadap pendekatan ini dalam upaya mereka (menyelidikinya)”.[42] Al-Kindi memberi tahu kita bahwa argumen ketiga dan terakhir yang membantah ketidakterbatasan dunia adalah “dari jenis lain”: “Mari kita perjelas dengan jenis (naw’) (argumen) lain bahwa tidak mungkin bagi waktu untuk memiliki ketidakterbatasan secara aktual, baik di masa lalu maupun di masa depan.”[43]
8.1.3.      Argumen untuk Keterbatasan Waktu Masa Lalu
Argumen ini diungkap dalam dua langkah: (a) dari kemustahilan rangkaian tak terbatas dari segmen waktu lampau, al-Kindi menarik (b) kemustahilan melintasi ketidakterbatasan temporal untuk mencapai waktu tertentu, dan dengan demikian, menyimpulkan bahwa masa kini tidak akan pernah tercapai jika masa lalu yang tak terbatas mendahuluinya. Dengan kata lain, masa kini tidak akan pernah tercapai jika masa lalu yang tak terbatas atau serangkaian segmen masa lalu yang tak terbatas harus dilintasi.
Namun, kita mencapai waktu yang pasti (al intihaa’ ilaa zaman maḥduud mawjuud) sehingga waktu tidak terus-menerus berlanjut (muqbilan) dari ketidakterbatasan tetapi harus bermula dari suatu batas. Dengan demikian, ekstensi tubuh tidak tak-terbatas, dan tidak mungkin bahwa tubuh ada tanpa ekstensi. Oleh karena itu, keberadaan tubuh (inniyyat al-jirm) tidak tak-terbatas, tetapi keberadaan tubuh terbatas. Karena itu, tidak mungkin bagi tubuh untuk menjadi abadi.
8.1.4.      Kemustahilan Serangkaian Segmen Masa Depan yang Tak Terbatas
Akhirnya, setelah membuktikan bahwa waktu lampau tidak dapat tak terbatas, al-Kindi harus menyelesaikan langkah terakhir dari argumennya dan membuktikan bahwa waktu di masa depan juga tidak terbatas. Tidak peduli sebanyak apa pun “waktu definit” yang dapat ditambahkan ke waktu lalu yang sudah terakumulasi, jumlah totalnya akan tetap berhingga.
Tiga argumen, yang dimaksudkan untuk membuktikan keterbatasan dunia, memerlukan penciptaan secara de facto atau paling tidak permulaannya, sehingga mengharuskan adanya Sebab Pertama. Al-Kindi telah menetapkan dalam prolog, keberadaan Penyebab Pertama yang digambarkan sebagai “penyebab waktu” (‘illat az-zamaan). Namun, ia masih harus melalui jalan memutar yang panjang (bab 3 dan 4) untuk memastikan bahwa “Sang Awal Sejati” adalah penyebab kesatuan dan keberadaan (‘illat at-tahawwii) dari semua hal dan esa secara esensi, sedangkan “apa yang dibawa ke/diberi keberadaan (yuhawwaa) tidak abadi”.
Dengan demikian, telah dibuktikan bahwa tubuh, waktu, dan gerak adalah terbatas dan telah dinyatakan bahwa “tubuh alam semesta adalah makhluk yang berasal dari ketidakberadaan” (jirm al-kull kawn ‘an lays)[44], sedangkan yang memiliki “keberadaan harus terbatas”[45]. Al-Kindi sekarang perlu mengesampingkan kemungkinan sesuatu menjadi penyebab esensinya sendiri, sebelum membahas isu tentang penyebab-gerakan yang-tidak-bergerak, seperti yang ia nyatakan pada awal bab kedua:[46]
“Semua hal di luar (hal-hal) alami tidak bergerak. Hal itu karena tidak mungkin sesuatu menjadi sebab keberadaan esensinya sendiri, seperti yang akan kita jelaskan sebentar lagi. Maka, gerakan bukanlah penyebab gerakan itu sendiri dan benda yang bergerak itu bukanlah penyebab benda yang bergerak itu sendiri. Dengan begitu, hal-hal metafisik bukanlah objek yang bergerak, sehingga, sebagaimana dijelaskan, ilmu tentang metafisika adalah ilmu tentang hal yang tidak bergerak.”[47]
9.      Kesatuan pada Dunia yang Masuk Akal (Dunia Fisik)
9.1.Benda Tidak Dapat Menjadi Penyebab Dirinya Sendiri
Bab ketiga “Fil Falsafah al-Ula” dibuka dengan pertanyaan berikut, yang padanya bab pertama ditujukan: “Mungkinkah sesuatu menjadi penyebab generasi esensinya sendiri (‘illat kawn dzaatihi), atau apakah itu mustahil?” Al-Kindi mulai menjelaskan dengan segera bahwa ia menggunakan kawn dalam arti khusus dan tidak biasa, karena penyelidikannya akan mencakup kemungkinan suatu creatio ex nihilo, sementara generasi biasanya dikatakan datang dari sesuatu yang lain:
“Maksud saya dengan generasi (kawn) esensinya ialah keberadaannya (tahawwiihi) (terjadi), baik dari sesuatu atau dari ketiadaan. Generasi itulah yang biasanya dilandaskan, di tempat-tempat lain, terhadap hal yang datang secara khusus dari sesuatu. Karena itu, haruslah bahwa (sesuatu) akan menjadi keberadaan (aysun) dan esensinya ketiadaan (laysun); atau itu akan menjadi tidak ada dan esensinya ada; atau itu akan menjadi tidak ada dan esensinya tidak ada; atau itu akan menjadi ada dan esensinya ada.”[48]
Dengan pertanyaan ini, ia membuka jalan – tidak hanya untuk kesimpulan bab yang akan menetapkan perlunya Sebab Pertama, yang pada gilirannya akan menjadi penyebab generasi dan keberlangsungan segalanya – tetapi juga untuk baris terakhir risalah, yang akan menyimpulkan keniscayaan proses penciptaan, dari kefanaan / berhingganya segala keberadaan yang diadakan (yuhawaa), sehingga juga mengantar pada keniscayaan adanya pencipta.
Berikutnya, al-Kindi memeriksa kemungkinan untuk sesuatu menjadi penyebab esensinya sendiri, dengan menerapkan gaya argumen reductio ad absurdum, untuk menunjukkan kontradiksi yang akan membawa asumsi semacam itu. Dia kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun dari kasus yang dia cantumkan dapat dikatakan sebagai penyebab esensinya. Salah satu utas utama dari argumen ini adalah perbedaan radikal antara sebab dan akibatnya, sehingga kemustahilan suatu hal menjadi penyebab esensinya berlaku jika sesuatu itu identik dengan esensinya. Itu karena efeknya tidak dapat identik dengan sebab.
Al-Kindi tidak merinci lebih lanjut sifat dari perbedaan antara sebab dan akibatnya, meskipun itu merupakan tulang punggung argumennya, seperti yang ditunjukkan oleh kalimat penutup bab ini:
“Dengan demikian, telah diperjelas bahwa semua hal memiliki Sebab Pertama, yang tidak berbagi genus dengan mereka dan tidak memiliki kesamaan, kemiripan, atau hubungan (ketergantungan) dengan mereka. Justru lebih unggul, lebih mulia, dan lebih utama daripada mereka, menjadi penyebab generasi dan keberlangsungan mereka.”[49]
Sementara itu, Al-Kindi telah menunjukkan bahwa dalam segala hal, kesatuan dan kebanyakan terkait, karena sebab yang “tidak banyak juga tidak banyak dan satu (bersamaan)” karena
“jika berbilang, maka sebab itu akan mengandung kesatuan, karena kebanyakan tidak lain adalah kumpulan unit, sehingga akan menjadi kebanyakan dan kesatuan bersama-sama. Jika begitu, sebab dari kebanyakan dan kesatuan adalah kesatuan dan kebanyakan, sehingga sesuatu itu akan menjadi penyebab esensinya sendiri. Namun, penyebabnya haruslah lain dari akibatnya, sehingga akibat suatu benda akan menjadi lain dari esensinya. Karena itu, ini adalah kontradiksi yang mustahil. Maka, penyebab pertama bukanlah berbilang atau berbilang dan tunggal (bersamaan). Oleh karena itu, tidak ada yang tersisa selain itu, penyebab pertamanya adalah tunggal saja, dalam jalan tidak disertai dengan kebanyakan, dengan cara apa pun.”[50]
Namun, untuk mencapai kesimpulan itu, al-Kindi harus menunjukkan bahwa segala sesuatu yang tidak esensial dalam sesuatu, yaitu segala sesuatu yang aksidental (‘aariḍ), adalah efek yang dihasilkan oleh sesuatu yang lain, yang esensial.
9.2.Kesatuan Sebagai Efek, Aksiden dalam Semua Predikabel, dan Hal yang Dipredikatkan tentangnya
Oleh karena itu, di bagian kedua bab ini, dan setelah mendefinisikan semua konsep yang dia perlukan untuk argumen selanjutnya, al-Kindi memeriksa “dalam berapa banyak cara ‘satu’ (waaḥid) dapat dipredikatkan”[51], karena “satu” dipredikatkan “pada masing-masing predikabel (maquulaat) dan apa yang berasal dari predikabel (al-kaa’in min al-maquulaat), entah itu genus, spesies, individu (shakhṣ), perbedaan spesifik, properti, aksiden umum, semua atau sebagian, dan keseluruhan atau beberapa”.[52]
Penyelidikan dilakukan pada masing-masing dari hal universal yang didaftar oleh al-Kindi, untuk menyelidiki bagaimana “satu” dipredikatkan pada masing-masing dari mereka. Dalam setiap kasus, kesimpulannya selalu sama: dalam setiap hal universal, kesatuan adalah dengan konvensi (bil-waḍ’) karena mereka dipredikatkan tentang banyaknya jenis tertentu. Dengan demikian, kesatuan dipredikatkan dalam cara yang tidak esensial (min jihha laa dzaatiyya) terhadap hal universal, dan bukan kesatuan mereka yang sebenarnya (al-waḥdah fiihi laysat bi-ḥaqiiqiyya). Dengan demikian, kesatuan itu aksidental, artinya “diperoleh dari sesuatu yang lain” (mustafaad min ghayrihi). Dengan kata lain, “Itu diperoleh dari agen donor (mufid), dan itu adalah efek pemberian (atsar).” Al-Kindi kemudian menyimpulkan:
“Lebih jauh lagi, segala sesuatu yang merupakan aksiden dalam satu hal adalah esensial dalam hal lain. Hal itu karena segala sesuatu yang ada dalam satu hal secara aksidental ada pada hal lain secara esensial. Karena kita telah menjelaskan bahwa kesatuan dalam semua hal ini adalah secara aksidental, tidak ada bagian (dari kesatuan dalam hal-hal yang dibahas tersebut, yang terjadi) secara esensial, melainkan disebabkan oleh aksiden. Maka, kesatuan yang terjadi dalam suatu hal secara aksidental, diperoleh dari hal lain, di mana ia terjadi secara esensial. Karena itu, di sini harus ada kesatuan yang sejati (waaḥid ḥaqq), yang bukan donor dari pihak lain. Mari kita perjelas lebih lengkap dari apa yang telah dibahas sebelumnya.”[53]
Langkah pertama dari argumen tersebut sudah menyimpulkan keharusan keberadaan dari Sang Esa Sejati, di mana kesatuan itu esensial dan bukan suatu efek. Itulah Sang Esa Sejati yang memberikan kesatuan pada segala hal lain, yang dengannya kesatuan makhluk terjadi secara aksidental.
Yang perlu diperhatikan adalah oposisi “secara aksidental” terhadap “secara esensial”, di samping “penyebab” melawan “efek”, adalah utas lain yang mengartikulasikan seluruh argumen. Di sini, itu digandakan dengan pasangan afeksi / pemberi efek (agen donor) (mu’atstsir). Penekanannya adalah pada sifat kesatuan sebagai karakter yang diperoleh sehingga bukan bagian dari esensi hal tersebut.
Konsep-konsepnya masih Aristoteles, tetapi sudah memenuhi henologi yang mulai terlihat dengan pemunculan “Sang Esa Sejati yang kesatuannya bukanlah pemberian,” yang dengan demikian, akan menjadi penyebab kesatuan yang merupakan aksiden dan efek dalam hal-hal yang dibuat. Gagasan kesatuan sebagai “pemberian / efek” terhadap hal-hal, yang berasal dari kesatuan sejati, adalah suatu pemberian dari donor terhadap sesuatu, yang dalam esensi kesatuan efeknya sendiri, adalah kebanyakan (kesatuan yang tidak sejati). Gagasan ini akan tampak besar di akhir bab 4.
9.3.Kesatuan dan Kebanyakan Selalu Berdampingan di Dunia yang Masuk Akal (Dunia Fisik)
Pada bagian ketiga bab ini, dan untuk “mengklarifikasi” apa yang baru saja dia ungkapkan, al-Kindi menyajikan serangkaian argumen yang dimaksudkan untuk membuktikan bahwa kita tidak dapat menemukan “semua yang dirasakan oleh indra dan yang hakikatnya dipahami oleh intelek”[54] berupa kebanyakan tanpa kesatuan (sembilan argumen) atau kesatuan tanpa kebanyakan (sembilan argumen). Itu menuntunnya, di bagian keempat dan penutup bab ini, untuk menetapkan keberadaan Sebab Pertama yang hanya satu (waaḥida faqaṭ), dan karenanya, secara radikal berbeda dari hal-hal yang masuk akal (di mana kesatuan selalu bercampur), yang menjadi penyebab generasi dan keberlangsungan mereka.
Semua argumen mengikuti pola yang sama, dimulai dengan premis hipotetis dari kebanyakan tanpa kesatuan (atau sebaliknya, dengan asumsi kesatuan tanpa kebanyakan) yang darinya disimpulkan, melalui reductio ad absurdum, kesimpulan yang bertentangan dengan premis atau pengalaman faktual. Argumen memuncak pada bagian keempat dan terakhir dari bab, yang diakhiri dengan hasil bahwa kesatuan dan kebanyakan hidup berdampingan di dunia yang masuk akal (dunia fisik), di mana yang satu tidak pernah ditemukan tanpa yang lain.
“Dengan demikian, jelas dari semua investigasi ini, bahwa tidak mungkin ada kebanyakan tanpa kesatuan dalam hal-hal yang telah kami sebutkan; dan dari beberapa (penyelidikan) ini, juga mustahil bahwa sesuatu hanya merupakan kesatuan tanpa kebanyakan di dalamnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa tidak mungkin hanya ada kesatuan (waḥdah faqaṭ) tanpa kebanyakan, atau hanya ada kebanyakan tanpa kesatuan, dan tidak ada (dari hal-hal) yang telah kita sebutkan, yang dapat bebas dari kebanyakan atau dari kesatuan.... Oleh karena itu, tetap bahwa kesatuan berpartisipasi dalam kebanyakan, yaitu terkait dengannya di semua objek yang masuk akal dan apa pun yang melekat pada objek yang masuk akal. Dengan kata lain, setiap hal yang mengandung kebanyakan, mengandung kesatuan; dan setiap hal yang mengandung kesatuan, mengandung kebanyakan.”[55]
Al-Kindi masih harus menunjukkan bahwa keterkaitan antara kesatuan dan kebanyakan dalam dunia yang masuk akal “asosiasi mereka memiliki sebab lain, selain diri mereka sendiri, lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih dulu daripada mereka, karena pada dasarnya penyebabnya mendahului akibatnya”.[56] Sekarang penyebab ini adalah satu atau berbilang. Jika berbilang, sebab itu juga akan memiliki juga kesatuan, dan dengan demikian, kesatuan dan kebanyakan akan menjadi penyebab kesatuan dan kebanyakan, yang tidak masuk akal. “Jadi, Penyebab Pertama tidak banyak, juga tidak banyak dan satu. Tetap bahwa penyebabnya adalah hanya satu, tanpa kebanyakan bersama-sama dengan itu sama sekali.”[57]
Dengan demikian, bab ini berakhir dengan munculnya Sebab Pertama transenden yang belum diidentifikasikan dengan Allah atau Pencipta. Al-Kindi masih harus menunjukkan “ bahwa kesatuan ada dalam hal-hal yang disebabkan (al-ma’luulaat), apa yang merupakan kesatuan yang sejati, dan apa yang merupakan kesatuan secara metaforis dan tidak sejati.[58] Sekarang, mari kita simpulkan bagian ini.” Dengan begitu, bagian ini mengantarkan program bab keempat, yang merupakan bagian terakhir dari risalah tersebut yang tersisa saat ini.
10.  Sang Esa Sejati dan Sang Pencipta yang Maha Esa (Bab 4)
“Mari kita sekarang berbicara tentang bagaimana kesatuan ada dalam predikabel-predikabel (al maquulaat), tentang apa yang benar-benar satu, dan apa yang satu secara metaforis dan tidak sejati.[59] Mari kita bahas terlebih dahulu apa yang harus didahulukan.” Kalimat pembuka bab 4 menggemakan kalimat penutup bab 3, sedemikian rupa sehingga pembaca mungkin melewatkan perbedaan kecil antara kedua kalimat yang ternyata lebih signifikan daripada yang terlihat secara sekilas:[60]
(1)     Al-ma’luulaat (hal-hal yang disebabkan) digantikan oleh al-maquulaat (predikabel), sehingga membuka jalan bagi kesimpulan bab, di mana semua predikabel yang terkomprehensif oleh nalar (al-ma’quulaat) ditolak dari Sang Esa Sejati. Predikabel semuanya universal sehingga dapat dipahami nalar.
(2)     Ada pergeseran terminologi dari “kesatuan” ke “satu” yang mencerminkan perkembangan penyelidikan: sementara bab 3 memeriksa semua cara kesatuan ada dalam hal-hal yang masuk akal, bab 4 mencoba untuk menentukan cara “satu” dapat diterapkan kepada Tuhan, sehingga berkenaan dengan apa yang menjadi sifat dari Sang Esa Sejati, dengan kata lain, apa yang dapat benar-benar dapat dikatakan tentang Sang Esa Sejati
(3)     Dikotomi “satu metaforis” terhadap “satu sejati” muncul untuk pertama kalinya dan tidak tumpang tindih sepenuhnya dengan pasangan “satu aksidental” terhadap “satu esensial” seperti yang akan kita lihat.
Al-Kindi memperkenalkan pada bagian pertama, sebuah diskusi dalam upaya untuk mengesampingkan, melalui serangkaian argumen yang tidak jelas, setiap kemungkinan “satu” menjadi angka dan karenanya menjadi kuantitas yang akan menerapkan salah satu predikat yang berlaku untuk kuantitas yang sama dan tidak setara atau dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Secara kebetulan, halaman-halaman tersebut mengungkapkan teori bilangan yang akan perlu diselidiki lebih lanjut, meskipun itu jelas melampaui ruang lingkup tulisan ini.
10.1.        Satu Bukan Bilangan
Memang, yang paling khas perbandingan dari suatu kuantitas adalah keadaan sama dan tidak sama. Oleh karena itu, menurut al-Kindi, jika satu merupakan bilangan, akan berupa suatu kuantitas, akan dapat dibagi menjadi banyak, beberapa di antaranya sama dengan itu dan beberapa tidak.[61] Namun, satu tidak dapat dibagi menurut definisi (suatu identitas/unit dasar). Dengan demikian, ada kontradiksi yang jelas sehingga satu bukan bilangan.[62]
Dengan cara yang sama, al-Kindi mengingatkan pembaca untuk tidak membingungkan satu dengan hal yang dipersatukan oleh satu tersebut, atau untuk mengatakannya secara berbeda, agar tidak membingungkan apa yang kita hitung dengan apa yang kita hitung dengannya. Kelas benda-benda materi “terdiri dari benda-benda yang dapat dihitung bukan dengan angka” (ma’duudaat laa ‘adad). Jadi, “Seperti dalam perkataan ‘lima kuda’; kuda-kuda itu dinomori oleh lima, angka yang tidak memiliki material, materialnya hanya pada kuda-kuda itu”.[63]
Dengan kata lain, Kindi tampaknya menganggap angka sebagai abstraksi dari kelompok yang terdiri dari unit murni, yang merupakan abstraksi dari objek fisik sehingga tidak boleh dibingungkan dengan hal yang diberikan unit hal oleh angka satu itu. Karena itu, ketika kita mengatakan “satu”, kita maksudkan “kesatuan itu sendiri, sedangkan kesatuan sama sekali tidak dapat dibagi”.[64] Jadi, satu bukanlah angka, melainkan ukuran angka (unit satuan) atau, dengan kata lain, satuan penghitungan. Selain itu, “satu” juga tidak dapat dibagi, karena unit adalah ukuran dasar yang dianggap tidak dapat dibagi untuk tujuan penghitungan. Jika tidak menjadi angka, “satu” tidak termasuk dalam kategori kuantitas, “tetapi di bawah kategori lain.” Tanpa spesifikasi lebih lanjut, al-Kindi menyimpulkan:
“Dengan demikian, ‘satu’ bukanlah suatu bilangan secara alami, tetapi secara samar-samar (bi-ishtibaah al-ism), karena bilangan tidak dipredikatkan kecuali dalam kaitannya dengan satuan hal: (seperti) seperti obat-obatan terhadap satu obat dan kesehatan hal-hal terhadap kesehatan.”[65]
Sebelum memberi tahu kami apa yang dia maksud dengan definisi seperti itu, dan banyak pengertian lain yang agak samar, al-Kindi masih harus mengeksplorasi, dalam semacam interpolasi yang mengganggu aliran argumen, kontradiksi lebih lanjut yang akan menuntun kita jika kita mempertimbangkan satu sebagai angka, sehingga sebagai kuantitas yang akan menerapkan kesamaan dan ketidaksamaan, ganjil atau genap.[66]
Al-Kindi tampaknya telah menemui jalan buntu. Karena itu, ia perlu melanjutkan dan melengkapi argumennya:
Unsur (rukn) sesuatu dari mana benda itu dikonstruksi, yaitu dari mana benda itu dikomposisi, bukanlah benda itu sendiri. Itu seperti partikel fonetik yang darinya ucapan tersusun bukanlah ucapan itu sendiri, karena ucapan adalah suara yang tersusun, bunyi konvensional gabungan, yang menunjukkan sesuatu secara temporal, sedangkan partikel fonetik adalah suara alami dan tidak tersusun. Oleh karena itu, jika angka terdiri dari unit-unit, seperti yang disepakati semua, “satu” menjadi elemen dasar (rukn) angka dan karenanya, bukan merupakan angka.”[67]
Rumusan ini menyatakan bahwa “satu” adalah sesuatu yang mendasari dirinya dengan sifatnya sendiri (satu adalah suatu bentuk identitas matematik) sehingga merupakan suatu unit yang bersifat prinsip. Dengan begitu, ukuran/besaran adalah sesuatu yang dengannya kuantitas diketahui; sedangkan jumlah dari kuantitas diketahui dengan bilangan dan semua bilangan didasarkan pada suatu “unit satuan”. Oleh karena itu, semua kuantitas didasarkan pada satu, yang dikenal sebagai identitas dari jumlah; sehingga merupakan titik awal dari angka.
Hal ini menimbulkan paralelisme, dalam artian bahwa satu sebagai unit dasar dari suatu ukuran atau bilangan, sehingga bukan merupakan bilangan, tetapi secara bersamaan satu merupakan identitas dasar atau titik awal dari suatu bilangan. Paralelisme memunculkan juga poin lebih lanjut: ukuran selalu homogen dengan hal yang diukur, seperti bunyi-bunyian yang diartikulasikan dari sebuah kalimat, dalam contoh yang diberikan oleh al-Kindi. “Demikian pula, satu tidak harus berupa angka, karena itu adalah elemen/prinsip yang diakui menyusun suatu bilangan. Alih-alih, lebih tepatnya, karena angka terdiri dari unit-unit, sehingga satu adalah unit satuan[68].” Akibatnya, al-Kindi dapat mendefinisikan angka sebagai “suatu susunan unit (nadzm al-waḥdaaniyyaat), kumpulan unit, dan kombinasi unit.[69]
Setelah menunjukkan bahwa satu bukan angka, al-Kindi menyimpulkan bagian pertama bab ini dengan melingkar secara penuh[70]: bagian itu dibuka dengan pernyataan pendahuluan yang menyatakan bahwa tidak ada predikat yang diterapkan pada kuantitas, seperti besar dan kecil, panjang dan pendek, atau banyak dan sedikit, dapat dipredikatkan secara absolut. Mereka selalu dipredikatkan dalam kaitannya dengan sesuatu, karena tidak ada yang dikatakan besar atau kecil hanya dalam dirinya sendiri, tetapi dengan mengacu pada sesuatu yang lain. Al-Kindi sekarang menutup dengan komentar yang sama, tetapi memperluas pernyataan aslinya untuk menjelaskan apa yang dia maksud dengan “kaitan” itu:
“Sekarang, tidak ada satu pun dari besar atau kecil, panjang atau pendek, dan banyak atau sedikit yang dipredikatkan secara absolut, (tapi dipredikatkan) secara relatif; dan masing-masing pasangan terkait (bil-idlaafah) satu sama lain hanya dalam genus yang sama, dan tidak pada genus lain. Sebagai contoh, magnitudo, jika itu adalah (predikat) dari tubuh, dapat dihubungkan hanya dengan (magnitudo) dari tubuh lain, dan tidak dengan (dari suatu) area, garis, tempat, waktu, angka, atau (jenis) predikat (berbeda lainnya).”[71]
Kita dapat membandingkan tubuh dengan tubuh, area dengan area, waktu dengan waktu, tetapi orang tidak dapat mengatakan, ketika berbicara dengan benar, bahwa tubuh lebih panjang dari permukaan. Untuk jumlah, yang merupakan kuantitas diskrit, hal yang sama akan berlaku. Oleh karena itu, al-Kindi menyimpulkan, tanpa bentuk transisi lain, bahwa Sang Esa Sejati (al-waaḥid bil-ḥaqiiqa) tidak rentan untuk berhubungan dengan sesuatu dari genus yang sama, dan bahkan tidak memiliki genus sejak awal.[72]
“Karena itu, telah diperjelas apa yang telah kami ajukan, bahwa Sang Esa Sejati (al-waaḥid al-ḥaqq) tidak dapat dihubungkan dengan genus yang serupa dengan-Nya, bahkan Ia tidak memiliki genus yang sama dengan-Nya sejak awal. Oleh karena itu, Sang Esa Sejati tidak memiliki genus sama sekali. Dan kami telah menyatakan bahwa yang memiliki genus tidak abadi, dan yang abadi tidak memiliki genus. Konsekuensinya, Sang Esa Sejati itu kekal dan sama sekali tidak akan pernah menjadi berbilang sama sekali, dan tidak pernah berkembang biak dalam spesies apa pun.”
Pernyataan itu mengulangi uraian tentang yang kekal pada awal bab 2[73], yang sekarang mengambil makna penuhnya, seperti yang kita lihat di sini, diterapkan langsung pada Sang Esa Sejati. Penjelasan tentang sifat Sang Esa Sejati, yang mencerminkan setiap aspek dari uraian tentang sifat kekal dalam bab 2, disampaikan berikutnya.
10.2.        Sang Esa Sejati Tidak Dipredikatkan Secara Sama dengan Dipredikatkannya pada Keberadaan Lain
“(Sang Esa Sejati) tidak dikatakan “esa” dalam hubungannya dengan sesuatu yang lain, karena Dia tidak memiliki materi, yang melalui materi itu Dia akan dibagi, atau bentuk yang terdiri dari genus dan spesies – karena  hal-hal seperti itu berbilang melalui penyusunnya – tidak ada kuantitas sama sekali, juga tidak memiliki kuantitas, karena hal yang seperti itu juga dapat dibagi, karena setiap kuantitas atau segala sesuatu yang memiliki kuantitas, dapat meningkat dan menurun. Hal yang bisa dikurangi adalah yang dapat dibagi dan hal yang dapat dibagi dapat diperbanyak dengan cara tertentu.
Telah dikatakan bahwa kebanyakan ada dalam setiap predikabel dan dalam apa yang melekat padanya, termasuk genus, spesies, individu, perbedaan spesifik, properti, aksiden umum, semua, sebagian, dan keseluruhan. Demikian juga, “satu” dipredikatkan dari setiap hal itu dan oleh karena itu, Sang Esa Sejati bukanlah semua (yang disebutkan) itu.”[74]
Dengan demikian, bagian kedua dari bab ini mengulas semua aspek realitas yang dikatakan “satu” tetapi yang tidak dapat dipredikatkan pada Sang Esa Sejati, karena kesatuan yang melingkupi mereka selalu bercampur dengan kebanyakan tertentu. Ini adalah tema yang telah kita temui di Bab 3.
Setelah menyebutkan semua cara “satu” dipredikatkan, al-Kindi merekapitulasi seluruh diskusi. Dalam perjalanan diskusi ia menyebutkan, di antara hal-hal yang pada dasarnya disebut satu “karena substansi mereka adalah satu”, yang secara analog satu karena “mereka terkait dengan satu [hal] (nisbatuhaa waaḥidun), seperti hal-hal medis yang semuanya terkait dengan obat-obatan”. Dengan demikian, itu menggemakan definisi yang telah diberikannya di atas tentang “satu” menjadi angka hanya secara samar-samar, karena angka dipredikatkan dalam kaitannya dengan satu hal. Yang diperhitungkan adalah jenis kesatuan yang terjadi melalui hubungan dengan satu realitas yang sama. Jenis kesatuan yang sama melekat pada bentuk-bentuk keberadaan yang berbeda, yang terkait dengan substansi.[75]
Al-Kindi tampaknya memikirkan hal itu ketika menutup bagian ini: “Jelaslah bahwa keberadaan (huwiyyah) dipredikatkan terhadap setiap hal yang penyebabnya adalah ‘satu’. Dengan demikian, keberadaan dipredikatkan pada apa yang dienumerasi oleh spesies ‘satu’.[76]” Di sini, ia juga membuka jalan untuk kesimpulan dari bab ini, di mana Sang Esa Sejati dianggap memberikan eksistensi dan kesatuan kepada makhluk.
10.3.        Sang Esa Sejati di atas dan di luar Segala Deskripsi
Bab ini memuncak dalam apa yang tampak seperti sepotong teologi negatif yang menyangkal atribut dari Sang Esa Sejati sama sekali. Kesatuan dan kesederhanaan mutlak dari Sang Sejati menghalangi setiap uraian tentang sifatnya.
“Dengan demikian, telah diperlihatkan bahwa Sang Esa Sejati bukanlah termasuk predikabel, juga bukan materi, genus, spesies, individu, perbedaan spesifik, properti, aksiden umum, gerakan, jiwa, intelek, juga bukan semuanya, sebagian, keseluruhan, atau beberapa, atau juga satu yang terkait dengan sesuatu yang lain. Melainkan, Dia mutlak satu dan tidak mengakui keberagaman. Dia juga tidak tersusun dari banyak [hal] dan tidak berbilang..... Dengan demikian, Yang Sejati tidak memiliki materi, gambaran bentuk, kuantitas, kualitas, atau hubungan, juga tidak dapat dijelaskan oleh salah satu dari predikabel lainnya: ia tidak memiliki genus, perbedaan spesifik, individu, properti, atau aksiden umum. Dia tidak bergerak dan tidak dideskripsikan oleh hal-hal apa pun yang ditolak menjadi satu yang sejati. Karena itu, Dia adalah satu-satunya kesatuan murni (wahdah faqaṭ madl), yang saya maksud tidak lain adalah kesatuan, dan setiap “satu” selain Dia, pasti berlipat ganda (satu yang tidak sejati).”[77]
Sekilas, kesimpulan tersebut tampak dipengaruhi oleh konsep-konsep Neoplatonisme dan kalam Mu’tazilah. Namun, kemustahilan deskripsi dari Sang Esa Sejati dan akibat wajar yang diharuskannya, yaitu ketransendenan absolutnya, tidak mencegah al-Kindi untuk mempertimbangkan Sang Esa Sejati sebagai penyebab kesatuan (dalam makhluk) dan juga keberadaan segala sesuatu. Sesungguhnya, Sang Esa Sejati adalah satu-satunya yang esa secara esensi. Oleh karena itu, kesatuan, karena berupa aksiden dalam semua keberadaan lain, tidak hanya berbeda secara radikal dari Sang Esa Sejati, tetapi juga memerlukan Sebab Pertama dari kesatuan untuk menghindari regression ad infinitum “karena tidak mungkin hal-hal menjadi benar-benar tak terbatas”.
“Oleh karena itu, penyebab pertama kesatuan dalam hal-hal yang dibuat satu (al muwaḥḥadaat) adalah Sang Esa Sejati, yang tidak memperoleh kesatuan dari yang lain (memiliki keesaan sejati), karena tidak mungkin hal-hal membagikan kesatuan satu sama lain menjadi tidak terbatas sejak awal. Maka, penyebab kesatuan dalam hal-hal yang dibuat satu adalah, selayaknya, Sang Esa Sejati, Yang Pertama. Dan segala sesuatu yang menerima kesatuan pastilah disebabkan (ma’luul). Setiap kesatuan selain Sang Esa Sejati adalah satu secara metaforis dan bukan satu yang sejati (al-waaḥid bil-majaaz laa bil-ḥaqiiqa). Setiap kesatuan yang ditimbulkan (kesatuan metaforis) berpindah dari kesatuannya menuju ketiadaannya (ghayr huwiyyatihi). Maksudnya, itu tidak berbilang sejauh ia ada, tetapi ia berbilang dan tidak mutlak satu, yang tidak memperbanyak diri sama sekali dan bukanlah kesatuannya selain eksistensinya.”[78]
Bagian yang sulit ini menandai awal dari kesimpulan yang menjadi tujuan seluruh risalah, atau lebih tepatnya seluruh bagian pertama “Fil Falsafah al-Ula”. Al-Kindi membawa berbagai tesis yang telah ia kembangkan dalam bab-bab sebelumnya dalam banyak langkah menuju kesimpulan akhir ini, di mana konsep-konsep Neoplatonisme tumpang tindih dengan tuntutan-tuntutan teologi Muslim, memberikan ruang untuk sintesis yang kompleks dan asli.
Telah ditunjukkan bahwa kesatuan dan kebanyakan tidak dapat dipisahkan dalam semua hal yang masuk akal, dan al-Kindi telah mengisyaratkan pada akhir bab 3, bahwa penyebab asosiasi kesatuan dan kebanyakan harus menjadi penyebab “yang lebih tinggi dan mulia” yang berbeda yang akan menjadi kesatuan murni. Sekarang dikemukakan bahwa penyebab seperti itu adalah Sang Esa Sejati dan yang hampir tidak dapat dipredikatkan, yang kesatuannya tidak diperoleh dari hal lain berdasarkan prinsip kemustahilan regression ad infinitum seperti yang telah ditunjukkan pada Bab 2. Dengan demikian, segala sesuatu yang lain yang menerima kesatuan disebut “satu” secara metaforis, yang memerlukan Sang Esa Sejati untuk memberinya kesatuan, keberadaan, dan keberlangsungannya.
10.4.        Satu Sejati dan Satu Metaforis
Telah diperhatikan bahwa bab keempat bergeser dari pertentangan antara apa yang merupakan “satu secara esensial” dan “satu secara aksidental”, menjadi pertentangan antara “satu yang benar” (al-waaḥid bil-ḥaqq) dan “satu yang secara metaforis” (alwaaḥid bil-majaaz), sudah diperkenalkan pada baris pertama bab ini tetapi lebih banyak muncul dalam kesimpulan.[79] Namun, artinya tidak sama. Apa yang satu secara metaforis bukan hanya “apa yang satu dan yang banyak bersamaan.” Itu adalah yang menerima kesatuannya dari Sang Esa Sejati, dan karenanya dari Allah, seperti yang dijelaskan al-Kindi dalam baris terakhir bab ini:
“Karena apa yang kami maksudkan untuk menjelaskan tentang perbedaan hal-hal yang satu (waahidaat) yang telah ditunjukkan, sehingga Sang Esa Sejati sebagai Donor (agen yang memberi atau menyuplai), Pencipta, dan Penyokong Yang Mahakuasa – juga bukan satu secara metaforis, yaitu yang memperoleh kesatuan dan keberadaan dari Sang Esa Sejati – menjadi jelas, Dia ditinggikan dan diagungkan dari segala atribut bidah.”[80]
Dengan demikian, setiap “satu” yang bukan Sang Esa Sejati adalah efek yang dihasilkan oleh Sebab Pertama. Apa yang ditekankan di sini adalah inferioritas ontologis dari “yang satu secara metaforis” yang diberikan kesatuan dan keberadaan dari Sang Esa Sejati. Dengan kata lain, “yang satu metaforis” bukan hanya apa yang selalu dikaitkan dengan kebanyakan, itu adalah apa yang bergantung, untuk kesatuan, keberadaannya, dan keberlangsungannya, pada Sang Esa Sejati.[81]
Jika dibandingkan dengan risalah lain, di mana al-Kindi mengontraskan Agen Sejati yang tidak dikenai tindakan oleh pihak lain, yang juga Pencipta dan Agen Donor alam semesta dengan “apa yang ada di bawah kuasa-Nya, yaitu, semua makhluk-Nya, yang disebut agen metaforis dan tidak sejati, yaitu yang mendapatkan efek dari tindakan Sang Esa Sejati”. Di luar perbedaan antara apa yang bertindak tanpa dikenai efek tindakan pihak lain dan apa yang bertindak dan dikenai efek tindakan pihak lain, seperti dalam “Fil Falsafah al-Ula”, apa yang sejati pada tempat pertama adalah apa yang pantas bagi Allah, sebagai kontras dari apa yang “di bawah-Nya” dan diciptakan oleh-Nya, yang dapat menjadi agen hanya secara metaforis karena pada kenyataannya, mendapatkan efek dari tindakan pihak lain. Dalam contoh tersebut, ḥaqiiqah bisa merujuk pada realitas, sedangkan majaaz merujuk pada realitas turunan.
10.5.        Satu, Keberadaan, dan Penciptaan
Dengan demikian, kesatuan dalam hal-hal yang masuk akal diperoleh dari Sang Esa Sejati, sehingga merupakan pemberian (atsar) dan aksiden dalam hal yang pada dasarnya berbilang. Gagasan ini adalah salah satu poin utama dari kesimpulan risalah tersebut: Sang Esa Sejati adalah yang membagi kesatuan dengan yang lainnya tanpa memperolehnya dari sesuatu yang lain, menjadi kesatuan murni yang tidak pernah dipengaruhi oleh segala jenis kebanyakan, sehingga merupakan penyebab dari apa yang pada dasarnya berbilang dan bergantung.
Masih ada ide lain yang muncul di sini: kesatuan adalah kondisi keberadaan dalam semua hal yang masuk akal, sedemikian rupa sehingga hal yang kehilangan kesatuannya kehilangan eksistensinya. Sang Esa Sejati bukan hanya prinsip kesatuan, melainkan juga prinsip keberadaan. Dengan kata lain, Sang Esa Sejati menjadikan segala sesuatu ada dengan memberikan mereka kesatuan. Sebelumnya, al-Kindi telah menetapkan bahwa pada Sang Esa Sejati yang juga Sebab Pertama, “kesatuan tidak lain adalah keberadaan (huwiyya).” Dia sekarang membawa ide itu selangkah lebih maju: menjadi “makhluk murni”. Sang Pertama membawa segala sesuatu menjadi ada “melalui keberadaan-Nya sendiri”.
Gagasan semacam itu berasal dari penolakan atribut apa pun pada Sang Esa Sejati, yang dengan demikian direduksi menjadi “hanya menjadi” (al-inniyyah faqaṭ). Secara eksplisit dinyatakan, bahwa Sebab pertama menciptakan “hanya dengan keberadaannya saja (bi-inniyatihi faqaṭ)”. Implikasi yang sama dapat ditemukan dalam konsepsi al-Kindi tentang penciptaan, di baris penutup bab ini, di mana Sang Esa Sejati akhirnya diidentifikasi dengan Sang Pencipta. Namun, konsep religius tentang penciptaan masih diekspresikan dalam istilah-istilah filosofis, meskipun Sang Esa Sejati dan Sebab Pertama menerima beberapa nama Tuhan yang indah.
“Dengan demikian, sebab dari makhluk yang dibawa ke dalam keberadaan berasal dari Sang Esa Sejati, yang tidak memperoleh kesatuan dari donor apa pun, tetapi secara esensial satu. Sementara itu, apa yang dibawa ke dalam keberadaan (yuhawwaa) tidak abadi, dan apa yang ada dan tidak abadi pasti diciptakan (mubda’), yang berarti keberadaannya (tahawwiihi) disebabkan oleh suatu sebab. Jadi, apa yang dibawa ke keberadaan diciptakan, dan karena penyebab keberadaan adalah Sang Esa Sejati yang Pertama, maka penyebab penciptaan adalah Sang Esa Sejati yang Pertama.
Penyebab yang merupakan awal dari pergerakan – maksud saya penggerak yang menggerakkan suatu gerakan – adalah agen penggeraknya. Oleh karena itu, karena Sang Esa Sejati yang Pertama adalah penyebab dimulainya gerakan makhluk-dibawa-menuju-keberadaan (tahawwii), yaitu yang diberikan efek tindakan (al-infi’aal), maka Dialah Pencipta segala sesuatu yang dijadikan ada (jamii’ al-mutahawwiyyaat). Itu karena tidak ada keberadaan kecuali melalui kesatuan yang dikandungnya, dan karena pengadaan kesatuan mereka (tawaḥḥuduhaa) adalah pengadaan keberadaan mereka (tahawwiihaa), maka melalui kesatuanlah semua (yaitu, alam semesta) ada (fa-bil-waḥdah qawaam al-kull), dan jika hal-hal yang diadakan terpisah dari kesatuan, mereka akan kembali dan lenyap (‘aadat wa datsarat) bersamaan dengan perpisahan itu, dalam waktu singkat.”[83]
Dalam risalah ini, Sang Esa Sejati dikatakan sebagai “penyebab awal gerakan dari hal yang dibawa-menjadi-ada,” bukan dari gerakan itu sendiri. Tampaknya itu adalah cara untuk menjaga ketransendenan Sang Pencipta dan Sang Esa Sejati yang memulai gerakan tanpa terpengaruh oleh hukum-hukumnya. Berkat keberadaan dan kesatuan, Sang Esa Sejati menciptakan, menyusun, dan menyokong, melalui keesaan-Nya, sebuah dunia yang Dia tidak berada di dalamnya.
Demikianlah kesimpulan dari “Fil Falsafah al-Ula”, yang tidak memberi tahu kita bagaimana Allah menggunakan kausalitas atas ciptaan-Nya. Sayangnya, terdapat sejumlah fragmen dari risalah tersebut yang hilang, terutama bagian kedua risalah, sehingga isu tersebut tidak dibahas hingga tuntas. Dengan demikian, telah dijelaskan penyebab efisien pertama yang jauh, yaitu Allah, yang sekarang beralih menjadi penyebab efisien yang dekat, untuk menjelaskan kesatuan Allah melalui aktivitas-Nya, yaitu organisasi alam semesta.
11.  Kesimpulan
Bab keempat berakhir dengan nada empati:
“Karena apa yang kami maksudkan untuk menjelaskan tentang perbedaan hal-hal yang satu (waahidaat) yang telah ditunjukkan, sehingga Sang Esa Sejati sebagai Donor (agen yang memberi atau menyuplai), Pencipta, dan Penyokong Yang Mahakuasa – juga bukan satu secara metaforis, yaitu yang memperoleh kesatuan dan keberadaan dari Sang Esa Sejati – menjadi jelas, Dia ditinggikan dan diagungkan dari segala atribut bidah. Mari kita selesaikan bagian ini dan mengikutinya dengan terusan alaminya, dengan bantuan Dia yang memiliki kemahakuasaan penuh, kekuatan sempurna, dan kemurahan hati yang meluap.[84]
Beberapa baris ini memperkuat prolog risalah, yang telah dibuka dengan keberadaan “Sang Esa Sejati, penyebab semua kebenaran”, yang sekarang diidentifikasikan dengan Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta, dan Tuhan Yang Maha Kuasa dari konsep agama. Dengan demikian, Al-Kindi menutup analisis yang ketat, yang menyimpulkan dari keterbatasan dunia yang masuk akal, keberadaan Pencipta dan creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan) dunia. Di antaranya, empat bab dan argumen yang dengan halus dijalin dari tradisi agama dan filsafat yang berbeda yang semuanya tercermin dalam kesimpulan ini: sementara pengertian tentang emanasi, dispensasi, dan kausalitas efisien dari Sebab pertama mencerminkan Neoplatonisme yang memberikan ruang bagi Sang Esa Sejati, Keberadaan Murni, menciptakan melalui keberadaan-Nya saja; konsep gerakan, keberadaan, dan waktu mengisyaratkan kerangka kerja konseptual Aristoteles yang tetap bekerja sepanjang risalah bersama inspirasi Neoplatonisme. Akhirnya, dikotomi majaaz dengan ḥaqiiqa, serta kata-kata terakhir yang menuduh bidah bagi mereka yang melekatkan atribut pada Tuhan, menyinggung latar belakang Mu’tazilah, dengan tanzih merupakan konsekuensi langsung dari tauhid.
Secara sekilas, risalah ini tampak mengakui doktrin Mu’tazilah tentang Tuhan sebagai penggerak yang tidak bergerak, seperti di bahas sebelumnya, pada bagian di mana al-Kindi menyatakan bahwa yang abadi tidak bergerak, karena gerak adalah bagian dari perubahan, sedangkan yang abadi tidak berubah.[85] Selain itu, juga dibahas penolakan al-Kindi untuk memberikan atribut atau sifat kepada Tuhan, yang dianggapnya sebagai bidah dan kemungkinan, untuk menjaga ketransendenan dan kesatuan-Nya. Pandangan ini terlihat berkaitan erat dengan pandangan Mu’tazilah yang, demi keabsolutan Tuhan, menolak sifat-sifat untuk-Nya, atau minimal membatasi atribut-atribut yang dapat dipredikatkan pada-Nya.[86]
Namun, terdapat kontradiksi yang mesti dijawab mengenai hubungan al-Kindi dengan Mu’tazilah. Seperti pada bagian awal bab 1 risalah yang memperlihatkan kecaman al-Kindi pada kelompok cendekiawan yang memegang otoritas, yang disinyalir merupakan kalangan Mu’tazilah. Selain itu, pandangan al-Kindi yang cenderung pada pembahasan keesaan Tuhan dan sikapnya meminimalkan atribut atau sifat yang dipredikatkan pada-Nya bukanlah sesuatu yang hanya unik pada Mu’tazilah. Sejumlah kelompok kalam lain melakukannya, bahkan pembahasan itu menjadi atmosfer mayoritas di Baghdad pada masa itu, bahkan juga sebelum dan sesudahnya. Titik awal analisis al-Kindi cenderung berbeda dengan Mu’tazilah, bahkan juga kebanyakan aliran kalam yang lain. Kebanyakan aliran kalam dan teolog, termasuk Mu’tazilah, mengambil titik berangkat dari Quran dan tradisi, kemudian menggunakan berbagai metode dan perangkat yang ada, bagi Mu’tazilah sepenuhnya nalar, untuk membenarkan doktrin yang mereka dasarkan pada titik berangkat tadi. Sementara itu, al-Kindi tampak memulai langsung dari literatur dan tradisi filsafat, baru kemudian mengakomodasinya ke doktrin agama untuk mencapai koherensi afirmasi filosofis dari kebenaran.[87]
Selain itu, al-Kindi tidak sepenuhnya menolak sifat atau atribut bagi Tuhan, seperti pembahasan tentang bagian akhir bab empat sebelumnya. Pada bagian tersebut, al-Kindi mengaitkan konsep Sang Esa Sejati sebagai Sebab Pertama dengan konsep Sang Esa Sejati sebagai Agen Donor (agen yang memberi atau menyuplai), Pencipta, dan Penyokong Yang Mahakuasa, yang memberikan kesatuan, keberadaan, dan keberlangsungan (tsabat) pada segala keberadaan dengan kesatuan metaforis/aksidental.[88] Itu berarti, ia masih memberikan ruang bagi sifat Tuhan. Selain itu, pandangan tentang Tuhan sebagai agen yang menyuplai kesatuan, keberadaan, dan keberlangsungan makhluk sebenarnya memiliki sisi yang bertentangan dengan pandangan Tuhan sebagai penggerak yang tidak bergerak (dalam artian tidak terlibat secara langsung dalam berjalannya alam semesta, hanya terlibat dalam penciptaan atau penyebab awal). Itu karena, seperti yang telah dibahas, semua hal yang tidak satu sejati memperoleh kesatuan dari pihak lain (agen) atau menerima efek dari tindakan agen, dan bahwa keberadaan sesuatu ada bersama dengan kesatuannya, bila kesatuannya hilang, keberadaannya juga musnah. Dengan demikian, setiap keberadaan makhluk memerlukan pemberian terus menerus dari Agen Donor agar dapat tetap ada, sehingga sesuai dengan konsep Tuhan sebagai agen yang – tidak hanya memberikan kesatuan dan keberadaan – tetapi juga menjaga keberlangsungan sesuatu. Dan karena keberadaan makhluk ada dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga Hari Akhir atau suatu batas ajal, maka Tuhan sebagai agen donor pastilah terus-menerus menyediakan dan menjaga keberadaan dan keberlangsungan masing-masing dari mereka. Dengan kata lain, Tuhan yang bertindak sebagai agen yang demikian adalah Tuhan yang terlibat langsung dalam berjalannya alam semesta, sehingga Tuhan bergerak. Bagian pelik ini mungkin dapat diperjelas jika bagian yang hilang dari risalah tersebut ditemukan.
Bagaimanapun, upaya al-Kindi dalam menghadapi tantangan zamannya, di mana peradaban Islam tengah bersentuhan dengan berbagai peradaban lain seiring meluasnya wilayah, termasuk Yunani, melalui usaha pembuktian keesaan Tuhan menggunakan filsafat,  sembari tetap mempertahankan doktrin bahwa alam semesta tidak kekal, memiliki awal dan akhir, serta diciptakan, patut dihargai dengan layak. Eklektisme al-Kindi, termasuk integrasi pertanyaan-pertanyaan teologis dalam jalinan filsafat rasional, telah memberikan pengaruh yang besar dalam perkembangan keilmuan di dunia Islam, salah satunya dalam pembahasan tauhid sebagai konsep pokok dalam Islam.
Yang masih harus dilakukan adalah melacak pengaruh al-Kindi pada tradisi filsafat Aristoteles utama yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd. Para pemikir itu sejauh ini, kontras dengan al-Kindi dalam tren ini, meskipun mereka adalah pewaris tradisi yang telah ia “resmikan”, yaitu integrasi filsafat Yunani ke dalam pembentukan pemikiran filosofis Arab asli. Eklektisismenya dan keterlibatannya dengan teologi Muslim secara bersamaan memberikan suatu orisinalitas yang nyata, telah memberikan kontribusi untuk memisahkannya dari tokoh-tokoh utama filsafat Islam lainnya.
Namun, ia telah membahas masalah-masalah yang kemudian diambil alih dan dikembangkan oleh tradisi ini, bahkan dalam arah yang berlawanan, seperti pertanyaan tentang penciptaan dunia atau kesatuan prinsip pertama. Mencoba untuk menggali pengaruhnya, bahkan ketika namanya tidak disebutkan, akan berkontribusi untuk mengintegrasikannya kembali sebagai bagian dari tradisi yang telah ia mulai dan yang mungkin mengandung jejaknya lebih dari yang telah diakui.


[1] Alfred Lyon Ivry. Al-Kindi’s “First Philosophy” And Cognate Texts: Translation And Commentary (Oxford: Bodleian Library, 1970) hal.2-6.
[2] Nadim, Abul-Faraj Muhammad b. Ishaq al. (Fihrist) 1871. Kitab al-Fihrist. Ed. G. Flügel. Leipzig: Vogel
[3] Nadim, Op. Cit.
[4] Al-Kindi dalam “Fil Falsafah al-Ula” berdasarkan naskah versi Muhammad Abdul Haadi Abu Riidah, Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah (Kairo: Daarul Fikri al-Arabiy, 1900), hal.14
[5] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.162
[6] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.103
[7] Al-Kindi dalam “Fil Falsafah al-Ula” berdasarkan naskah versi Muhammad Abdul Haadi Abu Riidah, Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah (Kairo: Daarul Fikri al-Arabiy, 1900), hal. 103.
[8] Ivry, Ibid., hal.11-21
[9] Ivry, Ibid., hal.16-18
[10] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal. 114
[11] Nadim, Ibid., hal.256
[12] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal. 111
[13] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.102
[14] Ivry, Ibid., hal.120
[15] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.97-98
[16] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.97-98
[17] Ivry, Ibid., hal.124
[18] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.101
[19] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.172-173 dan Ivry, Ibid., hal.125
[20] Ivry, Ibid., hal.121
[21] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.102
[22] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.104
[23] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.104
[24] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.111
[25] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.106
[26] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.107
[27] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.109
[28] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.110
[29] Ivry, Ibid., hal.139
[30] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.109
[31] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.113
[32] Ivry, Ibid., hal.142-143
[33] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.114
[34] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.114
[35] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.114
[36] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.116
[37] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.117
[38] Ivry, Ibid., hal.157
[39] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.119-120
[40] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.120
[41] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.204
[42] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.120
[43] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.121
[44] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.119
[45] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.120
[46] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.111
[47] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.111
[48] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.123
[49] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[50] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[51] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.126
[52] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.128
[53] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.132
[54] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.132
[55] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.140-141
[56] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.142
[57] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[58] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[59] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[60] Ivry, ibid., hal.179
[61] Ivry, Ibid., 181
[62] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.146-147
[63] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.147
[64] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.147
[65] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.147
[66] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.147-149
[67] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.149
[68] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.150
[69] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.150
[70] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.151-152
[71] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.151
[72] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.153
[73] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.113
[74] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.153
[75] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.159-160
[76] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.160
[77] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.160
[78] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.161
[79] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143 dan 161-162
[80] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
[81] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.183
[82] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
[83] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
[84] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
[85] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.111 dan 160
[86] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.160. Lihat juga Ivry, ibid., hal.63.
[87] Ivry, Ibid., hal.63-66
[88] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan