La Unidad de Dios dalam “Tentang Filsafat Pertama”
Pembahasan Keesaan Tuhan Menurut al-Kindi dalam “Fil Falsafah al-Ula”
Artikel ini ditulis sebagai pengantar analisis dalam proyek penerjemahan “Fil Falsafah al-Ula”. Setiap kutipan terjemahan risalah tersebut merupakan hasil terjemahan pribadi penulis berdasarkan naskah Abu Riidah, kecuali dinyatakan sebaliknya. Dapat terjadi ketidakcocokan interpretasi dengan naskah akademik lain yang ditulis tentang al-Kindi.
M
Miftahul Firdaus
Abu
Yusuf Yaqub bin Ishaq as-Sabah al-Kindi (185 H / 801 M – 252 H / 870 M), yang
sering disebut sebagai “filsuf bangsa Arab”, besar di Kufah, tempat ayahnya
menjadi gubernur, dalam keluarga yang tergolong sebagai bangsawan. Dia memegang
posisi penting dalam dewan khalifah di masa al-Ma’mun (198/813-218/833) dan al-Mu’tashim
(218/833-227/842). Nama terakhir juga menunjuknya sebagai pembimbing bagi
anaknya, Ahmad. Namun, dia mengalami kejatuhan pada masa al-Mutawakkil
(232/847-247/861), karena menjadi korban intrik rivalnya, Banu Musa, atau
karena dianggap berpaham Mu’tazilah.[1]
Al-Kindi
secara tepat digambarkan sebagai seorang polimat dan cendekiawan universal yang
dijiwai dengan semangat penulisan ensiklopedia, yang merupakan karakteristik
Baghdad awal abad ke-9, yang menumbuhkan gerakan penerjemahan. Terdapat kurang
lebih 250 judul risalah yang ditulisnya menurut “Kitab al Fihrist” an-Nadim.[2]
Tulisan-tulisannya menunjukkan rentang minat yang luar biasa luas, dengan
sekitar 50 di antaranya didedikasikan untuk filsafat. “Fil Falsafah al-Ula” bisa dibilang sebagai yang paling penting dan
paling terkenal.
1.
Judul
Risalah
itu mengusung judul lengkap “Kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim billah Fil Falsafah
al Ula” (Buku al-Kindi untuk al-Mu’tashim billah tentang Filsafat Pertama).
Al Kindi sendiri merujuknya dengan judul yang lebih pendek, Fil Falsafah al-Ula, dalam risalahnya “Fil
Ibaanah ‘an Sujuud al-Jirm al-Aqsha wa Tha’atihi li-Allaah ‘Azza wa Jall” (Tentang
Penjelasan atas Sujud dan Ketaatan Benda-Benda Terluar kepada Allah Yang
Mahakuasa dan Maha Tinggi), juga dalam “Fil Ibaanah ‘an al-’Illah al-Faa’ilah
al’Qariibah lil Kawn wal Fasaad” (Tentang Penjelasan atas Penyebab Aktual
Langsung dari Generasi dan Deteriorasi) dan pembukaan “Fil Shinaa’a al-’Udzmaa”
(Tentang Seni Berpikir yang Agung).[3]
Filsafat
pertama merupakan sebutan Aristoteles tentang filsafat teoritis. Namun, al-Kindi
memandang filsafat pertama sebagai suatu teologi, walau tentu saja berbeda
dengan teologi Aristoteles. Teologi Aristoteles mengambil dasar logika dalam
konteks alam semesta abadi yang diatur dalam gerakan oleh suatu kehendak objek
primer. Sementara itu, dalam bab kedua risalah itu, al-Kindi mencoba membuktikan
bahwa alam semesta tidak abadi, tetapi diciptakan. Bagi al-Kindi, filsafat
pertama adalah sains tentang Sebab Pertama, yang menjadi sebab waktu, juga
sebagai sains tentang Kebenaran Pertama, yang menyebabkan semua kebenaran.
Hal
itu dinyatakan dalam pembukaan dan diulangi pada kesimpulan risalah, yang
diakhiri dengan penjelasan atas Sang Esa Sejati, Sang Pencipta Yang Mengawali, dan
Sebab Kreasi. Dengan demikian, Sang Esa Sejati adalah Allah Yang Mahakuasa dari
agama yang diwahyukan, sementara henologi bab keempat risalah diakhiri dengan
deskripsi tindakan kreatif dari Sang Esa Sejati, yang bisa dibilang juga dipengaruhi
inspirasi Neoplatonisme dalam jalinan konsep-konsep religius dan teologis
Muslim pada suatu lembaran yang rumit, yang menempatkan al-Kindi pada
persimpangan tradisi Islam, Aristoteles, dan Neoplatonisme. [4]
2.
Lingkup
dan Struktur
Tentang
Filsafat Pertama adalah salah satu risalah terpanjang al-Kindi yang sampai pada
kita, tetapi tidak secara lengkap. Bab keempat, bab terakhir, berakhir dengan penyebutan,
“Mari kita selesaikan bab (al-fann) ini dan mengikutinya dengan hal yang
alami (dibahas) setelahnya,”[5]
yang diikuti dengan tanda penerbit, “Bagian pertama (al-juz al-awwal)
dari buku Yaqub bin Ishaq al-Kindi selesai,” yang memperjelas bahwa masih ada
bagian lanjutan. Tinjauan silang dengan tulisan-tulisan al-Kindi yang lain juga
menguatkan asumsi itu.
Bertujuan
utama untuk membuktikan keesaan Tuhan, bagian pertama dan satu-satunya yang
tersisa dari risalah itu terdiri atas empat bab yang membentuk satu unit yang
konsisten. Sejak halaman pertama, yang menjelaskan Sang Kebenaran Pertama
sebagai sebab dari semua kebenaran, sampai halaman terakhir yang menutup bagian
pertama tersebut dengan penjelasan Sang Esa Sejati sebagai sebab semua kesatuan
dan eksistensi makhluk, risalah itu memberikan argumen yang sengit dengan
setiap langkahnya membuka jalan untuk pembahasan-pembahasan berikutnya.
Meskipun
ada beberapa perulangan dan gaya yang sering tidak jelas, risalah tersebut
disusun untuk memberikan ruang bagi “henologi” yang berkembang secara progresif
dalam bab tiga dan empat, yang mengarah ke tesis yang menjadi tujuan keseluruhan
risalah tersebut: Sang Esa Sejati, yang merupakan prinsip kesatuan, dan
karenanya juga prinsip keberadaan semua makhluk, di satu sisi, dan Allah yang
sepenuhnya transenden, yang hanya dapat didekati melalui teologi negatif, di
sisi lain, adalah satu dan merupakan prinsip yang sama.
3.
Sumber
dan Metode
Meskipun
ia dipuji karena telah melantik tradisi filosofis dalam Islam, al-Kindi adalah
bagian dari tradisi di mana ia mempertaruhkan klaim, seperti ditunjukkan dari
prolog risalah itu.[6]
“Kita
seharusnya tidak malu menghargai kebenaran dan memperolehnya dari mana pun itu
datang, bahkan jika itu datang dari orang-orang yang jauh dari kita dan
bangsa-bangsa yang berbeda dari kita. Bagi pencari kebenaran tidak ada yang
lebih utama daripada kebenaran. Kebenaran itu tidak akan diminimalkan atau
diremehkan oleh para pencari dan pengusungnya. Kemuliaan seseorang tidak
diturunkan oleh kebenaran. Kebenaran justru memuliakan semuanya.
Adalah
baik bagi kita – karena kita berupaya untuk menyempurnakan spesies kita dan di
dalam (upaya) itu ada kebenaran – untuk mematuhi, dalam buku kita ini, kebiasaan
kita dalam semua subjek (yang telah kita bahas): untuk menyajikan hasil kerja
orang terdahulu tentang hal ini (falsafah) secara lengkap, dengan cara yang
paling langsung dan mudah, sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh mereka
yang akan mengikuti pendekatan ini; dan untuk melengkapi apa yang belum mereka
tuntaskan, menurut kebiasaan bahasa serta penggunaan (konteks) zaman sejauh mungkin
bagi kita; serta sebab yang telah menghambat kita dalam (memahami) hal ini.”[7]
Memang,
nama al-Kindi dikaitkan dengan pergerakan terjemahan karya-karya ilmiah dan
filosofis dari bahasa Yunani ke bahasa Arab, meskipun secara umum diakui bahwa
ia tidak mengenal bahasa Yunani. Dia agaknya “koordinator” sekelompok
penerjemah. Versi Arab dari beberapa karya Aristoteles, termasuk fragmen
penting dari Proclus dan Philoponus, telah diproduksi dalam “lingkaran”
al-Kindi. Luas dan dalamnya aktivitas lingkaran al-Kindi serta beragam sumber
yang diterjemahkan berpengaruh pada karya al-Kindi sendiri, dalam doktrin, metode,
dan gaya. Mungkin lebih dari karya-karyanya yang lain, “Fil Falsafah al-Ula” mencerminkan pengaruh yang telah membentuk
pandangan alam penulisnya.
Tujuan
akhir dari kegiatan pemilihan, penerjemahan, parafrase, dan penataan ulang ini
telah dinyatakan dengan jelas dalam paragraf yang dikutip di atas: (1)
asimilasi filsafat dan sains Yunani; (2) menyelesaikan apa yang tidak dicapai
oleh para filsuf terdahulu dan karenanya mengembangkan metafisika Aristoteles
menjadi sebuah teologi yang menyampaikan interpretasi monoteis dan kreasionis terhadap
sistem Neoplatonisme yang kompatibel dengan kredo Tuhan Yang Esa dan Unik,
tauhid Islam; (3) menciptakan terminologi filosofis dan ilmiah untuk
menempatkan korpus filsafat dan sains Yunani dalam jangkauan komunitasnya
sendiri.
4.
Eklektisisme
Sulit
untuk menempatkan al-Kindi dalam tradisi filosofis yang spesifik. Meskipun
menggunakan sejumlah terminologi yang terlihat mirip terminologi Neoplatonisme,
risalah tersebut tidak dikembangkan dalam struktur Neoplatonisme, Al-Kindi
meminjam henologi Neoplatonisme yang konsisten dengan tauhid Islam, tapi menanggalkan
teori hipostasis dan sistem emanasi. Keberadaan Tuhan yang harus Esa dan
transenden absolut, yang menyediakan keberadaan bagi semua makhluk, sambil
memberikan kesatuan kepada mereka, akan mengarah pada teologi negatif yang
dekat dengan gagasan Mu’tazilah tentang tauhid, serta doktrin tentang Tuhan
yang sesuai dengan Plotinus.[8]
Terdapat
pengaruh dalam risalah tersebut dari Teologi Aristoteles, meskipun lebih lemah
dibandingkan dengan ketergantungan yang lebih signifikan pada fragmen Arab dari
Unsur Teologi Proclus serta
Teologi Platonis. Pengaruh John Philoponus
pada argumen Kindi yang menentang keabadian dunia juga telah disorot, meskipun
struktur argumennya berbeda. Sebaliknya, risalah itu diungkapkan dalam kerangka
kerja Aristoteles yang jelas sejak berangkat secara progresif. Sementara itu, risalah
tersebut terus beroperasi dengan beberapa konsep utama Aristoteles, seperti
kategori dan predikabel, tetapi juga dengan konsep kausalitas, waktu, tubuh,
dan gerak. Selain itu, terdapat pengaruh Metafisika I dan II Aristoteles pada
sambutan pembukaannya. Fisika Aristoteles tampak berpengaruh pula, dan al-Kindi
meminjam dari “De Caelo”, untuk mencapai kesimpulan yang sering kali non-Aristoteles.[9]
Naskah
“Fil Falsafah al-Ula” menguraikan
sintesis yang kompleks dan orisinal dari gagasan Aristoteles, tradisi
Neoplatonisme, serta komentator-komentator Yunani, yang memuncak dengan
demonstrasi kesatuan absolut dari Sebab Pertama, di mana wacana filosofis pada
akhirnya menghasilkan perkembangan teologis, yang diakhiri dengan identitas
dari Sang Esa Sejati secara Neoplatonisme, dengan Sang Pencipta dan Allah Islam
Yang Maha Esa.
5.
Metode
Matematis
Dalam
“Fil Falsafah al-Ula”, juga sejumlah
risalahnya yang lain, al-Kindi menggunakan metode argumentasi geometris yang diinspirasi
oleh Elements Euclides. Pembaca risalah itu akan terkejut oleh penggunaan metode
aksiomatis yang luas, misalnya dalam bab 2, dan pembuktian reductio ad absurdum yang tampak besar dalam metode argumentasi al-Kindi
di seluruh risalah tersebut. Dalam risalah tersebut, ia mencoba membuktikan bahwa
alam semesta berhingga. Kurang lebih, al-Kindi menggunakan pola argumentasi
Euclides: memberikan definisi awal suatu istilah utama, kemudian menuliskan
satu-persatu “premis pertama yang benar dan langsung dapat dipahami”[10],
dengan kata lain aksioma, dan akhirnya melanjutkan ke pembuktian dengan deduksi
yang sering mengikuti argumen reductio ad
absurdum.
Al-Kindi
sendiri adalah seorang saintis dan matematikawan yang, menurut “Kitab al-Fihrist” an-Nadim, menulis sedikitnya
enam puluh risalah matematika dalam empat cabang[11],
termasuk sejumlah komentar terhadap “Elements” Euclides. Namun, yang menarik
di sini adalah penerapan metode geometri untuk penyelidikan filosofis. Perlu
dicatat bahwa dalam bab kedua “Fil Falsafah al-Ula”, ia menetapkan
secara eksplisit pemeriksaan matematis (al-faḥṣ al-ta’limi / al-faḥṣ
al riyaḍli) sebagai metode investigasi yang paling tepat untuk “hal
imaterial”[12], yaitu
metafisika. Filosofi al-Kindi ditulis dalam bentuk geometris secara paradoks
untuk mencapai, melalui bukti geometris yang kuat tetapi tekun, kebenaran “sains
ilahi” (al-’ilm al-ilahi) yang langsung dapat diakses oleh nabi.
6.
Pembuatan
Terminologi Filsafat
Bagian
awal risalah sedikit menyiratkan keraguan akan kesadarannya untuk menjadi filsuf
pertama yang menulis dalam bahasa Arab. Para filsuf terkemuka yang ia panggil sebagai
pendahulunya yang tidak berbagi bahasanya (al-mubarrizin min al-mutafalsifiin
qablana, min ghayr ahl lisaaninaa)[13].
Hal itu menempatkan dia sebagai pewaris langsung tradisi filsafat Yunani dan
memikul beban yang diuraikannya dalam pengenalan risalah: yaitu, untuk
menyajikan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu secara utuh dan
untuk melengkapi apa yang belum mereka tuntaskan, “menurut kebiasaan bahasa serta
penggunaan (konteks) zaman.”
Bahasa
adalah jantung dari usaha al-Kindi dalam transmisi filsafat dan ilmu
pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, karena ia sendiri menekankan dengan
terus-menerus merujuk pada komunitasnya sendiri, dalam konteks itu, sebagai “orang-orang
yang berbicara bahasa kita” (ahl lisaaninaa). Al-Kindi adalah pemimpin kelompok
penerjemah yang dikenal lewat ungkapan dan terminologi yang unik, misalnya,
dengan menggunakan kata-kata pinjaman atau transliterasi langsung dari bahasa
Yunani, pembentukan neologisme, dan gaya yang sering kasar yang mencerminkan
konstruksi gaya Yunani.
Inniyyah tampaknya setara
dengan huwiyya, dan mereka sering digunakan secara bergantian, meskipun
yang kedua, berasal dari kata ganti huwa, kadang-kadang dimaknai sebagai
“entitas”, suatu ipseity. Yang lebih tidak biasa adalah tahawwii atau ta’yiis
untuk “tindakan mewujudkan”. Yang terakhir ini berasal dari ays, yang juga
merujuk pada keberadaan khusus, tetapi yang, seperti inniyya dan huwiyya,
dapat menandakan keberadaan secara umum, khususnya bertentangan dengan lays
yang digunakan sebagai makna substantif ketiadaan, khususnya dalam bab tiga.[14]
7.
Prolog
Risalah
dibuka dengan mengikuti struktur yang jelas. Pertama, pujian dan pembelaan
terhadap filsafat yang membenarkan praktiknya sebagai bagian dari studi tentang
“sains tentang Sebab Pertama,” dianggap sebagai bagian paling mulia dari
filsafat. Ini juga meletakkan poin utama yang akan dikembangkan sepanjang
risalah. Lalu, program dan metode: filsuf harus bekerja di atas hasil para
filsuf terdahulu, yang telah membuka jalan dalam penelitian tentang kebenaran,
dan untuk mengejar dengan cara yang sama dalam rangka mengembangkannya.
7.1.Apa Itu Filsafat Pertama?
Setelah
dedikasi kepada khalifah al-Mu’tashim billah, bab pertama dibuka dengan
definisi “seni filsafat” sebagai “seni manusia tertinggi” dan “yang termulia dalam
peringkat”, dengan definisi sebagai “pengertian tentang pengetahuan sifat
sejati segala sesuatu, sejauh mungkin ia dapat digapai oleh manusia”.[15]
“Tujuan
dari para filsuf, sebagaimana pengetahuannya sendiri, ialah untuk memperoleh
kebenaran dan sebagaimana perbuatannya sendiri, ialah berbuat dengan penuh
kebenaran. Bukan karena pencarian itu tanpa akhir sehingga kita menjadi hampa
dan amal menjadi luntur saat kita sudah mencapai kebenaran itu.
Kita
tidak dapat menemukan kebenaran yang kita cari tanpa menemukan sebab. Sebab
dari keberadaan dan keberlangsungan segala sesuatu tiada lain adalah Sang Esa
Sejati, sehingga setiap yang memiliki keberadaan memiliki kebenaran untuk ada.
Oleh karena Sang Esa Sejati itu ada, segala sesuatu menjadi wujud.
Filsafat
paling mulia dan tingkat paling tinggi ialah Sang Filsafat Pertama, yaitu
pengetahuan tentang Sang Kebenaran Pertama yang menjadi sebab semua kebenaran.
Oleh karena itu, sangat benar jika dikatakan bahwa filsuf yang paling mulia dan
sempurna ialah ia yang memahami secara penuh pengetahuan yang paling mulia
tersebut. Hal itu karena pengetahuan tentang sebab lebih mulia dari pengetahuan
tentang akibat. Itu disebabkan kita baru memiliki pengetahuan lengkap tentang
setiap objek pengetahuan hanya saat kita telah memperoleh pengetahuan penuh
tentang penyebabnya.”[16]
Seperti
yang telah diamati, al-Kindi tampak mengikuti pendekatan eklektik[17]:
sambil meminjam terutama dari Metafisika I dan II Aristoteles, definisi keseluruhan
tampaknya juga diilhami oleh prolog komentar Aleksandria terhadap “Isagoge”
Porphyre yang biasa memulai dengan “penjelasan awal tentang apa itu filsafat
secara umum,” termasuk penjabaran enam definisi filsafat yang berbeda, pembagian
filsafat antara teori dan praktik, serta uraian empat penyebab Aristoteles
(materi, bentuk, efisien, dan final) dikombinasikan dengan empat pertanyaan
epistemologi, “apakah”, “apa”, “yang mana”, dan “mengapa”.[18]
Sebenarnya,
dalam sejumlah risalahnya yang lain, al-Kindi memberikan rangkaian enam
definisi filsafat, yang diilhami oleh para komentator Neoplatonisme (al-falsafah,
ḥaddahaa al-qudamaa’ bi ‘iddat ḥuruuf), tetapi tidak secara persis sesuai
dengan daftar yang biasa mereka hasilkan. Definisi “Fil Falsafah al-Ula” mendekati definisi keempat yang menganggap filsafat
dari sudut pandang keunggulannya sebagai seni dari semua seni dan sains dari
semua sains, serta yang terakhir yang mencirikan filsafat sebagai “pengetahuan
tentang hal-hal yang abadi dan universal, tentang keberadaan mereka (inniyyaatuhaa),
hakikat mereka (maa’iyyaatuhaa), dan penyebabnya, menurut kapasitas
manusia). Yang patut dicatat bahwa pembagian yang sama antara filsafat teoretis
dan praktis juga terjadi dalam prolog “Fis Ṣinaa’a l-’udzmaa”, di mana
ia terinspirasi oleh kata pengantar Ptolemeus dalam “Almagest”.[19]
Namun,
sumber inspirasi utama al-Kindi dalam risalah ini tetaplah deskripsi filsafat
Aristoteles dalam Metafisika II, sebagai “pengetahuan tentang kebenaran” yang ia
baca dalam terjemahan Asṭaath sebagai ‘ilm al-ḥaqq dan dipahami sebagai pengetahuan
tentang sifat tertinggi dari segala sesuatu dan prinsip pertama keberadaan.
Perlu dicatat bahwa al-Ḥaqq dan al-Awwal termasuk di antara
nama-nama Tuhan, yang memungkinkan al-Kindi untuk mengidentifikasi filosofi dan
teologi pertama sebagai “ilmu tentang Kebenaran Pertama yang merupakan penyebab
dari semua kebenaran,” menjadi “penyebab keberadaan dan stabilitas dari semua
hal,” sehingga mendamaikan kepercayaan agama pada Kebenaran Tertinggi dengan
doktrin pengetahuan Aristoteles dalam pencarian sebab.
Dengan
demikian, filsafat pertama yang didefinisikan sebagai “ilmu tentang Kebenaran Pertama”
akan ditentukan sebagai “ilmu tentang Sebab Pertama”[20]
mengingat bahwa semua isi filsafat dimasukkan dalam ilmu tentang Sebab Pertama,
yang dengan demikian, pertama dalam kemuliaan, pertama dalam genus, pertama
dari sudut pandang kepastian ilmiah, juga pertama dalam waktu, karena Sebab Pertama
adalah penyebab adanya waktu (naskah ini menggemakan kata pengantar dari Teologi
Aristoteles, tapi juga mereproduksi pola Neoplatonisme akhir dari dimasukkannya
semua ilmu teoritis dalam metafisika). Kausalitas dalam waktu adalah petunjuk
lebih lanjut menuju teori penciptaan dan penolakan keabadian dunia yang menjadi
bahasan bab berikutnya. Definisi semacam itu menyimpulkan bagian pertama dari
prolog, membenarkan judul keseluruhan risalah, dan memberikan orientasi
keseluruhan naskah.
7.2.Asimilasi Filsafat Yunani
Selanjutnya,
al-Kindi memaparkan program dan metode yang telah kita bahas di atas: untuk
membangun penyelidikan atas hasil orang-orang Yunani dan mengejar kebenaran
dengan cara yang sama untuk memperluasnya. Al-Kindi menyusun sejarah kumulatif
pengetahuan: kita harus berterima kasih kepada semua yang berkontribusi sebelum
kita pada kebenaran, bahkan jika sedikit. Mereka telah menjadi “pelopor dan
rekan kita” karena mereka membagikan kepada kita produk dari pikiran mereka dan
memfasilitasi kita dengan penyelidikan-penyelidikan mereka.
“Jika
mereka tidak pernah hidup, prinsip-prinsip tersembunyi yang dengannya kita
telah dididik untuk mencari kesimpulan tersembunyi dari penyelidikan kita tidak
akan dapat dikumpulkan untuk kita, bahkan dengan penelitian intensif sepanjang
waktu kita. Namun, memang ini semua telah dikumpulkan sejak masa lampau, zaman
demi zaman hingga saat ini, disertai dengan penelitian intensif, ketekunan yang
diperlukan, dan cinta terhadap kerja kerasnya. Hal itu tidak dapat dikumpulkan
dalam masa hidup satu orang saja. Bahkan jika masa hidupnya diperpanjang,
penelitiannya intensif, wawasannya halus, dan dia gandrung atas kegigihan, dia
tetap tidak akan dapat mengumpulkan semuanya sendirian.”[21]
Faktor
waktu yang menambah sejarah kumulatif pengetahuan, ide tentang kemajuan ilmiah
menuju suatu tujuan, tidak ada dalam gagasan Aristoteles. Ini tampaknya
diilhami oleh “Almagest” Ptolemeus.
7.3.Pembelaan atas Filsafat
Pembelaan
terhadap filsafat Yunani dipertaruhkan sebagai momen dasar dalam sejarah
kemajuan ilmiah, menuju kebenaran yang tidak bertentangan dengan wahyu yang
dibawa oleh para nabi. Sebaliknya, keduanya berbagi konten yang sama, dengan al-Kindi
menyatakan beberapa baris di bawah ini.[22]
“Dalam
pengetahuan tentang sifat sejati segala sesuatu ada pengetahuan tentang keilahian
(‘ilm ar-rubuubiyyah), kesatuan (‘ilm al-wahdaaniyyah), kebajikan,
dan pengetahuan lengkap tentang segala sesuatu yang bermanfaat beserta
pendekatan terhadapnya. Sementara itu, ada jarak dari sesuatu yang berbahaya
(terhadap keimanan) dengan tindakan pencegahan terhadapnya. Ini adalah anugerah,
semua yang dibawa oleh para utusan sejati dari Allah, alhamdulillah.”[23]
Harmonisasi
semacam itu disertai dengan kecaman yang panjang dan keras terhadap lawan yang tak
disebutkan namanya, yang menentang perolehan pengetahuan tentang hal-hal dalam
sifat sejati mereka dan menyebutnya ketidakpercayaan. Mereka adalah orang-orang
sezaman dengan al-Kindi, “yang telah mengklaim spekulasi untuk diri mereka
sendiri” (al-muttasimuun bin-nadhar fii dahrinaa) dan yang tampaknya
menempati posisi kekuasaan yang tinggi. Dalam mengidentifikasi orang-orang ini,
setidaknya kita dapat menunjuk ke beberapa pihak untuk membantu mempersempit
ruang lingkup pembahasan.
Risalah
ini didedikasikan untuk khalifah al-Mu’taṣhim yang dulunya banyak memberi
kemudahan untuk al-Kindi, dengan mencatat bahwa ia ditunjuk sebagai tutor untuk
putranya Aḥmad. Pada saat itu, ia menduduki posisi tinggi di dewan khalifah.
Orang-orang yang ia kecam tampaknya juga berada dalam posisi kekuasaan dan
wewenang seperti yang dia garisbawahi dengan menggambarkan mereka sebagai orang
yang “mempertahankan takhta palsu yang mereka dapatkan dengan tidak semestinya.”
Tidak
hanya mengklaim bekerja dengan spekulasi (al muttasimuun bin-nadhar),
mereka juga tampaknya menggunakan posisi kekuasaan mereka untuk mencapai
otoritas dalam hal-hal agama yang dengannya mereka berniaga (li-at-tara’-us
wat-tijaarah bid-din). Semua elemen ini tampaknya merujuk pada sekelompok
teolog yang dekat dengan wilayah kekuasaan – yang, pada waktu itu, pastilah
Muʿtazilah – dengan tuduhan “kecemburuan kotor,” yang diajukan oleh Kindi,
tampaknya mengisyaratkan konteks persaingan sengit yang berlangsung di dewan
khalifah. Mengingat keragaman manusia dan doktrin yang menandai periode awal
pergerakan i’tizaal ini, setiap upaya untuk mengidentifikasi mereka menjadi
tidak pasti dan melebihi ruang lingkup tulisan ini.
Patut
dicatat bahwa hal yang diperselisihkan di sini tampaknya adalah kredo dari
keesaan mutlak Tuhan dari pihak yang oposisi terhadap warisan filosofis
orang-orang Yunani. Dua kali selama kecamannya, al-Kindi menyatakan, dalam
pembelaan filsafat, bahwa “pengetahuan tentang hal-hal dalam sifat sejati
mereka” mencakup pengetahuan tentang kedaulatan serta pengetahuan tentang keesaan
(Tuhan). Baris penutupnya menggambarkan dengan cukup fasih tujuan risalah
tersebut sebagai “membangun bukti keilahian-Nya dan penjelasan tentang
keesaan-Nya, serta menghalau musuh-musuh-Nya (al-mu’aaniduun lahu) yang
tidak percaya kepada-Nya. “
Dengan
demikian, risalah itu tampaknya merupakan kontribusi filosofis dalam
diskusi-diskusi teologis pada masa itu mengenai konsep tauhid. Dalam hal ini,
dua elemen patut diingat:
(1) risalah telah beralih menuju kitab tauhid,
seperti yang ditunjukkan pada awal bab tersebut, meskipun al-Kindi selalu
menyebutnya sebagai “Tentang Filsafat Pertama”;
(2) dua karya tulis yang memelihara fragmen risalah
itu berkaitan dengan masalah tauhid: Ibn Ḥazm, yang mencela al-Kindi karena
tidak konsisten ketika menggambarkan Tuhan sebagai penyebab, yang langsung
menyiratkan efek sehingga menghalangi kesatuan-Nya, sementara pada saat yang
sama menyangkal keberagaman dalam Tuhan; lalu Ibn Abd Rabbih, yang membahas
masalah kehendak Allah, karenanya menyinggung kontroversi antara Asyari dan Mu’tazilah
mengenai definisi apakah kehendak Allah adalah atribut dari esensi atau
tindakan.
Meskipun
keduanya mungkin mencerminkan masalah teologis dan filosofis yang terjadi
setelah masa al-Kindi, mereka tetap membangun materi pembahasan dalam “Fil Falsafah al-Ula” yang terkait dengan
masalah tersebut.
8. Pembuktian bahwa Dunia Terbatas
Bab
pertama risalah diakhiri dengan kesimpulan Kebenaran Pertama sebagai Sebab
Pertama yang bukan hanya sebab dari semua kebenaran dan keberadaan serta
keberlangsungan segala sesuatu, melainkan juga sebab dari waktu. Hal itu
memerlukan pembuktian keterbatasan “dunia yang masuk akal” (dunia fisik) sehingga
tubuh, waktu, dan gerak harus berhingga.
Dengan
demikian, bab kedua dimulai dengan serangkaian peringatan metodologis awal yang
bertujuan untuk menunjukkan bahwa “ilmu tentang apa yang di luar hal-hal alami
(metafisik) adalah ilmu tentang apa yang tidak bergerak”.[24]
Oleh karena itu, hanya memerlukan persepsi intelektual sehingga hanya metode
(logika) matematika yang berlaku untuk itu. Bagian pertama dari bab ini menetapkan
kader epistemologi, yang melaluinya seseorang harus memahami argumen yang membantah
kekekalan dunia yang ada di bagian kedua.
Al-Kindi
mulai dengan membedakan dua jenis persepsi wujud: “satu lebih dekat dengan kita
dan lebih jauh dari alam, yang disebut sebagai persepsi sensoris/indra (wujud
al-hawaass)”[25] yang
tidak stabil akibat perubahan natur benda amatan itu sendiri “karena persepsi
itu selalu bekerja pada tubuh fisik”; sedangkan yang lain “lebih dekat dengan
alam dan jauh dari kita, yang disebut persepsi intelektual (wujud al-’aql),
yang “dibenarkan, divalidasi, dan dianggap pasti melalui kebenaran
prinsip-prinsip intelektual yang diketahui secara pasti. Hal itu seperti “dia”
dan “bukan dia” yang tidak dapat benar bersamaan dalam suatu hal tanpa adanya
suatu faktor lain.”[26]
Contoh
pertama yang menggambarkan prinsip non-kontradiksi ini diikuti oleh contoh lain
yang lebih kompleks: “di luar tubuh alam semesta, tidak ada kekosongan maupun
isi (laa khalaa’ wa-laa malaa’), yaitu bukan kehampaan (faraagh) maupun
benda fisik.” “Baik kekosongan maupun isi ... adalah sesuatu yang hanya dapat
dirasakan oleh intelek melalui dengan premis-premis yang telah dinyatakan”.[27]
Argumen
ini kemudian diungkap dalam dua langkah untuk menunjukkan, pertama, kemustahilan
adanya kekosongan absolut dan, kedua, kemustahilan bahwa ada isi di luar tubuh
alam semesta. “Pernyataan tersebut adalah suatu yang harus dipenuhi, sementara
tidak ada baginya gambaran dalam diri (pengindra). Sesungguhnya itu hanyalah
persepsi wujud intelek yang mesti ada (wujuud ‘aqlii idlthiraarii).”[28]
Al-Kindi
mendukung tesis yang dibela oleh Aristoteles dalam “Physics IV”,
walaupun tidak sama persis, di mana hanya pertanyaan tentang kemustahilan
kekosongan yang dimunculkan. Namun, di “De Caelo”-lah tempat ia
menemukan masalah penolakan setiap kekosongan di luar “batas ekstrem” (alam
semesta), yang dibahas dalam demonstrasi yang menyangkal keberadaan tubuh
(fisik) apa pun di luar batas alam semesta. Namun, al-Kindi tampaknya tidak terlalu
tertarik pada argumen empiris tentang kemungkinan kekosongan di luar batas
ekstrem alam semesta. Dia tampaknya lebih memikirkan kekosongan dalam beberapa
pengertian logis absolut, yang memungkinkannya untuk membangun suatu kontradiksi
istilah langsung.[29]
Bahkan,
sebagian besar argumen dikhususkan untuk penolakan kemungkinan isi di luar alam
semesta, yang merupakan langkah lebih jauh ke arah demonstrasi tentang kefanaan
dunia. Untuk membuktikan bahwa dunia yang masuk akal (dunia fisik) itu terbatas,
al-Kindi perlu mengesampingkan, setidaknya secara logis, kemungkinan adanya isi
di luar dunia fisik. Dia masih harus membuktikan bahwa tidak mungkin ada ketidakterbatasan
aktual – seperti yang dia tuliskan[30]
– untuk menunjukkan bahwa dunia adalah besaran yang terbatas, dan dengan
demikian, kekekalan hanya berlaku untuk Sang Esa Sejati.
Tiga
argumen yang menentang keabadian dunia, yang akan dipaparkan, juga didahului
oleh serangkaian “aturan” (qawaanin) yang perlu diperhatikan dalam seni berpikir
itu, terdiri dari serangkaian definisi mengenai sifat kekal. Mereka diikuti
oleh tiga argumen pendek yang dimaksudkan untuk membuktikan, melalui reductio ad absurdum, bahwa yang kekal
tidak memiliki genus, juga tidak mengalami kerusakan atau perubahan apa pun, sehingga
“Yang abadi itu harus sempurna” (fal azalii taammun idlthiraaran):
Yang
kekal adalah yang sama sekali tidak mengharuskan atau memerlukan “yang bukan
dirinya” secara mutlak (innal azalii huwa alladzii lam yajib “laysa huwa” muṭlaqan).
Karena itu, sejauh menyangkut generasi, yang abadi adalah yang tidak ada
sesuatu “sebelum” keberadaannya (li-hawiyyatihi); yang kekal adalah yang
perwujudannya tidak melalui sesuatu yang lain; yang kekal tidak memiliki sebab
(‘illah); yang abadi tidak memiliki subjek dan predikat, tidak memiliki
agen dan sebab/alasan (keberadaan) (sabab), yaitu hal yang karenanya
sesuatu akan ada, karena tidak ada sebab selain yang disebutkan sebelumnya.[31]
“Sebab-sebab
yang disebutkan sebelumnya” adalah empat sebab dalam pandangan Aristoteles yang
disebutkan dalam bab 1. Dengan demikian, al-Kindi selanjutnya mengesampingkan
di premis-premis ini, kemungkinan perlakuan fisik terhadap yang abadi. Karena
tidak memiliki sebab, yang abadi secara alami tidak cocok dengan segala jenis
perubahan. Di sini, al-Kindi mengantisipasi argumen pada bab 3 dan 4, dan yang “abadi”
yang tidak dapat diubah itu adalah Tuhan.[32]
Sesungguhnya,
hanya Allah saja yang sempurna. Argumen ini menyimpulkan dari ketidakcocokan keabadian
dengan perubahan sampai ketidakcocokan keabadian dengan tubuh (fisik): “Jika
suatu benda fisik memiliki jenis dan spesies, sementara Sang Kekal tidak
memiliki jenis, maka benda fisik itu tidaklah abadi (fal jirm laysa huwa al-azalii)[33].”
Tiga argumen berikut berfokus pada pembuktian bahwa dunia, sebagai tubuh (fisik),
memiliki awal dan akhir.
8.1.Tiga Argumen Membantah Dunia yang Tidak
Terbatas
8.1.1. Tubuh, Gerak, dan Waktu Tidak Saling
Mendahului
Argumen
pertama yang menentang keabadian dunia dalam “Fil Falsafah al-Ula” bertujuan untuk membuktikan bahwa tubuh,
waktu, dan gerakan tidak saling mendahului sehingga, jika waktu terbatas, “perpanjangan
keberadaan” alam semesta adalah terbatas. Ini bergantung pada asumsi bahwa
waktu bukanlah suatu wujud (az-zaman laysa bi-mawjuud), melainkan atribut
atau predikat (maḥmuul) tubuh (fisik), sebagaimana besarnya, tempat, dan
gerakan. Al-Kindi memulai dengan membuktikan kemustahilan besarnya yang tak
terbatas:
“Mari
kita mengatakan sekarang bahwa tidak ada tubuh (fisik), yang memiliki kuantitas
dan kualitas, yang tidak terbatas secara aktual (laa nihaaya lahu bil fi’l).
Ada pun yang tidak memiliki batas (laa nihaaya), hanya ada secara
potensial.”[34]
Argumen
itu kemudian dijabarkan dalam empat langkah. Mengikuti bentuk Euclidian, ia
mulai (a) dengan serangkaian enam aksioma atau “premis pertama yang langsung
dapat dipahami dengan benar” (muqaddimaat uwwal ḥaqqiyya ma’quula bi-laa-tawassuṭ).
Empat di antaranya akan digunakan al-Kindi dalam argumentasi berikutnya,
seperti “(tubuh-tubuh) dengan jarak yang sama antara
batas mereka adalah sama secara aktual dan potensial” (aksioma 2) atau “ hal yang terbatas tidaklah tak terbatas” (
aksioma 3).[35]
Dengan
mempertimbangkan premis-premis ini dan menerapkan argumen metode reductio ad absurdum, al-Kindi akhirnya
membuktikan (b) bahwa tidak ada besaran yang tak terbatas secara aktual, dengan
menunjukkan absurditas yang akan muncul ketika seseorang mencoba menerapkan
operasi aritmatika biasa terhadap besaran yang secara hipotetis tak terbatas.
Dengan demikian, itu menunjukkan “bahwa tidak mungkin bagi sebuah tubuh menjadi
tak terbatas” sehingga tidak ada besaran yang dapat menjadi tak terbatas secara
aktual. Al-Kindi berpindah ke (c) langkah ketiga dari argumen.
Karena
waktu adalah kuantitas, tidak mungkin ada waktu yang tak terbatas secara aktual,
mengingat waktu memiliki awal yang terbatas. Hal-hal yang dikaitkan dengan (tubuh)
yang terbatas pasti juga terbatas. Karena itu, setiap atribut tubuh, baik itu
besarnya, tempat, gerakan, atau waktu — yang terbagi (mufaṣṣal) oleh
gerak — dan jumlah keseluruhan semua atribut tubuh secara aktual, juga
terbatas, karena tubuh sendiri terbatas. Karena itu, tubuh alam semesta terbatas,
seperti halnya setiap atributnya.[36]
Keterbatasan
waktu tampaknya merupakan konsekuensi langsung dari bukti keterbatasan setiap besaran,
sedangkan waktu adalah besaran; atau konsekuensi tidak langsung dari
keterbatasan dalam ekstensi alam semesta, waktu menjadi terbatas sebagai
atribut dari alam semesta. Oleh karena itu, dari kemustahilan adanya besaran
tak terbatas secara aktual, al-Kindi menyimpulkan:
“Dengan
demikian, telah ditunjukkan bahwa secara aktual, waktu tidak mungkin menjadi
tak hingga. Dan waktu itu adalah waktu badan alam semesta, yakni ekstensi (muddatuhu)
dari badan fisik alam semesta itu. Jika waktu itu berhingga, maka keberadaan
badan alam semesta ini juga berhingga. Itu karena waktu bukan ekstensi yang
independen (dari suatu objek). Begitu pula, tidak ada objek (benda fisik) yang
tanpa kerangka waktu, karena waktu adalah suatu bilangan gerak, yakni dia
adalah ekstensi yang dihitung dalam suatu gerakan (muddah ta’udduhaa l-ḥarakah).
Jika ada gerakan, ada waktu. Sebaliknya, jika tidak ada gerakan, tidak ada
waktu.”[37]
Setelah
menunjukkan bahwa tubuh, waktu, dan gerak ko-ekstensif dan terbatas, al-Kindi masih
harus mengesampingkan kemungkinan (d): bagaimana jika seseorang berpikir bahwa
adalah mungkin bagi tubuh alam semesta (jirm al-kull) untuk menjadi diam
terlebih dulu, memiliki potensi untuk bergerak, dan kemudian bergerak? Dengan
kata lain, al-Kindi masih harus memeriksa apakah suatu alam semesta, yang
dianggap semula diam dan kemudian bergerak, dapat dikatakan dihasilkan dari
ketiadaan atau kekal, di mana pandangan tentang tubuh alam semesta yang pertama
kali diam disebabkan oleh Aristoteles kepada Anaxagoras.[38]
Setelah
menunjukkan bahwa gerakan itu terbatas, al-Kindi masih harus menegasikan
kemungkinan istirahat/diam tanpa batas, yang ia lakukan dengan anggapan bahwa
generasi, dipahami di sini sebagai yang muncul dari ketiadaan (fa-in kaana
kawnan ‘an lays fa-inna tahawwiihi aysan ‘an laysa), “adalah salah satu
spesies gerak.” Karena tubuh tidak dapat mendahului generasinya, maka generasi “adalah
esensinya,” sehingga keberadaan tubuh tidaklah sebelum gerakan. Di sisi lain,
jika alam semesta diam selamanya, gerakan tidak akan pernah muncul, karena
gerak adalah perubahan dan kekekalan tidak berubah, memang begitu adanya. Oleh
karena itu, adalah kontradiksi diri untuk mengatakan bahwa alam semesta adalah
kekal, tapi gerak memiliki permulaan. Al-Kindi sekarang dapat menyimpulkan:
“Jadi,
jika ada gerakan, pasti ada benda fisik, sementara jika ada benda fisik, pasti
ada gerakan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa waktu tidak mendahului gerakan.
Juga, tidak mungkin ada waktu sebelum ada benda fisik. Hal itu karena tidak ada
waktu selain melalui gerakan dan karena tidak ada benda fisik tanpa ada
gerakan, serta tidak ada gerakan tanpa ada benda fisik. Tubuh juga tidak ada
tanpa ekstensi (muddah) (kerangka waktu), karena ekstensi adalah apa
yang ada di dalam identitas sesuatu, yaitu, keberadaan (huwiyya) sesuatu
yang ada di dalam keberadaan tertentu (huwa maa). Dan tidak ada ekstensi
tubuh kecuali ada gerakan, karena benda fisik selalu terjadi dengan gerakan,
seperti yang telah dijelaskan... dan dengan demikian, tubuh (fisik), gerakan,
dan waktu tidak pernah saling mendahului satu sama lain...
Dengan
demikian, telah dijelaskan bahwa tidak mungkin bagi waktu untuk menjadi tidak
terbatas. Itu karena tidak mungkin bagi kuantitas atau sesuatu yang memiliki
kuantitas untuk memiliki ketidakterbatasan secara aktual. Oleh karena itu,
semua waktu secara aktual terbatas. Karena tubuh tidak ada sebelum waktu, maka
tidak mungkin bagi tubuh alam semesta (jirm al-kull), karena keberadaannya
itu (li inniyyatihi), menjadi tak terhingga. Keberadaan tubuh alam
semesta dengan demikian pasti terbatas dan tidak mungkin bagi tubuh alam
semesta untuk menjadi abadi.”[39]
Berhubungan
erat dengan inniyyah dan huwiyyah, yang merupakan korelasinya, muddah
adalah wadah segala sesuatu yang ada di dunia dan karenanya merupakan tanda
keterbatasan setiap keberadaan yang ada di sini. Sama bagi waktu dan tubuh, kesentralan
keduanya akan menjadi sangat penting untuk demonstrasi spasial dan temporal
dunia, seperti yang akan dikonfirmasi dalam argumen berikutnya.
8.1.2. Bukti berdasarkan Komposisi
Bukti
ini dimaksudkan untuk menunjukkan keterbatasan tubuh, didasarkan pada komposisi
ganda tubuh, yaitu setiap tubuh tersusun (murakkab) dari materi dan
bentuk atau substansi dan dimensi. Namun, (proses) komposisi adalah perubahan (tabaddul)
(memengaruhi kondisi non-komposisi) sehingga merupakan suatu gerakan. Tanpa
gerakan, tidak akan ada tubuh, karena tubuh adalah komposit. Karenanya tubuh,
dan gerak tidak mendahului satu sama lain tetapi terjadi berdampingan.
Waktu
dan gerakan juga ada berdampingan, karena gerakan adalah perubahan dan perubahan
adalah “jumlah ekstensi dari hal yang berubah” (al tabaddul ʿadad muddat
al-mutabaddil). Sedangkan waktu adalah perpanjangan yang diberi bilangan
oleh gerakan. Setiap tubuh memiliki ekstensi, yang berarti “bahwa di mana ada
keberadaan (maa huwa fiihi inniyyah), maksud saya bahwa di mana ada
keberadaan tertentu (huwa maa)”.[40]
Namun, tubuh tidak mendahului gerakan, atau ekstensi yang diberi nomor oleh
gerakan, sehingga tubuh, gerakan, dan waktu “bersama-sama sejauh menyangkut keberadaan”
(fa-hiya ma’an fil-anniyya). Akibatnya, waktu terbatas secara aktual
karena keberadaan tubuh terbatas secara aktual.
Seluruh
argumen bertumpu pada asumsi bahwa komposisi harus dipahami sebagai semacam
perubahan sehingga merupakan spesies gerakan (in kaana l-tarkiib wat-ta’liif
tabaddulan maa). “Komposisi dan kombinasi adalah bagian dari perubahan,
karena itu adalah penyatuan dan pengorganisasian berbagai hal / benda.”[41]
Bukti
keterbatasan tubuh dan juga akibat wajarnya, keterbatasan waktu sebagai aksiden
tubuh/benda fisik, keduanya dimaksudkan untuk menunjukkan ketergantungan dari
setiap keberadaan/makhluk yang diciptakan kepada Sang Esa Sejati dan Kekal,
yang kesatuan dan kekekalannya secara radikal terpisah dari kebilangan dan
ekstensi apa pun.
Sementara
argumen kedua tetap sejalan dengan argumen pertama, bertujuan untuk
memperkuatnya agar “untuk menambah keterampilan para penyelidik terhadap
pendekatan ini dalam upaya mereka (menyelidikinya)”.[42]
Al-Kindi memberi tahu kita bahwa argumen ketiga dan terakhir yang membantah ketidakterbatasan
dunia adalah “dari jenis lain”: “Mari kita perjelas dengan jenis (naw’)
(argumen) lain bahwa tidak mungkin bagi waktu untuk memiliki ketidakterbatasan
secara aktual, baik di masa lalu maupun di masa depan.”[43]
8.1.3. Argumen untuk Keterbatasan Waktu Masa Lalu
Argumen
ini diungkap dalam dua langkah: (a) dari kemustahilan rangkaian tak terbatas
dari segmen waktu lampau, al-Kindi menarik (b) kemustahilan melintasi ketidakterbatasan
temporal untuk mencapai waktu tertentu, dan dengan demikian, menyimpulkan bahwa
masa kini tidak akan pernah tercapai jika masa lalu yang tak terbatas
mendahuluinya. Dengan kata lain, masa kini tidak akan pernah tercapai jika masa
lalu yang tak terbatas atau serangkaian segmen masa lalu yang tak terbatas
harus dilintasi.
Namun,
kita mencapai waktu yang pasti (al intihaa’ ilaa zaman maḥduud mawjuud) sehingga
waktu tidak terus-menerus berlanjut (muqbilan) dari ketidakterbatasan
tetapi harus bermula dari suatu batas. Dengan demikian, ekstensi tubuh tidak tak-terbatas,
dan tidak mungkin bahwa tubuh ada tanpa ekstensi. Oleh karena itu, keberadaan
tubuh (inniyyat al-jirm) tidak tak-terbatas, tetapi keberadaan tubuh
terbatas. Karena itu, tidak mungkin bagi tubuh untuk menjadi abadi.
8.1.4. Kemustahilan Serangkaian Segmen Masa Depan
yang Tak Terbatas
Akhirnya,
setelah membuktikan bahwa waktu lampau tidak dapat tak terbatas, al-Kindi harus
menyelesaikan langkah terakhir dari argumennya dan membuktikan bahwa waktu di
masa depan juga tidak terbatas. Tidak peduli sebanyak apa pun “waktu definit”
yang dapat ditambahkan ke waktu lalu yang sudah terakumulasi, jumlah totalnya
akan tetap berhingga.
Tiga
argumen, yang dimaksudkan untuk membuktikan keterbatasan dunia, memerlukan
penciptaan secara de facto atau paling tidak permulaannya, sehingga mengharuskan
adanya Sebab Pertama. Al-Kindi telah menetapkan dalam prolog, keberadaan
Penyebab Pertama yang digambarkan sebagai “penyebab waktu” (‘illat az-zamaan).
Namun, ia masih harus melalui jalan memutar yang panjang (bab 3 dan 4) untuk
memastikan bahwa “Sang Awal Sejati” adalah penyebab kesatuan dan keberadaan (‘illat
at-tahawwii) dari semua hal dan esa secara esensi, sedangkan “apa yang
dibawa ke/diberi keberadaan (yuhawwaa) tidak abadi”.
Dengan
demikian, telah dibuktikan bahwa tubuh, waktu, dan gerak adalah terbatas dan
telah dinyatakan bahwa “tubuh alam semesta adalah makhluk yang berasal dari
ketidakberadaan” (jirm al-kull kawn ‘an lays)[44],
sedangkan yang memiliki “keberadaan harus terbatas”[45].
Al-Kindi sekarang perlu mengesampingkan kemungkinan sesuatu menjadi penyebab
esensinya sendiri, sebelum membahas isu tentang penyebab-gerakan yang-tidak-bergerak,
seperti yang ia nyatakan pada awal bab kedua:[46]
“Semua
hal di luar (hal-hal) alami tidak bergerak. Hal itu karena tidak mungkin sesuatu
menjadi sebab keberadaan esensinya sendiri, seperti yang akan kita jelaskan
sebentar lagi. Maka, gerakan bukanlah penyebab gerakan itu sendiri dan benda
yang bergerak itu bukanlah penyebab benda yang bergerak itu sendiri. Dengan
begitu, hal-hal metafisik bukanlah objek yang bergerak, sehingga, sebagaimana
dijelaskan, ilmu tentang metafisika adalah ilmu tentang hal yang tidak
bergerak.”[47]
9. Kesatuan pada Dunia yang Masuk Akal (Dunia
Fisik)
9.1.Benda Tidak Dapat Menjadi Penyebab Dirinya
Sendiri
Bab
ketiga “Fil Falsafah al-Ula” dibuka
dengan pertanyaan berikut, yang padanya bab pertama ditujukan: “Mungkinkah
sesuatu menjadi penyebab generasi esensinya sendiri (‘illat kawn dzaatihi),
atau apakah itu mustahil?” Al-Kindi mulai menjelaskan dengan segera bahwa ia
menggunakan kawn dalam arti khusus dan tidak biasa, karena penyelidikannya akan
mencakup kemungkinan suatu creatio ex nihilo, sementara generasi
biasanya dikatakan datang dari sesuatu yang lain:
“Maksud
saya dengan generasi (kawn) esensinya ialah keberadaannya (tahawwiihi)
(terjadi), baik dari sesuatu atau dari ketiadaan. Generasi itulah yang biasanya
dilandaskan, di tempat-tempat lain, terhadap hal yang datang secara khusus dari
sesuatu. Karena itu, haruslah bahwa (sesuatu) akan menjadi keberadaan (aysun)
dan esensinya ketiadaan (laysun); atau itu akan menjadi tidak ada dan
esensinya ada; atau itu akan menjadi tidak ada dan esensinya tidak ada; atau
itu akan menjadi ada dan esensinya ada.”[48]
Dengan
pertanyaan ini, ia membuka jalan – tidak hanya untuk kesimpulan bab yang akan
menetapkan perlunya Sebab Pertama, yang pada gilirannya akan menjadi penyebab generasi
dan keberlangsungan segalanya – tetapi juga untuk baris terakhir risalah, yang
akan menyimpulkan keniscayaan proses penciptaan, dari kefanaan / berhingganya
segala keberadaan yang diadakan (yuhawaa), sehingga juga mengantar pada
keniscayaan adanya pencipta.
Berikutnya,
al-Kindi memeriksa kemungkinan untuk sesuatu menjadi penyebab esensinya
sendiri, dengan menerapkan gaya argumen reductio
ad absurdum, untuk menunjukkan kontradiksi yang akan membawa asumsi semacam
itu. Dia kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada satu pun dari kasus yang dia
cantumkan dapat dikatakan sebagai penyebab esensinya. Salah satu utas utama
dari argumen ini adalah perbedaan radikal antara sebab dan akibatnya, sehingga kemustahilan
suatu hal menjadi penyebab esensinya berlaku jika sesuatu itu identik dengan esensinya.
Itu karena efeknya tidak dapat identik dengan sebab.
Al-Kindi
tidak merinci lebih lanjut sifat dari perbedaan antara sebab dan akibatnya,
meskipun itu merupakan tulang punggung argumennya, seperti yang ditunjukkan
oleh kalimat penutup bab ini:
“Dengan
demikian, telah diperjelas bahwa semua hal memiliki Sebab Pertama, yang tidak
berbagi genus dengan mereka dan tidak memiliki kesamaan, kemiripan, atau
hubungan (ketergantungan) dengan mereka. Justru lebih unggul, lebih mulia, dan
lebih utama daripada mereka, menjadi penyebab generasi dan keberlangsungan
mereka.”[49]
Sementara
itu, Al-Kindi telah menunjukkan bahwa dalam segala hal, kesatuan dan kebanyakan
terkait, karena sebab yang “tidak banyak juga tidak banyak dan satu (bersamaan)”
karena
“jika
berbilang, maka sebab itu akan mengandung kesatuan, karena kebanyakan tidak
lain adalah kumpulan unit, sehingga akan menjadi kebanyakan dan kesatuan bersama-sama.
Jika begitu, sebab dari kebanyakan dan kesatuan adalah kesatuan dan kebanyakan,
sehingga sesuatu itu akan menjadi penyebab esensinya sendiri. Namun,
penyebabnya haruslah lain dari akibatnya, sehingga akibat suatu benda akan
menjadi lain dari esensinya. Karena itu, ini adalah kontradiksi yang mustahil.
Maka, penyebab pertama bukanlah berbilang atau berbilang dan tunggal
(bersamaan). Oleh karena itu, tidak ada yang tersisa selain itu, penyebab
pertamanya adalah tunggal saja, dalam jalan tidak disertai dengan kebanyakan,
dengan cara apa pun.”[50]
Namun,
untuk mencapai kesimpulan itu, al-Kindi harus menunjukkan bahwa segala sesuatu
yang tidak esensial dalam sesuatu, yaitu segala sesuatu yang aksidental (‘aariḍ),
adalah efek yang dihasilkan oleh sesuatu yang lain, yang esensial.
9.2.Kesatuan Sebagai Efek, Aksiden dalam Semua
Predikabel, dan Hal yang Dipredikatkan tentangnya
Oleh
karena itu, di bagian kedua bab ini, dan setelah mendefinisikan semua konsep
yang dia perlukan untuk argumen selanjutnya, al-Kindi memeriksa “dalam berapa
banyak cara ‘satu’ (waaḥid) dapat dipredikatkan”[51],
karena “satu” dipredikatkan “pada masing-masing predikabel (maquulaat)
dan apa yang berasal dari predikabel (al-kaa’in min al-maquulaat), entah
itu genus, spesies, individu (shakhṣ), perbedaan spesifik, properti, aksiden
umum, semua atau sebagian, dan keseluruhan atau beberapa”.[52]
Penyelidikan
dilakukan pada masing-masing dari hal universal yang didaftar oleh al-Kindi,
untuk menyelidiki bagaimana “satu” dipredikatkan pada masing-masing dari
mereka. Dalam setiap kasus, kesimpulannya selalu sama: dalam setiap hal
universal, kesatuan adalah dengan konvensi (bil-waḍ’) karena mereka dipredikatkan
tentang banyaknya jenis tertentu. Dengan demikian, kesatuan dipredikatkan dalam
cara yang tidak esensial (min jihha laa dzaatiyya) terhadap hal
universal, dan bukan kesatuan mereka yang sebenarnya (al-waḥdah fiihi laysat
bi-ḥaqiiqiyya). Dengan demikian, kesatuan itu aksidental, artinya “diperoleh
dari sesuatu yang lain” (mustafaad min ghayrihi). Dengan kata lain, “Itu
diperoleh dari agen donor (mufid), dan itu adalah efek pemberian (atsar).”
Al-Kindi kemudian menyimpulkan:
“Lebih
jauh lagi, segala sesuatu yang merupakan aksiden dalam satu hal adalah esensial
dalam hal lain. Hal itu karena segala sesuatu yang ada dalam satu hal secara
aksidental ada pada hal lain secara esensial. Karena kita telah menjelaskan
bahwa kesatuan dalam semua hal ini adalah secara aksidental, tidak ada bagian
(dari kesatuan dalam hal-hal yang dibahas tersebut, yang terjadi) secara
esensial, melainkan disebabkan oleh aksiden. Maka, kesatuan yang terjadi dalam
suatu hal secara aksidental, diperoleh dari hal lain, di mana ia terjadi secara
esensial. Karena itu, di sini harus ada kesatuan yang sejati (waaḥid ḥaqq),
yang bukan donor dari pihak lain. Mari kita perjelas lebih lengkap dari apa
yang telah dibahas sebelumnya.”[53]
Langkah
pertama dari argumen tersebut sudah menyimpulkan keharusan keberadaan dari Sang
Esa Sejati, di mana kesatuan itu esensial dan bukan suatu efek. Itulah Sang Esa
Sejati yang memberikan kesatuan pada segala hal lain, yang dengannya kesatuan makhluk
terjadi secara aksidental.
Yang
perlu diperhatikan adalah oposisi “secara aksidental” terhadap “secara esensial”,
di samping “penyebab” melawan “efek”, adalah utas lain yang mengartikulasikan
seluruh argumen. Di sini, itu digandakan dengan pasangan afeksi / pemberi efek
(agen donor) (mu’atstsir). Penekanannya adalah pada sifat kesatuan
sebagai karakter yang diperoleh sehingga bukan bagian dari esensi hal tersebut.
Konsep-konsepnya
masih Aristoteles, tetapi sudah memenuhi henologi yang mulai terlihat dengan pemunculan
“Sang Esa Sejati yang kesatuannya bukanlah pemberian,” yang dengan demikian,
akan menjadi penyebab kesatuan yang merupakan aksiden dan efek dalam hal-hal
yang dibuat. Gagasan kesatuan sebagai “pemberian / efek” terhadap hal-hal, yang
berasal dari kesatuan sejati, adalah suatu pemberian dari donor terhadap
sesuatu, yang dalam esensi kesatuan efeknya sendiri, adalah kebanyakan
(kesatuan yang tidak sejati). Gagasan ini akan tampak besar di akhir bab 4.
9.3.Kesatuan dan Kebanyakan Selalu Berdampingan
di Dunia yang Masuk Akal (Dunia Fisik)
Pada
bagian ketiga bab ini, dan untuk “mengklarifikasi” apa yang baru saja dia
ungkapkan, al-Kindi menyajikan serangkaian argumen yang dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa kita tidak dapat menemukan “semua yang dirasakan oleh indra
dan yang hakikatnya dipahami oleh intelek”[54]
berupa kebanyakan tanpa kesatuan (sembilan argumen) atau kesatuan tanpa kebanyakan
(sembilan argumen). Itu menuntunnya, di bagian keempat dan penutup bab ini,
untuk menetapkan keberadaan Sebab Pertama yang hanya satu (waaḥida faqaṭ),
dan karenanya, secara radikal berbeda dari hal-hal yang masuk akal (di mana kesatuan
selalu bercampur), yang menjadi penyebab generasi dan keberlangsungan mereka.
Semua
argumen mengikuti pola yang sama, dimulai dengan premis hipotetis dari kebanyakan
tanpa kesatuan (atau sebaliknya, dengan asumsi kesatuan tanpa kebanyakan) yang
darinya disimpulkan, melalui reductio ad
absurdum, kesimpulan yang bertentangan dengan premis atau pengalaman
faktual. Argumen memuncak pada bagian keempat dan terakhir dari bab, yang
diakhiri dengan hasil bahwa kesatuan dan kebanyakan hidup berdampingan di dunia
yang masuk akal (dunia fisik), di mana yang satu tidak pernah ditemukan tanpa
yang lain.
“Dengan
demikian, jelas dari semua investigasi ini, bahwa tidak mungkin ada kebanyakan
tanpa kesatuan dalam hal-hal yang telah kami sebutkan; dan dari beberapa
(penyelidikan) ini, juga mustahil bahwa sesuatu hanya merupakan kesatuan tanpa kebanyakan
di dalamnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa tidak mungkin hanya ada kesatuan (waḥdah
faqaṭ) tanpa kebanyakan, atau hanya ada kebanyakan tanpa kesatuan, dan
tidak ada (dari hal-hal) yang telah kita sebutkan, yang dapat bebas dari kebanyakan
atau dari kesatuan.... Oleh karena itu, tetap bahwa kesatuan berpartisipasi
dalam kebanyakan, yaitu terkait dengannya di semua objek yang masuk akal dan
apa pun yang melekat pada objek yang masuk akal. Dengan kata lain, setiap hal
yang mengandung kebanyakan, mengandung kesatuan; dan setiap hal yang mengandung
kesatuan, mengandung kebanyakan.”[55]
Al-Kindi
masih harus menunjukkan bahwa keterkaitan antara kesatuan dan kebanyakan dalam
dunia yang masuk akal “asosiasi mereka memiliki sebab lain, selain diri mereka
sendiri, lebih tinggi, lebih mulia, dan lebih dulu daripada mereka, karena pada
dasarnya penyebabnya mendahului akibatnya”.[56]
Sekarang penyebab ini adalah satu atau berbilang. Jika berbilang, sebab itu juga
akan memiliki juga kesatuan, dan dengan demikian, kesatuan dan kebanyakan akan
menjadi penyebab kesatuan dan kebanyakan, yang tidak masuk akal. “Jadi,
Penyebab Pertama tidak banyak, juga tidak banyak dan satu. Tetap bahwa
penyebabnya adalah hanya satu, tanpa kebanyakan bersama-sama dengan itu sama
sekali.”[57]
Dengan
demikian, bab ini berakhir dengan munculnya Sebab Pertama transenden yang belum
diidentifikasikan dengan Allah atau Pencipta. Al-Kindi masih harus menunjukkan “ bahwa kesatuan ada dalam hal-hal yang
disebabkan (al-ma’luulaat), apa yang merupakan kesatuan yang sejati, dan
apa yang merupakan kesatuan secara metaforis dan tidak sejati.[58]
Sekarang, mari kita simpulkan bagian ini.” Dengan begitu, bagian ini
mengantarkan program bab keempat, yang merupakan bagian terakhir dari risalah
tersebut yang tersisa saat ini.
10. Sang Esa Sejati dan Sang Pencipta yang
Maha Esa (Bab 4)
“Mari
kita sekarang berbicara tentang bagaimana kesatuan ada dalam
predikabel-predikabel (al maquulaat), tentang apa yang benar-benar satu,
dan apa yang satu secara metaforis dan tidak sejati.[59]
Mari kita bahas terlebih dahulu apa yang harus didahulukan.” Kalimat pembuka bab
4 menggemakan kalimat penutup bab 3, sedemikian rupa sehingga pembaca mungkin melewatkan
perbedaan kecil antara kedua kalimat yang ternyata lebih signifikan daripada
yang terlihat secara sekilas:[60]
(1) Al-ma’luulaat
(hal-hal yang disebabkan) digantikan oleh al-maquulaat (predikabel), sehingga
membuka jalan bagi kesimpulan bab, di mana semua predikabel yang terkomprehensif
oleh nalar (al-ma’quulaat) ditolak dari Sang Esa Sejati. Predikabel
semuanya universal sehingga dapat dipahami nalar.
(2) Ada pergeseran terminologi dari “kesatuan”
ke “satu” yang mencerminkan perkembangan penyelidikan: sementara bab 3
memeriksa semua cara kesatuan ada dalam hal-hal yang masuk akal, bab 4 mencoba
untuk menentukan cara “satu” dapat diterapkan kepada Tuhan, sehingga berkenaan
dengan apa yang menjadi sifat dari Sang Esa Sejati, dengan kata lain, apa yang
dapat benar-benar dapat dikatakan tentang Sang Esa Sejati
(3) Dikotomi “satu metaforis” terhadap “satu sejati”
muncul untuk pertama kalinya dan tidak tumpang tindih sepenuhnya dengan pasangan
“satu aksidental” terhadap “satu esensial” seperti yang akan kita lihat.
Al-Kindi
memperkenalkan pada bagian pertama, sebuah diskusi dalam upaya untuk
mengesampingkan, melalui serangkaian argumen yang tidak jelas, setiap
kemungkinan “satu” menjadi angka dan karenanya menjadi kuantitas yang akan
menerapkan salah satu predikat yang berlaku untuk kuantitas yang sama dan tidak
setara atau dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Secara kebetulan, halaman-halaman
tersebut mengungkapkan teori bilangan yang akan perlu diselidiki lebih lanjut,
meskipun itu jelas melampaui ruang lingkup tulisan ini.
10.1.
Satu
Bukan Bilangan
Memang,
yang paling khas perbandingan dari suatu kuantitas adalah keadaan sama dan
tidak sama. Oleh karena itu, menurut al-Kindi, jika satu merupakan bilangan, akan
berupa suatu kuantitas, akan dapat dibagi menjadi banyak, beberapa di antaranya
sama dengan itu dan beberapa tidak.[61]
Namun, satu tidak dapat dibagi menurut definisi (suatu identitas/unit dasar).
Dengan demikian, ada kontradiksi yang jelas sehingga satu bukan bilangan.[62]
Dengan
cara yang sama, al-Kindi mengingatkan pembaca untuk tidak membingungkan satu
dengan hal yang dipersatukan oleh satu tersebut, atau untuk mengatakannya
secara berbeda, agar tidak membingungkan apa yang kita hitung dengan apa yang
kita hitung dengannya. Kelas benda-benda materi “terdiri dari benda-benda yang
dapat dihitung bukan dengan angka” (ma’duudaat laa ‘adad). Jadi, “Seperti
dalam perkataan ‘lima kuda’; kuda-kuda itu dinomori oleh lima, angka yang tidak
memiliki material, materialnya hanya pada kuda-kuda itu”.[63]
Dengan
kata lain, Kindi tampaknya menganggap angka sebagai abstraksi dari kelompok
yang terdiri dari unit murni, yang merupakan abstraksi dari objek fisik sehingga
tidak boleh dibingungkan dengan hal yang diberikan unit hal oleh angka satu itu.
Karena itu, ketika kita mengatakan “satu”, kita maksudkan “kesatuan itu sendiri,
sedangkan kesatuan sama sekali tidak dapat dibagi”.[64]
Jadi, satu bukanlah angka, melainkan ukuran angka (unit satuan) atau, dengan
kata lain, satuan penghitungan. Selain itu, “satu” juga tidak dapat dibagi,
karena unit adalah ukuran dasar yang dianggap tidak dapat dibagi untuk tujuan
penghitungan. Jika tidak menjadi angka, “satu” tidak termasuk dalam kategori
kuantitas, “tetapi di bawah kategori lain.” Tanpa spesifikasi lebih lanjut, al-Kindi
menyimpulkan:
“Dengan
demikian, ‘satu’ bukanlah suatu bilangan secara alami, tetapi secara
samar-samar (bi-ishtibaah al-ism), karena bilangan tidak dipredikatkan
kecuali dalam kaitannya dengan satuan hal: (seperti) seperti obat-obatan
terhadap satu obat dan kesehatan hal-hal terhadap kesehatan.”[65]
Sebelum
memberi tahu kami apa yang dia maksud dengan definisi seperti itu, dan banyak pengertian
lain yang agak samar, al-Kindi masih harus mengeksplorasi, dalam semacam interpolasi
yang mengganggu aliran argumen, kontradiksi lebih lanjut yang akan menuntun
kita jika kita mempertimbangkan satu sebagai angka, sehingga sebagai kuantitas
yang akan menerapkan kesamaan dan ketidaksamaan, ganjil atau genap.[66]
Al-Kindi
tampaknya telah menemui jalan buntu. Karena itu, ia perlu melanjutkan dan
melengkapi argumennya:
Unsur (rukn) sesuatu
dari mana benda itu dikonstruksi, yaitu dari mana benda itu dikomposisi,
bukanlah benda itu sendiri. Itu seperti partikel fonetik yang darinya ucapan
tersusun bukanlah ucapan itu sendiri, karena ucapan adalah suara yang tersusun,
bunyi konvensional gabungan, yang menunjukkan sesuatu secara temporal,
sedangkan partikel fonetik adalah suara alami dan tidak tersusun. Oleh karena
itu, jika angka terdiri dari unit-unit, seperti yang disepakati semua, “satu”
menjadi elemen dasar (rukn) angka dan karenanya, bukan merupakan angka.”[67]
Rumusan
ini menyatakan bahwa “satu” adalah sesuatu yang mendasari dirinya dengan
sifatnya sendiri (satu adalah suatu bentuk identitas matematik) sehingga
merupakan suatu unit yang bersifat prinsip. Dengan begitu, ukuran/besaran
adalah sesuatu yang dengannya kuantitas diketahui; sedangkan jumlah dari
kuantitas diketahui dengan bilangan dan semua bilangan didasarkan pada suatu “unit
satuan”. Oleh karena itu, semua kuantitas didasarkan pada satu, yang dikenal
sebagai identitas dari jumlah; sehingga merupakan titik awal dari angka.
Hal
ini menimbulkan paralelisme, dalam artian bahwa satu sebagai unit dasar dari
suatu ukuran atau bilangan, sehingga bukan merupakan bilangan, tetapi secara
bersamaan satu merupakan identitas dasar atau titik awal dari suatu bilangan. Paralelisme
memunculkan juga poin lebih lanjut: ukuran selalu homogen dengan hal yang
diukur, seperti bunyi-bunyian yang diartikulasikan dari sebuah kalimat, dalam
contoh yang diberikan oleh al-Kindi. “Demikian pula, satu tidak harus berupa
angka, karena itu adalah elemen/prinsip yang diakui menyusun suatu bilangan.
Alih-alih, lebih tepatnya, karena angka terdiri dari unit-unit, sehingga satu
adalah unit satuan[68].”
Akibatnya, al-Kindi dapat mendefinisikan angka sebagai “suatu susunan unit (nadzm
al-waḥdaaniyyaat), kumpulan unit, dan kombinasi unit.[69]
Setelah
menunjukkan bahwa satu bukan angka, al-Kindi menyimpulkan bagian pertama bab
ini dengan melingkar secara penuh[70]:
bagian itu dibuka dengan pernyataan pendahuluan yang menyatakan bahwa tidak ada
predikat yang diterapkan pada kuantitas, seperti besar dan kecil, panjang dan
pendek, atau banyak dan sedikit, dapat dipredikatkan secara absolut. Mereka
selalu dipredikatkan dalam kaitannya dengan sesuatu, karena tidak ada yang
dikatakan besar atau kecil hanya dalam dirinya sendiri, tetapi dengan mengacu
pada sesuatu yang lain. Al-Kindi sekarang menutup dengan komentar yang sama,
tetapi memperluas pernyataan aslinya untuk menjelaskan apa yang dia maksud
dengan “kaitan” itu:
“Sekarang,
tidak ada satu pun dari besar atau kecil, panjang atau pendek, dan banyak atau
sedikit yang dipredikatkan secara absolut, (tapi dipredikatkan) secara relatif;
dan masing-masing pasangan terkait (bil-idlaafah) satu sama lain hanya
dalam genus yang sama, dan tidak pada genus lain. Sebagai contoh, magnitudo, jika
itu adalah (predikat) dari tubuh, dapat dihubungkan hanya dengan (magnitudo)
dari tubuh lain, dan tidak dengan (dari suatu) area, garis, tempat, waktu,
angka, atau (jenis) predikat (berbeda lainnya).”[71]
Kita
dapat membandingkan tubuh dengan tubuh, area dengan area, waktu dengan waktu,
tetapi orang tidak dapat mengatakan, ketika berbicara dengan benar, bahwa tubuh
lebih panjang dari permukaan. Untuk jumlah, yang merupakan kuantitas diskrit,
hal yang sama akan berlaku. Oleh karena itu, al-Kindi menyimpulkan, tanpa
bentuk transisi lain, bahwa Sang Esa Sejati (al-waaḥid bil-ḥaqiiqa)
tidak rentan untuk berhubungan dengan sesuatu dari genus yang sama, dan bahkan
tidak memiliki genus sejak awal.[72]
“Karena
itu, telah diperjelas apa yang telah kami ajukan, bahwa Sang Esa Sejati (al-waaḥid
al-ḥaqq) tidak dapat dihubungkan dengan genus yang serupa dengan-Nya,
bahkan Ia tidak memiliki genus yang sama dengan-Nya sejak awal. Oleh karena
itu, Sang Esa Sejati tidak memiliki genus sama sekali. Dan kami telah menyatakan
bahwa yang memiliki genus tidak abadi, dan yang abadi tidak memiliki genus.
Konsekuensinya, Sang Esa Sejati itu kekal dan sama sekali tidak akan pernah
menjadi berbilang sama sekali, dan tidak pernah berkembang biak dalam spesies
apa pun.”
Pernyataan
itu mengulangi uraian tentang yang kekal pada awal bab 2[73],
yang sekarang mengambil makna penuhnya, seperti yang kita lihat di sini,
diterapkan langsung pada Sang Esa Sejati. Penjelasan tentang sifat Sang Esa
Sejati, yang mencerminkan setiap aspek dari uraian tentang sifat kekal dalam bab
2, disampaikan berikutnya.
10.2.
Sang
Esa Sejati Tidak Dipredikatkan Secara Sama dengan Dipredikatkannya pada Keberadaan
Lain
“(Sang
Esa Sejati) tidak dikatakan “esa” dalam hubungannya dengan sesuatu yang lain,
karena Dia tidak memiliki materi, yang melalui materi itu Dia akan dibagi, atau
bentuk yang terdiri dari genus dan spesies – karena hal-hal seperti itu berbilang melalui penyusunnya
– tidak ada kuantitas sama sekali, juga tidak memiliki kuantitas, karena hal yang
seperti itu juga dapat dibagi, karena setiap kuantitas atau segala sesuatu yang
memiliki kuantitas, dapat meningkat dan menurun. Hal yang bisa dikurangi adalah
yang dapat dibagi dan hal yang dapat dibagi dapat diperbanyak dengan cara
tertentu.
Telah
dikatakan bahwa kebanyakan ada dalam setiap predikabel dan dalam apa yang
melekat padanya, termasuk genus, spesies, individu, perbedaan spesifik,
properti, aksiden umum, semua, sebagian, dan keseluruhan. Demikian juga, “satu”
dipredikatkan dari setiap hal itu dan oleh karena itu, Sang Esa Sejati bukanlah
semua (yang disebutkan) itu.”[74]
Dengan
demikian, bagian kedua dari bab ini mengulas semua aspek realitas yang
dikatakan “satu” tetapi yang tidak dapat dipredikatkan pada Sang Esa Sejati,
karena kesatuan yang melingkupi mereka selalu bercampur dengan kebanyakan
tertentu. Ini adalah tema yang telah kita temui di Bab 3.
Setelah
menyebutkan semua cara “satu” dipredikatkan, al-Kindi merekapitulasi seluruh
diskusi. Dalam perjalanan diskusi ia menyebutkan, di antara hal-hal yang pada
dasarnya disebut satu “karena substansi mereka adalah satu”, yang secara analog
satu karena “mereka terkait dengan satu [hal] (nisbatuhaa waaḥidun),
seperti hal-hal medis yang semuanya terkait dengan obat-obatan”. Dengan
demikian, itu menggemakan definisi yang telah diberikannya di atas tentang “satu”
menjadi angka hanya secara samar-samar, karena angka dipredikatkan dalam
kaitannya dengan satu hal. Yang diperhitungkan adalah jenis kesatuan yang
terjadi melalui hubungan dengan satu realitas yang sama. Jenis kesatuan yang
sama melekat pada bentuk-bentuk keberadaan yang berbeda, yang terkait dengan
substansi.[75]
Al-Kindi
tampaknya memikirkan hal itu ketika menutup bagian ini: “Jelaslah bahwa
keberadaan (huwiyyah) dipredikatkan terhadap setiap hal yang penyebabnya
adalah ‘satu’. Dengan demikian, keberadaan dipredikatkan pada apa yang dienumerasi
oleh spesies ‘satu’.[76]”
Di sini, ia juga membuka jalan untuk kesimpulan dari bab ini, di mana Sang Esa Sejati
dianggap memberikan eksistensi dan kesatuan kepada makhluk.
10.3.
Sang
Esa Sejati di atas dan di luar Segala Deskripsi
Bab
ini memuncak dalam apa yang tampak seperti sepotong teologi negatif yang
menyangkal atribut dari Sang Esa Sejati sama sekali. Kesatuan dan kesederhanaan
mutlak dari Sang Sejati menghalangi setiap uraian tentang sifatnya.
“Dengan
demikian, telah diperlihatkan bahwa Sang Esa Sejati bukanlah termasuk
predikabel, juga bukan materi, genus, spesies, individu, perbedaan spesifik,
properti, aksiden umum, gerakan, jiwa, intelek, juga bukan semuanya, sebagian, keseluruhan,
atau beberapa, atau juga satu yang terkait dengan sesuatu yang lain. Melainkan,
Dia mutlak satu dan tidak mengakui keberagaman. Dia juga tidak tersusun dari
banyak [hal] dan tidak berbilang..... Dengan demikian, Yang Sejati tidak
memiliki materi, gambaran bentuk, kuantitas, kualitas, atau hubungan, juga
tidak dapat dijelaskan oleh salah satu dari predikabel lainnya: ia tidak
memiliki genus, perbedaan spesifik, individu, properti, atau aksiden umum. Dia
tidak bergerak dan tidak dideskripsikan oleh hal-hal apa pun yang ditolak
menjadi satu yang sejati. Karena itu, Dia adalah satu-satunya kesatuan murni (wahdah
faqaṭ madl), yang saya maksud tidak lain adalah kesatuan, dan setiap “satu”
selain Dia, pasti berlipat ganda (satu yang tidak sejati).”[77]
Sekilas,
kesimpulan tersebut tampak dipengaruhi oleh konsep-konsep Neoplatonisme dan
kalam Mu’tazilah. Namun, kemustahilan deskripsi dari Sang Esa Sejati dan akibat
wajar yang diharuskannya, yaitu ketransendenan absolutnya, tidak mencegah al-Kindi
untuk mempertimbangkan Sang Esa Sejati sebagai penyebab kesatuan (dalam makhluk)
dan juga keberadaan segala sesuatu. Sesungguhnya, Sang Esa Sejati adalah
satu-satunya yang esa secara esensi. Oleh karena itu, kesatuan, karena berupa
aksiden dalam semua keberadaan lain, tidak hanya berbeda secara radikal dari Sang
Esa Sejati, tetapi juga memerlukan Sebab Pertama dari kesatuan untuk menghindari
regression ad infinitum “karena tidak mungkin hal-hal menjadi
benar-benar tak terbatas”.
“Oleh
karena itu, penyebab pertama kesatuan dalam hal-hal yang dibuat satu (al
muwaḥḥadaat) adalah Sang Esa Sejati, yang tidak memperoleh kesatuan dari yang
lain (memiliki keesaan sejati), karena tidak mungkin hal-hal membagikan
kesatuan satu sama lain menjadi tidak terbatas sejak awal. Maka, penyebab
kesatuan dalam hal-hal yang dibuat satu adalah, selayaknya, Sang Esa Sejati,
Yang Pertama. Dan segala sesuatu yang menerima kesatuan pastilah disebabkan (ma’luul).
Setiap kesatuan selain Sang Esa Sejati adalah satu secara metaforis dan bukan
satu yang sejati (al-waaḥid bil-majaaz laa bil-ḥaqiiqa). Setiap kesatuan
yang ditimbulkan (kesatuan metaforis) berpindah dari kesatuannya menuju
ketiadaannya (ghayr huwiyyatihi). Maksudnya, itu tidak berbilang sejauh
ia ada, tetapi ia berbilang dan tidak mutlak satu, yang tidak memperbanyak diri
sama sekali dan bukanlah kesatuannya selain eksistensinya.”[78]
Bagian
yang sulit ini menandai awal dari kesimpulan yang menjadi tujuan seluruh
risalah, atau lebih tepatnya seluruh bagian pertama “Fil Falsafah al-Ula”. Al-Kindi membawa berbagai tesis yang telah ia
kembangkan dalam bab-bab sebelumnya dalam banyak langkah menuju kesimpulan
akhir ini, di mana konsep-konsep Neoplatonisme tumpang tindih dengan
tuntutan-tuntutan teologi Muslim, memberikan ruang untuk sintesis yang kompleks
dan asli.
Telah
ditunjukkan bahwa kesatuan dan kebanyakan tidak dapat dipisahkan dalam semua
hal yang masuk akal, dan al-Kindi telah mengisyaratkan pada akhir bab 3, bahwa
penyebab asosiasi kesatuan dan kebanyakan harus menjadi penyebab “yang lebih
tinggi dan mulia” yang berbeda yang akan menjadi kesatuan murni. Sekarang
dikemukakan bahwa penyebab seperti itu adalah Sang Esa Sejati dan yang hampir
tidak dapat dipredikatkan, yang kesatuannya tidak diperoleh dari hal lain
berdasarkan prinsip kemustahilan regression ad infinitum seperti yang
telah ditunjukkan pada Bab 2. Dengan demikian, segala sesuatu yang lain yang
menerima kesatuan disebut “satu” secara metaforis, yang memerlukan Sang Esa
Sejati untuk memberinya kesatuan, keberadaan, dan keberlangsungannya.
10.4.
Satu
Sejati dan Satu Metaforis
Telah
diperhatikan bahwa bab keempat bergeser dari pertentangan antara apa yang
merupakan “satu secara esensial” dan “satu secara aksidental”, menjadi pertentangan
antara “satu yang benar” (al-waaḥid bil-ḥaqq) dan “satu yang secara
metaforis” (alwaaḥid bil-majaaz), sudah diperkenalkan pada baris pertama
bab ini tetapi lebih banyak muncul dalam kesimpulan.[79]
Namun, artinya tidak sama. Apa yang satu secara metaforis bukan hanya “apa yang
satu dan yang banyak bersamaan.” Itu adalah yang menerima kesatuannya dari Sang
Esa Sejati, dan karenanya dari Allah, seperti yang dijelaskan al-Kindi dalam
baris terakhir bab ini:
“Karena
apa yang kami maksudkan untuk menjelaskan tentang perbedaan hal-hal yang satu (waahidaat)
yang telah ditunjukkan, sehingga Sang Esa Sejati sebagai Donor (agen yang
memberi atau menyuplai), Pencipta, dan Penyokong Yang Mahakuasa – juga bukan
satu secara metaforis, yaitu yang memperoleh kesatuan dan keberadaan dari Sang
Esa Sejati – menjadi jelas, Dia ditinggikan dan diagungkan dari segala atribut
bidah.”[80]
Dengan
demikian, setiap “satu” yang bukan Sang Esa Sejati adalah efek yang dihasilkan
oleh Sebab Pertama. Apa yang ditekankan di sini adalah inferioritas ontologis
dari “yang satu secara metaforis” yang diberikan kesatuan dan keberadaan dari Sang
Esa Sejati. Dengan kata lain, “yang satu metaforis” bukan hanya apa yang selalu
dikaitkan dengan kebanyakan, itu adalah apa yang bergantung, untuk kesatuan, keberadaannya,
dan keberlangsungannya, pada Sang Esa Sejati.[81]
Jika
dibandingkan dengan risalah lain, di mana al-Kindi mengontraskan Agen Sejati
yang tidak dikenai tindakan oleh pihak lain, yang juga Pencipta dan Agen Donor alam
semesta dengan “apa yang ada di bawah kuasa-Nya, yaitu, semua makhluk-Nya, yang
disebut agen metaforis dan tidak sejati, yaitu yang mendapatkan efek dari
tindakan Sang Esa Sejati”. Di luar perbedaan antara apa yang bertindak tanpa dikenai
efek tindakan pihak lain dan apa yang bertindak dan dikenai efek tindakan pihak
lain, seperti dalam “Fil Falsafah al-Ula”,
apa yang sejati pada tempat pertama adalah apa yang pantas bagi Allah, sebagai kontras
dari apa yang “di bawah-Nya” dan diciptakan oleh-Nya, yang dapat menjadi agen
hanya secara metaforis karena pada kenyataannya, mendapatkan efek dari tindakan
pihak lain. Dalam contoh tersebut, ḥaqiiqah bisa merujuk pada realitas,
sedangkan majaaz merujuk pada realitas turunan.
10.5.
Satu,
Keberadaan, dan Penciptaan
Dengan
demikian, kesatuan dalam hal-hal yang masuk akal diperoleh dari Sang Esa Sejati,
sehingga merupakan pemberian (atsar) dan aksiden dalam hal yang pada
dasarnya berbilang. Gagasan ini adalah salah satu poin utama dari kesimpulan risalah
tersebut: Sang Esa Sejati adalah yang membagi kesatuan dengan yang lainnya
tanpa memperolehnya dari sesuatu yang lain, menjadi kesatuan murni yang tidak
pernah dipengaruhi oleh segala jenis kebanyakan, sehingga merupakan penyebab
dari apa yang pada dasarnya berbilang dan bergantung.
Masih
ada ide lain yang muncul di sini: kesatuan adalah kondisi keberadaan dalam
semua hal yang masuk akal, sedemikian rupa sehingga hal yang kehilangan kesatuannya
kehilangan eksistensinya. Sang Esa Sejati bukan hanya prinsip kesatuan, melainkan
juga prinsip keberadaan. Dengan kata lain, Sang Esa Sejati menjadikan segala
sesuatu ada dengan memberikan mereka kesatuan. Sebelumnya, al-Kindi telah
menetapkan bahwa pada Sang Esa Sejati yang juga Sebab Pertama, “kesatuan tidak
lain adalah keberadaan (huwiyya).” Dia sekarang membawa ide itu
selangkah lebih maju: menjadi “makhluk murni”. Sang Pertama membawa segala
sesuatu menjadi ada “melalui keberadaan-Nya sendiri”.
“Dengan demikian, setiap makhluk yang
dibawa ke dalam keberadaan (tahawwin) hanyalah makhluk yang diberikan
efek tindakan (infi’aal) yang diwujudkan menjadi keberadaan yang sebelumnya
tidak ada. Dengan demikian, emanasi (fayḍ) kesatuan dari Sang Esa Sejati
yang Pertama adalah dibawa-ke-keberadaannya (tahawwi) setiap hal yang
masuk akal dan segala sesuatu yang melekat pada hal yang masuk akal.
Masing-masing dari mereka ada ketika (Sang Esa Sejati yang Pertama) membawa keberadaan
mereka melalui keberadaan-Nya sendiri.”[82]
Gagasan
semacam itu berasal dari penolakan atribut apa pun pada Sang Esa Sejati, yang
dengan demikian direduksi menjadi “hanya menjadi” (al-inniyyah faqaṭ).
Secara eksplisit dinyatakan, bahwa Sebab pertama menciptakan “hanya dengan
keberadaannya saja (bi-inniyatihi faqaṭ)”. Implikasi yang sama dapat
ditemukan dalam konsepsi al-Kindi tentang penciptaan, di baris penutup bab ini,
di mana Sang Esa Sejati akhirnya diidentifikasi dengan Sang Pencipta. Namun,
konsep religius tentang penciptaan masih diekspresikan dalam istilah-istilah
filosofis, meskipun Sang Esa Sejati dan Sebab Pertama menerima beberapa nama
Tuhan yang indah.
“Dengan
demikian, sebab dari makhluk yang dibawa ke dalam keberadaan berasal dari Sang
Esa Sejati, yang tidak memperoleh kesatuan dari donor apa pun, tetapi secara
esensial satu. Sementara itu, apa yang dibawa ke dalam keberadaan (yuhawwaa)
tidak abadi, dan apa yang ada dan tidak abadi pasti diciptakan (mubda’),
yang berarti keberadaannya (tahawwiihi) disebabkan oleh suatu sebab.
Jadi, apa yang dibawa ke keberadaan diciptakan, dan karena penyebab keberadaan
adalah Sang Esa Sejati yang Pertama, maka penyebab penciptaan adalah Sang Esa
Sejati yang Pertama.
Penyebab
yang merupakan awal dari pergerakan – maksud saya penggerak yang menggerakkan
suatu gerakan – adalah agen penggeraknya. Oleh karena itu, karena Sang Esa Sejati
yang Pertama adalah penyebab dimulainya gerakan makhluk-dibawa-menuju-keberadaan
(tahawwii), yaitu yang diberikan efek tindakan (al-infi’aal),
maka Dialah Pencipta segala sesuatu yang dijadikan ada (jamii’ al-mutahawwiyyaat).
Itu karena tidak ada keberadaan kecuali melalui kesatuan yang dikandungnya, dan
karena pengadaan kesatuan mereka (tawaḥḥuduhaa) adalah pengadaan keberadaan
mereka (tahawwiihaa), maka melalui kesatuanlah semua (yaitu, alam
semesta) ada (fa-bil-waḥdah qawaam al-kull), dan jika hal-hal yang diadakan
terpisah dari kesatuan, mereka akan kembali dan lenyap (‘aadat wa datsarat)
bersamaan dengan perpisahan itu, dalam waktu singkat.”[83]
Dalam
risalah ini, Sang Esa Sejati dikatakan sebagai “penyebab awal gerakan dari hal
yang dibawa-menjadi-ada,” bukan dari gerakan itu sendiri. Tampaknya itu adalah
cara untuk menjaga ketransendenan Sang Pencipta dan Sang Esa Sejati yang memulai
gerakan tanpa terpengaruh oleh hukum-hukumnya. Berkat keberadaan dan kesatuan, Sang
Esa Sejati menciptakan, menyusun, dan menyokong, melalui keesaan-Nya, sebuah
dunia yang Dia tidak berada di dalamnya.
Demikianlah
kesimpulan dari “Fil Falsafah al-Ula”,
yang tidak memberi tahu kita bagaimana Allah menggunakan kausalitas atas
ciptaan-Nya. Sayangnya, terdapat sejumlah fragmen dari risalah tersebut yang
hilang, terutama bagian kedua risalah, sehingga isu tersebut tidak dibahas
hingga tuntas. Dengan demikian, telah dijelaskan penyebab efisien pertama yang
jauh, yaitu Allah, yang sekarang beralih menjadi penyebab efisien yang dekat, untuk
menjelaskan kesatuan Allah melalui aktivitas-Nya, yaitu organisasi alam
semesta.
11. Kesimpulan
Bab
keempat berakhir dengan nada empati:
“Karena
apa yang kami maksudkan untuk menjelaskan tentang perbedaan hal-hal yang satu (waahidaat)
yang telah ditunjukkan, sehingga Sang Esa Sejati sebagai Donor (agen yang
memberi atau menyuplai), Pencipta, dan Penyokong Yang Mahakuasa – juga bukan
satu secara metaforis, yaitu yang memperoleh kesatuan dan keberadaan dari Sang
Esa Sejati – menjadi jelas, Dia ditinggikan dan diagungkan dari segala atribut
bidah. Mari
kita selesaikan bagian ini dan mengikutinya dengan terusan alaminya, dengan
bantuan Dia yang memiliki kemahakuasaan penuh, kekuatan sempurna, dan kemurahan
hati yang meluap.”[84]
Beberapa
baris ini memperkuat prolog risalah, yang telah dibuka dengan keberadaan “Sang
Esa Sejati, penyebab semua kebenaran”, yang sekarang diidentifikasikan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta, dan Tuhan Yang Maha Kuasa dari konsep agama. Dengan
demikian, Al-Kindi menutup analisis yang ketat, yang menyimpulkan dari
keterbatasan dunia yang masuk akal, keberadaan Pencipta dan creatio ex
nihilo (penciptaan dari ketiadaan) dunia. Di antaranya, empat bab dan
argumen yang dengan halus dijalin dari tradisi agama dan filsafat yang berbeda
yang semuanya tercermin dalam kesimpulan ini: sementara pengertian tentang
emanasi, dispensasi, dan kausalitas efisien dari Sebab pertama mencerminkan
Neoplatonisme yang memberikan ruang bagi Sang Esa Sejati, Keberadaan Murni,
menciptakan melalui keberadaan-Nya saja; konsep gerakan, keberadaan, dan waktu
mengisyaratkan kerangka kerja konseptual Aristoteles yang tetap bekerja
sepanjang risalah bersama inspirasi Neoplatonisme. Akhirnya, dikotomi majaaz
dengan ḥaqiiqa, serta kata-kata terakhir yang menuduh bidah bagi mereka
yang melekatkan atribut pada Tuhan, menyinggung latar belakang Mu’tazilah, dengan
tanzih merupakan konsekuensi langsung dari tauhid.
Secara
sekilas, risalah ini tampak mengakui doktrin Mu’tazilah tentang Tuhan sebagai
penggerak yang tidak bergerak, seperti di bahas sebelumnya, pada bagian di mana
al-Kindi menyatakan bahwa yang abadi tidak bergerak, karena gerak adalah bagian
dari perubahan, sedangkan yang abadi tidak berubah.[85]
Selain itu, juga dibahas penolakan al-Kindi untuk memberikan atribut atau sifat
kepada Tuhan, yang dianggapnya sebagai bidah dan kemungkinan, untuk menjaga ketransendenan
dan kesatuan-Nya. Pandangan ini terlihat berkaitan erat dengan pandangan Mu’tazilah
yang, demi keabsolutan Tuhan, menolak sifat-sifat untuk-Nya, atau minimal
membatasi atribut-atribut yang dapat dipredikatkan pada-Nya.[86]
Namun,
terdapat kontradiksi yang mesti dijawab mengenai hubungan al-Kindi dengan Mu’tazilah.
Seperti pada bagian awal bab 1 risalah yang memperlihatkan kecaman al-Kindi
pada kelompok cendekiawan yang memegang otoritas, yang disinyalir merupakan kalangan
Mu’tazilah. Selain itu, pandangan al-Kindi yang cenderung pada pembahasan keesaan
Tuhan dan sikapnya meminimalkan atribut atau sifat yang dipredikatkan pada-Nya
bukanlah sesuatu yang hanya unik pada Mu’tazilah. Sejumlah kelompok kalam lain
melakukannya, bahkan pembahasan itu menjadi atmosfer mayoritas di Baghdad pada
masa itu, bahkan juga sebelum dan sesudahnya. Titik awal analisis al-Kindi
cenderung berbeda dengan Mu’tazilah, bahkan juga kebanyakan aliran kalam yang
lain. Kebanyakan aliran kalam dan teolog, termasuk Mu’tazilah, mengambil titik berangkat
dari Quran dan tradisi, kemudian menggunakan berbagai metode dan perangkat yang
ada, bagi Mu’tazilah sepenuhnya nalar, untuk membenarkan doktrin yang mereka
dasarkan pada titik berangkat tadi. Sementara itu, al-Kindi tampak memulai
langsung dari literatur dan tradisi filsafat, baru kemudian mengakomodasinya ke
doktrin agama untuk mencapai koherensi afirmasi filosofis dari kebenaran.[87]
Selain
itu, al-Kindi tidak sepenuhnya menolak sifat atau atribut bagi Tuhan, seperti
pembahasan tentang bagian akhir bab empat sebelumnya. Pada bagian tersebut,
al-Kindi mengaitkan konsep Sang Esa Sejati sebagai Sebab Pertama dengan konsep
Sang Esa Sejati sebagai Agen Donor (agen yang memberi atau menyuplai),
Pencipta, dan Penyokong Yang Mahakuasa, yang memberikan kesatuan, keberadaan,
dan keberlangsungan (tsabat) pada segala keberadaan dengan kesatuan
metaforis/aksidental.[88]
Itu berarti, ia masih memberikan ruang bagi sifat Tuhan. Selain itu, pandangan
tentang Tuhan sebagai agen yang menyuplai kesatuan, keberadaan, dan keberlangsungan
makhluk sebenarnya memiliki sisi yang bertentangan dengan pandangan Tuhan sebagai
penggerak yang tidak bergerak (dalam artian tidak terlibat secara langsung
dalam berjalannya alam semesta, hanya terlibat dalam penciptaan atau penyebab
awal). Itu karena, seperti yang telah dibahas, semua hal yang tidak satu sejati
memperoleh kesatuan dari pihak lain (agen) atau menerima efek dari tindakan
agen, dan bahwa keberadaan sesuatu ada bersama dengan kesatuannya, bila
kesatuannya hilang, keberadaannya juga musnah. Dengan demikian, setiap
keberadaan makhluk memerlukan pemberian terus menerus dari Agen Donor agar
dapat tetap ada, sehingga sesuai dengan konsep Tuhan sebagai agen yang – tidak hanya
memberikan kesatuan dan keberadaan – tetapi juga menjaga keberlangsungan
sesuatu. Dan karena keberadaan makhluk ada dari satu generasi ke generasi
berikutnya hingga Hari Akhir atau suatu batas ajal, maka Tuhan sebagai agen
donor pastilah terus-menerus menyediakan dan menjaga keberadaan dan
keberlangsungan masing-masing dari mereka. Dengan kata lain, Tuhan yang
bertindak sebagai agen yang demikian adalah Tuhan yang terlibat langsung dalam
berjalannya alam semesta, sehingga Tuhan bergerak. Bagian pelik ini mungkin
dapat diperjelas jika bagian yang hilang dari risalah tersebut ditemukan.
Bagaimanapun,
upaya al-Kindi dalam menghadapi tantangan zamannya, di mana peradaban Islam
tengah bersentuhan dengan berbagai peradaban lain seiring meluasnya wilayah,
termasuk Yunani, melalui usaha pembuktian keesaan Tuhan menggunakan
filsafat, sembari tetap mempertahankan doktrin
bahwa alam semesta tidak kekal, memiliki awal dan akhir, serta diciptakan,
patut dihargai dengan layak. Eklektisme al-Kindi, termasuk integrasi
pertanyaan-pertanyaan teologis dalam jalinan filsafat rasional, telah memberikan
pengaruh yang besar dalam perkembangan keilmuan di dunia Islam, salah satunya
dalam pembahasan tauhid sebagai konsep pokok dalam Islam.
Yang
masih harus dilakukan adalah melacak pengaruh al-Kindi pada tradisi filsafat
Aristoteles utama yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibnu Sina,
dan Ibnu Rusyd. Para pemikir itu sejauh ini, kontras dengan al-Kindi dalam tren
ini, meskipun mereka adalah pewaris tradisi yang telah ia “resmikan”, yaitu
integrasi filsafat Yunani ke dalam pembentukan pemikiran filosofis Arab asli.
Eklektisismenya dan keterlibatannya dengan teologi Muslim secara bersamaan
memberikan suatu orisinalitas yang nyata, telah memberikan kontribusi untuk memisahkannya
dari tokoh-tokoh utama filsafat Islam lainnya.
Namun,
ia telah membahas masalah-masalah yang kemudian diambil alih dan dikembangkan
oleh tradisi ini, bahkan dalam arah yang berlawanan, seperti pertanyaan tentang
penciptaan dunia atau kesatuan prinsip pertama. Mencoba untuk menggali
pengaruhnya, bahkan ketika namanya tidak disebutkan, akan berkontribusi untuk
mengintegrasikannya kembali sebagai bagian dari tradisi yang telah ia mulai dan
yang mungkin mengandung jejaknya lebih dari yang telah diakui.
[1] Alfred Lyon Ivry. Al-Kindi’s “First Philosophy” And Cognate Texts:
Translation And Commentary (Oxford: Bodleian Library, 1970) hal.2-6.
[2] Nadim, Abul-Faraj Muhammad b. Ishaq al. (Fihrist) 1871. Kitab al-Fihrist.
Ed. G. Flügel. Leipzig: Vogel
[3] Nadim, Op. Cit.
[4] Al-Kindi
dalam “Fil Falsafah al-Ula” berdasarkan naskah versi Muhammad Abdul Haadi
Abu Riidah, Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah (Kairo: Daarul Fikri
al-Arabiy, 1900), hal.14
[5] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.162
[6] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.103
[7] Al-Kindi
dalam “Fil Falsafah al-Ula” berdasarkan naskah versi Muhammad Abdul Haadi
Abu Riidah, Rasail al-Kindi al-Falsafiyyah
(Kairo: Daarul Fikri al-Arabiy, 1900), hal. 103.
[8] Ivry, Ibid., hal.11-21
[9] Ivry, Ibid., hal.16-18
[10] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal. 114
[11] Nadim, Ibid., hal.256
[12] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal. 111
[13] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.102
[14] Ivry, Ibid., hal.120
[15] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.97-98
[16] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.97-98
[17] Ivry, Ibid., hal.124
[18] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.101
[19] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.172-173 dan Ivry, Ibid., hal.125
[20] Ivry, Ibid., hal.121
[21] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.102
[22] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.104
[23] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.104
[24] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.111
[25] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.106
[26] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.107
[27] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.109
[28] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.110
[29] Ivry, Ibid., hal.139
[30] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.109
[31] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.113
[32] Ivry, Ibid., hal.142-143
[33] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.114
[34] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.114
[35] Al-Kindi, Abu Riidah, Ibid., hal.114
[36] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.116
[37] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.117
[38] Ivry, Ibid., hal.157
[39] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.119-120
[40] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.120
[41] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.204
[42] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.120
[43] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.121
[44] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.119
[45] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.120
[46] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.111
[47] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.111
[48] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.123
[49] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[50] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[51] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.126
[52] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.128
[53] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.132
[54] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.132
[55] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.140-141
[56] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.142
[57] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[58] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[59] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143
[60] Ivry, ibid., hal.179
[61] Ivry, Ibid., 181
[62] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.146-147
[63] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.147
[64] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.147
[65] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.147
[66] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.147-149
[67] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.149
[68] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.150
[69] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.150
[70] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.151-152
[71] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.151
[72] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.153
[73] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.113
[74] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.153
[75] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.159-160
[76] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.160
[77] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.160
[78] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.161
[79] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.143 dan 161-162
[80] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
[81] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.183
[82] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
[83] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
[84] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
[85] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.111 dan 160
[86] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.160. Lihat juga Ivry, ibid., hal.63.
[87] Ivry, Ibid., hal.63-66
[88] Al-Kindi, Abu Riidah, ibid., hal.162
Comments
Post a Comment