Makna Agama dalam Islam Menurut Pemikiran Naquib al-Attas


Istilah "din", yang biasanya dipahami dan diartikan sebagai agama, sesungguhnya memiliki makna dan maksud yang tidak sepenuhnya sama dengan "agama" atau "religion". Maka, ketika kita mengatakan tentang Islam dan menyebutnya serta menyajikannya sebagai "agama", kita sebenarnya memaknai dan memahami makna "agama" dengan makna dan maksud dari istilah “ad-din”.[1]


Kata "din" berasal dari akar kata Arab DYN, yang mengandung banyak makna dasar dengan konsep-konsep yang saling terkait, walaupun tampak saling bertentangan, sehingga penghubung akhir semua makna itu, merupakan kesatuan yang jelas dari keseluruhan artinya. Arti “keseluruhan” di sini adalah yang digambarkan sebagai agama Islam, yang mengandung semua kemungkinan yang relevan dari makna yang melekat dalam konsep “din”.[2]

Karena kita berhadapan dengan konsep Islam yang diterjemahkan ke dalam realitas yang hidup secara intim dan mendalam dalam pengalaman manusia, pertentangan nyata dalam makna dasarnya bukanlah karena ketidakjelasan; melainkan karena perselisihan yang melekat dalam kodrat manusia itu sendiri, yang senantiasa mereka cerminkan dalam hakikat dirinya. Itu karena insan adalah ruh tapi juga jasmani, berakal tapi juga hewani, baik tapi juga jahat, berilmu tapi juga jahil, dan seterusnya.[3]

Makna dasar dari istilah “din” dapat dirangkum dalam empat lingkup makna: (1) keadaan berhutang; (2) keadaan taat atau takluk menyerahkan diri; (3) kuasa dan daya untuk mengatur atau otoritas untuk menghukum, membalas, memberi penilaian, memberi ganjaran, memberi perhitungan, dan memberi pertimbangan; dan (4) kecenderungan bawaan atau tendensi alami yang ada pada diri insan atau kebiasaan yang menjadi adat.[4]

Tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas dan menempatkan mereka dalam konteks yang relevan, lalu membawanya menuju makna final koheren yang dimaksud, yang merujuk kepada keimanan, kepercayaan, amalan, ajaran, landasan berpikir, anutan, dan sistem hidup yang diikuti oleh kaum Muslim, baik secara individu maupun sebagai komunitas, dan yang dimanifestasikan hakikatnya sebagai agama yang dinamai Islam.[5]

Kata kerja dāna, yang terbentuk dari akar kata din, mengandung makna keadaan berhutang dan makna-makna lain yang terkait dengan hutang-piutang. Seseorang yang berhutang, dā’in, haruslah bersedia menaklukkan atau menyerahkan dirinya kepada kehendak dan perintah hukum serta undang-undang mengenai hutang-piutang. Orang itu juga harus menerima syarat-syarat yang dikenakan kepadanya oleh pemberi hutang, dā’in. Akibatnya, orang yang berhutang itu telah mengikat dirinya dalam suatu perjanjian dan tugas atau kewajiban untuk membayar balik atau mengembalikan hutangnya. Keadaan terikat hutang tersebut dinamakan dayn.[6]

Keadaan berhutang serta terikat perjanjian tersebut menimbulkan kaitan dengan perkara hukum, pertimbangan, atau penilaian terhadap sesuatu demi mencapai keputusan yang wajar (daynûnah) dan dengan itu semua, diikuti dengan ikatan kepercayaan (idânah). Keadaan tersebut akan berlaku dalam susunan tata tertib serta peraturan kehidupan  insan yang bermasyarakat, yang hidup berlandaskan kegiatan perniagaan dan perdagangan dalam kota-kota atau bandar-bandar, yang dinamakan dengan kata majemuk: mudun atau madā’in.[7]

Bentuk tunggal dari kota atau bandar itu dinamakan madīnah. Di dalamnya, terdapat kuasa atau otoritas yang menjalankan kerja menjatuhkan hukuman, memberi pertimbangan dan penilaian, menetapkan kuasa pemerintahan, dan seterusnya, yang semuanya terangkum dalam makna istilah dayyân. Semua itu memiliki akar kata yang sama dengan kata “din”, yang secara sederhana sering diterjemahkan hanya sebagai agama, sehingga dapat dianggap sebagai suatu tatanan kehidupan adabi dengan tata susila yang luhur untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang teratur dan tertib dalam kawalan hukum dan undang-undang serta kuasa keadilan dan hikmat kewibawaan.[8]

Istilah madȋnah atau kota itu sendiri berkaitan erat dengan pembangunan karena kota diwujudkan melalui pembangunan. Kegiatan membina, membangun, mendirikan bandar-bandar, menaikkan ke taraf yang beradab, menghaluskan budi pekerti, menimbulkan sifat insani, dan menjadikan manusia lebih berperikemanusiaan terangkum dalam istilah maddana, sehingga tidak hanya mencakup pembangunan fisik. Kata kerja maddana tersebutlah yang membentuk istilah tamadun.[9]

Kata tamadun dapat diartikan sebagai keadaan kehidupan insan yang bermasyarakat yang telah mencapai taraf kehalusan tata susila dan kebudayaan yang luhur bagi seluruh masyarakatnya. Dengan begitu, kata tamadun dapat dimaknai sebagai peradaban, yang juga berarti kota berlandaskan kebudayaan, kebudayaan berlandaskan kota, atau suatu tempat atau komunitas yang dibangun atas dasar agama.[10] Keseluruhan istilah tersebut memiliki akar yang sama dengan istilah din, sehingga peradaban memang terkait dengan agama, di mana agama Islam menjadi dasar tegaknya suatu tamadun atau peradaban Islam.

Lalu bagaimana bisa agama Islam itu menjadi dasar tegaknya suatu peradaban? Pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menghubungkan ruang lingkup makna din yang telah dibahas dengan makna Islam. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa din atau agama bermakna keadaan diri berhutang yang membuat seseorang menaklukkan dirinya untuk menuruti ketentuan dan menaati otoritas Tuhan, yang terwujud dalam seperangkat sistem akidah (kredo), tradisi (kaidah dan keilmuan), dan syariat (tata peribadatan), yang akan membawanya pada kebiasaan yang sesuai dengan kecenderungan insaninya.

Sekarang, makna din itu dapat dihubungkan secara erat dengan makna Islam. Islam memiliki sejumlah lingkup makna: (1) berserah diri, terkait dengan aslama, istaslama, dan istislam; (2) mengakui, menyerahkan kuasa, dan menerima sesuatu, terkait dengan sallama, yusallimu, taslīm; (3) damai, sejahtera, stabilitas, keselamatan, dan harmoni, terkait dengan silm dan salām; (4) berada dalam kondisi yang baik, tidak rusak, tidak cacat, menjadi benar, lurus, penuh, lengkap, dan integral, terkait dengan salīm; (5) menyelamatkan, memperbaiki, menyatukan, dan merekonsiliasi, terkait dengan sallama dan sālama; dan (6) tangga, sesuatu yang bertingkat, terkait dengan sullam.[11]

Dengan demikian, makna Islam dapat dituangkan sebagai suatu bentuk penyerahan diri dan pengakuan serta penerimaan seseorang terhadap otoritas Allah dalam mengatur kehidupan seseorang, sehingga hidupnya dapat diarahkan kepada jalan yang lurus, dengan kebaikan dan keadilan yang sempurna dan integral, yang diupayakannya secara bertingkat sesuai kemampuan, agar manusia itu dapat mencapai keselamatan dan kesejahteraan pribadi, serta perbaikan masyarakat dan lingkungan.

Cocoklah makna Islam yang demikian itu dihubungkan dengan makna “din” yang telah dibahas sebelumnya, dengan pokoknya berjalin pada pengakuan atau penyerahan diri kepada otoritas Allah. Itu karena dalam “din Islam”, keberadaan manusia di dunia ini merupakan suatu karunia Allah, berikut juga segenap kondisi yang memelihara kehidupan manusia itu, seperti jasad, makanan, udara, air, sinar matahari, dan lain-lain. Dengan demikian, manusia itu dipandang berhutang kebaikan kepada Allah, yang disebut sebagai ad-Dayyān, Sang Pemberi Hutang.[12]

Namun, karena manusia tidak memiliki dan menguasai apa pun, fakir di hadapan Allah Yang Maha Kaya, ia tidak punya pilihan untuk membayar hutang itu selain dengan menyerahkan dirinya kepada Allah. Dengan menyerahkan diri pada Allah, manusia mengakui otoritas Allah atas dirinya, sehingga hidupnya, matinya, ibadahnya, dan segala sesuatu yang ia lakukan diperuntukkan bagi Allah.[13] Dengan begitu, hidupnya pun diupayakannya agar senantiasa berada dalam tuntunan dan ketentuan Allah, menerima standar-Nya tentang kebaikan dan keburukan, serta memperjuangkan cita-cita yang sesuai dengan jalan-Nya.

Segenap tuntunan, ketentuan, dan jalan Allah yang diikuti manusia itulah din Allah, yang dengan sendirinya memiliki keselarasan dengan kecenderungan kebaikan alami manusia (fitrah insani). Sederhananya, dengan mengikuti din Allah itu, hidup manusia akan menjadi lebih insani, tidak diperbudak oleh nafsu hewani dalam dirinya maupun ritme mekanis masyarakat pasarnya. Dengan demikian, akan terbentuk pribadi manusia yang utuh, insan kamil.[14] Pribadi-pribadi itu berkumpul membentuk keluarga dan komunitas, yang dalam skala lebih besar, akhirnya membentuk suatu masyarakat.

Karena pribadi sebagai unit terkecil masyarakat itu menjalankan hidupnya sesuai dengan din, maka komunitas dan masyarakat yang dibentuknya juga akan tumbuh berdasarkan din tersebut. Masyarakat demikian adalah masyarakat yang madani, masyarakat yang dibangun berbasis din. Di tengah masyarakat madani itulah, buah peradaban akan terbangun, sehingga berkembanglah tamadun. Sekali lagi, din Islam dan tamadun memiliki kaitan yang erat.

Dengan demikian, agama Islam, dalam pengertian istilah “din”, tidak hanya berarti sistem kepercayaan dengan seperangkat ritual peribadatan belaka, tetapi juga mencakup seluruh falsafah hidup, landasan berpikir, sistem moral, perilaku, hingga sistem kehidupan yang mencakup seluruh hal yang menjadi dasar suatu peradaban (tamadun), baik itu ilmu pengetahuan, sosial-budaya, ekonomi, hukum, kesehatan, pemerintahan, politik, dan lain-lain.




[1] Naquib Al Attas. Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak (Kuala Lumpur: IBFIM,2013), hal.3
[2] Al Attas. Ibid., hal.4
[3] Al Attas. Ibid., hal.4
[4] Al Attas. Ibid., hal.5
[5] Al Attas. Ibid., hal.5
[6] Al Attas. Ibid., hal.5-6
[7] Al Attas. Ibid., hal.6
[8] Al Attas. Ibid., hal.6-7
[9] Al Attas. Ibid., hal.8
[10] Hamid F. Zarkasyi. “Tamaddun sebagai Konsep Peradaban Islam”. Tsaqafah Jurnal Peradaban Islam. Vol. 11, No. I, Mei 2015, hal. 5-6. [DOI: http://dx.doi.org/10.21111/tsaqafah.v11i1.251 ], hal.7-8
[11] Kamus Al Maany (https://www.almaany.com/, diakses pada 11 April 2020)
[12] Zarkasyi. Ibid., hal.7-8
[13] QS Al An’am 6:162
[14] Zarkasyi. Ibid., hal.17

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee