Mengenal Naturalisme


Tidak dapat dipungkiri, naturalisme telah menjadi paham, paradigma, atau pandangan hidup yang mendominasi studi manusia, baik dalam sains natural maupun sains sosial. Buku populer “Sapiens” Yuval Noah Harari misalnya, jika ditinjau, akan memperlihatkan corak pandang naturalisme metodologis dan naturalisme ontologis yang digunakan secara berlebihan, sehingga reduktif terhadap sejarah, dengan menganggapnya selalu berjalan linier. Padahal, sejarah, dan terlebih peradaban, senantiasa mengalami kondisi naik dan turun; tidak selamanya yang diperikan sebagai “modern” dan “kontemporer” lebih maju dari yang “lama” dan “kuno”. Namun, apakah paham ini tiada terhindarkan dalam setiap studi yang mesti kita jalani? Tentu tiada satu pun dari persoalan itu akan dibahas mengingat keterbatasan (semoga bisa pada kesempatan-kesempatan selanjutnya). Coretan ini tiada lain ialah suatu perkenalan ringkas terhadap naturalisme, yang mungkin telah dianut tiap-tiap dari kita dengan atau tanpa sadar. Malahan ini hanya cuplikan dari tulisan yang lebih besar yang tidak dapat ditampilkan seutuhnya. Semoga bermanfaat.

Naturalisme
Naturalisme adalah ide atau falsafah bahwa semua hal di dunia dan hidup ini berdasarkan sebab-sebab dan hukum-hukum alam, bukan spiritual ataupun supernatural.[1] Dengan kata lain, paradigma ini memandang bahwa semua fenomena yang ada tidak boleh dijelaskan menggunakan hal-hal spiritual atau supernatural, tapi harus dijelaskan menggunakan metode ilmiah. Naturalisme dapat dibagi menjadi komponen ontologis dan komponen metodologis.[2]
Komponen ontologis berkutat pada isi dari realitas, mengajarkan bahwa realitas tidak memiliki tempat untuk entitas supernatural atau gaib. Sementara, komponen metodologis berpusat pada cara penyelidikan terhadap realitas dan mengklaim sejumlah otoritas umum dalam metode sains.[3] Paradigma dengan komponen ontologis disebut sebagai naturalisme ontologis, sementara komponen metodologis terejawantah dalam paradigma naturalisme metodologis.
Naturalisme Ontologis
Pemikiran sentral dalam naturalisme ontologis adalah bahwa semua entitas spasial-temporal harus identik dengan atau secara metafisik tersusun atas entitas-entitas fisik. Banyak naturalis-ontologis mengadopsi sikap fisika-lis pada subjek mental, biologi, dan subjek materi khusus yang lain. Mereka beranggapan bahwa tidak ada satu pun pada realitas mental, biologi, dan sosial selain susunan entitas-entitas fisik.[4] Sederhananya, paradigma ini memandang bahwa sebab semua hal di alam ini bersifat fisik.
Perkembangan paradigma ini berawal dari para filsuf mekanik pada awal abad ke-17 yang memandang bahwa setiap benda material menjaga kecepatan tetap sama kecuali dikenai aksi, dan bahwa aksi itu diakibatkan oleh tumbukan antar material. Leibniz di antaranya menyatakan ini dengan jelas dan menyimpulkan bahwa pandangan ini menggugurkan dualisme interaktif Descartes, yang memungkinkan pengaruh pikiran non-material terhadap dunia fisik. Ini masih terbatas karena Leibniz masih menyangkalnya diterapkan pada aspek mental atau pikiran.[5]
Perkembangan selanjutnya terjadi pada akhir abad ke-17 saat fisika Newton menggantikan filsafat mekanis Descartes dan Leibniz. Fisika Newton masih mengakui gaya-gaya “mental” atau “vital” di samping gaya-gaya fisika seperti gaya magnet, kimia, kohesif, gravitasi, dan gaya tumbukan, yang melakukan aksi terhadap dunia material dan menghasilkan dampak yang sejalan dengan prinsip-prinsip fisika. Selebihnya, tidak ada prinsip-prinsip dasar mekanika Newton yang menghentikan sepenuhnya gaya-gaya mental yang timbul spontan dan otonom (dengan sendirinya), sejalan dengan operasi pikiran yang dikemukakan Descartes dan Leibniz.[6]
Pada pertengahan adab ke-19, konservasi energi kinetik dan potensial diterima sebagai prinsip dasar fisika. Adanya prinsip konservasi energi ini membuat konsep gaya mental yang otonom dan spontan tidak dapat diterima lagi karena jika gaya mental atau vital itu datang secara spontan dan otonom, maka energi total pada benda akan bertambah, sehingga menyalahi prinsip konservasi energi.[7] Dengan begitu, dualisme interaktif Descartes semakin ditinggalkan, dengan penjelasan sebab suatu perubahan lebih berorientasi interaksi fisik.
Terakhir, pada awal abad ke-20, sains semakin membatasi kemungkinan yang menjadi penyebab efek fisik, sehingga kausa mental atau vital sepenuhnya ditolak. Detail riset psikologi pun, khususnya sel syaraf, telah memberi indikasi bahwa tidak ada efek fisik yang tidak dapat dijelaskan melalui gaya-gaya fisika yang juga terjadi di luar tubuh makhluk hidup. Pada pertengahan abad ke-20, pandangan gaya mental telah menjadi minoritas akibat tersebarnya doktrin “causal closure” atau kelengkapan kausa fisika, di mana semua efek fisik sepenuhnya disebabkan oleh sebab fisik.[8]
Perkembangan itu pada akhirnya membangkitkan fisikalisme (physicalism) dalam dunia sains modern, yang kemudian diadopsi oleh berbagai cabang ilmu, termasuk dalam kajian agama. Dengan kecenderungan naturalisme ontologis yang membatasi atau bahkan menegasikan kausa non-fisik terhadap kejadian-kejadian fisik, maka pandangan-pandangan naturalistis, rasionalis, dam empiris dalam memandang agama pada para pemikir Barat, sebagaimana dibahas di atas, adalah suatu perkembangan yang wajar muncul dari latar belakang tersebut.
Paradigma naturalisme ontologis dalam memandang sebab sesuatu itulah yang menyebabkan pemahaman Hume tentang wahyu haruslah berupa suatu bangunan kausa ilahi di dunia fisik. Demikian juga pandangan Hobbes tentang kausa wahyu yang menginspirasi melalui mimpi, visi, atau eminent grace, yang dianggapnya sebagai suatu kerja otak dan organ dalam yang melanjutkan pengalaman sadar seseorang.[9] Begitu juga dengan pandangan Spinoza tentang tidak mungkinnya entitas ilahi menyebabkan kejadian natural. Tidak berbeda pula dengan anggapan Kant bahwa Tuhan hanya bisa menurunkan wahyu dan agama dalam batas-batas empiris.  Semuanya, baik sebagian atau seutuhnya, entah sepenuhnya fisikalis atau masih memberi ruang pada kausa supernatural, sama-sama berdasarkan paradigma naturalisme ontologis.
Naturalisme Metodologis
Naturalisme metodologis dipahami sebagai pandangan tentang praktik filosofis. Filsafat dan sains dipandang terkait pada bidang yang sama, mengejar tujuan yang sama dengan metode yang sama. Dalam lingkaran filsafat agama, naturalisme metodologis dipahami berbeda, sebagai tesis tentang metode sains natural itu sendiri, bukan lagi tentang metode filosofis. Dalam hal ini, naturalisme metodologis meyakinkan bahwa komitmen religius tidak memiliki relevansi di dalam sains dan bahwa sains natural tidak memerlukan sikap keagamaan yang spesifik, dan dapat dipraktikkan seperti kepercayaan para ateis dan agnostik.[10]
Paradigma ini muncul sebagai konsekuensi terbangunnya bukti-bukti sains selama abad ke-20 karena penutupan sebab-akibat fisik, suatu doktrin bahwa semua akibat fisik hanya dapat disebabkan oleh sebab-sebab fisik pula.[11] Sejumlah pemikir menganggap naturalisme metodologis hanya disiplin metode yang tidak mengatakan apa pun tentang keberadaan Tuhan, sebagai pembedaan terhadap  naturalisme metafisik yang menolak eksistensi Tuhan yang transenden. Namun, kecenderungan yang terjadi tetaplah menafikan adanya keberadaan supernatural, termasuk Tuhan.
Karena naturalisme metodologis ini memusatkan perhatian pada metode pembelajaran atas sifat dasar sesuatu, evaluasi klaim eksistensi, dan identifikasi mekanisme kausalitas suatu fenomena, paradigma ini bermaksud untuk menjelaskan dan menguji hipotesis, upaya, dan kejadian ilmiah dengan rujukan kausa natural. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa studi suatu ilmu berdasarkan paradigma ini selalu berada dalam kerangka kerja hukum alam dengan pendekatan yang kognitif terhadap realitas.
Paradigma yang awalnya hanya diterapkan dalam sains natural ini kemudian meluas ke berbagai bidang termasuk sosial-humaniora dan agama. Berdasarkan uraian perspektif Barat tentang wahyu sebelumnya, dapat diketahui bahwa kritik-kritik para pemikir modern tentang wahyu mengandung naturalisme metodologis sebagai paradigma dasarnya. Hal ini tercermin dari kuatnya upaya penggeseran diskusi wahyu kepada aspek-aspek rasio-empiris. Hal ini terutama pada pemikiran Kant dan Fichte.
Seorang naturalis metodologis akan menyelidiki suatu fenomena berdasarkan teori sintetis yang dapat dijawab berdasarkan eksperimen dan data empiris melalui penilaian posteriori. Suatu progres dipandang memerlukan pembentangan premis-premis yang ada, termasuk asumsi-asumsi implisit sekalipun, dan disertai dengan pencarian posisi alternatif yang tidak menghasilkan kontradiksi lebih lanjut. Di situlah hipotesis akan diuji terhadap penemuan observasi dan eksperimen.
Bahkan, konsep-konsep abstrak seperti free will, moral value, atau conscious experience juga ditinjau berdasarkan pendekatan sains pada mulanya, sebelum dapat diselidiki secara metafisik. Pertanyaan awal tersebut dikaitkan dengan cakupan atau rentang dari hal-hal yang terkait sebagai satu set dari asumsi-asumsi yang relevan kemudian dikombinasikan dengan suatu aksi untuk membangun suatu struktur internal yang signifikan.
Singkatnya, metode pembuktian empiris digunakan sebagai dasar setiap keilmuan, tak terkecuali studi wahyu. Hal ini pada akhirnya melahirkan metode studi wahyu yang menabrak aspek sakral teks. Itu karena teks itu diragukan sebagai suatu wahyu yang otentik, lantaran autentisitas wahyu dianggap tidak dapat dibuktikan, sebagaimana pemikiran Kant, Fichte, Spinoza, dan lain-lain.



[1] Oxford Learners Dictionary, “naturalism”, (https://www.oxfordlearnersdictionaries.com/definition/english/naturalism?q=naturalism, diakses pada 14 Maret 2020)
[2] David Papineau, "Naturalism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2016 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = .
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Ibid.
[11]  Papineau, David (2011). "The Rise of Physicalism". Physicalism and its Discontents. Cambridge.

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee