Perspektif Siklus dan Teori Gelombang Nikolai Kondratiev


Pokok: filsafat sejarah, perputaran peradaban, Gelombang Kondratiev, Siklus Arnold Toynbee, Siklus Ibnu Khaldun, Siklus Oswald Spengler, Siklus Pitirim Sorokin
Ada suatu pepatah tentang perputaran zaman. Zaman yang berat menghasilkan orang yang hebat. Orang yang hebat menghasilkan zaman yang mudah. Zaman yang mudah menghasilkan orang yang lemah. Orang yang lemah menghasilkan zaman yang berat. Lalu, kembali ke awal, zaman yang berat menghasilkan orang yang hebat, dan seterusnya demikian hingga membentuk suatu siklus. Siklus adalah salah satu konsep paling fundamental dalam bangunan ilmu pengetahuan manusia. Dan siklus perputaran itu, setidaknya menurut Nikolai Dimitrievich Kondratiev (juga ditulis Kondratieff), tiada lain ialah berbentuk gelombang.[1]
Siklus Ekonomi
Siklus Kondratiev awalnya diperkenalkan oleh ekonom-sosiolog Rusia tersebut dalam rangka menerangkan siklus ekonomi jangka panjang yang dialami harga produk pertanian dan tembaga, dengan periode 50 hingga 60 tahun dan terdiri dari berbagai fase yang berulang-ulang. Dia meyakini siklus semacam itu sebagai akibat dari evolusi dan inovasi teknologi. Ekonom Joseph Schumpeter menyarankan agar nama teori gelombang itu diganti menjadi Gelombang Kondratiev. Sejak abad ke-18, para ekonom telah mengidentifikasi lima Gelombang Kondratiev. Siklus pertama, berlangsung antara tahun 1780-1830, didorong oleh penemuan mesin uap dan pertumbuhan manufaktur tekstil.[2]
Siklus kedua didorong oleh pertumbuhan industri baja dan dimulainya konverter kereta api. Siklus ini berlangsung antara 1830 hingga 1880. Perkembangan kereta api telah memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat karena fungsinya sebagai transportasi massal, baik orang maupun kargo. Siklus ketiga berlangsung dari tahun 1880 hingga 1930. Pendorong utamanya adalah aplikasi praktis ilmu pengetahuan ilmiah. Pada periode ini, Werner von Siemens menemukan prinsip elektrodinamis yang memungkinkan untuk mengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Inovasi dalam industri kimia juga memungkinkan produksi massa berbagai komoditas.[3]
Siklus keempat berlangsung antara tahun 1930 hingga 1970. Siklus ini terutama didorong oleh pertumbuhan industri petrokimia, yang mana juga memacu pertumbuhan pasar mobil. Akhir siklus ini ditandai dengan kebijakan OPEC untuk menaikkan harga minyak mentah pada tahun 1970-an. Siklus kelima dimulai tahun 1970-an. Pemicunya adalah perkembangan teknologi informasi berbasis komputer. Siklus ini dipercaya telah berakhir pada awal abad ke-21. Sebagian besar ekonom percaya bahwa siklus keenam dimulai tahun 2005. Namun, ada yang berpendapat bahwa siklus itu dimulai tahun 2010. Siklus ini ditandai dengan perkembangan teknologi ramah lingkungan, nanoteknologi, dan bioteknologi. Dalam satu gelombang Kondratiev sendiri, terdapat empat bagian, yaitu kemakmuran (prosperity), resesi (recession), depresi (depression), dan kebangkitan (improvement).[4]
Memang tentulah terdapat kekurangan dan kelemahan dalam teori ini, terutama dalam penerapannya pada detail-detail statistik dan sejarah, tapi ide dasarnya soal siklus sejarah, dalam hal ini mengenai perputaran ekonomi, cukup dapat diterima. Tidak hanya Kondratiev, terdapat sejumlah peneliti lain yang mencoba menguraikan roda perekonomian dalam bentuk siklus, seperti siklus Kitchin tentang pengaruh faktor alamiah dan adat terhadap perekonomian dengan periode 3-5 tahun, siklus Investasi Tetap Juglar tentang peralihan modal tetap dan perubahan tingkat pemanfaatan modal dengan periode 7-11 tahun, siklus investasi infrastruktur Kuznets dengan periode 15-25 tahun, hingga siklus penawaran ternak Mordecai Ezekiel-Arthur Hanau.[5]
Siklus Sejarah
Dalam sejarah, terdapat sejumlah penggunaan perspektif siklus dalam analisis perkembangan sejarah suatu peradaban atau bangsa yang penting untuk ditinjau, di antaranya siklus Ibnu Khaldun (1332-1406), Oswald Spengler (1880-1936), Arnold Toynbee (1889-1975), dan Pitirim Sorokin (1889-1968).
Siklus Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun merupakan orang yang pertama kali menerapkan metode eksperimen sosiologis dalam penulisan sejarah. Pandangannya tentang perkembangan sejarah terbilang modern di antara para sejarawan dan filsuf zaman pertengahan. Hampir semua pemikiran sejarah Ibnu Khaldun dimuat dalam bukunya, al Mukaddimah, yang merupakan pengantar dari buku sejarah yang lebih besar, Kitab al Ibar. Buku itu salah satunya dapat dijumpai melalui penerjemahan oleh Franz Rosenthal. Ensiklopedia Encarta sebagaimana dikutip Sartini menuliskan: [6]
Ibn Khaldun outlined a philosophy of history and theory of society that are unprecedented in ancient and medieval writing and that are closely reflected in modern sociology. Societies, he believed, are held together by the power of social cohesiveness, which can be augmented by the unifying force of religion. Social change and the rise and fall of societies follow laws that can be empirically discovered and that reflect climate and economic activity as well as other realities.
Kerangka pemikiran tentang filsafat sejarah dan teori masyarakat Ibnu Khaldun dianggap tidak linier dengan pemikiran yang berkembang pada zaman kuno dan abad pertengahan, tetapi sebaliknya, secara lebih dekat terefleksikan pada pengetahuan sosiologi modern. Pemikiran sejarah kritis Ibnu Khaldun ini merupakan satu pemikiran yang melandasi pemikiran modern Eropa tentang sejarah pada periode selanjutnya, seperti Jean Bodin (1530-1596), Jean Mabilon (1632-1707), Berthold George Niebur (1776-1831), hingga Leopold van Ranke (1795-1886).[7]
Menurut kutipan tersebut, dalam pandangan Khaldun, masyarakat dikuasai oleh kohesivitas sosial yang dapat diperkuat oleh kekuatan agama sebagai penyatu. Perubahan sosial, naik dan turunnya masyarakat mengikuti hukum yang secara empiris dapat ditemukan dan terefleksikan dalam aktivitas dan kondisi ekonomi sebagai realitas. Khaldun melakukan studi penting tentang faktor sosiologi, psikologi, dan faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap pembangunan, perkembangan, dan jatuhnya peradaban. Teori Ibnu Khaldun bermula dari pandangannya bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan hidupnya. Maka, menurutnya, kehidupan masyarakat dan organisasi sosial merupakan suatu keharusan (ḍaruriy). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, inilah yang disebut peradaban. Masyarakat kemudian memerlukan seorang pemimpin yang mempunyai pengaruh untuk menjadi pemersatu dan penengah, otoritas, serta pengendali kekuasaan.[8]
Seiring tumbuh-kembangnya masyarakat, kebutuhan pemimpin ini meningkat sehingga diperlukan lingkaran-lingkaran pendukung atau pembantu kepemimpinan, maka muncullah organisasi pemerintahan, yang meliputi menteri-menteri, perdana menteri, tentara, gubernur, dan lain-lain hingga terbentuklah suatu daulat, dinasti, atau kerajaan. Selanjutnya, daulat itu mengalami perkembangan dan pasang-surut atau timbul-tenggelam. Tahapan ini didasarkan atas teori ʿaṣabiyyah (solidaritas, keterikatan, atau kohesivitas sosial). Terdapat lima tahap timbul-tenggelamnya suatu daulat atau peradaban tersebut. Pertama, tahap sukses atau konsolidasi, yaitu ketika otoritas negara didukung oleh masyarakat (ʿāṣabiyyah) yang berhasil mendirikan daulat dan atau menggulingkan daulat atau dinasti sebelumnya. Kedua tahap sejahtera, yaitu tahap ketika kedaulatan telah dinikmati; segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. Ketiga, tahap kepuasan hati, ketenteraman, dan kedamaian; pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. Keempat, tahap hidup boros dan berlebihan, saat penguasa telah banyak melalaikan kepentingan rakyat dan hidup semaunya. Kelima, tahap tirani, yaitu tahap ketika penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyat, terutama saat rakyat mulai melakukan protes terhadap kelalaian negara atas urusan mereka.[9]
Tahap-tahap ini menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi. Pertama, generasi pembangun, yaitu generasi dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus-tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang di dukungnya. Kedua, generasi penikmat yang diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan dan kemudian menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan daulat, rakyat, bangsa, atau negara. Ketiga, generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosional dengan daulat, sehingga mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib daulat. Sehubungan dengan generasi itu, Khaldun mengatakan bahwa perjalanan dinasti atau daulat terjadi dalam tiga generasi dengan umur alamiah 120 tahun. Asumsinya, setiap periode kepemimpinan akan berjalan selama 40 tahun, dan usia 40 tahun itulah puncak perkembangan dan kejayaan suatu dinasti. Umur dinasti ini dianggap cukup untuk tumbuh dan berkembang, dan dikatakan bahwa sangat jarang ditemukan dinasti yang melebihi umur tersebut.[10]
Perkembangan tersebut akan terjadi dalam satu dinasti atau daulat dan akan berulang lagi dengan kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi demikian seterusnya hingga menjadi siklus.
Siklus Oswald Spengler
Pemikiran filsafat sejarah Spengler banyak tertuang dalam bukunya “Der Untergang des Abendlandes” (Decline of the West) atau Keruntuhan Dunia Barat. Ia menjelaskan bahwa setiap kebudayaan dan peradaban memiliki jiwa yang unik atau suatu model seni dan pemikiran tertentu, memiliki kekhasan masing-masing yang sulit disamakan dengan budaya dan peradaban lain. Ia juga menjelaskan bahwa setiap kebudayaan akan melalui satu siklus kehidupan, yaitu tumbuh (growth), busuk (decay), dan mati. Ia mengibaratkannya seperti siklus biologi suatu organisme. Melalui analisisnya, ia mencoba menerangkan bahwa budaya Eropa sudah memasuki tahap final dari eksistensinya, yang ditandai dengan ekspansi teknologi dan politik, sehingga bersiap memasuki penurunan. Tesisnya ini menjadi kontroversial dan mendapat sorotan banyak pihak. Namun, penjelasannya bahwa perkembangan pada masyarakat merupakan siklus yang akan terus berulang dan tidak berarti kumulatif merupakan konsep yang menarik dalam bahasan ini. Selain hidup organisme, ia juga mengibaratkan peradaban manusia seperti gelombang lautan, lahir, tumbuh-kembang, di puncak, turun, dan mati. Namun, ia tidak menjelaskan secara lanjut apa yang dimaksudkannya sebagai matinya peradaban atau kebudayaan, entah itu lenyap atau jumud.[11]
Siklus Arnold Toynbee
Pemikiran filsafat sejarah Toynbee banyak tertuang dalam bukunya, “A Study of History”. Karya itu didasarkan atas tesis Toynbee bahwa sejarah merefleksikan suatu kemajuan peradaban atau masyarakat sebuah negara. Ia menganalisis lahir, tumbuh, dan disintegrasinya peradaban dari suatu sejarah dunia. Baginya, kegagalan peradaban untuk tetap hidup merupakan hasil dari ketidakmampuan peradaban tersebut untuk merespons tantangan moral dan religius. Munculnya kebudayaan dan peradaban dikarenakan adanya tantangan dan jawaban. Sejarah peradaban dimulai dari adanya tantangan. Tantangan pertama biasanya berupa tantangan fisik. Situasi sulit yang dihadapi manusia akan memantik kreativitas manusia. Dalam situasi ini, manusia ditantang dan dirangsang untuk berbuat sesuatu.[12]
Maka, peradaban berkembang karena manusia berjuang dan mampu mengatasi tantangan. Civilization come to birth and proceed to grow by succesfully responding to succesive challenges. Respons pertama akan muncul sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan dan fisik. Tantangan berikutnya yang muncul pada generasi kedua atau ketiga adalah tantangan dari lingkungan manusiawi (u interregnum) suatu kekacauan sosial setelah keruntuhan dan disintegrasi pendahulunya. Semakin besar tantangan, jawaban atau respons tidak selalu mampu dihasilkan. Namun, tantangan yang terlalu lemah justru tidak dapat membangkitkan peradaban. Tantangan dengan skala yang tepatlah yang dapat dikelola secara baik sehingga menghasilkan respons yang berujung pada perkembangan suatu aspek peradaban.[13]
Pertumbuhan kebudayaan terjadi karena ada anggota kreatif yang menanggapi aspek pertumbuhan. Ada dua aspek pertumbuhan kebudayaan, yaitu aspek lahiriah (outward) yang tampak sebagai penguasaan secara progresif atas lingkungan luar, dan aspek batiniah yang terwujud dalam penentuan diri (self determination). Penaklukan lingkungan luar dapat berupa penaklukan militer dan ekspansi geografis di satu sisi, serta perbaikan teknik material dengan munculnya teknologi di sisi lain. Namun, aspek lahiriah ini disinyalir tidak membawa pada pertumbuhan peradaban, justru mengarah pada gejala jatuhnya (disintegrasi) peradaban. Maka, penentu pertumbuhan peradaban adalah adanya penentuan diri yang progresif. Di sini, teknologi pun berperan membuka jalan, tetapi semakin manusia menguasai teknik material, mereka juga harus mampu menjawab tantangan spiritual. Keadaan ini disebut sebagai etherialization.[14]
Selanjutnya, dijelaskan cara untuk melakukannya, yaitu dengan adanya individu atau komunitas kreatif yang melakukan withdrawal and return (undur diri dan kembali). Artinya, individu atau komunitas kreatif ini mengundurkan diri dari kehidupan sosial dan kemudian kembali lagi ke masyarakat dengan tugas untuk memberikan pencerahan dan penerangan kepada masyarakat. Dengan upaya ini, diharapkan akan muncul upaya evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan dan inspirasi untuk mengajukan rencana masa depan yang lebih baik. Tujuan undur diri dan kembali ini hanya akan tercapai bila upaya yang dilakukan oleh pelakunya diterima oleh masyarakat. Penerimaan masyarakat berarti diterimanya ide yang dibawa pelaku itu untuk diikuti oleh warga masyarakat dengan mencontoh/meniru (mimesis). Sebaliknya, bila masyarakat menolak atau ide barunya tidak berkembang, berarti upaya tersebut dapat dikatakan gagal.[15]
Ketika peradaban dan kebudayaan sudah berkembang dan maju, dimungkinkan bahwa kreativitas aktor perubahan itu – yang telah menjadi pimpinan masyarakat – mandek. Sayangnya, minoritas yang dulu kreatif kemudian menguasai masyarakat itu, biasanya akan mempertahankan kekuasaannya, sering dikenal dengan mempertahankan status quo. Mandeknya kreativitas dan menguatnya hasrat menggenggam kekuasaan ini nantinya akan memunculkan disintegrasi. Dalam kondisi ini, disintegrasi mulai terjadi dan muncullah sempalan-sempalan (skisma) dan kelahiran kembali (palingenesis). Selanjutnya, kelahiran kembali berarti tantangan baru bagi pelaku peradaban. Maka, sejarah akan berjalan berulang dengan mengikuti pola ini.[16]
Pola itu dianggap sebagai suatu keniscayaan dari suatu kebudayaan dan peradaban. Suatu kebudayaan dan peradaban akan lahir, tumbuh dan mati dengan disusul lahirnya kebudayaan dan peradaban baru. Yang ditekankan oleh Toynbee adalah adanya pengaruh aktor yang dapat membuat kebudayaan dan peradaban tersebut mengalami progres. Melihat penjelasan mengenai tantangan dan jawaban di atas, dapat dikatakan bahwa selain aktor, besar kecilnya tantangan dapat menjadi faktor pemicu (triger) bagi pengembangan kebudayaan dan peradaban. Bagi Toynbee, peradaban adalah suatu gerakan atau proses, bukan suatu kondisi; suatu perjalanan, bukan pelabuhan. Civilization is a movement not a condition, a voyage not a harbour.[17]
Siklus Pitirim Sorokin
Siklus perubahan sosial Pitirim Sorokin didasarkan atas klasifikasinya terhadap tiga tipologi masyarakat dalam perkembangan budaya. Klasifikasi tersebut dikembangkannya berdasarkan konsep atau pemahaman ontologis suatu masyarakat tentang makna keseluruhan realitas. Menurutnya, terdapat tiga tipologi mentalitas budaya, yaitu ideasional (realitas adalah spiritual), material (realitas adalah material), dan idealistis yang merupakan sintesis dari ideasional dengan material. Sorokin mengatakan bahwa kebanyakan kebudayaan mengikuti arus perkembangan dari ideasional, material, dan menuju pada idealistis. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah menunjukkan adanya fluktuasi zaman, yaitu naik-turun, pasang-surut, timbul-tenggelam. Ia menyatakan adanya kebudayaan universal dan bahwa di alam kebudayaan, terdapat masyarakat dan aliran kebudayaan dengan tiga tipe tertentu tadi.[18]
Pertama, mentalitas ideasional, mempunyai dasar pemikiran bahwa kenyataan itu bersifat non-material, transenden, dan tidak dapat ditangkap oleh pancaindra. Dunia dianggap sebagai ilusi, sementara, dan tergantung pada dunia transenden atau sebagai aspek kenyataan yang tidak nyata, tidak sempurna, tidak lengkap. Kenyataan adalah sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan atau nirwana. Kata kuncinya adalah kerohanian, ketuhanan, keagamaan, kepercayaan. Tuhan merupakan realitas tertinggi. Sistem ini terbagi atas: (1) ideasional asketis, yaitu mengurangi atau meninggalkan kebutuhan dan keinginan duniawi supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden; (2) ideasional aktif, yaitu mengurangi atau meninggalkan kebutuhan dan keinginan duniawi sekaligus mengubahnya agar selaras dengan dunia transenden.[19]
Kedua, mentalitas material, dasar pemikirannya adalah dunia material yang ada di sekitar manusia sebagai satu-satunya kenyataan yang ada. Keberadaan kenyataan yang tak terindra atau yang transenden disangkal. Kata kuncinya serba jasmaniah, mengenai keduniawian, berpusat pada pancaindra. Sistem ini terbagi atas: (1) material aktif, yaitu usaha untuk mengubah dunia fisik guna memenuhi kepuasan dan kesenangan manusia; (2) material pasif, yaitu menikmati kesenangan duniawi tanpa memperhatikan tujuan jangka panjang; (3) material sinis, yaitu pengejaran tujuan duniawi dibenarkan oleh rasionalisasi idealistis.[20]
Ketiga, mentalitas idealistis, atau sintesis ideasional-material. Dasar pemikirannya adalah perpaduan antara mentalitas ideasional dan material. Kata kuncinya adalah harmoni dan kompromi. Hal ini dapat dipahami sebagai pandangan bahwa realitas ada yang bersifat transenden dan ada yang material. Keduanya melingkupi kehidupan manusia dalam realitas budaya dan peradaban. Sistem ini terbagi menjadi: (1) idealistis murni, dasar pemikiran antara ideasional dan material secara sistematis dan logis, saling berhubungan; (2) ideasional tiruan, kedua dasar pemikiran antara ideasional dan material berlawanan, tidak terintegrasi secara sistematis, tapi hidup berdampingan, atau dapat dikatakan juga sebagai dualis.[21]
Pola-pola kebudayaan yang dibangun Sorokin ini dikatakan bersifat pasang-surut. Apabila sifat ideasional dipandang lebih tinggi dari material dan sifat idealistis ditempatkan di antaranya, maka terdapat gambaran naik-turun, timbul-tenggelam, dan pasang-surut. Dalam gerak sejarah, tidak ditunjukkan irama dan gaya yang tetap dan tertentu. Gerak sejarah atau realitas kebudayaan berkembang bolak-balik antara dunia dengan mentalitas ideasional dan material. Masing-masing kutub mempunyai efeknya sendiri sehingga ibarat pendulum, perjalanan sejarah akan mengarah dari satu kutub ke kutub lain. Menurutnya, kebudayaan material dapat saja banyak membuat ekses atau akibat negatif, tapi dunia ideasional juga dapat berbuat salah. Masyarakat dengan kesadaran akan berproses menuju idealistis sebagai sintesis keseimbangan kedua kutub itu. Namun, segala permasalahan yang dihadapi sehari-hari akan menyebabkan terjadinya fluktuasi kecenderungan masyarakat terhadap tiap aspek dari kedua kutub itu, sehingga proses siklus menuju keseimbangan baru selalu terjadi.[22]
Hubungan Siklus dan Gelombang dengan Kita
Jika kita menjadikan Quran sebagai alat baca bagi kita dalam memandang jalannya sejarah dan mempersiapkan hidup masa mendatang, penting bagi kita untuk menengok kembali suatu momen dalam Quran, yang turun saat kaum muslim dalam keadaan yang sangat kesusahan, yaitu saat kaum muslim diserbu dan mengalami kekalahan dalam Perang Uhud. Ini adalah perang besar kedua yang terjadi setelah Perang Badar. Kemenangan dalam Perang Badar itu, membuat kaum muslim memiliki kepercayaan diri yang jauh lebih besar daripada sebelum perang itu terjadi. Dan dengan kepercayaan diri itulah, saat orang-orang kafir Quraisy menyerbu kembali ke Madinah, kaum muslim mantap untuk menyongsong serangan itu di Uhud, meskipun sama dengan Perang Badar, pasukan musuh jauh lebih besar.[23]
Namun, pertanyaan besarnya bukan mengapa kita kalah, karena orang juga tahu bahwa dalam perang itu wajar ada menang dan kalah. Yang membuat kekalahan waktu itu sulit diterima kaum muslim adalah, fakta bahwa pasukan kaum muslim dipimpin oleh rasul Allah SAW, apa mungkin pasukan yang dipimpin oleh rasul/nabi kalah. Beberapa abad kemudian, terjadi diskusi antara seorang intelektual yang bernama Abu Bakar al Baqillani dengan para pendeta di Byzantium, juga bersama raja mereka. Salah satu pertanyaan mereka pada al Baqillani ialah, apakah nabi pernah ikut berperang, apakah nabi pernah menang dalam perang, dan apakah nabi pernah kalah dalam perang? Jawaban bagi semuanya tentu iya. Lalu para pendeta itu mengatakan, kok bisa ada nabi tapi kalah?
Saya tidak hendak memberikan jawaban al Baqillani dalam tulisan ini, mengingat jawaban tersebut cukup dahsyat dan memerlukan ruang elaborasi tersendiri. Namun, saya bermaksud untuk mengangkat pertanyaan yang ada. Bahwa itu fundamental dalam akidah kita, orang yang awam wajarlah memang berpikir bahwa adanya nabi merupakan jaminan bagi kemenangan kita dalam segala kontestasi, tapi kenyataannya kita kalah, dalam Perang Uhud itu, maupun juga dunia pasca-Kolonialisasi Eropa hingga dunia pos-modern. Yang lebih memilukan lagi ialah jumlah korban yang terjadi pada kita pada peristiwa Perang Uhud itu, juga berupa masalah yang muncul mengikuti dunia kita pasca-kolonialisme yang kita hadapi.
Dalam surat ketiga (surat Ali Imran), terdapat sekitar 8 ayat yang turun khusus tentang kekalahan Perang Uhud itu. Di antara ayat-ayat itu, kata kunci yang diajarkan oleh Allah kepada kaum yang baru saja kalah, ialah firman-Nya, qad khalat min qablikum sunanun.[24] Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (kaidah dan metode yang menentukan jalannya sejarah). Fasīrū fil-arḍ (maka berjalanlah di muka bumi) fandzurū kayfa kāna ʿāqibatul mukadzdzibīn (lalu lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan).[25] Hādzā bayān lin-nās (ini adalah penjelasan bagi semua manusia).[26] Kita perhatikan kalimatnya, ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia, tapi sesudahnya diikuti dengan frasa wa hudan wa mawʿiḍatan lil muttaqīn.[27] Jadi, ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia, tapi merupakan petunjuk dan nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, artinya yang bisa mengkapitalisasi penjelasan ini sebagai sumber petunjuk dan nasihat dalam mengelola kehidupan sesudahnya ialah orang-orang yang bertakwa.
Setelahnya, wa lā tahinu wa lā taḥzanū wa antum aʿlawn in-kuntum mu’minin.[28] Jangan merasa lemah, jangan merasa sedih, dan kalianlah yang paling tinggi di sisi Allah jika kalian beriman. Lalu “in yamsaskum qarḥ faqad massal qawma qarḥ mitsluh” (kalau kalian terluka, luka yang sama juga telah menimpa musuh-musuh kamu sebelumnya).[29] Dan kata kunci yang datang sesudahnya, wa tilkal-ayyāmu nudāwiluha baynan-nās.[30] Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran, kebangkitan dan keruntuhan, kejayaan dan kehancuran), Kami pergilirkan di antara manusia. Kata kunci yang paling pokok ialah terdapat pada at-tadāwul, pergiliran. Allah mempergilirkan hari-hari kemenangan dan kekalahan itu bagi umat-umat manusia. Dan dalam filsafat sejarah, kita mengenal pergiliran itu sebagai siklus atau gelombang perputaran peradaban.
Demikianlah orang yang baru saja kalah, orang yang baru saja dijajah, orang yang tengah terpuruk, tentu mengalami persoalan emosi yang amat dahsyat, guncangan dalam dirinya. Dan apa yang dibutuhkan oleh kaum yang mengalami guncangan seperti itu, jika mereka kehilangan kepercayaan diri, bahkan bersama nabi sekalipun mereka kalah, bagaimana kalau tidak? Itu tentu bisa menjadi sumber guncangan. Karena itu, Quran mengajarkan pada pasukan yang baru saja kalah ini, suatu pelajaran besar dalam kehidupan mereka, bahwa peristiwa menang-kalah itu, adalah peristiwa yang terjadi biasa saja dalam sejarah manusia. Itu sunah, bagian dari hukum Allah dalam kehidupan manusia, kemenangan dan kekalahan itu, qad khalat min qablikum sunan, suatu sunan atau jamak dari sunah-sunah.
Sebagai manusia, kita berhadapan dengan aturan ini, hukum tentang kemenangan dan kekalahan atau hukum perputaran peradaban ini, yakni kita menghadapi sunah suatu kaum, sunah kaumiyah. Yang penting adalah bagaimana kita bertindak dalam menghadapi dan berinteraksi dengan hukum-hukum yang mengatur perputaran peradaban itu, hukum-hukum tentang kemenangan dan kekalahan itu. Demikianlah pasukan yang baru saja kalah itu, dikembalikan rasionalitasnya oleh Allah dan ditarik keluar dari spektrum peristiwa yang kecil, yaitu Perang Uhud, ke dalam spektrum yang lebih luas, yaitu spektrum hukum-hukum yang mengatur jalannya peristiwa sejarah, dari mikro ke makro.
Dan dengan menarik persoalan Uhud ke dalam spektrum yang lebih besar ini, Allah mempunyai tujuan lain, dalam hal meningkatkan kualitas umat yang baru saja tumbuh ini, yaitu perintah berjalanlah di muka bumi. Berjalan di muka bumi artinya persoalan ruang, keluar dari suatu lingkup kota kecil yang bernama Madinah, kepada spektrum ruang yang lebih besar. Lalu lihatlah, observasilah, akibat kaum-kaum sebelumnya. Kelak dalam sejarah sains, kita mengetahui bahwa umat Islamlah yang pertama kali memperkenalkan metode eksperimen. Ayat ini yang mengajarkan mereka untuk itu. Jadi, pasukan yang baru kalah ini, dibangun mentalnya oleh Allah dengan mengubah pola pikir mereka, diperkenalkan dengan suatu pola pikir aqliyah tajribiyah (pola pikir eksperimental). Bahwa peristiwa menang dan kalah itu adalah objek yang bisa dipelajari. Kemenangan itu ada syarat-syaratnya, kekalahan itu ada sebab-sebabnya.
Kalau peristiwa menang dan kalah itu kita tarik ke dalam perspektif yang lebih besar, itu artinya suatu persoalan peradaban. Peradaban itu, kebangkitannya ada syarat-syaratnya, keruntuhannya juga ada sebab-sebabnya. Maka apa yang kita lihat di sini, yaitu perspektif ruang dan waktu. Yang pertama kita lihat adalah masa lalu, kemudian kita melihat masa depan, lalu kita lihat masa kini. Dengan peristiwa ini, Allah ingin menanamkan pada kaum muslim, bahwa yang namanya akidah itu, harus diintegrasikan dengan realitas kehidupan manusia, dan karena itu, pengalaman hidup manusia adalah objek pembelajaran. Karena ia adalah objek pembelajaran, ia adalah objek yang terbuka untuk dipelajari. Beginilah cara Allah mendidik kaum muslim, ini bukan hiburan pasca-kekalahan, tapi ditarik ke dalam spektrum yang lebih luas.
Itu merupakan suatu metode. Begitu pula ketika persekutuan Qurays sekali lagi mengepung Madinah dalam peristiwa Ahzab. Ketika kaum muslim itu tengah dikepung, rasul Allah justru membawa mereka kepada visi tentang pembebasan Konstantinopel, Persia, dan Yaman. Disebutlah semua yang akan dibebaskan justru saat fisik mereka tengah dikepung. Supaya kepungan fisik ini tidak sampai menjadi kepungan jiwa. Jangan pula jiwa kita terkepung. Jiwa kita harus selalu berada dalam spektrum yang jauh lebih luas. Kepungan yang ada di sekitar kita itu hanyalah satu masalah kecil. Lalu, jika bawa kembali kesadaran baru ini ke dalam peristiwa Uhud itu, kita akan menyadari bahwa, adanya nabi atau orang saleh itu, tiada semata langsung menjadi jaminan kemenangan. Kemenangan itu ada syarat-syaratnya, kekalahan itu ada sebab-sebabnya. Jika syarat kemenangan itu tiada pada diri kita, sebaliknya sebab kekalahan itu ada pada diri kita, maka siapa pun orang saleh yang ada di tengah kita, kita tetap akan kalah. Itu suatu yang eksperimental, yang diuji di lapangan. Atas itu pula, kaum ini melakukan transformasi besar dalam sejarah sains, yaitu membawa tradisi filsafat Yunani ke dalam bentuk pionir dari eksperimen.
Jika kita lihat lebih dalam persoalan kemenangan-kekalahan dan kebangkitan-keruntuhan ini, selanjutnya kita mengenal teori-teori dalam ilmu sejarah, yang lalu berkembang dalam ekonomi, politik, sosiologi, dan lain-lain. Dalam ilmu sejarah, terdapat suatu histori-sofis, yaitu filsafat sejarah, yakni teori tentang kebangkitan dan keruntuhan, bahwa kebangkitan dan keruntuhan itu adalah fenomena yang menimpa semua peradaban, baik peradaban Islam maupun non-Islam, peradaban yang dibangun dari din maupun peradaban yang dibangun dari materialisme. Semua mengalami hal yang sama. Teori tentang kebangkitan dan keruntuhan ini, kemudian darinya kita mengenal teori tentang siklus, siklus perubahan, siklus kebangkitan dan keruntuhan. Dari teori inilah kemudian orang memperkenalkan suatu kaidah, bahwa sejarah itu selalu terulang. Inilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun dalam Mukadimahnya, kemudian dikembangkan oleh para sejarawan dan ilmuwan lain di Barat, seperti Arnold Toynbee, Oswald Spengler, dan Pitirim Sorokin. Dalam ilmu ekonomi, salah satunya adalah teori yang dikembangkan oleh Kondratiev itu.
Jadi, siklus peradaban itu ada, dan siklus ini berguna bagi kita, setidaknya dalam tiga hal. Pertama, sebagai alat untuk menafsirkan sejarah. Kedua, sebagai alat untuk membuat prediksi masa depan. Ketiga, sebagai alat untuk melakukan intervensi bagi jalannya sejarah. Jadi, jika kita sudah mengetahui adannya tren naik dan turun dalam suatu siklus, kita bisa memikirkan langkah-langkah untuk mengintervensi siklus itu. Jika ia tengah di bawah, kita pikirkan bagaimana caranya ia naik; dan jika ia tengah di atas kiat evaluasi bagaimana caranya memperlambat turunnya. Itulah gunanya hukum ini diajarkan oleh Allah dari awal. Oleh karena itu, Allah meletakkannya sebagai sesuatu yang terbuka untuk dipelajari dan lalu terbuka untuk diintervensi. Jadi, apa yang membuat kita kalah dalam satu kontestasi, kalau kita hindari, kita akan menang dalam kontestasi yang lain. Oleh sebab itu, pasca-Uhud itu, kaum muslim di era rasul Allah hanya sekali lagi mengalami kekalahan, yaitu saat Perang Hunain. Dari situ, kaum muslim mendapatkan lagi pelajaran baru. Wa yawma ḥunain idz aʿjabatkum katsratukum wa lam tugni ʿankum syaiā.[31] Dan hari Hunain itu, ketika kalian dibuat kagum oleh banyaknya jumlah kalian, padahal tiada berguna bagi kalian sama sekali. Ini adalah bahasan lain, yaitu tentang yang sedikit dan yang banyak, tentang hukum daya kuantitatif dan kualitatif, ini bahasan lain yang mesti dielaborasikan di tempat lain.
Namun, pokoknya, umat ini diajari untuk menjadi rasional bahkan pasca-kekalahan. Orang pasca kekalahan itu justru tidak perlu menangis dan meratap, justru harus berpikir dan menjadi rasional. Nah, kalau kita ingin mengintervensi jalannya sejarah ini, artinya kita perlu mengetahui syarat-syarat intervensinya. Dengan cara seperti ini, kita lihat, sejarah adalah suatu proses yang sangat dinamis. Jika kita menggabungkan kesadaran tentang sejarah ini, kemudian prediksi masa depan, selanjutnya kita masukkan kemauan untuk intervensi, yaitu intervensi sejarah, kita akan mendapati suatu bangunan konsepsi gerakan manusia yang utuh. Makna intervensi inilah yang harus kita garis bawahi, sebab inilah pelajaran intinya.
Kalau ada gelombang, naik dan turun dalam suatu siklus, semua peristiwa siklus itu pastilah berjalan dalam ukuran waktu tertentu. Berapa lama waktu untuk naik dan berapa lama waktu untuk turun dan berapa lama waktu untuk naik kembali penting untuk dilihat. Coba kita lihat bagaimana rasul Allah SAW menjelaskan masalah ini. Rasul Allah menjelaskan bahwa, khulafa dalam umatku setelahku, kata beliau, ada 30 tahun. Kata rasul pula, setelah masa itu ialah masa mulkan (kerajaan), yaitu mulkan āḍḍan (kerajaan yang menggigit) dan mulkan jabariyan (kerajaan yang memaksa, yang diktatur). Ini adalah suatu prediksi, sewaktu disabdakan belum kejadian. Sekarang, bilalah kita hitung, gabungkan seluruh masa pemerintahan yang kita sebut sebagai khulafa rasyid itu, yaitu masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radliya-Allahu-ʿanhum – ada beberapa pendapat yang memasukkan pula masa Hasan dan atau Umar ibnu Abdul Aziz – kurang lebih berjumlah tiga puluh tahun. Inilah salah satu sabda rasul Allah yang berisi prediksi yang telah terbukti.
Namun, kenapa rasul Allah menyebutkan angka 30 tahun sebagai suatu yang definitif? Angka ini tentu ada artinya, ini adalah suatu siklus, siklus 30 tahun. Kalaulah kita tarik masa khulafa rasyid yang 30 tahun itu, lalu kita tambahkan pula dengan masa nubuwah, masa kenabian periode Mekkah-Madinah itu, yaitu sekitar 23 tahun, maka kita akan mendapatkan total masa 53 tahun. Inilah yang disebut sebagai khulafa nubuwah, suatu khulafa yang dapat mempertahankan nilai-nilai kenabian yang luhur, yaitu suatu fase gelombang naik atau gelombang pasang. Total masa khulafa nubuwah itu 53 tahun, sementara masa khulafa rasyid itu sendiri 30 tahun. Kalau kita tinjau lebih detail lagi, dari total 30 tahun itu, 20 tahun masa stabil, dan 10 tahun masa konflik. Masa konflik itu terdiri dari 5 tahun di periode akhir masa Utsman dan 5 tahun secara keseluruhan di masa Ali. Jadi, spiritualitas dan mood kebangkitan atau naik itu kira-kira 50-an tahun seperti ini, setelah itu, masa turun.
Namun, dalam sabda beliau yang lain, rasul Allah SAW juga menyatakan, memperkenalkan suatu konsep, innallāha yabʿatsu li hādzihil-ummah ʿalā ra’si kulli miati sanah, man yujaddidu amra dīniha, pembaharuan dalam tubuh umat ini akan selalu terjadi per-100 tahun. Kita perhatikan, ada siklus 30-an tahun, 50-an tahun, dan siklus 100-an tahun. Makin besar siklusnya, makin besar skala perubahannya; makin kecil siklusnya, makin kecil skala perubahannya. Demikian alat baca itu dapat kita terapkan dalam membaca sejarah, sejarah dunia, sejarah umat, sejarah bangsa, sejarah organisasi, dan seterusnya. Jadi, saat kaum muslim naik di masa khulafa rasyid itu, mereka mempertahankan sebagian nilai nubuwah, nilai yang terluhur dan tertinggi, yang mampu mereka pertahankan dalam masa naik itu. Setelah itu, generasi berikutnya tidak mampu mempertahankan nilai-nilai itu, salah satu implikasinya ialah beralih ke konsep kerajaan, yang meskipun tiada salah, tetaplah tidak seluhur idealisme khulafa rasyid itu.
Kalau kita lihat lebih dekat masa khulafa rasyid itu, garis kepribadian Utsman lebih dekat ke Abu Bakar, sementara garis kepribadian Ali lebih dekat ke Umar. Kenapa orang, para sahabat, memilih Utsman setelah Umar, bukan Ali, padahal garis kepribadian Ali lebih dekat ke Umar. Begitu lagi begitu ada kekacauan, orang beralih dari garis kepribadian Utsman ke Ali, meskipun kekacauan itu sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Coba apa yang bisa kita lakukan dalam keadaan kacau, di tengah fitnah seperti itu apa yang bisa kita lakukan? Tetap menjadi benar biarpun kalah, itulah yang dilakukan oleh Ali. Dan karena itu, ia dimasukkan dalam kategori ini.
Lalu kita bertanya, apa tafsir dari peristiwa yang terjadi sesudahnya, kenapa kita berganti dari khulafa menjadi kerajaan? Karena nilai-nilai yang ada pada khulafa rasyid itu tidak dapat dipertahankan oleh generasi yang datang sesudahnya. Mood-nya sudah tidak kuat, turun. Karena itu, teori tentang mood ini, adalah salah satu teori yang ada dalam ilmu politik yang terkait dengan proses pemilihan, yakni suatu siklus menang dan kalah, suatu siklus arah masyarakat. Mood orang dalam pemilihan itu, laksana bandul yang menyimpang di antara dua kutub, public interest dan private interest. Seperti pada kasus Amerika misalnya, private interest itu diwakili oleh Partai Demokrat, sementara public interest diwakili oleh Partai Republikan. Kalau suatu waktu mood orang lebih kepada private interest, muncullah orang seperti Obama sebagai pemimpinnya, dengan kebijakan jaminan kesehatan individu Obama-Care-nya. Di suatu waktu yang lain, saat mood orang lebih kepada penguatan negara dalam percaturan global dan perekonomian yang lebih konservatif, yakni lebih bertumpu pada penguatan industri dan konglomerasi, muncullah orang seperti Bush dan Trump. Demikianlah orang akan mewakili pemimpin yang mewakili mood itu. Karena itu, proses pemilihan ini, selamanya ialah irasional, jarang rasional.
Pernah ada waktu mood orang ke agama rendah, kemudian naik, lalu turun lagi. Demikian pula pada faktor-faktor lain. Itulah suatu siklus. Sekarang kita lihat, siklus 30 tahunan, 50 tahunan, dan 100 tahunan ini, adalah pelajaran bagi kita untuk melakukan suatu intervensi. Kenapa umat ini, bisa mengalami kekalahan, kejatuhan, atau keruntuhan, tetapi tidak mati, dibandingkan dengan banyak peradaban lain yang telah mati sebelumnya? Jawabannya adalah karena ada siklus tajdid ini, dengan adanya siklus ini, ada suatu metode atau kaidah intervensi jalannya sejarah, yang dapat kita sebutlah sebagai al-faʿiliyah at-tarkihiyah. Efektivitas kita sebagai manusia, itu ditentukan ketika kita bisa mengintervensi jalannya sejarah. Tajdid (pembaharuan) adalah suatu instrumen yang dipakai oleh Allah SWT untuk mengintervensi jalannya sejarah dan mengubah siklus, menjadi titik balik bagi kaum muslim ketika mereka lesu, ada pembaharu datang membangkitkannya kembali. Tiap kali mereka lesu, ada pembaharu datang membangkitkan mereka kembali. Nanti naik ke atas mereka bertahan lalu tidak kuat lagi, turun lagi. Nanti mereka lesu lagi, sampai pada titik ke bawah, pembaharu datang dan membangkitkannya kembali.
Masalahnya bagi kita semua adalah, saat kita dulu mau lahir, adakah dari kita yang ditanya oleh Allah SWT, ingin lahir di jalan susah atau mudah? Nah, teori siklus inilah yang kemudian bisa kita turunkan dalam kaidah sejarah yang kira-kira berbunyi begini: Zaman yang berat (krisis) menghasilkan orang yang hebat. Orang yang hebat menghasilkan zaman yang mudah (zaman keemasan). Zaman yang mudah menghasilkan orang yang lemah. Orang yang lemah menghasilkan zaman yang berat. Lalu, kembali ke awal, zaman yang berat menghasilkan orang yang hebat, dan seterusnya demikian hingga membentuk suatu siklus. Nah, kita sebagai manusia, tidak pernah memilih keinginan untuk lahir apakah di good time atau hard time. Sekarang bila kita bawa pada skala umat, apakah umat kita ini ada di masa good time atau hard time?
Jadi, takdir kita semua ini, hidup di tengah zaman yang susah. Hari-hari ini, kita banyak membicarakan kemungkinan perang nuklir, perang dunia ketiga. Ada anak muda 28-29 tahun jadi orang nomor satu di Korea Utara, tiap hari main-main dengan nuklir. Begitu Saudi, Emirat, dan kawan-kawan memutus hubungan dengan Qatar, kata Donald Trump, itu adalah hasil kunjungannya ke Riyadh. Setelah 24 jam Trump mengatakan kalimat itu, Pentagon mengatakan kalau mereka akan mempertahankan keamanan Qatar. Besoknya, Trump bilang lagi, kalau begitu Amerika akan siap jadi mediator. Begitu pula kini kita hidup di tengah pandemi. Jadi, di mana pun tempat di dunia ini, hampir selalu akan ada konflik antar-elite. Konflik ini ada di semua level. Untuk pertama kali, Amerika menarik diri dari suatu persetujuan global tentang lingkungan yang ditandatangani di Paris. Lalu, Merkel berkampanye bahwa kita (Eropa) tidak lagi dapat lagi bergantung sepenuhnya pada Amerika dan Inggris, bahwa kita harus belajar mengatur nasib kita sendiri. Persekutuan Trans-Atlantik yang dianggap sebagai sekutu paling kuat itu, sekarang pecah. Di dalam unitnya yang lebih kecil lagi, di dalam yang pecah itu, di dalam dirinya pecah lagi. Hasil pemilu Inggris memperlihatkan tidak ada partai yang membentuk mayoritas yang membuat pemerintahan kuat di parlemen. Dalam tubuh ini, ada konflik pula. Ada konflik suni-siah. Dalam suni pula, antar-gerakan ada konflik. Sementara dalam satu gerakan ada konflik pula. Ini zaman susah yang berlapis-lapis.
Karena dulu kita tidak diberi pilihan oleh Allah, lahir di good time atau hard time, ini adalah hal yang given bagi kita. Namun, kita diberi hak untuk melakukan intervensi sejarah. Nah, teori tentang siklus ini mengajarkan bagi kita bahwa ini adalah suatu alat baca bagi masa lalu, alat baca masa depan, dan alat baca untuk menentukan tindakan dalam mengintervensi jalannya sejarah. Jika kita memakai teori Arnold J. Toynbee tentang endapan lumpur dan pembentukan peradaban misalnya, bahwa sejarah itu adalah hasil dari dinamika antara tantangan dan respons. Ini tantangan kita, bagaimana kita meresponsnya. Respons kita ini adalah cara kita mengintervensi jalannya sejarah. Ini adalah pelajaran yang diajarkan oleh Allah kepada kaum muslimin di Uhud. Ini pula pelajaran yang harus kita dalami sekarang. Ketika kita hidup di tengah situasi yang teramat sulit sekarang ini, mari kita pindahkan dulu spektrum kita. Lihat peristiwa kecil ini dalam spektrum yang lebih luas, baru kita tentukan tindakan kecil sesudahnya dalam spektrum yang kecil kembali. Dengan begitu, kita melihat Quran ini menjadi sumber inspirasi, hidup dan hadir dalam kehidupan sehari-hari kita, memberi kita sesuatu dan kita merasakan bahwa ia membimbing langkah-langkah kita, tentang cara-cara kita melakukan dan mengelola kehidupan kita.
Nah yang penting bagi kita adalah membangkitkan lagi keinginan kita untuk melakukan apa yang disebut sebagai al-fiʿlut tarikhiy, tindakan sejarah. Karena kita sekarang ini ada di zaman susah. Umat kita mengalami krisis, negara kita mengalami krisis, dunia pula juga sedang dalam krisis. Kita secara kolektif mungkin juga mengalami kelelahan, narasi kita habis cukup sampai di sini. Narasi kita sebelumnya hanya cukup untuk mengantarkan kita ke sini. Kita mengalami diskontinuitas dalam narasi. Dan inilah yang sekarang kita perlukan, mencari sumber ilham untuk melakukan intervensi, tindakan sejarah, untuk membuat grafik turun ini naik kembali. Dan ini pula suatu pilihan, tidak given. Dan karena tabiat dari zaman berat itu ialah menghasilkan orang yang kuat, maka kita perlu bersyukur bahwa kita hadir dan lahir di tengah krisis. Karena itu artinya, Allah SWT memilih kita untuk menyelesaikan krisis ini. Dengan begitu, kita mesti belajar, dari kisah sahabat yang kalah dalam peristiwa Uhud ini. Dan wabah, seperti yang kita hadapi kini, dalam siklus sejarah, merupakan pula suatu faktor perubahan fundamental dalam intervensi sejarah, seperti halnya perang itu.
Karena itulah, kita patut menjadikan teori siklus ini sebagai dasar untuk melakukan intervensi sejarah, dan dalam meninjaunya, penting menjadikan momen Quran itu sebagai sumber ilham bagi kita. Berikutnya, penting bagi kita untuk mengelaborasikannya dengan meninjau segala teori tentang siklus dalam sejarah hidup manusia, baik itu Ibnu Khaldun, Arnold Toynbee, Oswald Spengler, Pitirim Sorokin, Nikolai Kondratiev, dan lain-lain. Maka, marilah kita membaca kembali sejarah kehidupan kita, umat kita, bangsa kita, dan sejarah dunia secara umum, lalu marilah kita mencoba berimajinasi, di manakah posisi kita dalam kerangka sejarah itu, dan apa tindakan intervensi sejarah yang bisa kita lakukan, agar grafik turun umat ini dapat kita hentikan dan kita angkat kembali. Dalam melakukannya, ada beberapa buku yang menarik untuk kita kaji, yaitu A Study of History tulisan Toynbee dan Mukaddimah tulisan Ibnu Khaldun. Semoga Allah memberi kita ilham untuk melakukannya.

Sekali lagi, marilah kita camkan pesan Quran tentang siklus perputaran peradaban itu. Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran, kebangkitan dan keruntuhan, kejayaan dan kehancuran), Kami pergilirkan di antara manusia. Jika kalian terluka, telah terluka pula kaum-kaum sebelum kalian. Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (kaidah dan metode jalannya sejarah). Maka berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah pandangan dalam perspektif ruang) dan lihatlah akibat perbuatan orang-orang terdahulu atau orang-orang yang mendustakan (lakukanlah rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu). Demikianlah Quran mengajarkan kita untuk melihat dunia dalam perspektif siklus, yang di dalamnya memuat perspektif ruang dan waktu.



[1] Frandi Kuncoro. 2012. “Alasan Berubahnya Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat Terhadap EAS (East Asia Summit) Pada Tahun 2010”. Skripsi, Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 7
[2] Ibid., hal.9-12; Lihat juga Rosa Folia. “Dunia Setelah Trans-Pasific Partnesrship Agreement” (Kompasiana, 24 Desember 2015, https://www.kompasiana.com/rosafolia/567be8805397734409897e35/dunia-setelah-transpacific-partnership-agreement-bagian-i diakses pada 22 Mei 2020); Lihat juga _. “Siklus Kondratieff” (Cerdas.co, 18 Oktober 2019, https://cerdasco.com/siklus-kondratieff/ diakses pada 22 Mei 2020)
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Yanti Murni. 2019. “Perkembangan Siklus Bisnis (Real Business Cycle): A Review”. Ensiklopedia of Journal, Vol.1, No.4, Edisi 2, Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia, hal.241, E-ISSN 2654-8399
[6] Sartini. 2011. “Inventarisasi Tokoh dan Pemikiran Tentang Perkembangan Kebudayaan”. Laporan Penelitian, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal.19
[7] Ibid., hal.20
[8] Ibid., hala.20-21
[9] Ibid., hal.21-22
[10] Ibid., hal.23-24
[11] Ibid., hal.31-35
[12] Ibid., hal.36
[13] Ibid., hal.36
[14] Ibid., hal.37
[15] Ibid., hal.38
[16] Ibid., hal.38
[17] Ibid., hal.39
[18] Ibid., hal.43
[19] Ibid., hal.44-45
[20] Ibid., hal.45
[21] Ibid., hal.45-46
[22] Ibid., hal.46-47
[23] QS. 3:137-140
[24] QS. 3:137
[25] QS. 3:137
[26] QS. 3:138
[27] QS. 3:138
[28] QS. 3:139
[29] QS. 3:140
[30] QS. 3:140
[31] QS. 9:25

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan