Perspektif Siklus dan Teori Gelombang Nikolai Kondratiev
Pokok: filsafat
sejarah, perputaran peradaban, Gelombang Kondratiev, Siklus Arnold Toynbee,
Siklus Ibnu Khaldun, Siklus Oswald Spengler, Siklus Pitirim Sorokin
Ada suatu pepatah tentang perputaran zaman. Zaman yang berat
menghasilkan orang yang hebat. Orang yang hebat menghasilkan zaman yang mudah.
Zaman yang mudah menghasilkan orang yang lemah. Orang yang lemah menghasilkan
zaman yang berat. Lalu, kembali ke awal, zaman yang berat menghasilkan orang
yang hebat, dan seterusnya demikian hingga membentuk suatu siklus. Siklus
adalah salah satu konsep paling fundamental dalam bangunan ilmu pengetahuan
manusia. Dan siklus perputaran itu, setidaknya menurut Nikolai Dimitrievich
Kondratiev (juga ditulis Kondratieff), tiada lain ialah berbentuk gelombang.[1]
Siklus Ekonomi
Siklus Kondratiev awalnya diperkenalkan oleh ekonom-sosiolog Rusia
tersebut dalam rangka menerangkan siklus ekonomi jangka panjang yang dialami
harga produk pertanian dan tembaga, dengan periode 50 hingga 60 tahun dan
terdiri dari berbagai fase yang berulang-ulang. Dia meyakini siklus semacam itu
sebagai akibat dari evolusi dan inovasi teknologi. Ekonom Joseph Schumpeter
menyarankan agar nama teori gelombang itu diganti menjadi Gelombang Kondratiev.
Sejak abad ke-18, para ekonom telah mengidentifikasi lima Gelombang Kondratiev.
Siklus pertama, berlangsung antara tahun 1780-1830, didorong oleh penemuan
mesin uap dan pertumbuhan manufaktur tekstil.[2]
Siklus kedua didorong oleh pertumbuhan industri baja dan dimulainya
konverter kereta api. Siklus ini berlangsung antara 1830 hingga 1880.
Perkembangan kereta api telah memacu pertumbuhan ekonomi yang cepat karena
fungsinya sebagai transportasi massal, baik orang maupun kargo. Siklus ketiga
berlangsung dari tahun 1880 hingga 1930. Pendorong utamanya adalah aplikasi
praktis ilmu pengetahuan ilmiah. Pada periode ini, Werner von Siemens menemukan
prinsip elektrodinamis yang memungkinkan untuk mengubah energi mekanik menjadi
energi listrik. Inovasi dalam industri kimia juga memungkinkan produksi massa berbagai
komoditas.[3]
Siklus keempat berlangsung antara tahun 1930 hingga 1970. Siklus
ini terutama didorong oleh pertumbuhan industri petrokimia, yang mana juga
memacu pertumbuhan pasar mobil. Akhir siklus ini ditandai dengan kebijakan OPEC
untuk menaikkan harga minyak mentah pada tahun 1970-an. Siklus kelima dimulai
tahun 1970-an. Pemicunya adalah perkembangan teknologi informasi berbasis
komputer. Siklus ini dipercaya telah berakhir pada awal abad ke-21. Sebagian
besar ekonom percaya bahwa siklus keenam dimulai tahun 2005. Namun, ada yang
berpendapat bahwa siklus itu dimulai tahun 2010. Siklus ini ditandai dengan
perkembangan teknologi ramah lingkungan, nanoteknologi, dan bioteknologi. Dalam
satu gelombang Kondratiev sendiri, terdapat empat bagian, yaitu kemakmuran (prosperity),
resesi (recession), depresi (depression), dan kebangkitan (improvement).[4]
Memang tentulah terdapat kekurangan dan kelemahan dalam teori ini,
terutama dalam penerapannya pada detail-detail statistik dan sejarah, tapi ide
dasarnya soal siklus sejarah, dalam hal ini mengenai perputaran ekonomi, cukup
dapat diterima. Tidak hanya Kondratiev, terdapat sejumlah peneliti lain yang
mencoba menguraikan roda perekonomian dalam bentuk siklus, seperti siklus
Kitchin tentang pengaruh faktor alamiah dan adat terhadap perekonomian dengan
periode 3-5 tahun, siklus Investasi Tetap Juglar tentang peralihan modal tetap
dan perubahan tingkat pemanfaatan modal dengan periode 7-11 tahun, siklus
investasi infrastruktur Kuznets dengan periode 15-25 tahun, hingga siklus
penawaran ternak Mordecai Ezekiel-Arthur Hanau.[5]
Siklus Sejarah
Dalam sejarah, terdapat sejumlah penggunaan perspektif siklus dalam
analisis perkembangan sejarah suatu peradaban atau bangsa yang penting untuk
ditinjau, di antaranya siklus Ibnu Khaldun (1332-1406), Oswald Spengler
(1880-1936), Arnold Toynbee (1889-1975), dan Pitirim Sorokin (1889-1968).
Siklus Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun merupakan orang yang pertama kali menerapkan metode
eksperimen sosiologis dalam penulisan sejarah. Pandangannya tentang
perkembangan sejarah terbilang modern di antara para sejarawan dan filsuf zaman
pertengahan. Hampir semua pemikiran sejarah Ibnu Khaldun dimuat dalam bukunya, al
Mukaddimah, yang merupakan pengantar dari buku sejarah yang lebih besar, Kitab
al Ibar. Buku itu salah satunya dapat dijumpai melalui penerjemahan oleh
Franz Rosenthal. Ensiklopedia Encarta sebagaimana dikutip Sartini menuliskan: [6]
“Ibn Khaldun outlined a philosophy of history and theory of
society that are unprecedented in ancient and medieval writing and that are
closely reflected in modern sociology. Societies, he believed, are held
together by the power of social cohesiveness, which can be augmented by the
unifying force of religion. Social change and the rise and fall of societies
follow laws that can be empirically discovered and that reflect climate and
economic activity as well as other realities.”
Kerangka pemikiran tentang filsafat sejarah dan teori masyarakat
Ibnu Khaldun dianggap tidak linier dengan pemikiran yang berkembang pada zaman
kuno dan abad pertengahan, tetapi sebaliknya, secara lebih dekat terefleksikan
pada pengetahuan sosiologi modern. Pemikiran sejarah kritis Ibnu Khaldun ini
merupakan satu pemikiran yang melandasi pemikiran modern Eropa tentang sejarah
pada periode selanjutnya, seperti Jean Bodin (1530-1596), Jean Mabilon
(1632-1707), Berthold George Niebur (1776-1831), hingga Leopold van Ranke
(1795-1886).[7]
Menurut kutipan tersebut, dalam pandangan Khaldun, masyarakat
dikuasai oleh kohesivitas sosial yang dapat diperkuat oleh kekuatan agama
sebagai penyatu. Perubahan sosial, naik dan turunnya masyarakat mengikuti hukum
yang secara empiris dapat ditemukan dan terefleksikan dalam aktivitas dan
kondisi ekonomi sebagai realitas. Khaldun melakukan studi penting tentang
faktor sosiologi, psikologi, dan faktor ekonomi yang berpengaruh terhadap
pembangunan, perkembangan, dan jatuhnya peradaban. Teori Ibnu Khaldun bermula
dari pandangannya bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial,
yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan hidupnya.
Maka, menurutnya, kehidupan masyarakat dan organisasi sosial merupakan suatu
keharusan (ḍaruriy). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, inilah
yang disebut peradaban. Masyarakat kemudian memerlukan seorang pemimpin yang
mempunyai pengaruh untuk menjadi pemersatu dan penengah, otoritas, serta
pengendali kekuasaan.[8]
Seiring tumbuh-kembangnya masyarakat, kebutuhan pemimpin ini
meningkat sehingga diperlukan lingkaran-lingkaran pendukung atau pembantu
kepemimpinan, maka muncullah organisasi pemerintahan, yang meliputi menteri-menteri,
perdana menteri, tentara, gubernur, dan lain-lain hingga terbentuklah suatu
daulat, dinasti, atau kerajaan. Selanjutnya, daulat itu mengalami perkembangan
dan pasang-surut atau timbul-tenggelam. Tahapan ini didasarkan atas teori ʿaṣabiyyah
(solidaritas, keterikatan, atau kohesivitas sosial). Terdapat lima tahap
timbul-tenggelamnya suatu daulat atau peradaban tersebut. Pertama, tahap sukses
atau konsolidasi, yaitu ketika otoritas negara didukung oleh masyarakat (ʿāṣabiyyah)
yang berhasil mendirikan daulat dan atau menggulingkan daulat atau dinasti
sebelumnya. Kedua tahap sejahtera, yaitu tahap ketika kedaulatan telah
dinikmati; segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
Ketiga, tahap kepuasan hati, ketenteraman, dan kedamaian; pada tahap ini,
penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para
pendahulunya. Keempat, tahap hidup boros dan berlebihan, saat penguasa telah
banyak melalaikan kepentingan rakyat dan hidup semaunya. Kelima, tahap tirani,
yaitu tahap ketika penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyat, terutama saat
rakyat mulai melakukan protes terhadap kelalaian negara atas urusan mereka.[9]
Tahap-tahap ini menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi.
Pertama, generasi pembangun, yaitu generasi dengan segala kesederhanaan dan
solidaritas yang tulus-tunduk di bawah otoritas kekuasaan yang di dukungnya.
Kedua, generasi penikmat yang diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam
sistem kekuasaan dan kemudian menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan
daulat, rakyat, bangsa, atau negara. Ketiga, generasi yang tidak lagi memiliki
hubungan emosional dengan daulat, sehingga mereka dapat melakukan apa saja yang
mereka sukai tanpa memedulikan nasib daulat. Sehubungan dengan generasi itu,
Khaldun mengatakan bahwa perjalanan dinasti atau daulat terjadi dalam tiga
generasi dengan umur alamiah 120 tahun. Asumsinya, setiap periode kepemimpinan
akan berjalan selama 40 tahun, dan usia 40 tahun itulah puncak perkembangan dan
kejayaan suatu dinasti. Umur dinasti ini dianggap cukup untuk tumbuh dan
berkembang, dan dikatakan bahwa sangat jarang ditemukan dinasti yang melebihi
umur tersebut.[10]
Perkembangan tersebut akan terjadi dalam satu dinasti atau daulat
dan akan berulang lagi dengan kemudian memunculkan sebuah peradaban baru.
Kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu
peradaban lain. Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi demikian
seterusnya hingga menjadi siklus.
Siklus Oswald Spengler
Pemikiran filsafat sejarah Spengler banyak tertuang dalam bukunya “Der
Untergang des Abendlandes” (Decline of the West) atau Keruntuhan
Dunia Barat. Ia menjelaskan bahwa setiap kebudayaan dan peradaban memiliki jiwa
yang unik atau suatu model seni dan pemikiran tertentu, memiliki kekhasan
masing-masing yang sulit disamakan dengan budaya dan peradaban lain. Ia juga
menjelaskan bahwa setiap kebudayaan akan melalui satu siklus kehidupan, yaitu
tumbuh (growth), busuk (decay), dan mati. Ia mengibaratkannya
seperti siklus biologi suatu organisme. Melalui analisisnya, ia mencoba
menerangkan bahwa budaya Eropa sudah memasuki tahap final dari eksistensinya,
yang ditandai dengan ekspansi teknologi dan politik, sehingga bersiap memasuki
penurunan. Tesisnya ini menjadi kontroversial dan mendapat sorotan banyak
pihak. Namun, penjelasannya bahwa perkembangan pada masyarakat merupakan siklus
yang akan terus berulang dan tidak berarti kumulatif merupakan konsep yang
menarik dalam bahasan ini. Selain hidup organisme, ia juga mengibaratkan peradaban
manusia seperti gelombang lautan, lahir, tumbuh-kembang, di puncak, turun, dan mati.
Namun, ia tidak menjelaskan secara lanjut apa yang dimaksudkannya sebagai
matinya peradaban atau kebudayaan, entah itu lenyap atau jumud.[11]
Siklus Arnold Toynbee
Pemikiran filsafat sejarah Toynbee banyak tertuang dalam bukunya, “A
Study of History”. Karya itu didasarkan atas tesis Toynbee bahwa sejarah
merefleksikan suatu kemajuan peradaban atau masyarakat sebuah negara. Ia
menganalisis lahir, tumbuh, dan disintegrasinya peradaban dari suatu sejarah
dunia. Baginya, kegagalan peradaban untuk tetap hidup merupakan hasil dari
ketidakmampuan peradaban tersebut untuk merespons tantangan moral dan religius.
Munculnya kebudayaan dan peradaban dikarenakan adanya tantangan dan jawaban.
Sejarah peradaban dimulai dari adanya tantangan. Tantangan pertama biasanya
berupa tantangan fisik. Situasi sulit yang dihadapi manusia akan memantik
kreativitas manusia. Dalam situasi ini, manusia ditantang dan dirangsang untuk
berbuat sesuatu.[12]
Maka, peradaban berkembang karena manusia berjuang dan mampu
mengatasi tantangan. Civilization come to birth and proceed to grow by
succesfully responding to succesive challenges. Respons pertama akan muncul
sebagai jawaban terhadap tantangan lingkungan dan fisik. Tantangan berikutnya
yang muncul pada generasi kedua atau ketiga adalah tantangan dari lingkungan
manusiawi (u interregnum) suatu kekacauan sosial setelah keruntuhan dan
disintegrasi pendahulunya. Semakin besar tantangan, jawaban atau respons tidak
selalu mampu dihasilkan. Namun, tantangan yang terlalu lemah justru tidak dapat
membangkitkan peradaban. Tantangan dengan skala yang tepatlah yang dapat
dikelola secara baik sehingga menghasilkan respons yang berujung pada perkembangan
suatu aspek peradaban.[13]
Pertumbuhan kebudayaan terjadi karena ada anggota kreatif yang menanggapi
aspek pertumbuhan. Ada dua aspek pertumbuhan kebudayaan, yaitu aspek lahiriah (outward)
yang tampak sebagai penguasaan secara progresif atas lingkungan luar, dan aspek
batiniah yang terwujud dalam penentuan diri (self determination).
Penaklukan lingkungan luar dapat berupa penaklukan militer dan ekspansi
geografis di satu sisi, serta perbaikan teknik material dengan munculnya
teknologi di sisi lain. Namun, aspek lahiriah ini disinyalir tidak membawa pada
pertumbuhan peradaban, justru mengarah pada gejala jatuhnya (disintegrasi)
peradaban. Maka, penentu pertumbuhan peradaban adalah adanya penentuan diri
yang progresif. Di sini, teknologi pun berperan membuka jalan, tetapi semakin
manusia menguasai teknik material, mereka juga harus mampu menjawab tantangan
spiritual. Keadaan ini disebut sebagai etherialization.[14]
Selanjutnya, dijelaskan cara untuk melakukannya, yaitu dengan
adanya individu atau komunitas kreatif yang melakukan withdrawal and return
(undur diri dan kembali). Artinya, individu atau komunitas kreatif ini
mengundurkan diri dari kehidupan sosial dan kemudian kembali lagi ke masyarakat
dengan tugas untuk memberikan pencerahan dan penerangan kepada masyarakat.
Dengan upaya ini, diharapkan akan muncul upaya evaluasi terhadap apa yang sudah
dilakukan dan inspirasi untuk mengajukan rencana masa depan yang lebih baik.
Tujuan undur diri dan kembali ini hanya akan tercapai bila upaya yang dilakukan
oleh pelakunya diterima oleh masyarakat. Penerimaan masyarakat berarti
diterimanya ide yang dibawa pelaku itu untuk diikuti oleh warga masyarakat
dengan mencontoh/meniru (mimesis). Sebaliknya, bila masyarakat menolak atau ide
barunya tidak berkembang, berarti upaya tersebut dapat dikatakan gagal.[15]
Ketika peradaban dan kebudayaan
sudah berkembang dan maju, dimungkinkan bahwa kreativitas aktor perubahan itu –
yang telah menjadi pimpinan masyarakat – mandek. Sayangnya, minoritas yang dulu
kreatif kemudian menguasai masyarakat itu, biasanya akan mempertahankan
kekuasaannya, sering dikenal dengan mempertahankan status quo. Mandeknya
kreativitas dan menguatnya hasrat menggenggam kekuasaan ini nantinya akan
memunculkan disintegrasi. Dalam kondisi ini, disintegrasi mulai terjadi dan
muncullah sempalan-sempalan (skisma) dan kelahiran kembali (palingenesis).
Selanjutnya, kelahiran kembali berarti tantangan baru bagi pelaku peradaban.
Maka, sejarah akan berjalan berulang dengan mengikuti pola ini.[16]
Pola itu dianggap sebagai suatu
keniscayaan dari suatu kebudayaan dan peradaban. Suatu kebudayaan dan peradaban
akan lahir, tumbuh dan mati dengan disusul lahirnya kebudayaan dan peradaban
baru. Yang ditekankan oleh Toynbee adalah adanya pengaruh aktor yang dapat
membuat kebudayaan dan peradaban tersebut mengalami progres. Melihat penjelasan
mengenai tantangan dan jawaban di atas, dapat dikatakan bahwa selain aktor,
besar kecilnya tantangan dapat menjadi faktor pemicu (triger) bagi
pengembangan kebudayaan dan peradaban. Bagi Toynbee, peradaban adalah suatu
gerakan atau proses, bukan suatu kondisi; suatu perjalanan, bukan pelabuhan. Civilization
is a movement not a condition, a voyage not a harbour.[17]
Siklus Pitirim Sorokin
Siklus perubahan sosial Pitirim Sorokin didasarkan atas
klasifikasinya terhadap tiga tipologi masyarakat dalam perkembangan budaya.
Klasifikasi tersebut dikembangkannya berdasarkan konsep atau pemahaman
ontologis suatu masyarakat tentang makna keseluruhan realitas. Menurutnya,
terdapat tiga tipologi mentalitas budaya, yaitu ideasional (realitas adalah
spiritual), material (realitas adalah material), dan idealistis yang merupakan
sintesis dari ideasional dengan material. Sorokin mengatakan bahwa kebanyakan
kebudayaan mengikuti arus perkembangan dari ideasional, material, dan menuju
pada idealistis. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah menunjukkan adanya
fluktuasi zaman, yaitu naik-turun, pasang-surut, timbul-tenggelam. Ia
menyatakan adanya kebudayaan universal dan bahwa di alam kebudayaan, terdapat
masyarakat dan aliran kebudayaan dengan tiga tipe tertentu tadi.[18]
Pertama, mentalitas ideasional, mempunyai dasar pemikiran bahwa
kenyataan itu bersifat non-material, transenden, dan tidak dapat ditangkap oleh
pancaindra. Dunia dianggap sebagai ilusi, sementara, dan tergantung pada dunia
transenden atau sebagai aspek kenyataan yang tidak nyata, tidak sempurna, tidak
lengkap. Kenyataan adalah sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan atau nirwana.
Kata kuncinya adalah kerohanian, ketuhanan, keagamaan, kepercayaan. Tuhan
merupakan realitas tertinggi. Sistem ini terbagi atas: (1) ideasional asketis,
yaitu mengurangi atau meninggalkan kebutuhan dan keinginan duniawi supaya mudah
diserap ke dalam dunia transenden; (2) ideasional aktif, yaitu mengurangi atau
meninggalkan kebutuhan dan keinginan duniawi sekaligus mengubahnya agar selaras
dengan dunia transenden.[19]
Kedua, mentalitas material, dasar pemikirannya adalah dunia
material yang ada di sekitar manusia sebagai satu-satunya kenyataan yang ada.
Keberadaan kenyataan yang tak terindra atau yang transenden disangkal. Kata
kuncinya serba jasmaniah, mengenai keduniawian, berpusat pada pancaindra.
Sistem ini terbagi atas: (1) material aktif, yaitu usaha untuk mengubah dunia
fisik guna memenuhi kepuasan dan kesenangan manusia; (2) material pasif, yaitu
menikmati kesenangan duniawi tanpa memperhatikan tujuan jangka panjang; (3)
material sinis, yaitu pengejaran tujuan duniawi dibenarkan oleh rasionalisasi
idealistis.[20]
Ketiga, mentalitas idealistis, atau sintesis ideasional-material.
Dasar pemikirannya adalah perpaduan antara mentalitas ideasional dan material.
Kata kuncinya adalah harmoni dan kompromi. Hal ini dapat dipahami sebagai
pandangan bahwa realitas ada yang bersifat transenden dan ada yang material.
Keduanya melingkupi kehidupan manusia dalam realitas budaya dan peradaban.
Sistem ini terbagi menjadi: (1) idealistis murni, dasar pemikiran antara
ideasional dan material secara sistematis dan logis, saling berhubungan; (2)
ideasional tiruan, kedua dasar pemikiran antara ideasional dan material
berlawanan, tidak terintegrasi secara sistematis, tapi hidup berdampingan, atau
dapat dikatakan juga sebagai dualis.[21]
Pola-pola kebudayaan yang dibangun Sorokin ini dikatakan bersifat
pasang-surut. Apabila sifat ideasional dipandang lebih tinggi dari material dan
sifat idealistis ditempatkan di antaranya, maka terdapat gambaran naik-turun,
timbul-tenggelam, dan pasang-surut. Dalam gerak sejarah, tidak ditunjukkan
irama dan gaya yang tetap dan tertentu. Gerak sejarah atau realitas kebudayaan
berkembang bolak-balik antara dunia dengan mentalitas ideasional dan material.
Masing-masing kutub mempunyai efeknya sendiri sehingga ibarat pendulum,
perjalanan sejarah akan mengarah dari satu kutub ke kutub lain. Menurutnya,
kebudayaan material dapat saja banyak membuat ekses atau akibat negatif, tapi
dunia ideasional juga dapat berbuat salah. Masyarakat dengan kesadaran akan
berproses menuju idealistis sebagai sintesis keseimbangan kedua kutub itu.
Namun, segala permasalahan yang dihadapi sehari-hari akan menyebabkan
terjadinya fluktuasi kecenderungan masyarakat terhadap tiap aspek dari kedua
kutub itu, sehingga proses siklus menuju keseimbangan baru selalu terjadi.[22]
Hubungan Siklus dan Gelombang dengan Kita
Jika kita menjadikan Quran sebagai alat baca bagi kita dalam
memandang jalannya sejarah dan mempersiapkan hidup masa mendatang, penting bagi
kita untuk menengok kembali suatu momen dalam Quran, yang turun saat kaum
muslim dalam keadaan yang sangat kesusahan, yaitu saat kaum muslim diserbu dan
mengalami kekalahan dalam Perang Uhud. Ini adalah perang besar kedua yang
terjadi setelah Perang Badar. Kemenangan dalam Perang Badar itu, membuat kaum
muslim memiliki kepercayaan diri yang jauh lebih besar daripada sebelum perang
itu terjadi. Dan dengan kepercayaan diri itulah, saat orang-orang kafir Quraisy
menyerbu kembali ke Madinah, kaum muslim mantap untuk menyongsong serangan itu
di Uhud, meskipun sama dengan Perang Badar, pasukan musuh jauh lebih besar.[23]
Namun, pertanyaan besarnya bukan mengapa kita kalah, karena orang
juga tahu bahwa dalam perang itu wajar ada menang dan kalah. Yang membuat
kekalahan waktu itu sulit diterima kaum muslim adalah, fakta bahwa pasukan kaum
muslim dipimpin oleh rasul Allah SAW, apa mungkin pasukan yang dipimpin oleh
rasul/nabi kalah. Beberapa abad kemudian, terjadi diskusi antara seorang
intelektual yang bernama Abu Bakar al Baqillani dengan para pendeta di
Byzantium, juga bersama raja mereka. Salah satu pertanyaan mereka pada al Baqillani
ialah, apakah nabi pernah ikut berperang, apakah nabi pernah menang dalam
perang, dan apakah nabi pernah kalah dalam perang? Jawaban bagi semuanya tentu
iya. Lalu para pendeta itu mengatakan, kok bisa ada nabi tapi kalah?
Saya tidak hendak memberikan jawaban al Baqillani dalam tulisan
ini, mengingat jawaban tersebut cukup dahsyat dan memerlukan ruang elaborasi
tersendiri. Namun, saya bermaksud untuk mengangkat pertanyaan yang ada. Bahwa
itu fundamental dalam akidah kita, orang yang awam wajarlah memang berpikir
bahwa adanya nabi merupakan jaminan bagi kemenangan kita dalam segala
kontestasi, tapi kenyataannya kita kalah, dalam Perang Uhud itu, maupun juga
dunia pasca-Kolonialisasi Eropa hingga dunia pos-modern. Yang lebih memilukan
lagi ialah jumlah korban yang terjadi pada kita pada peristiwa Perang Uhud itu,
juga berupa masalah yang muncul mengikuti dunia kita pasca-kolonialisme yang
kita hadapi.
Dalam surat ketiga (surat Ali Imran), terdapat sekitar 8 ayat yang
turun khusus tentang kekalahan Perang Uhud itu. Di antara ayat-ayat itu, kata
kunci yang diajarkan oleh Allah kepada kaum yang baru saja kalah, ialah
firman-Nya, qad khalat min qablikum sunanun.[24]
Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (kaidah dan metode yang menentukan
jalannya sejarah). Fasīrū fil-arḍ (maka berjalanlah di muka bumi) fandzurū
kayfa kāna ʿāqibatul mukadzdzibīn (lalu lihatlah bagaimana akibat
orang-orang yang mendustakan).[25] Hādzā
bayān lin-nās (ini adalah penjelasan bagi semua manusia).[26]
Kita perhatikan kalimatnya, ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia, tapi
sesudahnya diikuti dengan frasa wa hudan wa mawʿiḍatan lil muttaqīn.[27]
Jadi, ini adalah penjelasan bagi seluruh manusia, tapi merupakan petunjuk dan
nasihat bagi orang-orang yang bertakwa, artinya yang bisa mengkapitalisasi penjelasan
ini sebagai sumber petunjuk dan nasihat dalam mengelola kehidupan sesudahnya
ialah orang-orang yang bertakwa.
Setelahnya, wa lā tahinu wa lā taḥzanū wa antum aʿlawn in-kuntum
mu’minin.[28]
Jangan merasa lemah, jangan merasa sedih, dan kalianlah yang paling tinggi di
sisi Allah jika kalian beriman. Lalu “in yamsaskum qarḥ faqad massal qawma
qarḥ mitsluh” (kalau kalian terluka, luka yang sama juga telah menimpa
musuh-musuh kamu sebelumnya).[29] Dan
kata kunci yang datang sesudahnya, wa tilkal-ayyāmu nudāwiluha baynan-nās.[30]
Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan dan kemunduran,
kebangkitan dan keruntuhan, kejayaan dan kehancuran), Kami pergilirkan di
antara manusia. Kata kunci yang paling pokok ialah terdapat pada at-tadāwul,
pergiliran. Allah mempergilirkan hari-hari kemenangan dan kekalahan itu bagi
umat-umat manusia. Dan dalam filsafat sejarah, kita mengenal pergiliran itu
sebagai siklus atau gelombang perputaran peradaban.
Demikianlah orang yang baru saja kalah, orang yang baru saja
dijajah, orang yang tengah terpuruk, tentu mengalami persoalan emosi yang amat
dahsyat, guncangan dalam dirinya. Dan apa yang dibutuhkan oleh kaum yang
mengalami guncangan seperti itu, jika mereka kehilangan kepercayaan diri,
bahkan bersama nabi sekalipun mereka kalah, bagaimana kalau tidak? Itu tentu
bisa menjadi sumber guncangan. Karena itu, Quran mengajarkan pada pasukan yang
baru saja kalah ini, suatu pelajaran besar dalam kehidupan mereka, bahwa
peristiwa menang-kalah itu, adalah peristiwa yang terjadi biasa saja dalam sejarah
manusia. Itu sunah, bagian dari hukum Allah dalam kehidupan manusia, kemenangan
dan kekalahan itu, qad khalat min qablikum sunan, suatu sunan atau jamak
dari sunah-sunah.
Sebagai manusia, kita berhadapan dengan aturan ini, hukum tentang kemenangan
dan kekalahan atau hukum perputaran peradaban ini, yakni kita menghadapi sunah
suatu kaum, sunah kaumiyah. Yang penting adalah bagaimana kita bertindak
dalam menghadapi dan berinteraksi dengan hukum-hukum yang mengatur perputaran
peradaban itu, hukum-hukum tentang kemenangan dan kekalahan itu. Demikianlah
pasukan yang baru saja kalah itu, dikembalikan rasionalitasnya oleh Allah dan
ditarik keluar dari spektrum peristiwa yang kecil, yaitu Perang Uhud, ke dalam
spektrum yang lebih luas, yaitu spektrum hukum-hukum yang mengatur jalannya
peristiwa sejarah, dari mikro ke makro.
Dan dengan menarik persoalan Uhud ke dalam spektrum yang lebih
besar ini, Allah mempunyai tujuan lain, dalam hal meningkatkan kualitas umat
yang baru saja tumbuh ini, yaitu perintah berjalanlah di muka bumi. Berjalan di
muka bumi artinya persoalan ruang, keluar dari suatu lingkup kota kecil yang
bernama Madinah, kepada spektrum ruang yang lebih besar. Lalu lihatlah,
observasilah, akibat kaum-kaum sebelumnya. Kelak dalam sejarah sains, kita
mengetahui bahwa umat Islamlah yang pertama kali memperkenalkan metode
eksperimen. Ayat ini yang mengajarkan mereka untuk itu. Jadi, pasukan yang baru
kalah ini, dibangun mentalnya oleh Allah dengan mengubah pola pikir mereka,
diperkenalkan dengan suatu pola pikir aqliyah tajribiyah (pola pikir
eksperimental). Bahwa peristiwa menang dan kalah itu adalah objek yang bisa
dipelajari. Kemenangan itu ada syarat-syaratnya, kekalahan itu ada
sebab-sebabnya.
Kalau peristiwa menang dan kalah itu kita tarik ke dalam perspektif
yang lebih besar, itu artinya suatu persoalan peradaban. Peradaban itu,
kebangkitannya ada syarat-syaratnya, keruntuhannya juga ada sebab-sebabnya. Maka
apa yang kita lihat di sini, yaitu perspektif ruang dan waktu. Yang pertama
kita lihat adalah masa lalu, kemudian kita melihat masa depan, lalu kita lihat
masa kini. Dengan peristiwa ini, Allah ingin menanamkan pada kaum muslim, bahwa
yang namanya akidah itu, harus diintegrasikan dengan realitas kehidupan
manusia, dan karena itu, pengalaman hidup manusia adalah objek pembelajaran.
Karena ia adalah objek pembelajaran, ia adalah objek yang terbuka untuk
dipelajari. Beginilah cara Allah mendidik kaum muslim, ini bukan hiburan
pasca-kekalahan, tapi ditarik ke dalam spektrum yang lebih luas.
Itu merupakan suatu metode. Begitu pula ketika persekutuan Qurays
sekali lagi mengepung Madinah dalam peristiwa Ahzab. Ketika kaum muslim itu tengah
dikepung, rasul Allah justru membawa mereka kepada visi tentang pembebasan
Konstantinopel, Persia, dan Yaman. Disebutlah semua yang akan dibebaskan justru
saat fisik mereka tengah dikepung. Supaya kepungan fisik ini tidak sampai
menjadi kepungan jiwa. Jangan pula jiwa kita terkepung. Jiwa kita harus selalu
berada dalam spektrum yang jauh lebih luas. Kepungan yang ada di sekitar kita itu
hanyalah satu masalah kecil. Lalu, jika bawa kembali kesadaran baru ini ke
dalam peristiwa Uhud itu, kita akan menyadari bahwa, adanya nabi atau orang
saleh itu, tiada semata langsung menjadi jaminan kemenangan. Kemenangan itu ada
syarat-syaratnya, kekalahan itu ada sebab-sebabnya. Jika syarat kemenangan itu
tiada pada diri kita, sebaliknya sebab kekalahan itu ada pada diri kita, maka
siapa pun orang saleh yang ada di tengah kita, kita tetap akan kalah. Itu suatu
yang eksperimental, yang diuji di lapangan. Atas itu pula, kaum ini melakukan
transformasi besar dalam sejarah sains, yaitu membawa tradisi filsafat Yunani
ke dalam bentuk pionir dari eksperimen.
Jika kita lihat lebih dalam persoalan kemenangan-kekalahan dan
kebangkitan-keruntuhan ini, selanjutnya kita mengenal teori-teori dalam ilmu
sejarah, yang lalu berkembang dalam ekonomi, politik, sosiologi, dan lain-lain.
Dalam ilmu sejarah, terdapat suatu histori-sofis, yaitu filsafat sejarah, yakni
teori tentang kebangkitan dan keruntuhan, bahwa kebangkitan dan keruntuhan itu
adalah fenomena yang menimpa semua peradaban, baik peradaban Islam maupun non-Islam,
peradaban yang dibangun dari din maupun peradaban yang dibangun dari
materialisme. Semua mengalami hal yang sama. Teori tentang kebangkitan dan
keruntuhan ini, kemudian darinya kita mengenal teori tentang siklus, siklus
perubahan, siklus kebangkitan dan keruntuhan. Dari teori inilah kemudian orang
memperkenalkan suatu kaidah, bahwa sejarah itu selalu terulang. Inilah yang
pertama kali diperkenalkan oleh Ibnu Khaldun dalam Mukadimahnya, kemudian
dikembangkan oleh para sejarawan dan ilmuwan lain di Barat, seperti Arnold
Toynbee, Oswald Spengler, dan Pitirim Sorokin. Dalam ilmu ekonomi, salah
satunya adalah teori yang dikembangkan oleh Kondratiev itu.
Jadi, siklus peradaban itu ada, dan siklus ini berguna bagi kita,
setidaknya dalam tiga hal. Pertama, sebagai alat untuk menafsirkan sejarah.
Kedua, sebagai alat untuk membuat prediksi masa depan. Ketiga, sebagai alat
untuk melakukan intervensi bagi jalannya sejarah. Jadi, jika kita sudah
mengetahui adannya tren naik dan turun dalam suatu siklus, kita bisa memikirkan
langkah-langkah untuk mengintervensi siklus itu. Jika ia tengah di bawah, kita
pikirkan bagaimana caranya ia naik; dan jika ia tengah di atas kiat evaluasi
bagaimana caranya memperlambat turunnya. Itulah gunanya hukum ini diajarkan
oleh Allah dari awal. Oleh karena itu, Allah meletakkannya sebagai sesuatu yang
terbuka untuk dipelajari dan lalu terbuka untuk diintervensi. Jadi, apa yang
membuat kita kalah dalam satu kontestasi, kalau kita hindari, kita akan menang
dalam kontestasi yang lain. Oleh sebab itu, pasca-Uhud itu, kaum muslim di era
rasul Allah hanya sekali lagi mengalami kekalahan, yaitu saat Perang Hunain. Dari
situ, kaum muslim mendapatkan lagi pelajaran baru. Wa yawma ḥunain idz
aʿjabatkum katsratukum wa lam tugni ʿankum syaiā.[31]
Dan hari Hunain itu, ketika kalian dibuat kagum oleh banyaknya jumlah kalian,
padahal tiada berguna bagi kalian sama sekali. Ini adalah bahasan lain, yaitu
tentang yang sedikit dan yang banyak, tentang hukum daya kuantitatif dan
kualitatif, ini bahasan lain yang mesti dielaborasikan di tempat lain.
Namun, pokoknya, umat ini diajari untuk menjadi rasional bahkan
pasca-kekalahan. Orang pasca kekalahan itu justru tidak perlu menangis dan
meratap, justru harus berpikir dan menjadi rasional. Nah, kalau kita ingin
mengintervensi jalannya sejarah ini, artinya kita perlu mengetahui
syarat-syarat intervensinya. Dengan cara seperti ini, kita lihat, sejarah
adalah suatu proses yang sangat dinamis. Jika kita menggabungkan kesadaran
tentang sejarah ini, kemudian prediksi masa depan, selanjutnya kita masukkan
kemauan untuk intervensi, yaitu intervensi sejarah, kita akan mendapati suatu
bangunan konsepsi gerakan manusia yang utuh. Makna intervensi inilah yang harus
kita garis bawahi, sebab inilah pelajaran intinya.
Kalau ada gelombang, naik dan turun dalam suatu siklus, semua
peristiwa siklus itu pastilah berjalan dalam ukuran waktu tertentu. Berapa lama
waktu untuk naik dan berapa lama waktu untuk turun dan berapa lama waktu untuk
naik kembali penting untuk dilihat. Coba kita lihat bagaimana rasul Allah SAW
menjelaskan masalah ini. Rasul Allah menjelaskan bahwa, khulafa dalam umatku
setelahku, kata beliau, ada 30 tahun. Kata rasul pula, setelah masa itu ialah
masa mulkan (kerajaan), yaitu mulkan āḍḍan (kerajaan yang
menggigit) dan mulkan jabariyan (kerajaan yang memaksa, yang diktatur).
Ini adalah suatu prediksi, sewaktu disabdakan belum kejadian. Sekarang, bilalah
kita hitung, gabungkan seluruh masa pemerintahan yang kita sebut sebagai
khulafa rasyid itu, yaitu masa Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali radliya-Allahu-ʿanhum
– ada beberapa pendapat yang memasukkan pula masa Hasan dan atau Umar ibnu
Abdul Aziz – kurang lebih berjumlah tiga puluh tahun. Inilah salah satu sabda
rasul Allah yang berisi prediksi yang telah terbukti.
Namun, kenapa rasul Allah menyebutkan angka 30 tahun sebagai suatu
yang definitif? Angka ini tentu ada artinya, ini adalah suatu siklus, siklus 30
tahun. Kalaulah kita tarik masa khulafa rasyid yang 30 tahun itu, lalu kita
tambahkan pula dengan masa nubuwah, masa kenabian periode Mekkah-Madinah
itu, yaitu sekitar 23 tahun, maka kita akan mendapatkan total masa 53 tahun. Inilah
yang disebut sebagai khulafa nubuwah, suatu khulafa yang dapat
mempertahankan nilai-nilai kenabian yang luhur, yaitu suatu fase gelombang naik
atau gelombang pasang. Total masa khulafa nubuwah itu 53 tahun,
sementara masa khulafa rasyid itu sendiri 30 tahun. Kalau kita tinjau lebih
detail lagi, dari total 30 tahun itu, 20 tahun masa stabil, dan 10 tahun masa
konflik. Masa konflik itu terdiri dari 5 tahun di periode akhir masa Utsman dan
5 tahun secara keseluruhan di masa Ali. Jadi, spiritualitas dan mood kebangkitan atau naik itu kira-kira
50-an tahun seperti ini, setelah itu, masa turun.
Namun, dalam sabda beliau yang lain, rasul Allah SAW juga
menyatakan, memperkenalkan suatu konsep, innallāha yabʿatsu li
hādzihil-ummah ʿalā ra’si kulli miati sanah, man yujaddidu amra dīniha,
pembaharuan dalam tubuh umat ini akan selalu terjadi per-100 tahun. Kita
perhatikan, ada siklus 30-an tahun, 50-an tahun, dan siklus 100-an tahun. Makin
besar siklusnya, makin besar skala perubahannya; makin kecil siklusnya, makin
kecil skala perubahannya. Demikian alat baca itu dapat kita terapkan dalam
membaca sejarah, sejarah dunia, sejarah umat, sejarah bangsa, sejarah
organisasi, dan seterusnya. Jadi, saat kaum muslim naik di masa khulafa rasyid
itu, mereka mempertahankan sebagian nilai nubuwah, nilai yang terluhur
dan tertinggi, yang mampu mereka pertahankan dalam masa naik itu. Setelah itu,
generasi berikutnya tidak mampu mempertahankan nilai-nilai itu, salah satu
implikasinya ialah beralih ke konsep kerajaan, yang meskipun tiada salah,
tetaplah tidak seluhur idealisme khulafa rasyid itu.
Kalau kita lihat lebih dekat masa khulafa rasyid itu, garis
kepribadian Utsman lebih dekat ke Abu Bakar, sementara garis kepribadian Ali
lebih dekat ke Umar. Kenapa orang, para sahabat, memilih Utsman setelah Umar,
bukan Ali, padahal garis kepribadian Ali lebih dekat ke Umar. Begitu lagi
begitu ada kekacauan, orang beralih dari garis kepribadian Utsman ke Ali,
meskipun kekacauan itu sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Coba apa yang bisa
kita lakukan dalam keadaan kacau, di tengah fitnah seperti itu apa yang bisa
kita lakukan? Tetap menjadi benar biarpun kalah, itulah yang dilakukan oleh
Ali. Dan karena itu, ia dimasukkan dalam kategori ini.
Lalu kita bertanya, apa tafsir dari peristiwa yang terjadi
sesudahnya, kenapa kita berganti dari khulafa menjadi kerajaan? Karena nilai-nilai
yang ada pada khulafa rasyid itu tidak dapat dipertahankan oleh generasi yang
datang sesudahnya. Mood-nya sudah
tidak kuat, turun. Karena itu, teori tentang mood ini, adalah salah satu teori yang ada dalam ilmu politik yang
terkait dengan proses pemilihan, yakni suatu siklus menang dan kalah, suatu
siklus arah masyarakat. Mood orang
dalam pemilihan itu, laksana bandul yang menyimpang di antara dua kutub, public
interest dan private interest. Seperti pada kasus Amerika misalnya, private
interest itu diwakili oleh Partai Demokrat, sementara public interest
diwakili oleh Partai Republikan. Kalau suatu waktu mood orang lebih kepada private interest, muncullah orang
seperti Obama sebagai pemimpinnya, dengan kebijakan jaminan kesehatan individu Obama-Care-nya.
Di suatu waktu yang lain, saat mood
orang lebih kepada penguatan negara dalam percaturan global dan perekonomian
yang lebih konservatif, yakni lebih bertumpu pada penguatan industri dan
konglomerasi, muncullah orang seperti Bush dan Trump. Demikianlah orang akan
mewakili pemimpin yang mewakili mood
itu. Karena itu, proses pemilihan ini, selamanya ialah irasional, jarang
rasional.
Pernah ada waktu mood
orang ke agama rendah, kemudian naik, lalu turun lagi. Demikian pula pada
faktor-faktor lain. Itulah suatu siklus. Sekarang kita lihat, siklus 30 tahunan,
50 tahunan, dan 100 tahunan ini, adalah pelajaran bagi kita untuk melakukan
suatu intervensi. Kenapa umat ini, bisa mengalami kekalahan, kejatuhan, atau
keruntuhan, tetapi tidak mati, dibandingkan dengan banyak peradaban lain yang
telah mati sebelumnya? Jawabannya adalah karena ada siklus tajdid ini, dengan
adanya siklus ini, ada suatu metode atau kaidah intervensi jalannya sejarah,
yang dapat kita sebutlah sebagai al-faʿiliyah at-tarkihiyah. Efektivitas
kita sebagai manusia, itu ditentukan ketika kita bisa mengintervensi jalannya
sejarah. Tajdid (pembaharuan) adalah suatu instrumen yang dipakai oleh Allah SWT
untuk mengintervensi jalannya sejarah dan mengubah siklus, menjadi titik balik
bagi kaum muslim ketika mereka lesu, ada pembaharu datang membangkitkannya
kembali. Tiap kali mereka lesu, ada pembaharu datang membangkitkan mereka
kembali. Nanti naik ke atas mereka bertahan lalu tidak kuat lagi, turun lagi.
Nanti mereka lesu lagi, sampai pada titik ke bawah, pembaharu datang dan
membangkitkannya kembali.
Masalahnya bagi kita semua adalah, saat kita dulu mau lahir, adakah
dari kita yang ditanya oleh Allah SWT, ingin lahir di jalan susah atau mudah?
Nah, teori siklus inilah yang kemudian bisa kita turunkan dalam kaidah sejarah
yang kira-kira berbunyi begini: Zaman yang berat (krisis) menghasilkan orang
yang hebat. Orang yang hebat menghasilkan zaman yang mudah (zaman keemasan).
Zaman yang mudah menghasilkan orang yang lemah. Orang yang lemah menghasilkan
zaman yang berat. Lalu, kembali ke awal, zaman yang berat menghasilkan orang
yang hebat, dan seterusnya demikian hingga membentuk suatu siklus. Nah, kita
sebagai manusia, tidak pernah memilih keinginan untuk lahir apakah di good
time atau hard time. Sekarang bila kita bawa pada skala umat, apakah
umat kita ini ada di masa good time atau hard time?
Jadi, takdir kita semua ini, hidup di tengah zaman yang susah.
Hari-hari ini, kita banyak membicarakan kemungkinan perang nuklir, perang dunia
ketiga. Ada anak muda 28-29 tahun jadi orang nomor satu di Korea Utara, tiap
hari main-main dengan nuklir. Begitu Saudi, Emirat, dan kawan-kawan memutus
hubungan dengan Qatar, kata Donald Trump, itu adalah hasil kunjungannya ke
Riyadh. Setelah 24 jam Trump mengatakan kalimat itu, Pentagon mengatakan kalau
mereka akan mempertahankan keamanan Qatar. Besoknya, Trump bilang lagi, kalau
begitu Amerika akan siap jadi mediator. Begitu pula kini kita hidup di tengah
pandemi. Jadi, di mana pun tempat di dunia ini, hampir selalu akan ada konflik
antar-elite. Konflik ini ada di semua level. Untuk pertama kali, Amerika
menarik diri dari suatu persetujuan global tentang lingkungan yang
ditandatangani di Paris. Lalu, Merkel berkampanye bahwa kita (Eropa) tidak lagi
dapat lagi bergantung sepenuhnya pada Amerika dan Inggris, bahwa kita harus
belajar mengatur nasib kita sendiri. Persekutuan Trans-Atlantik yang dianggap
sebagai sekutu paling kuat itu, sekarang pecah. Di dalam unitnya yang lebih
kecil lagi, di dalam yang pecah itu, di dalam dirinya pecah lagi. Hasil pemilu
Inggris memperlihatkan tidak ada partai yang membentuk mayoritas yang membuat
pemerintahan kuat di parlemen. Dalam tubuh ini, ada konflik pula. Ada konflik
suni-siah. Dalam suni pula, antar-gerakan ada konflik. Sementara dalam satu
gerakan ada konflik pula. Ini zaman susah yang berlapis-lapis.
Karena dulu kita tidak diberi pilihan oleh Allah, lahir di good
time atau hard time, ini adalah hal yang given bagi kita. Namun,
kita diberi hak untuk melakukan intervensi sejarah. Nah, teori tentang siklus
ini mengajarkan bagi kita bahwa ini adalah suatu alat baca bagi masa lalu, alat
baca masa depan, dan alat baca untuk menentukan tindakan dalam mengintervensi
jalannya sejarah. Jika kita memakai teori Arnold J. Toynbee tentang endapan
lumpur dan pembentukan peradaban misalnya, bahwa sejarah itu adalah hasil dari
dinamika antara tantangan dan respons. Ini tantangan kita, bagaimana kita
meresponsnya. Respons kita ini adalah cara kita mengintervensi jalannya
sejarah. Ini adalah pelajaran yang diajarkan oleh Allah kepada kaum muslimin di
Uhud. Ini pula pelajaran yang harus kita dalami sekarang. Ketika kita hidup di
tengah situasi yang teramat sulit sekarang ini, mari kita pindahkan dulu
spektrum kita. Lihat peristiwa kecil ini dalam spektrum yang lebih luas, baru
kita tentukan tindakan kecil sesudahnya dalam spektrum yang kecil kembali. Dengan
begitu, kita melihat Quran ini menjadi sumber inspirasi, hidup dan hadir dalam
kehidupan sehari-hari kita, memberi kita sesuatu dan kita merasakan bahwa ia
membimbing langkah-langkah kita, tentang cara-cara kita melakukan dan mengelola
kehidupan kita.
Nah yang penting bagi kita adalah membangkitkan lagi keinginan kita
untuk melakukan apa yang disebut sebagai al-fiʿlut tarikhiy, tindakan
sejarah. Karena kita sekarang ini ada di zaman susah. Umat kita mengalami
krisis, negara kita mengalami krisis, dunia pula juga sedang dalam krisis. Kita
secara kolektif mungkin juga mengalami kelelahan, narasi kita habis cukup
sampai di sini. Narasi kita sebelumnya hanya cukup untuk mengantarkan kita ke
sini. Kita mengalami diskontinuitas dalam narasi. Dan inilah yang sekarang kita
perlukan, mencari sumber ilham untuk melakukan intervensi, tindakan sejarah,
untuk membuat grafik turun ini naik kembali. Dan ini pula suatu pilihan, tidak given.
Dan karena tabiat dari zaman berat itu ialah menghasilkan orang yang kuat, maka
kita perlu bersyukur bahwa kita hadir dan lahir di tengah krisis. Karena itu
artinya, Allah SWT memilih kita untuk menyelesaikan krisis ini. Dengan begitu,
kita mesti belajar, dari kisah sahabat yang kalah dalam peristiwa Uhud ini. Dan
wabah, seperti yang kita hadapi kini, dalam siklus sejarah, merupakan pula
suatu faktor perubahan fundamental dalam intervensi sejarah, seperti halnya
perang itu.
Karena itulah, kita patut menjadikan teori siklus ini sebagai dasar
untuk melakukan intervensi sejarah, dan dalam meninjaunya, penting menjadikan
momen Quran itu sebagai sumber ilham bagi kita. Berikutnya, penting bagi kita
untuk mengelaborasikannya dengan meninjau segala teori tentang siklus dalam
sejarah hidup manusia, baik itu Ibnu Khaldun, Arnold Toynbee, Oswald Spengler,
Pitirim Sorokin, Nikolai Kondratiev, dan lain-lain. Maka, marilah kita membaca
kembali sejarah kehidupan kita, umat kita, bangsa kita, dan sejarah dunia
secara umum, lalu marilah kita mencoba berimajinasi, di manakah posisi kita
dalam kerangka sejarah itu, dan apa tindakan intervensi sejarah yang bisa kita
lakukan, agar grafik turun umat ini dapat kita hentikan dan kita angkat
kembali. Dalam melakukannya, ada beberapa buku yang menarik untuk kita kaji,
yaitu A Study of History tulisan Toynbee dan Mukaddimah tulisan
Ibnu Khaldun. Semoga Allah memberi kita ilham untuk melakukannya.
Sekali lagi, marilah kita camkan pesan Quran tentang siklus
perputaran peradaban itu. Itulah hari-hari (kemenangan dan kekalahan, kemajuan
dan kemunduran, kebangkitan dan keruntuhan, kejayaan dan kehancuran), Kami
pergilirkan di antara manusia. Jika kalian terluka, telah terluka pula
kaum-kaum sebelum kalian. Telah berlalu sebelum kalian sunan-sunan (kaidah dan
metode jalannya sejarah). Maka berjalanlah kamu di muka bumi (ambillah
pandangan dalam perspektif ruang) dan lihatlah akibat perbuatan orang-orang
terdahulu atau orang-orang yang mendustakan (lakukanlah
rasionalisasi-observasi-empiris dalam perspektif waktu). Demikianlah Quran
mengajarkan kita untuk melihat dunia dalam perspektif siklus, yang di dalamnya
memuat perspektif ruang dan waktu.
[1] Frandi Kuncoro. 2012. “Alasan Berubahnya Kebijakan Luar Negeri Amerika
Serikat Terhadap EAS (East Asia Summit) Pada Tahun 2010”. Skripsi, Program
Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 7
[2] Ibid., hal.9-12; Lihat juga Rosa Folia. “Dunia Setelah Trans-Pasific
Partnesrship Agreement” (Kompasiana, 24 Desember 2015, https://www.kompasiana.com/rosafolia/567be8805397734409897e35/dunia-setelah-transpacific-partnership-agreement-bagian-i
diakses pada 22 Mei 2020); Lihat juga _. “Siklus Kondratieff” (Cerdas.co, 18
Oktober 2019, https://cerdasco.com/siklus-kondratieff/
diakses pada 22 Mei 2020)
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Yanti Murni. 2019. “Perkembangan Siklus Bisnis (Real Business Cycle):
A Review”. Ensiklopedia of Journal, Vol.1, No.4, Edisi 2, Lembaga
Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia, hal.241, E-ISSN
2654-8399
[6] Sartini. 2011. “Inventarisasi Tokoh dan Pemikiran Tentang Perkembangan
Kebudayaan”. Laporan Penelitian, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, hal.19
[7] Ibid., hal.20
[8] Ibid., hala.20-21
[9] Ibid., hal.21-22
[10] Ibid., hal.23-24
[11] Ibid., hal.31-35
[12] Ibid., hal.36
[13] Ibid., hal.36
[14] Ibid., hal.37
[15] Ibid., hal.38
[16] Ibid., hal.38
[17] Ibid., hal.39
[18] Ibid., hal.43
[19] Ibid., hal.44-45
[20] Ibid., hal.45
[21] Ibid., hal.45-46
[22] Ibid., hal.46-47
[23] QS. 3:137-140
[24] QS. 3:137
[25] QS. 3:137
[26] QS. 3:138
[27] QS. 3:138
[28] QS. 3:139
[29] QS. 3:140
[30] QS. 3:140
[31] QS. 9:25
Comments
Post a Comment