Natur Kelahiran Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee


“Saya menolak kebiasaan masa kini tentang studi sejarah dalam istilah negara-bangsa; itu semua hanyalah fragmen dari sesuatu yang lebih besar: suatu peradaban.” (Toynbee dalam “A Study of History: The One Volume Edition”,  1972, hal 15)

“... peradaban mungkin dapat diserupakan dengan rekan dari “Sleepers of Ephesus” (aṣḥāb al-kahf / para pemuda yang tidur di gua) yang baru saja bangkit pada kaki mereka dan mulai memanjat ke muka tebing ... Kejumudan/kediaman mereka bukanlah kejumudan/kediaman orang mati, melainkan kejumudan/kediaman orang tidur; dan bahkan, jika mereka ditakdirkan tiada pernah bangkit, mereka tetaplah masih hidup” (Toynbee dalam “A Study of History: The One Volume Edition”,  1972, hal 86)

“Roda masa peradaban ini tengah berputar; kian dekat waktunya ia bangkit kembali.”
Arnold J. Toynbee mengelompokkan peradaban berdasarkan ragam pembentukannya. Suatu peradaban dapat muncul dari suatu “mutasi spontan” dari sejumlah masyarakat pra-peradaban. Mode pembentukan peradaban ini dilabelinya sebagai “tidak berhubungan atau tidak terkait dengan yang lain”. Masyarakat pra-peradaban juga dapat berubah menjadi peradaban akibat pengaruh dari sejumlah peradaban lain yang telah ada. Peradaban yang demikian dinamainya sebagai peradaban “satelit”. Penyebutan satelit ini hanya menandakan asal-muasal tertentu suatu peradaban, tidak berarti bahwa peradaban satelit itu inferior, baik dalam kualitas kultural atau signifikansi sejarah, terhadap peradaban yang ada sebelumnya yang telah memberinya pengaruh itu.
Suatu peradaban juga dapat muncul melalui disintegrasi satu atau lebih peradaban dari generasi yang lebih tua dan transformasi sejumlah elemennya menjadi konfigurasi baru. Proses sosial dan kultural ini dinamainya sebagai “afiliasi”. Pada bentuk ketiga ini, peradaban yang lebih tua diikuti dan digantikan oleh representasi yang lebih muda dari spesies peradaban yang sama. Pada dua pembentukan sebelumnya, terdapat perubahan “spesies peradaban”, yaitu suatu peradaban muncul dari mutasi masyarakat pra-peradaban. Saat kita mendapati suatu spesies masyarakat berubah menjadi peradaban lain, kita mesti mencari fitur-fitur yang membedakan kedua spesies itu.
Perbedaan antara peradaban dan masyarakat pra-peradaban tidak mencakup ada atau tidaknya institusi; karena kita menemukan bahwa institusi-institusi, sebagai kendaraan bagi hubungan-hubungan impersonal yang mana melaluinya semua masyarakat memiliki eksistensi mereka, merupakan atribut-atribut dari genus mereka, sehingga merupakan properti bersama kedua spesies. Masyarakat pra-peradaban memiliki institusi karakteristik tersendiri – spirit tahun ini, dengan siklus dramatisnya tentang pengalaman-pengalaman musiman; totemisme dan eksogami; tabus, inisiasi, dan kelas-kelas usia; segregasi jenis kelamin, pada takat kehidupan tertentu, dalam perwujudan komunal yang terpisah – dan sejumlah institusi ini secara pasti sama berkembangnya dan mungkin juga sama halusnya dengan hal-hal yang menjadi karakteristik peradaban itu.
Peradaban juga tidak dibedakan dari masyarakat pra-peradaban berdasarkan divisi pekerjaan; karena meskipun secara umum ini memainkan bagian yang lebih penting di hidup mereka, dan kepentingannya cenderung meningkat seiring perkembangan mereka, kita juga dapat melihat setidaknya kelainan dari pembagian kerja di kehidupan masyarakat pra-peradaban. Pembagian kerja mungkin merupakan kondisi yang harus terpenuhi bagi keberadaan suatu institusi, sehingga menjadi suatu fitur generik bagi kehidupan masyarakat, karena sulit untuk membayangkan bagaimana institusi dapat terwujud tanpa adanya fungsi sosial khusus yang diejawantahkan dalam cara tertentu oleh seseorang.
Pelengkapan dan antidot terhadap pembagian kerja adalah imitasi sosial atau mimesis, yang dapat didefinisikan sebagai akuisisi, melalui imitasi, terhadap aset-aset sosial – kemampuan, emosi, atau ide – yang tidak berasal dari diri pihak yang memperoleh itu sendiri, dan yang mungkin mereka tak akan pernah dapatkan jika tidak bertemu dan mengimitasi orang lain yang memiliki aset-aset tersebut. Mimesis juga merupakan fitur generik kehidupan sosial. Namun, ia bekerja dalam arah yang berbeda pada kedua spesies peradaban itu. Pada masyarakat pra-peradaban, sebagaimana kita tahu, mimesis diarahkan menuju generasi yang lebih tua yang menjadi bagian hidup masyarakat serta menuju para leluhur yang telah mati yang menegakkan, tak terlihat tapi terasa, pada para tetua yang hidup, menguatkan kuasa meningkatkan perbawa mereka. Pada masyarakat di mana mimesis diarahkan ke belakang menuju masa lalu, aturan tradisi dan masyarakat tetap statis. Di sisi lain, pada masyarakat dalam proses peradaban, mimesis diarahkan menuju personalitas kreatif yang mempengaruhi para pengikutnya karena mereka adalah pionir di jalan menuju tujuan bersama usaha manusia. Pada masyarakat di mana mimesis diarahkan menuju masa depan, “kue tradisi” dirusak dan masyarakat bergerak dinamis sepanjang suatu arah perubahan dan pertumbuhan.
Pada kontras antara gerakan dinamis dan kondisi statis ini, kita telah mencapai suatu titik perbedaan antara peradaban dan masyarakat primitif. Namun, saat kita bertanya pada diri sendiri apakah perbedaan yang diamati secara empiris itu permanen dan fundamental, kita mendapati bahwa jawabannya negatif. Jika kita hanya mengetahui tentang masyarakat pra-peradaban dalam kondisi statis, ini hanyalah suatu konsekuensi aksidental dari betapa terfragmentasinya pengetahuan kita. Semua data kita untuk studi masyarakat semacam ini datang dari representatif spesies yang berada pada fase-fase terakhir sejarah mereka. Namun, di mana arah observasi menggagalkan kita, suatu latihan penalaran memberitahu kita bahwa mesti ada fase-fase sebelumnya dalam sejarah masyarakat pra-peradaban di mana terjadi gerakan yang lebih dinamis daripada gerakan yang pernah dibuat oleh peradaban mana pun, sejauh pengetahuan kita.
Masyarakat pra-peradaban mestilah mendahului kemanusiaan, karena manusia tidak dapat sepenuhnya menjadi manusia kecuali dalam suatu lingkungan sosial; dan mutasi dari nenek moyang pra-manusia menuju manusia ini, yang telah tercapai, dalam keadaan di mana kita tidak memiliki catatan, di bawah naungan masyarakat pra-peradaban, ialah perubahan yang lebih mendalam, langkah pertumbuhan yang lebih besar, daripada progres mana pun yang dicapai oleh manusia di bawah naungan peradaban.
Masyarakat pra-peradaban, sebagaimana kita tahu melalui pengamatan langsung, mungkin dapat diibaratkan sebagai orang-orang yang meletakkan suatu lempengan pada langkan suatu sisi gunung, dengan ngarai di bawah dan di atasnya; peradaban mungkin dapat diserupakan dengan rekan dari “Sleepers of Ephesus” (aṣḥāb al-kahf / para pemuda yang tidur di gua) yang baru saja bangkit pada kaki mereka dan mulai memanjat ke muka tebing; sementara kita, untuk bagian kita, dapat menyerupakan diri kita pada para pengamat dengan pandangan terbatas pada langkan dan kaki dari ngarai di bagian atas dan yang telah menjumpai pemandangan pada saat bagian-bagian yang berbeda telah berada pada posisi dan postur tetapnya. Pada tatapan pertama, kita mungkin dimiringkan untuk menarik suatu distingsi mutlak antara kedua kelompok, mengelukan para pemanjat sebagai atlet dan mengabaikan sosok yang berbaring seakan lumpuh: tapi pada pemikiran kedua, kita akan mendapati bahwa lebih bijak untuk menunda penghakiman.
Lagi pula, sosok yang terlentang tidaklah mungkin menjadi seorang yang benar-benar paralitis; karena mereka tak mungkin dapat dilahirkan pada langkan itu, dan tidak ada otot manusia kecuali otot mereka sendiri yang dapat mengerek mereka ke tempat perhentian ini menghadap ke jurang di bawahnya. Alih-alih menjadi lumpuh, mereka mesti menjadi atlet berpengalaman yang telah sukses menjengkal medan yang ada di bawah mereka dan masih dapat mengambil istirahat yang layak dari kerja terakhir mereka. Di sisi lain, rekan mereka yang sedang memanjat pada takat ini baru saja meninggalkan langkan yang sama ini dan mulai memanjat muka tebing yang ada di atas; dan, karena medan berikutnya di luar jangkauan pandangan, kita tidak tahu seberapa tinggi atau seberapa berat ia. Kita hanya tahu bahwa mustahil untuk berhenti dan beristirahat sebelum langkan berikutnya, di mana pun itu berada, dicapai. Dengan demikian, bahkan jika kita dapat mengestimasi kekuatan, kemampuan, keteguhan, dan keberanian setiap pemanjat, kita tidak dapat menilai apakah tiap-tiap mereka memiliki prospek untuk meraih langkan yang tak tampak nun di atas sana, yang menjadi tujuan dari upaya keras mereka saat ini. Namun, kita dapat memastikan bahwa beberapa di antara mereka tidak akan pernah meraihnya.
Kita dapat melihat banyak pendaki kita telah berjatuhan – beberapa sampai mati dan yang lainnya sampai keadaan batas hidup-mati di langkan di bawahnya. Mereka bertelekan saling berdampingan dengan bangkai-bangkai yang mulai terurai dari rekan-rekan mereka yang “felices opportunitate mortis” telah “beruntung” lolos dari rasa sakit kegagalan melalui kelenyapan, dan juga berdampingan dengan sosok-sosok yang telentang dari mereka yang jelas-jelas tengah lumpuh yang belum lagi mencoba medan yang telah mengalahkan mereka yang tak beruntung itu. Pada saat kita datang, mayoritas pemanjat di ngarai bagian atas langkan kita telah jatuh dan bertemu satu sama lain dalam hukuman kekalahan – membatu atau musnah – dan hanya ada sebagian kecil untuk dilihat masih tengah bekerja dalam upaya mereka naik.
Jika kita dapat menengok ke bawah dari muka ngarai di bawah langkan kita ke langkan berikutnya di bawahnya, dan menerjemahkan diri kita kembali ke masa di mana medan yang lebih rendah ini merupakan tempat kejadian, kita semestinya hampir pasti menemukan bahwa para pendaki yang telah mencapai langkan kita untuk beristirahat sebelum menjejaki medan di atasnya, masihlah minoritas dibandingkan dengan para korban yang disebabkan oleh medan itu yang tak terperi jumlahnya dan tak teringat pula hingga saat itu.
Kita telah mengikuti tamsil kita cukup jauh untuk memastikan bahwa kontras antara kondisi statis dan masyarakat pra-peradaban, sebagaimana kita tahu, dan gerak dinamis dari masyarakat yang berada dalam proses peradaban tidaklah permanen dan bukalah titik perbedaan mendasar, melainkan suatu kejadian pada waktu dan tempat observasi. Semua masyarakat pra-peradaban yang kita amati tengah diam, mestilah pada suatu saat bergerak; dan semua masyarakat yang telah memasuki proses peradaban, mungkin diam cepat atau lambat dengan cara tertentu. Beberapa telah jatuh sakit dan diam, jauh sebelum tujuannya tercapai, sampai tahap di mana kemanusiaan primitif dari mana mereka bermula. Kondisi suatu peradaban ci-devant yang demikian yang telah gagal dalam upaya mereka menjadi statis seperti kondisi masyarakat pra-peradaban yang memanjang sampai hari ini karena mereka telah berhasil bertahan dalam kejumudan mereka.
Dalam segala hal lainnya, ini adalah semua perbedaan antara mereka dan perbedaan ini – perbedaan antara kegagalan dan keberhasilan – ialah sepenuhnya ada pada naungan masyarakat pra-peradaban. Masyarakat demikian, seperti kita lihat hari ini, ialah statis karena mereka memulihkan-ulang diri mereka dari regangan upaya yang berhasil untuk mencapai keadaan di mana mereka sekarang berada. Kejumudan/kediaman mereka bukanlah kejumudan/kediaman orang mati, melainkan kejumudan/kediaman orang tidur; dan bahkan, jika mereka ditakdirkan tiada pernah bangkit, mereka tetaplah masih hidup. Peradaban chi-devant statis karena mereka telah kehilangan hidup mereka dalam suatu upaya tak sukses untuk menaikkan keadaan menuju yang mereka ulangi saat ini. Kejumudan/kediaman mereka ialah kejumudan/kediaman orang mati yang sedang mengalami peluruhan; dan mereka secara sama mati tanpa ragu dan tanpa ingatan, tiada peduli mereka terdisintegrasi dengan cepat seperti jasad yang membusuk atau secara perlahan seperti batang pohon atau batu yang melapuk.
Kita telah gagal untuk menemukan objek langsung pencarian kita, suatu titik perbedaan permanen dan mendasar antara masyarakat pra-peradaban dan peradaban; tapi secara tak sengaja kita telah memperoleh kilatan cahaya pada tujuan objektif penyelidikan kita saat ini: natur dari kelahiran peradaban. Mulai dengan mutasi masyarakat pra-peradaban menuju peradaban, kita menemukan bahwa ini mencakup suatu transisi dari kondisi statis ke aktivitas dinamis; dan kita akan menemukan bahwa formula yang sama berlaku dengan baik untuk mode alternatif kemunculan peradaban melalui pemisahan diri proletariat dari minoritas dominan pada peradaban yang telah ada yang telah kehilangan daya kreatif mereka. Minoritas dominan tersebut sedang statis secara definisi; karena untuk mengatakan bahwa minoritas kreatif suatu peradaban yang bertumbuh telah mengalami degenerasi atau atrofi menuju minoritas dominan peradaban yang disintegrasi, hanyalah cara lain untuk mengatakan bahwa masyarakat tersebut telah beranjak dari aktivitas dinamis menuju kondisi statis.
Melawan kondisi statis ini, pemisahan diri proletariat merupakan suatu reaksi dinamis; dan dalam bentang ini, kita dapat melihat bahwa, pada pemisahan proletariat dari minoritas dominan itu, suatu peradaban baru dihasilkan melalui transisi suatu masyarakat dari kondisi statis menuju aktivitas dinamis, seperti halnya pada mutasi yang menghasilkan suatu peradaban dari masyarakat primitif. Kelahiran semua peradaban – tiada peduli kelas mereka berhubungan atau tidak – dapat dijelaskan dalam suatu kalimat yang ditulis oleh seorang filsuf sejenak setelah era Perang Dunia Pertama ini:
“Tak syak lagi bahwa umat manusia sekali lagi tengah bergerak. Fondasi yang ada telah diguncang dan mengendur, dan segala sesuatu sekali lagi menjadi cair. Tenda-tenda telah tertabrak, dan karavan besar umat manusia sekali lagi tengah melaju.”
Dapatkah kita mengatakan lebih banyak tentang transisi dari suatu kondisi statis ke aktivitas dinamis di mana kelahiran peradaban terjadi? Kita telah mengetahui lebih banyak tentangnya: takat transisi ini tidaklah unik. Saat kita mempelajarinya dalam kiasan kita tentang sisi gunung sebelumnya, kita menyadari bahwa langkan di mana kita melihat masyarakat pra-peradaban berbaring dorman dan peradaban ci-devant mati, sementara masyarakat yang berada pada takat peradaban tengah menjejak ngarai di atasnya, hanyalah satu dari serangkaian langkan, yang lainnya berada di luar jangkauan penglihatan kita. Semua masyarakat pre-peradaban pastilah telah mencapai langkan kita dari suatu langkan yang tidak terlihat di bawah, dan semua masyarakat yang sedang berproses secara peradaban tengah berupaya untuk mencapai suatu langkan di atas yang tak terlihat.
Ketinggian muka tebing yang menjulang di atas kita di luar daya estimasi kita, tapi kita tahu apa tujuan yang kita cari pada pendakian yang melelahkan ini di mana sejumlah masyarakat manusia tengah terlibat. Dalam kurang dari 2.500 tahun setelah munculnya peradaban paling awal, agama dan filsafat tinggi pertama muncul, dan setiap masyarakat pos-peradaban ini telah menunjuk tujuan umat manusia dan memberikan kita resep-resep untuk mencapainya. Dengan demikian, meskipun tujuan umat manusia berlanjut dan meningkatnya perjuangan itu masih di luar pandangan, setidaknya kita tahu apa itu. Kita harus menajamkannya tanpa harus memiliki kemampuan penerawangan ilahi, dengan melihat ke dalam; karena tujuan umat manusia tertulis besar-besar dalam konstitusi fitrah manusia itu sendiri.
Tanpa harus menjelajah kegelapan dan kedalaman setiap turunan dari rangkaian langkan, ngarai, dan tebing itu, kita dapatlah mengamati bahwa perubahan antara permukaan-permukaan horizontal dan tegak lurus pada sisi gunung mengulang dirinya dalam suatu jenis pola, dan bahwa perubahan yang terkait antara kondisi statis dan aktivitas dinamis dalam energi makhluk yang hidup yang berupaya menjejak gunung itu secara sama mengulang dirinya dalam suatu ritme tertentu. Ritme ini telah ditunjukkan oleh banyak pengamat, yang hidup dalam berbagai zaman dari masyarakat yang beragam, yang semua sependapat terkait adanya suatu natur fundamental dari alam semesta.

Referensi
Arnold J. Toynbee. 1972. A Study of History: The One Volume Edition Illustrated. London: Thames and Hudson.

Comments

  1. AJOQQ menyediakan permainan poker,domino, bandarq, bandarpoker, aduq, sakong, bandar66, perang bacarat dan capsa :)
    ayo segera bergabung bersama kami dan menangkan uang setiap harinya :)
    AJOQQ juga menyediakan bonus rollingan sebanyak 0.3% dan bonus referal sebanyak 20% :)
    WA;+855969190856

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan