Mukadimah Historiografi Modern

“... makna yang lebih dalam dari sejarah melibatkan analisis dan upaya untuk mencapai kebenaran, penjelasan yang halus atas sebab-sebab (sabab) dan asal-usul (ibda’) segala hal yang ada, serta pengetahuan yang mendalam tentang aspek “bagaimana” dan “mengapa” pelbagai peristiwa. Syajarah berakar kokoh pada falsafah. Ia layak ditempatkan sebagai suatu cabang utama (dari filsafat).” (Interpretasi Franz Rosenthal terhadap Muqaddimah Ibnu Khaldun dalam "The Muqaddima: An Introduction to History Volume I", 1958 hal.6)
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah merupakan suatu disiplin ilmu yang berakar secara luas di antara negara-negara dan bangsa-bangsa. Ia (mungkin pada masa Ibnu Khaldun tapi tidak selalu di setiap zaman) begitu gemar diteliti. Orang-orang di jalanan, orang-orang biasa, ingin mengetahuinya. Para raja dan pemimpin bersaing untuknya.
Baik mereka yang terpelajar maupun yang bodoh mampu untuk memahaminya. Lantaran permukaan sejarah tidak lebih daripada informasi tentang kejadian-kejadian politik, dinasti, dan peristiwa masa lalu yang jauh, yang secara anggun disajikan dan dibumbui dengan peribahasa. Ia secara masif berperan menghibur, mengumpulkan kerumunan, dan memahamkan kita tentang urusan dan tabiat manusia. (Ia menunjukkan) bagaimana perubahan pelbagai kondisi mempengaruhi (urusan hidup manusia), bagaimana sejumlah dinasti mencapai kekuasaan dan wilayah yang membentang di dunia, dan bagaimana mereka menetap di bumi sampai mereka mendengar seruan dan masa mereka telah berakhir.
Namun di sisi lain, makna yang lebih dalam dari sejarah melibatkan analisis dan upaya untuk mencapai kebenaran, penjelasan yang halus atas sebab-sebab (sabab) dan asal-usul (ibda’) segala hal yang ada, serta pengetahuan yang mendalam tentang aspek “bagaimana” dan “mengapa” pelbagai peristiwa. Sejarah berakar kokoh pada falsafah. Ia layak ditempatkan sebagai suatu cabang utama (dari falsafah).
Para sejarawan telah membuat karya-karya yang panjang tentang pelbagai peristiwa sejarah dan menuliskannya dalam bentuk buku. Namun, tidak semua mampu menggunakan pandangan yang kritis sebagai aturan atau metode penulisan sejarah. Kesalahan dan asumsi yang tak berdasar cukup lekat dengan berbagai informasi sejarah. Taklid buta dalam historiografi merupakan suatu masalah yang temurun pada manusia. Para perawi sejarah umumnya hanya mendiktekan dan mewariskan (material atau urutan kejadian peristiwa). Perlu pandangan yang kritis untuk mengeluarkan kebenaran tersembunyi; perlu pengetahuan tertentu untuk mengeluarkan kebenaran dan memolesnya sehingga pandangan kritis dapat diterapkan padanya.
Banyak karya sejarah yang sistematis telah disusun, dan sejarah bangsa-bangsa serta negara-negara di dunia telah dikompilasikan dan dituliskan. Namun, sedikit sekali sejarawan yang termasyhur secara menonjol sebagai otoritas (historiografi), dan yang telah menggantikan hasil karya para pendahulu mereka dengan kerja mereka sendiri. Mereka di antaranya (dalam perspektif masa hidup Ibnu Khaldun) Muhammad bin Ishaq, Muhammad bin Jarir at-Ṭabari, Hisyam bin Muhammad al-Kalibi, Muhammad bin Umar al-Waqidi, Sayf bin Umar al-Asadi, dan beberapa lagi yang dapat dibedakan dari para penulis sejarah umumnya. Peradaban, dalam kondisi yang beragam, memuat berupa elemen yang dapat dihubungkan dengan informasi historis dan dapat digunakan untuk mengecek material sejarah.
Kebanyakan naskah sejarah yang ditulis oleh mereka mencakup segala hal karena ekstensi geografinya yang universal antara dua dinasti Islam paling awal dan karena luasnya seleksi sumber yang mereka gunakan dan tidak gunakan. Sejumlah penulis tersebut, seperti al-Masʿudi dan para sejarawan sejenis, memberikan sejarah yang panjang tentang dinasti-dinasti dan bangsa-bangsa sebelum Islam serta berbagai hal lain secara umum. Sejumlah sejarawan kemudian, di sisi lain, menunjukkan kecenderungan pembatasan yang lebih, sehingga tidak terlalu umum. Mereka membawakan kejadian-kejadian pada periode hidup mereka sendiri dan memberikan informasi sejarah yang panjang tentang belahan dunia tempat mereka hidup. Mereka membatasi diri mereka pada sejarah dinasti dan kota masa mereka. Itu seperti yang dilakukan oleh Ibnu Ḥayyān, sejarawan Andalusia, dan Ibnu ar-Raqiq, sejarawan Afrika dan dinasti al-Qayrawan.
Para sejarawan berikutnya terlalu terikat dengan tradisi. Mereka hanya menyalin para sejarawan terdahulu dan mengikuti contoh-contoh mereka. Mereka mengabaikan pelbagai perubahan kondisi dan tradisi bangsa-bangsa dan ras-ras yang dilalukan oleh perjalanan waktu. Dengan demikian, mereka menyajikan informasi historis tentang dinasti-dinasti dan kisah-kisah peristiwa dari periode terdahulu hanya sebagai bentuk tanpa substansi, pedang tanpa sarung, sebagai pengetahuan yang mesti digolongkan sebagai kejahilan, karena tidak diketahui darinya mana yang tidak penting dan mana yang khulki. Informasi mereka berkenaan dengan kejadian yang asalnya tidak diketahui, spesies genus yang tidak dipertimbangkan, dan yang perbedaan spesifiknya tidak diverifikasi. Dengan informasi yang mereka tuliskan, mereka hanya mengulang material sejarah yang telah diketahui secara luas dan mengikuti tradisi sejarawan terdahulu yang mengerjakannya. Mereka mengabaikan pentingnya perubahan sepanjang generasi dalam perlakuan mereka terhadap material sejarah, karena mereka tidak memiliki satu pun yang mampu menginterpretasikannya untuk mereka. Kerja-kerja mereka, dengan begitu, tidak memberikan penjelasan atasnya.
Saat mereka lalu beranjak pada penjelasan tentang dinasti tertentu, mereka melaporkan informasi sejarah tentangnya secara mekanis dan berupaya mengabadikannya seolah ia telah diwariskan ke mereka, baik secara imajiner maupun nyata. Mereka tidak merefleksikan permulaan dinasti tersebut, maupun memberitahukan mengapa dinasti itu membentangkan panji-panjinya dan mampu menyematkan kejayaan pada emblem mereka, atau apa yang menyebabkan kejayaan itu berhenti saat dinasti itu telah mencapai masa ajalnya. Dengan demikian, para murid belum dapat mencapai kondisi-kondisi permulaan dan prinsip-prinsip organisasi pelbagai dinasti tersebut. Mereka mesti menyelidiki sendiri mengapa beragam dinasti membawa tekanan terhadap satu sama lain dan mengapa mereka saling menggantikan satu sama lain. Mereka mesti menyelidiki penjelasan yang memuaskan terhadap elemen-elemen yang membuat separasi atau kontak timbal-balik antara dinasti-dinasti itu. Semua itu akan ditinjau dalam Mukadimah dari karya Ibnu Khaldun ini.
Para sejarawan yang lain lalu datang dengan presentasi (sejarah) yang terlalu singkat. Mereka pergi ke titik ekstrem dengan menjadi puas dengan nama-nama raja, tanpa informasi genealogis atau historis apa pun, dan dengan hanya suatu indikasi numeris dari panjang era kekuasaan. Ini dilakukan oleh Ibnu Rasyīq dalam Mizān al-ʿAmal, dan oleh para domba yang tersesat yang mengikuti metodenya. Tidak ada kredensial yang dapat diberikan pada apa yang mereka katakan. Mereka tidak terlalu dianggap dapat dipercaya, material sejarah mereka juga tidak dianggap layak untuk ditransmisikan, karena mereka menyebabkan hilangnya material sejarah yang berharga serta rusaknya metode dan tradisi keilmuan yang telah didapatkan oleh para sejarawan.
Ibnu Khaldun menuturkan, “Saat aku membaca karya-karya yang lain dan menyelidiki reses kemarin dan hari ini, aku mesti mengguncang diriku sendiri dari kepuasan semu dan rasa kantuk. Meskipun tidak sebanyak sebagai seorang penulis, aku juga membangun kemampuan litererku sendiri sebaik yang aku bisa, sehingga menyusun suatu buku tentang sejarah. Dalam buku ini, aku mengangkat tirai dari kondisi-kondisi sebagaimana mereka menyeruak pada berbagai generasi. Aku menyusunnya secara terstruktur dalam bab-bab yang berkenaan dengan fakta-fakta dan refleksi-refleksi sejarah.  Di dalamnya, aku menunjukkan bagaimana dan mengapa dinasti-dinasti dan peradaban bermula. Aku mendasarkan karya ini pada sejarah dua ras yang menyusun populasi kawasan Magrib era ini dan mendiami beragam wilayah dan kotanya, dan tentang rumah kuasa mereka, baik berumur panjang maupun pendek, termasuk para penguasa dan sekutu-sekutu mereka di masa lalu. Dua ras ini ialah Arab dan Berber. Mereka merupakan dua ras yang diketahui telah mendiami wilayah Magrib untuk waktu yang lama yang sulit dibayangkan bagi mereka untuk hidup di wilayah lain, karena penduduknya tidak mengetahui ras-ras manusia yang lain.”
“Aku membetulkan isi dari karya tersebut dengan hati-hati dan menyajikannya kepada penilaian para sarjana dan elite. Aku mengikuti suatu metode penyusunan dan divisi ke dalam bab-bab yang tidak biasa. Dari beragam kemungkinan, aku memilih suatu metode orisinal yang luar biasa. Dalam karya tersebut, aku memberi uraian tentang peradaban, urbanisasi, dan karakteristik esensial dari organisasi sosial manusia, dalam cara yang menjelaskan kepada pembaca bagaimana dan mengapa mereka wujud sebagaimana mereka adanya, dan menunjukkan bagaimana manusia yang menyusun suatu dinasti pertama kali muncul dalam panggung sejarah. Pembaca akan menyadari kondisi-kondisi periode dan persaingan yang terjadi sebelum masanya dan yang akan terjadi sesudahnya.”
Ia membagi karya ini ke dalam satu mukadimah (pembukaan) dan tiga (bagian) buku. Bagian Mukadimah banyak berkenaan dengan historiografi, (menawarkan) suatu apresiasi terhadap ragam metodenya, dan mengutip kesalahan-kesalahan para sejarawan. Buku pertama berkenaan dengan sejumlah peradaban dan karakteristik esensialnya, yaitu, otoritas royal, pemerintahan, pekerjaan yang berlaba besar, mata pencaharian, kerajinan, dan ilmu pengetahuan, juga berkenaan dengan sebab dan alasan keberadaannya.”
Buku kedua mencakup sejarah, ras, dan dinasti bangsa Arab, dari permulaan penciptaan hingga era kini. Ini akan mencakup sumber-sumber tentang sejumlah bangsa dan dinasti kontemporer bersamanya, seperti Nabatea, Syriac, Persia, Israeliyat, Koptik, Yunani, Byzantium, dan Turki. Buku ketiga mencakup sejarah bangsa Berber dan Zanatah yang merupakan bagian dari mereka; bersama dengan asal-usul dan ras mereka dan, secara khusus, dengan otoritas royal dan dinasti yang ada di kawasan Magrib.
“Kemudian, terdapat perjalananku ke Timur, dalam rangka menemukan bermacam-macam pencerahan yang ditawarkannya dan untuk memenuhi kewajiban din dan tradisi (sunah) tawaf memutari Kabah dan mengunjungi Madinah, juga untuk mempelajari karya-karya dan buku-buku babon sistematis sejarah (Timur). Selain itu, aku dapat memenuhi celah-celah dalam informasi sejarahku tentang para penguasa non-Arab (Persia) di tanah-tanah itu, dan tentang dinasti-dinasti Turki di kawasan yang mereka perintah. Aku menambahkan informasi ini pada apa yang telah aku tulis di sini (sebelum dalam hubungan ini). Aku menyisipkannya ke dalam perlakuan terhadap bangsa-bangsa dari beragam wilayah dan para penguasa berbagai kota dan kawasan-kawasan yang secara kontemporer bersama dengan ras (Turki dan Persia) tersebut. Dalam hubungan ini, aku melakukannya secara singkat dan padat serta memilih tujuan yang mudah daripada yang susah. Aku melanjutkan dari (tabel) genealogis umum menuju informasi historis detail.”
Dengan demikian, (karya ini) mengandung sejarah dunia yang pandang. Ia memaksa hikmah yang keras kepada untuk kembali dalam lipatan-lipatan. Ia memberikan sebab dan alasan dari terwujudnya pelbagai dinasti. Ia menjadi semacam wadah bagi filsafat, suatu bangunan dari pengetahuan historis. Karya tersebut memuat sejarah Arab dan Berber, keduanya bangsa yang menetap dan nomad. Ia juga mencakup rujukan tentang dinasti-dinasti kontemporer pada mereka, dan terlebih, dengan jelas mengindikasikan pelajaran yang tak terlupakan untuk dipelajari dari kondisi-kondisi awal dan dari sejarah terusannya. Dengan demikian, ia menyebutnya “Buku Pelajaran dan Catatan tentang Sejarah Awal dan Terusan dari Bangsa Arab, Non-Arab, dan Berber, serta Para Penguasa Tertinggi yang Bersama Mereka Secara Kontemporer”. (Kitāb al-ʿIbar wa Dīwān al-Mubtada’ wal-Khabar fī ayāmi al-ʿArab wal-ʿAjam wal-Barbar, wa man ʿĀsarahum min Dzawī aṣ-Ṣulṭān al-Akbār)
“Aku tidak mengabaikan asal-usul ras-ras dan dinasti-dinasti, berkenaan dengan sinkronisme bangsa-bangsa terdahulu, berkenaan dengan alasan-alasan perubahan dan variasi di periode lalu dan dalam kelompok keagamaan, berkenaan dengan dinasti-dinasti dan kelompok keagamaan, kota-kota dan pedesaan, izah dan kehinaan, jumlah besar dan kecil, ilmu pengetahuan dan kerajinan, keuntungan dan kerugian, kondisi-kondisi umum yang berubah, kehidupan menetap dan berpindah, kejadian aktual dan kejadian masa depan, semua hal yang diharapkan terjadi pada peradaban. Aku memperlakukan setiap hal secara komprehensif dan menyeluruh dan menjelaskan argumen-argumen yang mendasarinya dan sebab-sebab eksistensinya.”
“Sebagai hasilnya, buku ini telah menjadi unik, karena ia memuat pengetahuan yang tidak biasa dan keakraban dari kebijaksanaan yang tersembunyi. Namun, tetaplah setelah semua yang dipaparkan, aku menyadari adanya imperfeksi pada buku ini saat aku melihat para sarjana pelbagai masa. Aku mengakui ketidakmampuanku untuk penetrasi ke dalam subjek yang begitu rumit. Aku berharap bahwa orang-orang dengan kompetensi sarjana dan pengetahuan luas akan melihat buku ini dengan kritis, alih-alih dengan mata yang puas, dan secara diam-diam memperbaiki dan meninjau kesalahan-kesalahan pada mereka. Kapital pengetahuan yang ditawarkan oleh seorang intelektual ialah kecil. Pengakuan (terhadap kekurangan seseorang) akan menyelamatkan dari kekacauan. Kebaikan dari kolega-kolega diharapkan. Ialah Allah yang aku mohonkan bahwa perbuatan baik kita diterima di sisi-Nya. Dialah yang mencukupi aku dan Dialah sebaik-baik pelindung.”

Sumber
Ibnu Khaldun. 1958. The Muqaddimah: An Introduction to History Volume I. Terjemahan oleh Franz Rosenthal. London: Routledge & Kegan Paul Ltd.

Comments


  1. menangkan uang sebanyak-banyaknya hanya di AJOQQ :D
    AJOQQ menyediakan 9 permainan seru :)
    WA;+855969190856

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan