Bagaimana al-Kindi Memandang Filsafat dan Agama
Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq bin as-Ṣabbāḥ bin
ʿImrān bin Ismaʿīl bin Muhammad bin al-Asyʿats bin Qays bin Maʿdiy bin
Muʿāwiyah bin Jablah bin ʿAddiy bin Rabīʿah al-Kindi (185H/801M-252H/870M)
dikenal sebagai bapak filsuf bangsa Arab dan tokoh gerakan penerjemahan
naskah-naskah ilmu pengetahuan ke bahasa Arab pada masa kekhalifahan Abbasiyah.
Leluhurnya, al-Asyʿats bin Qays adalah sahabat Nabi Muhammad
SAW yang hijrah ke Kufah saat kota itu dijadikan ibukota kekhalifahan. Ayahnya,
Ishaq bin as-Ṣabbāḥ ditunjuk oleh khalifah al-Mahdi menjadi Gubernur Kufah.
Sebagai seorang muda, ia belajar Quran, tata bahasa Arab, dan hadis. Saat
lulus, dia tertarik dengan sains dan filsafat, yang membuatnya mempelajari
bahasa Syriac, yang saat itu banyak digunakan untuk menulis naskah sains dan
filsafat.
Sekitar 250 risalah telah ditulis oleh al-Kindi, baik hasil
pemikirannya sendiri maupun penerjemahan. Karyanya tersebar dalam bidang
filsafat, logika, ilmu hitung, sferika, optik, kedokteran, astrologi, polemik,
psikologi, politik, meteorologi, dan lain-lain. Di antara tulisan al-Kindi yang
paling menonjol adalah Risālah ilā al-Muʿtaṣim Billah Fil Falsafah al-Ūla
(Risalah untuk Khalifah al-Muʿtaṣim Billah Tentang Filsafat Pertama).
Dalam
risalah itu, al-Kindi memandang filsafat sebagai suatu pengertian (ḥad)
tentang pengetahuan hakikat sejati (ḥaqāiq) segala sesuatu, sejauh
mungkin ia dapat digapai manusia. Filsafat dimaknainya sebagai seni berpikir (ṣanaʿāt)
yang berkenaan dengan hal-hal yang esensial atau sebab segala sesuatu,
sementara pengetahuan tentang sebab dianggapnya lebih mulia dari pengetahuan
tentang akibat.
Tujuan
(garaḍ) sejati seorang filsuf menurut al-Kindi, ialah untuk memperoleh
kebenaran (iṣābat-l-haqq) dan berbuat dengan penuh kebenaran. Ia
menganggap bahwa seni berpikir manusia (aṣ-ṣanaʿāt al-insani) yang
tertinggi dan paling mulia ialah filsafat (al-falsafah). Sementara
cabang paling mulia dan tertinggi (aʿlāhā martabat) dari filsafat disebutnya
sebagai “filsafat pertama” (al-falsafah al-ūlā), yaitu suatu pencarian
hakikat tentang Tuhan, Sang Esa Sejati, Sang Awal, Sang Kebenaran Pertama (al-ḥaqq
al-ūlā).
Menurutnya,
kita tidak dapat menemukan kebenaran yang kita cari tanpa menemukan sebab (ʿillat).
Sebab dari perwujudan (wujūd) dan keberlangsungan keberadaan (tsabāt)
segala sesuatu adalah Sang Esa Sejati (al-haqq). Karena Sang Esa Sejati
itu ada, segala keberadaan menjadi wujud. Karena itu, filsuf yang sempurna dan
paling mulia ialah yang mampu memahami secara penuh pengetahuan tentang Tuhan.
Dengan begitu, filsafat paling mulia dalam pandangan al-Kindi adalah filsafat
ketuhanan.
Dengan
demikian, filsafat menurut al-Kindi tidaklah bertujuan untuk membebaskan
manusia dari Tuhan, mempromosikan ateisme, atau semacamnya. Sebaliknya,
filsafat mesti dipergunakan untuk mendukung kebenaran din atau agama. Baginya,
filsafat mencakup pengetahuan tentang keilahian (ʿilm ar-rubūbiyyat),
keesaan (ʿilm al-wahdāniyyat), kebajikan (ʿilm al-faḍīlat), dan
pengetahuan tentang segala sesuatu yang bermanfaat, serta jarak dari segala
sesuatu yang berbahaya terhadap keimanan.
Menurut
al-Kindi, filsafat perlu dipelajari sebagai suatu alat dan metode penyelidikan
yang berguna dalam mendukung kebenaran Islam, meskipun tidak setiap Muslim
harus menggeluti filsafat. Menurutnya, jika ada pihak yang menyatakan bahwa
filsafat itu tidak boleh digeluti dan tidak diperlukan, mereka harus mengajukan
argumen-argumen untuk membuktikan pernyataan itu; padahal berargumen itu
sendiri adalah suatu kegiatan berfilsafat.
Tampak
bahwa al-Kindi memandang filsafat sejalan dan satu tujuan dengan agama, yaitu memahami
kebenaran dan hidup menurut kebenaran. Di sini, kita melihat keunikan pandangan
filosofis al-Kindi yang mengintegrasikan filsafat sebagai suatu yang teoritis
dan aplikatif. Hal ini membuat al-Kindi dapat menghubungkan filsafat dengan
agama secara erat.
Hal
itu diperkuatnya dengan menyatakan bahwa tujuan “filsafat pertama” yang ia
rumuskan, sebagaimana ajaran din Islam, ialah mengikrarkan keesaan (ʿilm
al-wahdāniyyat) dan keilahian (ʿilm ar-rubūbiyyat) Allah, serta
menjalani ilmu kebajikan (ʿilm al-faḍīlat) dan menjauhi perbuatan buruk,
yang dalam agama berkaitan erat dengan ihsan, akhlak, dan adab.
Al-Kindi
tetap mengakui bahwa derajat filsafat lebih rendah dari ilmu para Nabi dan
Rasul (al-ʿilmu al-ilāhiy). Ia menyatakan bahwa filsafat berupaya
menggapai hakikat sejati segala sesuatu hanya “sejauh mungkin ia dapat digapai
oleh manusia”. Al-Kindi mengakui bahwa sebagai produk pemikiran manusia yang
terbatas, filsafat memiliki keterbatasan tersendiri. Filsafat sejati memiliki
kecenderungan menuju kebenaran, tapi tidak mampu menjangkau keseluruhannya
sebagaimana ilmu din.
Menurutnya,
karena pengetahuan seorang Rasul seutuhnya melalui wahyu, ilmu Rasul itu
langsung dan tanpa perantara. Sebaliknya, seorang filsuf mesti melakukan studi
yang panjang, termasuk terhadap ilmu-ilmu pengantarnya. Para Nabi tidak
membutuhkan upaya akademis, cukup dengan kehendak Allah yang melimpahkan pesan
kepada mereka melalui wahyu. Filsuf belum tentu dapat sampai pada kebenaran
sejati secara singkat, jelas, tepat, dan lengkap sebagaimana ilmu Nabi dan
Rasul.
Tidak
seperti Aristoteles dan Ibnu Sina, al-Kindi tidak menganggap filsafat terutama
sebagai pengkajian tentang wujud sebagai wujud. Ia juga tidak memandang
filsafat sebagai pengetahuan paling suci. Kedudukan tinggi yang diberikan oleh
al-Kindi pada filsafat datang dari kehormatan pokok-pokok bahasan yang mesti
digarapnya, yaitu hal-hal universal, kebenaran sejati, dan pemikiran tentang
keesaan Tuhan.
Dengan
demikian, bagi al-Kindi, filsafat merupakan pendekatan kebenaran yang mesti
dijadikan pendukung bagi din. Hikmah filsafat tidak dimaksudkan untuk
bertentangan dengan atau mengungguli agama dalam pencarian kebenaran. Falsafah
juga mesti dipandang seutuhnya sebagai suatu tatanan teoritis sekaligus
praktis, sehingga tindakan seorang filsuf tidak boleh menyimpang dari kebenaran
yang dihasilkan oleh pemikirannya.
Sumber:
Atiyeh,
George N. 1966. Al-Kindi: Tokoh Filosof Muslim. Terjemahan Kasidjo Djojosuwarno. Bandung: Penerbit
Pustaka Masjid Salman.
Ivry,
Alfred L. 1974. Al-Kindi’s Metaphysics. Albany, NY: State University of New York Press.
Al-Kindi, Abu Yusuf Yaqub bin Ishaq. 1950. Rasāil al-Kindi al-Falsafiyyah. Ed. M.A. Abu Rīdah. Kairo: Dārul Fikri al-ʿArabiy.
Al-Qifṭiy, Abu Hasan Ali bin Yusuf. 1903. Tārikh al-Ḥukamā’. Ed. Julius Lippert & August Muller. Leipzig:
Dieterich’sche Verlagsbuchhandlung.
Comments
Post a Comment