Peradaban Sebagai Satuan Sejarah Bagian I: Tenggelam dan Kembalinya Konsep Peradaban dalam Analisis Sejarah

 

“Saya menolak kebiasaan masa kini tentang studi sejarah dalam istilah negara-bangsa; itu semua hanyalah fragmen dari sesuatu yang lebih besar: suatu peradaban.” Diinterpretasikan dari (Arnold Joseph Toynbee, A Study of History: The One Volume Edition, 1972, London: Thames and Hudson, hal 15)


Tenggelamnya Konsep Peradaban

Setelah sempat diabaikan sejak sekitar 1960-an dan 70-an, penggunaan “peradaban” sebagai suatu konsep, sudut pandang, mode, atau satuan dalam pembahasan sejarah telah menunjukkan tanda-tanda kembalinya di kalangan para sejarawan dan cendekiawan pada umumnya. Memudar dan kembalinya penggunaan peradaban sebagai satuan sejarah itu setidaknya dapat kita lacak pada kehidupan wakil terbesarnya pada abad ke-20, Arnold Joseph Toynbee, dan sejumlah karya sejarah, atau yang berkenaan dengan sejarah, yang terbit sekitar dua atau tiga dekade terakhir ini.

Di antara para cendekiawan abad ke-20, Toynbee adalah sejarawan dan analis peradaban terbesar. Dia dianggap lebih hebat dalam segi gaya dan pengetahuan dibandingkan Oswald Spengler, pesaing terdekatnya. Pengaruhnya mencapai puncaknya pada pertengahan 1950-an. Dia diundang oleh tokoh-tokoh penting dan universitas-universitas di berbagai belahan dunia. Kuliah umumnya dihadiri oleh ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu orang. Selain mendapatkan gelar profesor di Universitas London, dia juga ditawari posisi Profesor Regius di Cambridge pada 1947. Sejumlah kampus di Amerika Serikat (AS) juga menawarinya posisi penting, termasuk dua kali memberikan Lowell Lectures di Harvard.

Meski begitu, pada takat tertentu tahun 50-an, sejumlah tokoh berpengaruh dalam disiplin ilmu sejarah mulai menyerang Toynbee yang dalam dekade-dekade berikutnya, menuntun pada gerhana reputasinya di antara para sejarawan dan cendekiawan. Menjelang kematiannya pada 1975, ia masihlah menikmati sejumlah penghormatan, terutama di Jepang, tapi reputasi kecendekiaannya kian memudar. Seiring dengan itu, pandangan yang menganalisis sejarah melalui sudut pandang peradaban menjadi kurang populer. Baik dalam bacaan bebas maupun buku-buku sekolah, pembelajaran sejarah menjadi lebih lekat dikaitkan dengan tatanan negara-bangsa, suatu satuan yang sejatinya mencakup lebih kecil daripada apa yang mampu dinaungi oleh konsep peradaban.

Memanglah dapat dibantah bahwa “peradaban” tidaklah pernah benar-benar hilang dalam kajian sejarah, atau ia berlanjut dalam berbagai bentuk dan istilah yang berbeda, kadang kala dengan makna-makna yang berlainan. Tidak diragukan lagi, kita dapatlah menunjuk sejumlah karya sejarah dalam lima puluh tahunan terakhir yang memunculkan peradaban dalam judul dan substansinya. Atau mungkin juga kita dapat menganggap tanda-tanda kembalinya konsep peradaban dalam kajian sejarah baru-baru ini sebagai marginal dan sementara, tidak mungkin mengubah iklim ketidakpercayaan dan penghinaan yang telah mengelilinginya selama lima dekade dan lebih.

Namun, penulis ingin menganggap bahwa konsep peradaban sekali lagi menerima perhatian berkelanjutan dari para sarjana, dan bahwa ia juga menarik publik yang lebih luas. Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa hal itu terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Selain itu, jelaslah bahwa penggunaan konsep peradaban sebagai satuan sejarah itu teramat penting bagi bidang sejarah yang hendak ditekuni oleh penulis, yaitu sejarah segala hal yang berkaitan dengan din Islam, di mana din Islam itu telah dengan sendirinya memiliki makna seminal sebagai peradaban atau tamadun. Dalam pada itulah, penulis merasa penting untuk menggali bagaimana peradaban itu menjadi satuan dalam pembahasan sejarah.

 

Kembalinya Peradaban sebagai Sudut Pandang Sejarah

Karya Samuel Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1997), menandai kembalinya ketertarikan terhadap peradaban. Menurut Huntington, sejarah manusia merupakan sejarah peradaban-peradaban. Senada dengan Toynbee, ia menganggap bahwa peradaban yang ada merupakan turunan dari agama-agama besar di dunia. Huntington mencoba untuk menekankan garis-garis patahan yang membagi dan terus memisahkan peradaban-peradaban besar dunia itu. Dia secara khusus risau dengan hal-hal yang memisahkan peradaban Barat dari peradaban-peradaban Asia – khususnya variasi Sinic dan Japonic – dan dari peradaban Islam, di periode kontemporer ini. Premisnya bahwa peradaban Barat  memandang peradaban Asia dan Islam sebagai penantang terhadap dominasi historisnya, di mana Islam dianggapnya sebagai penantang terbesar saat ini. Namun semakin ke belakang, sikap awas terhadap peradaban penantang itu tampaknya lebih terpusat ke arah Tiongkok.

Buku Niall Ferguson, Civilization: The West and the Rest (2011), secara jelas melanjutkan tema Huntington itu. Bahkan, sub-judulnya sendiri diambil dari judul salah satu bab Huntington, yaitu bab ke-8 “The West and the Rest: Intercivilizational Issues”. Buku Anthony Pagden, World sat War: The 2,500-Year Struggle between East and West (2008) juga memiliki tema yang serupa dengan unsur kombat yang lebih mencolok, menggarisbawahi secara nyata lawan Barat sebagai Timur. Mode yang sama juga kita dapati pada buku Ian Morris, Why the West Rules – For Now (2011), yang berorientasi pada sebab-sebab kemajuan Barat dan prospek masa depan dari hegemoni mereka.

Kita dapat melihat bahwa analisis berbasis peradaban dalam buku-buku itu didorong oleh pertanyaan-pertanyaan mengenai kondisi masa kini dan masa depan Barat yang dihadapkan dengan peradaban-peradaban penantangnya. Selain itu, muncul pula buku-buku dengan penekanan yang lain dalam analisis berbasis peradaban, yaitu suatu pandangan tentang tantangan yang lebih mendalam, tidak hanya terhadap peradaban Barat itu, tapi juga semua yang mungkin kita pikirkan sebagai peradaban. Tema yang terakhir ini lebih berfokus pada peradaban sebagai capaian dari keseluruhan umat manusia. Dengan begitu, isunya bukanlah persaingan antar peradaban, tapi antara peradaban dengan alam. Tema itu tampaknya merujuk pada meningkatnya kesadaran lingkungan dewasa ini dan semakin populernya sejarah ekologi serta pendekatan ekologis di sejumlah disiplin sains sosial.

Tema semacam itu dapat kita temui pada buku Felipe Fernandez-Armesto, Civilizations: Culture, Ambition, and the Transformation of Nature (2002), di mana mode ekologis disambungkan ke mode peradaban. Peradaban dianggap sebagai tipe relasi dengan alam yang direkonstruksi, oleh dorongan peradaban, untuk memenuhi tuntutan manusia. Peradaban dengan begitu dapat dipandang sebagai usaha-usaha untuk membentuk-ulang lingkungan sesuai dengan beragam gagasan tentang kebutuhan, di mana sebagiannya lebih sukses dibanding yang lain. Hubungan antara tantangan alam terhadap perkembangan peradaban itu sendiri memiliki irisan dengan pandangan Toynbee soal siklus respons dan tantangan peradaban. [Lihat dua tulisan sebelumnya, Siklus Tantangan dan Respons Peradaban serta Natur Kelahiran Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee]

Selain itu, terdapat satu area lagi yang mungkin dapat kita anggap sebagai gejala yang jelas dari bangkitnya penggunaan peradaban sebagai satuan analisis sejarah. Hal itu bahwa ketertarikan saat ini terhadap “sejarah dunia” atau “sejarah global”, atau lebih umumnya dalam keseluruhan proses “globalisasi” sebagaimana itu telah mengasyikkan para cendekiawan selama beberapa dekade. Sekali lagi, itu dapat menuntun menuju sejumlah pendekatan dan titik pada berbagai arah yang berbeda. Namun, yang terlihat umum dan hampir mendayai semua praktisi sejarah adalah suatu konsiderasi terhadap unit yang melampaui negara-bangsa yang menjadi fokus sebagian besar riset dan tulisan selama sekitar seratus tahun terakhir. Dalam penyelidikan kesarjanaan maupun kurikulum pendidikan, konsep sejarah dunia itu telah menjadi daya dorong yang kembali berperan penting mengupayakan pandangan terhadap dunia sebagai satu unit dengan bagian-bagian yang saling bersilangan dan berinteraksi. Sementara “kebudayaan” terkadang digunakan sebagai istilah untuk menuturkan kisah dunia itu, kata itu juga sama umumnya dengan “peradaban”.

Buku yang disusun oleh Paul Stearns dkk. sebagai bahan kuliah sarjana, World Civilizations (2011), dapat mewakili banyak teks dengan judul dan pandangan yang serupa tentang penulisan sejarah dalam lingkup “dunia”. Begitu pula buku David Christian, Maps of Time (2004), yang hampir-hampir memperlakukan peradaban sebagai satuan dasar analisis, setelah mempertimbangkan asal-mula alam semesta, formasi bintang-bintang, dan berbagai hal-hal semacam itu. Sedangkan untuk studi globalisasi secara keseluruhan, berbagai kontribusi yang ada secara kasar dibagi menjadi kelompok yang menganggap proses global abstrak – aliran informasi dan finansial, homogenisasi kultural, dan sejenisnya yang terjadi dalam satu sistem global (globalis) – dan kelompok yang merujuk satuan-satuan peradaban sebagai komponen paling penting dari sejarah dunia yang meningkatkan elemen konvergensi, tapi sekaligus memberikan batas-batas yang tegas dari kekhasan setiap warisan peradaban. Kedua aliran itu sama-sama tidak menghendaki pendekatan negara-bangsa dalam tataran yang kompleks dan lebih besar dari ekonomi, kultur, dan politik. Kita mungkin dapat mengatakan bahwa “globalisasi” menimbulkan ruang konseptual dan kesempatan bagi pertimbangan dan pemasukan ulang analisis sejarah berbasis peradaban.

Jelaslah bahwa “peradaban” saat ini, sebagaimana di masa lalu, tengah dipanggil kembali guna melakukan kerja-kerja besar dalam penulisan sejarah, sekaligus perencanaan untuk masa depan. Penggunaan peradaban sebagai satuan sejarah ini mungkin sebagian masih tidak jelas, sebagian lagi ideo-sinkretis, dan sebagian lagi terkesan acak. Jika memang ada kebangkitan konsep itu, kita membutuhkan suatu peta tentangnya guna merumuskan makna dan penerapannya. Jalan yang paling baik dalam melakukannya barangkali dengan melihat, betapa pun singkatnya, pada sejarah konsep itu, guna menggali penggunaannya selama ini. Itu akan membantu kita mendudukkan penggunaan konsep tersebut di masa kini dalam bermacam tradisi penggunaan yang ada. Itu akan memungkinkan kita untuk melihat bagaimana para cendekiawan besar di masa lalu, seperti Ibnu Khaldun, Arnold Toynbee, Pitirim Sorokin, dan Oswald Spengler, berpijak pada konsep peradaban itu dan kontribusi apa yang mereka berikan.

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan