Sebab-sebab Revolusi Menurut Pitirim Sorokin
Dalam bukunya, The Sociology of Revolution, sosiolog Amerika kelahiran Rusia, Pitirim Alexandrovich Sorokin, mengungkapkan bahwa sebab paling langsung dari revolusi adalah meningkatnya “represi” terhadap bagian terbesar dari masyarakat dan tidak mungkinnya bagi bagian mayoritas masyarakat itu untuk memperoleh kepuasan minimal yang diperlukan. Sebab yang lebih jauh adalah kejadian atau keadaan apa pun yang menyebabkan meningkatnya represi semacam itu terjadi.
Memanglah dalam berbicara mengenai sebab, tatkala diletakkan dalam bentuk umumnya, sebagaimana diakui oleh Sorokin, senantiasa samar dan mau tak mau menyentuh masalah-masalah metafisik juga. Hal itu karena revolusi, sebagai suatu fenomena sosial, memiliki banyak sekali aspek dan faktor yang sulit untuk dirumuskan secara eksak. Karena itu, ia memiliki banyak sebab yang saling berhubungan, bahkan di antara sebab-sebabnya itu bisa jadi saling menyebabkan satu sama lain atau dalam suatu urutan tertentu atau pula sebagai suatu jaring-jaring yang rumit untuk dijelaskan.
Pada takat itulah Sorokin menyederhanakan pembahasan dan menemukan bahwa sebab atau kondisi yang paling dekat yang menuntun terjadinya revolusi adalah keadaan yang telah dinyatakan di atas. Demikianlah pernyataan ringkas tentang sebab berbagai revolusi, yang dapat muncul dalam lingkup ruang dan waktu serta kekhususan yang beragam. Sorokin lalu melanjutkan dengan memberikan contoh terhadap apa yang disebutnya sebagai represi terhadap mayoritas itu.
Jika kebutuhan terhadap pangan (atau sumber penghasilan) dari bagian yang besar dari populasi itu “direpresi” oleh paceklik, wabah, atau kebijakan yang tak berkeadilan, kita akan memiliki suatu sebab dari kerusuhan dan revolusi. Jika refleks dari pemeliharaan diri individual “ditekan” oleh eksekusi sewenang-wenang, pembunuhan massal, atau perang yang berdarah, kita akan memiliki sebab lain lagi dari permasalahan dan revolusi. Jika refleks dari kelestarian diri kolektif dari suatu kelompok, seperti keluarga, kelompok agama, kelompok buruh, atau yang lainnya “direpresi” oleh penodaan terhadap hal-hal atau nilai-nilai yang sakral bagi kelompok itu, lewat penghinaan, penindasan, penangkapan, atau eksekusi semena-mena, dan lain-lain, kita akan memiliki sebab ketiga dari revolusi.
Lebih lanjut, jika kebutuhan akan perumahan, pakaian, lingkungan yang nyaman, dan lain-lain “ditekan”, bahkan dalam bentuk paling minimalnya, kita kan memiliki sebab lain dari revolusi. Jika kebutuhan berkeluarga bersama sejumlah turunannya dari hak anak, hak pendidikan keluarga, hak asuransi jiwa, hak perlindungan seksual, hak untuk cuti demi dapat bersama keluarga, dan lain-lain dari suatu bagian besar masyarakat tidak dipenuhi bahkan “direpresi”, kita akan mendapatkan lagi satu sebab revolusi. Jika insting kepemilikan dari bagian yang besar dalam masyarakat “direpresi” oleh kemiskinan dan kepapaan di muka kekayaan segelintir orang yang lain, kita memiliki sebab lainnya dari revolusi. Jika insting ekspresi diri atau individualitas dari mayoritas massa “ditekan” oleh penghinaan, tindakan meremehkan, pengecilan, dan pengabaian yang konstan terhadap kepentingan dan capaian mereka, dan di sisi lain, ada peninggian yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap kelompok masyarakat lain, apalagi jika hanya sebagian kecil dari keseluruhan populasi, kita memiliki sebab lain revolusi. Jika sejumlah besar orang dengan pengalaman mereka yang besar dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat direpresi dalam penyampaian pendapat di muka umum, kita akn mendapatkan sebab lain dari revolusi.
Semua itu tentu bukan daftar yang lengkap, masih banyak lagi “sebab” – atau dalam bahasa penulis, hal atau kondisi – yang mengantarkan pada revolusi. Sorokin hanya mencoba untuk menunjukkan impuls-impuls terbesar bagi mereka yang represi atasnya akan membawa pada kekacauan yang revolusioner, dan juga kelompok-kelompok utama dari diri-diri yang “direpresi” yang berhadapan dengan tangan-tangan tatanan lama yang akan digulingkan dan panji revolusi yang akan dikibarkan. Represi yang sangat kuat terhadap dorongan hati yang paling penting atau represi terhadap bagian besar masyarakat sangat diperlukan untuk menghasilkan ledakan revolusi. Dalam kebanyakan revolusi historis, kasus kedua lebih sering terjadi. Selain itu, “represi” itu mesti menyebar, jika pun tidak terhadap bagian besar mayoritas, setidaknya melingkupi suatu bagian yang signifikan dalam populasi. Sejatinya, “represi” terhadap bagian kecil masyarakat terjadi di mana-mana, membawa pada sejumlah protes kecil, individual atau lokal, terkadang juga menghasilkan tindakan kriminal. Namun, saat “represi” menjadi suatu kenyataan umum, ia akan membawa pada pembangkangan terhadap tatanan, suatu subversi. Tindakan ini identik dengan sejumlah tindakan kriminal individual atau lokal, tetapi secara gabungan, semua itu bermuara menjadi revolusi.
Pertumbuhan represi adalah suatu konsepsi yang relatif. Kemiskinan atau kesejahteraan seseorang diukur tidak berdasarkan apa yang dimilikinya saat ini, tapi berdasarkan apa yang pernah dia miliki, apa yang potensial untuk dia miliki, atau apa yang dimiliki oleh orang lain. Seorang konglomerat yang bisnisnya menurun akibat pandemi misalnya, akan merasa miskin dibandingkan dirinya dulu meskipun kekayaannya masih triliunan rupiah. Warga di daerah kaya tambang yang menjadi peternak, pedagang, atau pegawai kantoran, sekalipun berpendapatan relatif bagus, tentu akan merasa miskin jika mengacu pada potensi kekayaan yang bisa ia dapatkan seandainya sumber-sumber tambang itu dimilikinya, tentu pula jika ia membandingkan dirinya dengan para pengusaha dan investor yang mengelola konsesi penambangan itu, tak ketinggalan para pejabat yang turut terciprat “berkahnya”. Demikian pula hal itu bisa berbeda antardaerah. Orang yang mendapat gaji 4.000.000 di Jakarta akan dikatakan miskin atau menengah, sementara orang yang mendapatkan gaji setara di daerah seperti Bojonegoro atau Ngawi sudah dapat dikatakan kaya.
Demikianlah suatu ilustrasi bagaimana dalam banyak kasus, represi terhadap dorongan hati masyarakat atau kelompok tertentu dalam periode pra-revolusi akan tumbuh secara relatif, tidak mutlak, dan itu dikarenakan oleh suatu perkembangan atau dinamika dalam kepemilikan hukum dan diferensiasi serta berbagai sumber ketidakadilan. Hal-hal itu berkembang sering kali tidak secara langsung, tetapi bertahap dan merambat dari satu sektor ke sektor lain, dan menyasar satu pihak ke pihak lain. Inilah yang mesti kita tanamkan dalam pikiran, bahwa tumbuhnya suatu revolusi itu tidak mesti seperti ledakan, seringkali justru ia dimulai dengan represi yang gamang, samar-samar, atau bisa juga diupayakan untuk dikaburkan oleh para pemegang tatanan kekuasaan. Namun, begitu pembusukkan itu mulai menyebar ke segala bidang, mengena ke segala pihak, di situlah takat demi takat akan kita dapati imaji yang lebih jelas akan represi dan kejahatan penguasa. Di situlah perkembangan revolusi mendekati titik picunya.
Demikianlah sebab-sebab universal dan prima daripada revolusi. Namun, itu tidaklah cukup. Mesti juga terjadi bahwa kelompok-kelompok yang berupaya mempertahankan tatanan lama itu mesti semakin kekurangan makna dari supresi terhadap upaya-upaya subversif. Tatkala daya revolusi yang tengah bertumbuh mampu bertahan menghadapi represi itu, kelompok itu akan mampu melawan kekuatan pengekang, sehingga mengimbangi daya tekan yang ada, dan pada akhirnya, revolusi itu menjadi tak terelakkan. Awalnya hanya akan ada serangkaian riuh atau kerusuhan spontan yang masih teredam. Namun, bilamana kelompok-kelompok yang berdiri dalam kolam kekuasaan tak lagi mampu untuk mempertahankan pengaruh kekangan itu, revolusi itu akan bergulir.
Sumber:
Pitirim Sorokin, The Sociology of Revolution, (Philadephia: J.B. Lippincott Co.), 367-370
Comments
Post a Comment