Nationale Onderwijs Menurut Tjokroaminoto


Raden Mas Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto dikenal sebagai tokoh pergerakan nasional berkat kiprahnya dalam organisasi Sarekat Islam (SI). Tjokro memimpin SI sejak 1914 hingga wafat pada 17 Desember 1934[1] menjadikan SI salah satu organisasi massa terbesar dalam sejarah pergerakan nasional. Namun, mungkin tidak banyak yang mengenal Tjokro sebagai tokoh pemikir dalam bidang pendidikan Islam, juga peradaban Islam secara lebih luas.

Pemikiran pendidikan dan keislaman Tjokroaminoto banyak dituangkannya dalam tulisan-tulisannya yang tersebar di berbagai media. Sebagian tulisan itu dibukukan dan dimasukkan ke dalam sejumlah dokumen organisasi SI. Salah satu tulisannya yang memuat gagasan pendidikan Islam yang diarahkan sebagai daya gerak kemerdekaan berjudul Moeslim Nationale Onderwijs “Pendidikan Nasional Kaum Muslimin”.

Menurut Tjokro, kemerdekaan suatu kaum akan diperoleh jika didahului kemerdekaan pikiran dari hegemoni penjajah. Oleh karena itu, tugas mendasar yang mesti dilakukan umat Islam adalah memerdekakan pikiran dengan mendirikan sekolah atau institusi pendidikan Islam yang independen dari pengaruh Belanda. Menurutnya, asas-asas Islam itu bermaksud mencapai cita-cita kemerdekaan negeri, sehingga bila kaum Muslimin mendirikan sekolah-sekolah, pengajaran yang diberikan di dalamnya haruslah pengajaran yang menjadikan muslim yang sejati yang bercita-cita mencapai kemerdekaan umat.[2]

Untuk mewujudkannya, menurut Tjokro, pengajaran dan pendidikan Islam perlu melawan paham kebendaan (material) yang mendominasi pola pikir manusia dalam model pendidikan Barat. Pendidikan Islam yang ideal dianggapnya tidak mendikotomikan paham kebendaan dan kebatinan (spiritual)[3], berlawanan dengan dualisme dalam alam pikiran Barat yang memisahkan antara Tuhan dengan insan, sains dengan tanzil, agama dengan negara, dan konstitusi dengan adab.[4] Permasalahan dikotomi ilmu tersebut akan membawa kepada polarisasi “ahli ilmu din” dengan “ahli ilmu dunia”. Ini akan menyeret umat ke dalam sekularisme yang pada menyebabkan kemunduran peradaban Islam. Tjokroaminoto berkata:

“Tidak sekali-kali boleh ditinggalkan tetap keadaan seperti yang ada sekarang ini; orang banyak tidak tahu asas Islam, sedang ada suatu kaum kita, yang pekerjaannya siang dan malam terutama mempelajari ilmu agama saja, tetapi tidak mengerti seluk-beluk ilmu duniawi, teristimewa sekali urusan negeri dan pemerintahan.”[5]

Sekularisme dan dualisme yang terlanjur menjangkiti umat Islam itu, menurut Tjokro, justru akan merugikan posisi Islam, menyesatkan umat, dan menyudutkan ulama karena “segala perkara keagamaan cuma diserahkan dan dipercayakan kepada ulama-ulama yang terlalu kecil sekali golongannya” sehingga jika tetap begitu keadaannya, “pastilah tambah lama tambah luas dan tajam perpisahan atau pertentangan antara orang banyak yang tidak mengerti dan golongan ulama yang terlalu kecil itu”.[6]

Untuk menyelamatkan umat dari sekularisme dan dualisme akibat pengaruh hegemoni pemikiran Barat itu, Tjokro menawarkan suatu gagasan integrasi antara “ilmu agama” dengan “ilmu dunia”. Integrasi itu diperlukan dalam mengembangkan bangsa dengan pengetahuan sains modern guna melawan sistem kolonial, tetapi dengan esensi dan semangat Islam. Esensi itu diwujudkan melalui pengajaran Islam yang murni yang membawa kepada “Islam sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan pada zaman permulaannya” tanpa menerima “campuran dan pengaruh yang tidak sesuai dari luar Muslim” atau “non-coöperatief onderwijs”.[7]

Dengan kata lain, gagasan integrasi ala Tjokro ini merupakan suatu bentuk awal dari konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menggunakan worldview of Islam atau falsafah hidup Islam, sebagaimana yang diajukan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi dan Syed Muhammad Naquib al-Attas. Gagasan Tjokroaminoto ini, meskipun belum sesistematis konsep al-Attas, tetaplah penting dalam sejarah khazanah pemikiran pendidikan Islam. Gagasan itu bahkan semakin relevan pada masa ini dengan kian banyaknya tantangan pemikiran Barat seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme, relativisme, nihilisme, dan semacamnya.

Integrasi atau Islamisasi awal ilmu pengetahuan ala Tjokroaminoto itu dibagi ke dalam beberapa tahap. Tahap pertama melembagakan tujuan dan epistemologi pendidikan yang benar sesuai Islamische Weltanschauung atau pandangan dunia Islam. Kerangka yang diajukannya ialah membentuk “pemuda-pemudi muslimin dan muslimat yang beradab, berkeahlian sesuai zaman baru (modern), tetapi yang tetap muslimin dan muslimat sejati, mengandung ruh Islam yang sungguh-sungguh, yang cukup pengetahuan tentang agamanya, sehingga masing-masing cakaplah bekerja dan berperan sebagai mubalig Islam, di dalam dan di luar kalangan sendiri”.[8]

Mula-mula, didirikan suatu pusat pembelajaran yang penuh dengan ruh Islam sejati, sehingga anak-anak dan pemuda-pemudi yang ada di dalamnya tidak hanya diajar dan dididik menjadi orang terpelajar dan berada, tetapi terlebih menjadi muslim sejati yang terpelajar dan beradab. Sekolah kaum Muslimin itu, menurut Tjokro, hendaklah menjadi perhubungan (integrasi) atau tempat percampuran agama dan ilmu pengetahuan moderne-wetenschap (sains dan teknologi). Dasar leerplan (kurikulum) dari lembaga itu ialah memberi pengajaran untuk mengerti Quran dengan sepenuhnya.[9]

Tahap pertama (Lager Onderwijs) dari pendidikan ini berkisar 5-7 tahun dengan pengajaran Quran, bukan saja dalam lafaz Arabnya, tetapi juga maknanya (tadabur) dalam bahasa Indonesia, ataupun bahasa tiap-tiap negeri, di samping pengajaran dasar ilmu duniawi seperti ilmu hitung, ilmu alam, dan sejenisnya. Pengajaran bahasa Arab haruslah diberikan dengan cara langsung (meer natuurlijk), sehingga para murid dapat lebih cepat dan mudah mendapatkan pengertian yang mendasar tentang Quran, tidak lama setelah anak itu mengenal huruf Arab, Latin, dan huruf bangsanya (mampu membaca). Lalu, diajarkan pula tarikh Islam dan tarikh bangsa atau negerinya. Selain itu, diajarkan pula doa-doa dan segala lafaz yang esensial dalam ibadah-ibadah, sehingga anak yang berusia 12-13 tahun sudah mengerti perkataan yang dilafalkannya dalam ibadah.[10]

Langkah kedua (Middelbaar Onderwijs) berlangsung selama 4-5 tahun dengan pembelajaran bahasa Arab, bahasa Indonesia, Quran, dan hadis yang jauh lebih mendalam, di samping pengajaran tarikh dan ilmu dunia, sehingga anak didik mampu berpikir kritis dan mengembangkan serta menyebarkan khazanah peradaban Islam melalui tulisan-tulisan dan mimbar-mimbar umum, setara dengan kemampuan menulis dan diskusi kelas tertinggi HIS (Hollandsch-Inlandsche School) atau voor kelas MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs),[11] guna menandingi wacana pendidikan sekuler sekolah-sekolah Belanda.

Sementara itu, langkah ketiga (Hoger Onderwijs) merupakan langkah Universitet (Perguruan Tinggi) yang merupakan fase pendidikan spesialisasi, di mana para murid memilih bidang keahlian tertentu untuk digeluti, baik itu tafsir, hadis, fikih, tarikh, akidah, kalam, maupun ilmu-ilmu duniawi dengan tetap mengintegrasikannya dengan pandangan hidup Islam. Pada langkah penghabisan ini, pemuda 20-21 tahun sudah harus patut menjadi pengajar dan mesti memiliki keadaban dan kecerdasan yang memadai.[12]

Dengan demikian, gagasan pendidikan Islam Tjokroaminoto itu memiliki kesesuaian dengan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan yang dicanangkan S.M.N al-Attas melalui pembangunan paradigma atau (worldview) Islam. Hal itu dibuktikan dengan tujuan pendidikan Tjokroaminoto untuk mendasarkan sains modern pada nilai-nilai keislaman, sehingga “ilmu-ilmu duniawi” itu dipelajari oleh para murid berdasarkan suatu pandangan Islam tentang realitas (ru’yat al-Islām li al-wujūd), hanya saja al-Attas lebih fokus pada level universitas.[13] Ide awal tentang Islamisasi ilmu pengetahuan itu penting untuk memperbaiki lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah ada saat ini.

 

Sumber:

Handrianto, Budi. 2019. Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern. Jakarta: INSISTS.

Salim, Agus. 2008. H.O.S. Cokroaminoto: Pendiri dan Pembangun Kebangkitan Umat Islam di Indonesia. Jakarta: Intimedia Ciptanusantara.

Tjokroaminoto, H.O.S. 1995. Kumpulan Tulisan H.O.S. Tjokroaminoto. Jakarta: Lajnah Tanfidziyah Syakirat Islam.



[1] Agus Salim, H.O.S. Cokroaminoto: Pendiri dan Pembangun Kebangkitan Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Intimedia Ciptanusantara, 2008), hal. 40 & 68.

[2] H.O.S. Tjokroaminoto, “Moeslim Nationale Onderwijs”, Kumpulan Tulisan H.O.S. Tjokroaminoto, (Jakarta: Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, 1995), hal 1.

[3] Ibid, hal 3.

[4] Syed Muhammad Naquib al-Attas, hal. 20-21.

[5] H.O.S. Tjokroaminoto, “Moeslim Nationale Onderwijs” ..., hal. 3.

[6] Ibid., hal. 4.

[7] Ibid., hal. 3.

[8] Ibid., hal. 3.

[9] Ibid., hal. 4.

[10] Ibid., hal. 4-5.

[11] Ibid., hal. 5.

[12] Ibid., hal. 7.

[13] Budi Handrianto, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern, (Jakarta: INSISTS, 2019), hal. 188-189.

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan