Nieuwe Bannen: Khitah Baru Menurut Soekiman Wirjosandjojo

Niet in beroepen doen, niet in deelname aan wet gevenden arbeid in schijn-volksvertegenwoordigende lichamen, maar in ons zelf zal onze overwinning gelegen zijn. Op eigen krachten kunnen zal moeten worden gebouwed,” is de huidige richtsnoer onzer.

Tidak menjilat, tidak mengemis, tidak ikut ambil bagian dalam karya hukum di badan-badan perwakilan rakyat semu, melainkan di dalam diri kita sendiri terletak kemenangannya. Di atas kekuatan dan kemampuan sendiri, marilah kita membangun, adalah khitah (baru) kita sekarang ini.

Melihat tahun 2020 ini, dan juga tahun-tahun ke belakang, kita patut miris hati. Bertubi-tubi tiada henti-hentinya menerpa umat ini. Palestina sudah menghadapi pendudukan Zionis sejak lama, ditambah lagi akhir-akhir ini, negara-negara Arab dan Afrika Utara tertentu malah menjajaki normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel atas nama skenario yang disodorkan Amerika Serikat. Saudara-saudara Muslim Uyghur kita menghadapi kamp-kamp “reedukasi” paksa dari Pemerintah Komunis Tiongkok, dengan dalih pendidikan vokasional dan perlawanan terhadap radikalisme, tapi justru merampas ajaran Islam dari kehidupan sehari-hari mereka.

Ironisnya, banyak di antara kaum Muslim di negeri ini justru seolah-olah mencoba menekan berita yang ada dengan menyatakan bahwa mereka baik-baik saja. Pun juga dengan masalah di Yaman, Suriah, etnis Rohingya di Arakhan, Libya, Iraq, Afghanistan, dan lain-lain tak kunjung selesai. Ditambah lagi di negeri kita sendiri, kaum sekuler-liberal dan Nasakom seakan semakin berkuasa. Umat Islam semakin terpojok, 6 orang tewas oleh aparat, sebelumnya mahasiswa juga ada yang tewas dalam demonstrasi revisi UU KPK dan Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Keadilan seakan semakin terpinggirkan. Korupsi makin runyam seiring OTT yang makin tenggelam, sampai Menteri Sosial pun tersangkut korupsi dana bantuan untuk rakyat kecil. Masalah pandemi tak kunjung selesai, ekonomi semakin terpuruk. Oligarki semakin menggurita, rakyat miskin terabaikan. LGBT semakin merajalela di dunia dan kampanyenya kian terasa dibawa-bawa ke negeri kita. Kegelapan demi kegelapan bertumpuk-tumpuk tiada habisnya.

Semua itu bermuara pada satu pertanyaan, apakah yang salah dengan umat ini? Sayangnya hal itu terlalu serius untuk dibahas, dan kebanyakan manusia menghindari hal-hal yang serius-serius semacam itu. Kalaupun orang suka kajian, yang mereka penuhi hanyalah kajian-kajian yang senang-ceria belaka, yang lucu-penuh tawa canda, yang praktis-praktis saja, atau yang penuh fantasi belaka seperti kajian akhir zaman yang anehnya justru membuat orang semakin apatis. Padahal, mentalitas pada zaman ini mestinya begitu proaktif, laksana orang yang disuruh menanam bibit pohon padahal tahu kalau besok kiamat, sehingga ia aktif bertindak, tiada peduli apakah itu akan berbuah atau tidak. Kebanyakan lain terbenam dalam asyik-masyuknya film-film, anime, permainan daring, gawai-gawai terbaru, kisah-kisah picisan, kelucuan kucing-kucing, dan sejenisnya. Kebanyakan lain terhibur dengan mimpi-mimpi kebangkitan peradaban ini dari Timur, dari Indonesia. Pertanyaannya, pantaskah kita menjadi corong kebangkitan?

Penyelidikan itu bermuara jua pada seberapa ilmu yang telah kita kuasai dari peradaban ini? Ya, ini bukan sekadar agama ritual, din ini adalah peradaban yang utuh-sempurna. Din ini adalah akar dari tamadun adabi yang komprehensif. Inilah peradaban yang mesti kita perjuangkan, dari semenjak keilmuan. Ilmu peradaban inilah yang mesti kita pelajari seterusnya, kita kembangkan, dan kita sebarkan. Kita mesti membahas hal-hal yang serius dalam hidup kita, soal peradaban ini, karena dengan itulah kita bisa berperan dalam kebangkitannya. Peradaban inilah yang mesti kita bangunkan dari tidur panjangnya, dari hegemoni peradaban Barat yang sepenuhnya materialis dan antroposentris itu. Peradaban kita inilah yang benar dan sejati.

Dengan itu, semua kekisruhan ini tiada perlu melemahkan semangat juang kita, termasuk pula yang terjadi di medan politik. Kita perlu introspeksi diri bahwa kita memang belum saatnya memegang amanah ini, karena kita memang belum pantas. Ilmu dan penghayatan kita atas peradaban ini belum cukup. Kita mesti lebih banyak belajar, membaca, menulis, dan mengajar, mengembangkan ilmu dalam kerangka pandangan hidup Islam. Sikap adabi itulah yang masih hilang dari kita, maka ilmu dan dakwah selayaknya menjadi panglima, bukan politik, tak perlulah kita larut-kecewa dengan calon-calon yang mengkhianati kita. Kita perlu kembangkan strategi baru yang tidak lagi bergantung pada formalitas kekuasaan, pada pemerintahan.

Soekiman Wirjosandjojo, seorang patriot Muslim yang jadi Perdana Menteri 1951-52 itu, tak terlalu bergantung pada aktivitas politik belaka, justru ia banyak berkiprah dalam gerakan kepemudaan, kajian, dan intelektual. Ia turut memelopori lembaga yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia, ia ikut membentuk Jong Islamieten Bond, ia menulis dan aktif dalam kegiatan keilmuan. Itulah yang mesti kita gencarkan. Ia bilang bahwa umat ini mesti berputus-tali dari kekuasaan yang zalim. “Niet in beroepen doen, niet in deelname aan wet gevenden arbeid in schijn-volksvertegenwoordigende lichamen, maar in ons zelf zal onze overwinning gelegen zijn. Op eigen krachten kunnen zal moeten worden gebouwed,” is de huidige richtsnoer onzer. Tidak menjilat, tidak mengemis, tidak ikut ambil bagian dalam karya hukum di badan-badan perwakilan rakyat semu, melainkan di dalam diri kita sendiri terletak kemenangannya. Di atas kekuatan dan kemampuan sendiri, marilah kita membangun, adalah khitah (baru) kita sekarang ini.

Perjuangan seperti ini adalah perjuangan non-kooperatif, yang cocok dalam menghadapi zalimnya kekuasaan. Het stond onder een ijzeren regiem, dat iedere actie ter verkrijging van meer rechten neersloeg. Rakyat itu berada di bawah kekuasaan rezim bertangan besi yang menindak tegas setiap aksi untuk memperoleh tambahan hak-haknya. De algemeene teleurstelling en verbittering, gevolg van woordbreuk en negatie van de meest vitale (de kleine mensen) belangen van den kant van de Volksvertegenwoordiging eenerzijds, de desillusie, die parlementaire actie den (de kleine mensen) meer dan eens had gebracht op hun diep gekoesterd verlangen naar herstel van het volledig zelf-beschik-kingsrecht hunner natie ..., waardoor, hun zwaar bevochten onafhankelijkheid ..., waren machtige factoren, die (de kleine mensen) leidende gedachten in deze rechting stuwden. Kekecewaan umum dan rasa dendam akibat (penguasa) mengingkari janji dan tidak mengakui kepentingan-kepentingan yang sangat dibutuhkan rakyat, ... pembubaran angan-angan yang telah berkali-kali ditimbulkan oleh aksi parlementer terhadap cita yang berkobar dalam diri rakyat, untuk menghidupkan kembali hak menentukan nasib sendiri secara sempurna bagi rakyat, ... hilangnya kembali kemerdekaan yang telah diperjuangkan secara susah payah ... merupakan fakta-fakta yang kuat, yang membawa pikiran orang-orang mendorong ke arah (non-kooperatif) itu.

Die inzag, dat hervormingen door den overheerscher nooit vrijwillig zouden, worden ingevoerd. Zij moisten afgedwongen worden, en in tegenstelling met de moderaten, die in samenwerking met de Overheid nut bleven zien en door middle van deputaties en beroepen wat meeden te kunnen bereiken, zocht hij heil in eigen kracht, de mobilisatie van de massa, in boycott en lij delijk verzet. Perubahan-perubahan memang tidak pernah dilakukan oleh penjajah atau “kaum Belanda berkopiah” dengan sukarela. Hal itu harus dipaksakan, dan ini merupakan kebalikan dari sikap orang-orang moderat yang tetap melihat manfaat kerja-sama dengan Pemerintah dengan cara mengirim utusan dan permohonan yang diperkirakan dicapai, ia mencari manfaat dari kekuatan sendiri, dengan pengerahan tenaga, dalam boikot dan dalam melakukan perlawanan secara pasif (lizdelijk verzet). Namun, ada pula yang mengolok aksi boikot semacam itu, seperti saat protes kita pada Pemerintah Perancis atas hinaan kepada Nabi Muhammad SAW waktu lalu. Ironisnya, yang mengolok aksi kita itu justru orang Muslim juga, liberalkan mereka itu?

Men mag hoe ook over dit strijdmiddel oordeelen, bewondering voor de taaiheid en doorzettingsvermogen, waarmee de dragers dezer taktiek hun levensdoel trachten te realiseeren, mag men hun niet ontzeggen. ... weden maxima aan Vaderlaandsliefde en bereidheid tot zelfopeffering door de strijdende zonen getoond. Orang boleh memberi penilaian apa pun terhadap alat perjuangan ini (metode non-kooperatif), tapi orang tidak-boleh-tidak akan mengakui kekaguman terhadap keuletannya dan kemampuannya berusaha secara tekun, yaitu dengan mana para pendukung taktik ini berusaha mewujudkan cita-citanya ... telah ditunjukkan kecintaan terhadap tanah air dan kesediaan berkorban secara maksimal oleh putra-putranya yang berjuang. Orang-orang macam itu bahkan juga mengolok mereka yang gugur di hadapan bedil aparat itu, termasuk yang gugur saat protes UU KPK dulu. Di manakah nurani mereka?

Er staan voor elke hervormingsbeweging in parlementair geregeerde landen voor de verwezenlijking van haar doel slechts tweegen open, als men de anarchie als middle verwerpt: eerstens de weg langs de Volksvertegenwoordiging , tweedens die, welke geen aanrakingspunten met de heerschende machten wenscht te hebben de samenwerking en de non-cooperatie. Bagi pergerakan pembaharuan di dalam negara-negara yang pemerintahannya berparlemen, untuk mencapai tujuan, terbuka hanya dua jalan, jika orang ingin membuang jauh cara kekacauan (anarki): pertama, melalui Perwakilan Rakyat, kedua, jalan yang tidak menghendaki adanya titik-titik sentuhan (irisan) dengan kekuasaan yang ada – yaitu kooperasi atau non-kooperasi. Namun, parlemen sekarang ini memang tiada dapat diharapkan, mengingat yang berkuasa telah menguasai nyaris semua bagiannya, hampir tak ada lagi yang lantang berbicara mewakili rakyat. De mislukking van parlementairen arbeid, het on bevredigd laten en doodzwijgen door den Overheerscher van petities en beroepen, deed de bevolking in India, ten einde raad, naar het scherpe wapen van non-cooperatie grijpen. Kegagalan kerja melalui parlemen dibiarkannya secara tidak memuaskan dan didiamkannya oleh Penguasa permohonan-permohonan dan seruan-seruannya, menyebabkan rakyat putus asa lalu menggunakan jalan non-kooperasi.

Naarmate het inzicht veld wint in de ondoeltreffendheid der tot dusverre gevolgde taktiek, welke bestond in samenwerking met de overheid zoowel binnen als buiten de Locale Raden en den Volksraad, naar die mate begint in veler hoofden de overtuiging te rijpen, dat een andere weg moet worden ingeslagen. Pada saat dirasakan bahwa siasat yang ditempuh selama ini tidak tepat, yaitu yang berwujud kerja-sama dengan Pemerintah, pada saat itu pula mulai masak keyakinan bahwa khitah lain harus ditempuh. Ook elders moest in een bepaalde phase van den strijd keuze worden gedaan tusschen de politiek van “schipperen, vertoogen en deputaties zenden,” en de daaraan lijnrecht tegenoverstaande taktiek van “op eigen kracht bouwen,” val selfreliance, not mendicancy,” Dalam masa tertentu dalam perjuangan, memang harus diadakan pilihan antara politik berunding, gerakan unjuk perasaan tertentu, dan pengiriman utusan serta taktik yang langsung berhadapan dengan itu, yaitu membangun di atas kekuatan sendiri, percaya kepada diri sendiri, dan tidak meminta-minta. Organiseerend en opbouwend arbeidzaam in eigen land, eischte deze strijdmethode van hare aanhangers weigering om maar in een opzicht mede te werken t ode richtige functioneering der regeeringsmachine. Dengan mengorganisasi, membangun, dan bekerja di dalam negeri sendiri, cara perjuangan ini meminta kepada pengikutnya untuk menolak bekerja-sama meskipun hanya dalam satu bidang.

Ook onze nationalistische beweging staat nu op en tweesprong. De voortzetting van de tot dusverre gevolgde taktiek, de opportunistische en bedelpolitiek met hare aanhangselen: beroep doen en vertrouwen op de rechtvaardigheid en menschelijkheid der over ons heerschende machten is onwaarschijnlijk. Daartoe is de wonde, door de praktijk van de koloniale politiek der ons vreem de regeering in den goeden wil van het Indonesische Volk toegebracht te diep aangekomen. Thans voltrekt zich naar de verschijnselen ons doen zien, in ons Vaderland hetzelfde proces. Pergerakan kebangsaan kita sekarang juga berada di simpang jalan. Kelanjutan sikap politik oportunis yang telah dianut selama ini, yaitu politik yang tidak mempunyai dasar pendirian tertentu, melainkan hanya memanfaatkan keadaan dan menunggu saat yang baik, serta politik meminta-minta dengan embel-embelnya: meminta dan percaya pada keadilan dan perikemanusiaan pihak penguasa yang memerintah kita, adalah meragukan. Hal itu disebabkan luka yang disebabkan oleh praktik politik penjajahan pemerintahan asing, mengena terlalu dalam ke dalam itikad baik rakyat Indonesia. Sekarang sedang berlangsung, sebagaimana gejala-gejalanya menunjukkan kepada kita, proses yang sama di tanah air kita, (yaitu menuju haluan non-kooperatif).

Toen onder het autocratisch en despotisch bewind, met zijn uitgesproken minachting en negatie van wat (de kleine mensen) aan verlangens en wenschen bood, met zijn onderdrukkingspolitiek de verdeeling van het cultureel en staatkunding, felt was geworden beteekende dit de laaiste druppel, die den bekker deed overloopen. Het smeulend vuur van verbittering en haat onder de bevolking laaide op tot een hevigen brand. Kekuasaan yang tidak terbatas dan zalim dengan ucapan menghina dan menolak apa yang menjadi cita-cita dan keinginan rakyat, menimbulkan rasa ketidaksenangan yang tidak dapat ditahan-tahan lagi. Api kepahitan dan dendam yang membara di kalangan rakyat berkobar menjadi kebakaran yang hebat. De Swadesji-beweging, die door den leider beschreven werd als een zoowel economie als sociaal als politiek omvattende beweging, werd ingezet. Hiervan vormde boycot van in het buitenland vervaardigde goederen een aanvullend element. En het was op dit terrein, dat de jongeren van zich deden hooren. Als gedragen door een grootsch gemenschappelijk ideaal wierpen zij zich op de medepropageering van den boycot van ingevoerde artikelen. Gerakan swadesi yang digambarkan sebagai gerakan yang mengandung unsur baik ekonomi maupun sosial dan politik, dari sini maka pemboikotan merupakan aksi pelengkap. Dan dari bidang inilah tampak menonjol peranan para pemuda. Bagaikan didukung oleh satu cita-cita bersama yang besar mereka melibatkan diri dalam aksi propaganda pemboikotan terhadap barang-barang impor.

De nationalistische beweging naderde in deze periode een gewichtig punt in haar geschiedenis. Pergerakan nasional pada zaman ini mendekati titik yang penting dalam sejarahnya. Wanner wij de geschiedenis van de Vrijheidsbeweging van andere overheerchte landen met die van ons Volk vergelijken, dan vallen vele treffende punten van gelijkenis waar te nemen. In de eerste plaats de houding van de jeugd. Jika kita membandingkan berbagai sejarah pergerakan, maka akan terlihat titik-titik persamaannya, yang pertama ialah sikap pemudanya. Dat de jeugd een rol speelt in elke bevrijdingsbeweging, is een volkomen normaal verschijnsel, dat overal wordt waargenomen. Bahwa pemuda memegang peranan dalam setiap pergerakan kemerdekaan, adalah benar-benar merupakan gejala biasa yang dapat dilihat di mana-mana. Er wordt thans levending beseft, dat de renaissance van een Volk de stimulans moeilijk ontberen kan van zijn intellectueele zonen. Kebangkitan suatu bangsa sulit terlaksana tanpa dorongan putra-putranya yang terpelajar.

Reeds verscheidene keeren en op verschillende plaatsen werd de klacht geuit, als zouden wij, jongeren, ons absoluut onverschilling toonen tegenover het gebeuren in ons Vaderland en ons van de massa isoleeren. Sudah beberapa kali dan di pelbagai tempat memang telah diutarakan keluhan, seakan-akan kami para pemuda menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap kejadian-kejadian di tanah air kita. Het grootste deel van de studeerenden was onberoed gebleven door de nationalistische golf die door de wereld ging. Velen hunner leefden bij brood alleen, waren tevreden, wanneer de voltooiing hunner opleiding hun de zoo vurig begeerde plaats aan den Staatsruif bracht. Sebagian besar para pemuda yang sedang belajar tetap tidak tersentuh oleh gelombang kebangsaan yang melanda dunia. Kebanyakan dari mereka hanya hidup untuk makan saja, sudah merasa puas apabila hasil studinya berhasil membawanya ke tempat pekerjaan dalam instansi pemerintahan yang selama ini didambakannya. Maar ook in hun denkbeelden is kentering gekomen. Vele namen uit de studentenwereld ziet men later staan in het bestuur van onze nationalistische organisaties, verscheidene jongeliedentraden na hun studie op op vergaderingen en meetings. Tetapi rupanya sekarang sudah ada perubahan jalan pikiran. Banyak nama-nama dari dunia mahasiswa, kita lihat telah banyak menduduki kepengurusan organisasi kebangsaan kita. Beberapa pemuda tampil ke muka dalam rapat-rapat dan pertemuan setelah mereka menyelesaikan kuliahnya.

Zij vormden volunteercorpsen, namen deel aan de georganiseerde optochten, die tegen demonstreerden, bezochten druk de belegde vergaderingen en meetings, zongen luid mee het nationale lied,  kortom zij stuwden, als elite van het Volk, de ontketende actie. Mereka membentuk korps-korps sukarelawan, mengambil bagian dalam pawai-pawai yang diatur sebagai aksi demonstrasi. Mereka mengunjungi rapat-rapat besar dan pertemuan beramai-ramai, ikut menyanyikan lagu kebangsaan. Dat dit alles plaats hat onder zoodanige omstandigheden, dat honderden van hen voor hun jeugdig vuur en enthousiasme van de coleges werden verwijderd, indien zij betalig der hum opgelegde boeten weigerden, verder dat velen hunner werden gegeeseld en mishandeld, dit moet wel het respect afdwingen van een ieder, die zelfverloochening en zelf opoffering als edele eigenschappen in den mensch weet te waardeeren. Pilihan mereka memadati aksi pembebasan itu, semua itu terjadi di mana ratusan di antara mereka karena api semangat mudanya dikeluarkan dari universitasnya ... selanjutnya banyak di antara mereka yang dicambuk dan dianiaya, maka hal ini mau tidak mau terpaksa timbul rasa hormat kepada barang-siapa yang tahu menghargai sifat tidak mementingkan diri sendiri dan pengorbanan sebagai sifat-sifat yang luhur dalam diri manusia.

De geheimen actie werd in de hand gewerkt door de zware straffen, door de verbanningen van personen, die hun hervormingsdenkbeelden in het openbaar durfden belijden. Vele ondergrondsche stroomingen en geheime genootschappen vonden dardoor een makkelijk bestan. De rol jeugd in dients dezer in het geheim werkende organisaties typeert den edelen opefferingsgeest, die velen hunner bezielde. Op gevaar af van, bij ontdekking, hun vrijheid te verliezen, verlieten het ouderlijke huis, teneinde de roeping te volcoeren, die zij in zich voelden. Aksi-aksi rahasia disuburkan oleh hukuman-hukuman berat, bagi orang yang berani menyatakan buah pikiran pembaharuan di muka umum. Banyak aliran di bawah tanah dan persekutuan-persekutuan rahasia merajalela. Watak jiwa yang mulia, menjiwai kebanyakan mereka, dengan menempuh bahaya akan kehilangan kebebasannya apabila tertangkap, meninggalkan rumah orang tuanya melaksanakan panggilan jiwa yang telah bersemi dalam dirinya. Moet een zelfde geest van offervaardigheid en enthousiasme voor de zaak van het verdrukte Vaderland bij de jeugd worden opgemerkt. Dapat terlihat jiwa pengorbanan yang penuh semangat untuk kepentingan tanah air yang tertindas yang dilakukan oleh para pemuda. In dit tijdperk ook verbreedde en verdiepte zich het nationalistisch sentiment. Ieder voelde zich als opgeheven door een vurige lief de en enthousiasme voor de zaak van het Vaderland. Dalam masa ini juga perasaan nasional meluas dan mendalam. Masing-masing merasa dirinya terikat oleh kecintaan dan semangat yang menyala-nyala untuk kepentingan tanah air. En eerbied afdwingen de neiging tot blijmoedige zelfopoffering kenmerkte verder de houding. Kecenderungan untuk berkorban dengan segala hati yang membangkitkan rasa hormat, menandai selanjutnya sikap kebanyakan orang.

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan