Onder de Smartelijkste Barensweeën: Pikiran Perubahan Soekiman Wirjosandjojo dalam “De Nieuwe Koers”

 Onder de smartelijkste barensweeën werd de zogenaamd ‘nieuwe koers’ ... omdat men de moeilijkheid die steeds vergezelt het daarzijn van iedere hervorming niet kwalijk zou kunnen vergelijken met de waarmede een partus noodzakelijke gepaard gaat.” [Soekiman Wirjosandjojo, “De Nieuwe Koers”, Jong Java, Februari 1919]

Dengan penderitaan yang dirasakan seperti saat persalinan, akhirnya lahirlah apa yang disebut “haluan baru” ... oleh karena tidaklah salah bila kita samakan kesukaran-kesukaran yang senantiasa menyertai (perjuangan bagi) terwujudnya setiap perubahan dengan penderitaan yang dialami oleh seorang ibu yang melahirkan bayi.

Laksana sakit dan lelahnya seorang ibu yang melahirkan, onder de smartelijkste barensweeën, demikianlah Soekiman Wirjosandjojo – Perdana Menteri Republik Indonesia 1951-1952 yang pernah mengepalai Masyumi, merintis Jong Jawa dan Jong Islamieten Bond, memelopori Universitas Islam Indonesia, serta berkecimpung dalam Sarekat Islam itu – menggambarkan perjuangan yang harus dilalui demi mewujudkan suatu perubahan yang mendasar, baik itu perubahan politik, sosial, tata hukum, maupun jenis-jenis perubahan lain. Seperti proses persalinan, perubahan mesti berjalan tahap demi tahap, dengan halangan dan rintangan tersendiri di setiap takatnya, sebelum akhirnya mencapai momen kelegaan dan kebahagiaan dalam menyambut “bayi pembaruan” itu.

Karena itu, mereka yang menghendaki perubahan dan perbaikan mestilah bersabar dalam meniti tapak demi tapak langkahnya, laksana sabarnya seorang ibu mengandung. Mereka mesti berteguh hati demi kelahiran perubahan yang membahagiakan itu. Hikmah Soekiman ini tentu begitu relevan dengan apa yang kita hadapi hari-hari ini, terutama sejak berbagai gelombang protes terhadap perubahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Undang-undang Minerba (Mineral dan Batu Bara), Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP), dan Undang-undang Omnibus Law, pun juga bagi mereka yang berjuang menghapus ambang batas pencalonan presiden serta melawan reklamasi Pulau Seribu dan penggusuran nelayan.

Memang halangan bagi perubahan dan perbaikan itu justru sering kali berasal dari Pemerintah yang semestinya memperbaiki kehidupan rakyat itu sendiri, baik itu pemerintahan kolonial bangsa asing maupun pemerintahan bangsa sendiri. Memanglah godaan dalam berkuasa itu teramat besar, apalagi jika menyangkut pengelolaan berbagai sumber daya alam yang kaya di tanah ini. Kalap hati terkadang membuat oknum-oknum daripada Pemerintah berbagai zaman itu mengabaikan kepentingan rakyat dan menjual kekayaan tanah ini kepada pemodal-pemodal besar dunia. Investasi memanglah penting untuk pembangunan dan lapangan kerja, tetapi membabi buta dalam mengakomodasi kepentingan pemodal juga tidak dapat dibenarkan, mesti ada keseimbangan.

Janji-janji dan slogan-slogan Pemerintah berbagai zaman memang manis dan membuai. “Overeenkomstig de traditie voegde ze evenwel niet direct de daad bij ‘t woord.” Akan tetapi seperti biasa, Pemerintah tidak segera melaksanakan apa yang telah dijanjikan. Seringnya para juru bicara, media, hingga pasukan dengung (buzzer) dikerahkan untuk menampakkan berbagai keberhasilan palsu, atau memang ada keberhasilan, tetapi dibesar-besarkan. Semua kabar baik diklaim sebagai andil mereka, sementara semua keburukan dilimpahkan kepada bawahan, lawan politik, atau “kaum radikal”.

Mereka selalu menampakkan diri bekerja, bekerja, dan bekerja, mengatasnamakan kepentingan rakyat. Doch het is toch merkwaardig en het frappeert ons ten zeerste dat elke concessie, elke belofte van den kant der Regeering als het ware moet worden afgedwongen, en dat zij nimmer uit eigen beweging, spontaan tot een goede daad is overgegaan.” Akan tetapi memang sangat mengherankan dan merupakan sesuatu yang sangat khas, bahwa setiap janji Pemerintah harus selalu didesak pelaksanaannya, dan Pemerintah tidak pernah secara spontan melaksanakan suatu tindakan yang baik.

Memanglah tidak semua orang dalam kekuasaan itu jahat, banyak pula yang baik. Namun, karena sistem demokrasi kita yang sengaja dibuat tak sehat dan penuh transaksi bawah meja, demi bisa berkuasa, banyak di antara mereka menggantungkan diri pada kaum-kaum bermodal, baik modal finansial, pengaruh, media, maupun modal-modal lain, sehingga menjerat diri mereka sendiri dalam tradisi balas jasa kepada para cukong. Mereka lebih mendengar suara pemodal dan cukong-cukong. Rakyat, buruh, dan mahasiswa hanya dimintai suara sekali dalam lima tahun, dan selepasnya mereka dilarang bersuara terlalu keras. Memang berbagai demonstrasi dan penyampaian aspirasi lainnya masih boleh dilakukan, tapi semua sekadar formalitas demokrasi. Pemerintah dan anggota dewan tetap melenggang semaunya. Mereka yang protes terlalu keras, biarpun cuma di media sosial, akan diborgol layaknya kriminal jahat.

Keserakahan para oknum pemerintahan itu, ditambah semakin intensnya kepentingan para cukong di dalam kekuasaan membuat berbagai janji kepada rakyat dengan mudah dilupakan. Tiada lagi sekarang apa yang disebut timbul tenggelam bersama rakyat. Kepentingan bisnislah yang timbul secara abadi, sementara rakyat dan pemberantasan korupsi biarkan tenggelam saja. Dit is het, waardoor wij in elke handeling harerzijds dwang zien, onzerzijds opgelegd. Hiermee mag niet gezegd zijn, dat wij die handeling niet waar deeren, maar wij willen alleen zeggen, dat een goede daad, niet voortgesproten uit een zedelijke overweging niet ten volle zal beantwoorden aan het effect, dat men zich er van voorstelt.”

Itulah sebabnya mengapa kami senantiasa menganggap bahwa setiap tindakan Pemerintah hanya dilakukan karena desakan-desakan pihak kami. Ini tidak berarti bahwa kami tidak menghargai tindakan itu, kami hanya ingin mengatakan bahwa suatu tindakan baik yang dilakukan karena pertimbangan moral, tidak akan membuahkan hasil yang kita harapkan. Ya, gerakan moral memang dilakukan, apa pun namanya, baik lewat deklarasi KAMI, aksi-aksi mahasiswa, maupun yang disebut-sebut sebagai Revolusi Akhlak itu. Jalan itulah yang dinamakan jalan perubahan. Namun, jalan itu acapkali didiskreditkan dengan dalih subversif, radikal, garis keras, hoaks, dan lain-lain rupa pelabelan. Pun begitu, tetap jalan itulah yang akan kita ambil, jalan perubahan yang beradab dan bermartabat, jalan moral, jalan akhlak, jalan bakti yang perlahan.

Karena kita memang bukan pemberontak ataupun separatis. Kita juga cinta negeri ini, justru karena cinta kita yang teramat besar itulah kita bergerak dan berteriak. Kita pula memegang saham besar bagi kemerdekaan bangsa ini, dari perwujudan kesadaran nasional lewat Sarekat Islam yang legendaris itu, hingga pembentukan Pancasila dengan berbagai perdebatan yang teramat filosofis itu. Kita memiliki saham lewat Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, dan Abdul Wahid Hasyim. Kita punya saham dalam Piagam Jakarta, yang lalu dengan perubahan tertentu menjadi Pancasila itu. Lalu dengan seenak jidatnya oknum-oknum itu melecehkan sejarah, memangkasnya jadi Trisila saja, menonjolkan kelompoknya sendiri dengan perayaan kelahiran Pancasila 1 Juni, padahal resminya ia disepakati panitia pembentukannya pada 18 Agustus. Watak macam apa itu?

Wij zijn niet blind voor de omstandigheid.” Kami tidak buta terhadap kenyataan. Kami memahami berbagai pembusukan memang terjadi, meski mereka senantiasa berusaha menutup-nutupinya. Kita tetap akan menempuh jalan ini. Jalan kita ini bernama jalan perubahan, jalan perbaikan. “Hier kwam tot uiting datgene wat reeds lang, onuitroeibaar in ons leeft, de zucht naar vrijheid.” Di sini telah dinyatakan apa yang telah lama terpendam dan tidak dapat diberantas di dalam jiwa kita, yakni keinginan untuk merdeka, merdeka dari pembusukan peradaban, dari kesemenaan kekuasaan. Namun catatlah, bahwa jalan kami bukan jalan kekerasan. Jalan kami adalah jalan keadaban. Perubahan tidak harus berarti penggulingan kekuasaan, tapi yang paling penting adalah perbaikan kebijakan, pelurusan tindakan.

Het komt ons voor, dat niets ons mag weerhouden de Regeering den eenigen weg aan te geven, welken zij zal hebben te begaan, opdat zonder verstoring der orde de goede voornemens der Regeering zullen kunnen worden verwezenlijkt.” Kami merasa bahwa tiada sesuatu pun dapat menghalangi kami untuk menunjukkan kepada Pemerintah jalan yang harus ditempuh agar segala niat Pemerintah yang baik dapat dilaksanakan tanpa mengganggu ketertiban. “Die weg is niet die, aangegeven in de Regeeringboodschap, namelijk die van onomlijnde beloften en vage in-uitzichstellingen. Die weg is deze.” Jalannya kami ini bukanlah jalan yang ditentukan dalam pesan Pemerintah yang berisikan janji-janji yang arahnya tak menentu dan gambaran-gambaran untuk hari mendatang yang samar-samar. Inilah jalan yang benar.

Kesemenaan dan penunggang gelap kekuasaan itu memang senantiasa akan melahirkan keresahan dan ketidakadilan. Keresahan dan perasaan terhadap ketidakadilan itu semestinya disalurkan ke dalam parlemen, yang berfungsi mengawal pemerintahan. Namun, parlemen pun telah dikuasai nyaris secara mutlak oleh gurita kekuasaan, maka yang muncul adalah parlemen jalanan. Parlemen jalanan itulah Dewan Rakyat yang sebenarnya. Ia adalah pusat tenaga rakyat. “De algemeene opgewonden stemming die ook in Indië de menschen had aangegrepen kwam tot uiting o.a. ook in den Volksraad.” Keresahan yang terdapat di mana-mana dan telah menjangkiti orang di Hindia telah menampakkan diri antara lain di Volksraad (Dewan Rakyat). Namun, perlu waktu bagi Dewan Rakyat itu untuk menghasilkan perubahan, apalagi jika mereka terus ditekan dan coba ditenggelamkan. Meski begitu, kesadaran akan keadaan telah semakin bangkit di sanubari rakyat.

Doch het bleef voorshands bij waarneming, tot agitatie tegen de misstanden had niemand den moed.” Akan tetapi, ini pun untuk sementara baru terbatas pada kesadaran saja, untuk mengadakan gerakan-gerakan terhadap keadaan-keadaan yang buruk itu belum ada yang berani melakukannya. Kesadaran itu mesti dibimbing oleh jiwa demokrasi yang kuat, sebagaimana pengaruh SI di masa silam. “De invloed van de in Indië uiteraard het meest democratische vereeniging S.I. heeft zich in zooverre doen gelden, dat plots den Jaavan de schellen van de oogen vielen en hij met bitterheid de onrechtvaardigheden in zijn omgeving ging beseffen.” Pengaruh perhimpunan S.I. (Sarekat Islam) yang asasnya paling demokratis itu telah dirasakan sedemikian rupa sehingga orang Jawa secara tiba-tiba seolah-olah terbuka matanya dan mulai menyadari dengan pedih segala ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya.

Ware niet een man als Tjokroaminoto opgestaan, die de verborgen kracht in de breede massa tot ontplooling bracht, stellig zou de S.I. gebleven zijn een volksorganisatie welke met haar macht geen raad weet.” Andai pada waktu itu tidak ada orang seperti Tjokroaminoto yang bangkit, yang dapat menggerakkan tenaga yang terpendam dalam masyarakat dan mengembangkannya, maka Sarekat Islam tentu akan tetap merupakan suatu organisasi rakyat yang tidak tahu bagaimana harus menggunakan tenaga rakyat itu. Kini, kita melihat orang-orang yang mampu memandu tenaga rakyat itu mulai bermunculan, dan semua argumentasi publik yang pernah mereka ajukan, mulai ditunjukkan gejala-gejalanya oleh pelbagai peristiwa konkret yang terjadi. Bermacam fragmen-fragmen dari tenaga rakyat itu telah memasuki panggung sejarah, takat demi takat. “En eenmaal in beweging gebracht was zij niet tegen te houden.” Dan sekali tenaga rakyat itu digerakkan, tidak akan dapat terkendalikan lagi.

Untuk menghindari kekacauan, semestinya dialog dan rekonsiliasi dikedepankan. “Er worde onverwijld een Voorparlement of Nationale Raad bijeengeroepen, samengesteld in streng democratische verhouding door en uit vertegenwoordigers van alle politieke organisaties, zoomede uit afgevaardigden van bijzondere, nog niet in politieke organisaties begrepen groepen.” Suatu Parlemen Sementara atau Dewan Penasihat Nasional hendaknya dibentuk dengan segeram disusun dalam perbandingan menurut aturan demokrasi yang ketat oleh dan dari para utusan semua organisasi serta wakil-wakil golongan khusus yang belum termasuk organisasi politik. Hanya dengan cara itulah kita dapat mencapai keseimbangan antara kehendak berbagai kelompok yang saling bertentangan.

Enkel bij vervulling van dezen eisch zullen wij als vertegen-wordigers der volksmeerderheid onzen steun aan de Regeering kunnen schenken, terwijl wij elke verantwoordelijkheid voor de consequenties der niet-vervulling van ons afwerpen.” Hanya bila syarat ini dipenuhi, kami sebagai wakil-wakil dari mayoritas rakyat akan dapat memberikan bantuan kepada Pemerintah, sedangkan kami melepaskan semua tanggung jawab atas segala akibat dari tidak dipenuhinya syarat itu. “Met dit resultaat kunnen de onderteekenaars der motie zich tevreden stellen, ofschoon de samenstelling niet zoo is als ze zich hebben voorgesteld.” Dengan hasil kesepakatan ini, para penandatanganan mosi harus merasa puas, walaupun susunannya tidak seperti yang mereka harapkan. Memang kesepakatan itulah yang mesti dikedepankan.

Een volledige, volkomen bevrediging op door ons geuite wenschen missen we tot dusver dan ook immer, zoowel in de daden als in de woorden der Regeering.” Memang, sampai sekarang kami belum pernah memperoleh kekuasaan penuh atas segala keinginan yang kami sampaikan kepada Pemerintah, baik dalam tindakan maupun dalam kata-kata. “Zoo konden de Regeerings-verklaringen, gedaan bij monde ... in den Volksraad ons geen houvast geven, vanwege hare vaagheid, door het gemis aan goed omlijnde toezeggingen.” Umpamanya saja, penjelasan-penjelasan Pemerintah yang disampaikan secara lisan dalam Dewan Rakyat, tidak dapat memberi pegangan kepada kami, oleh karena samar-samar, karena tidak adanya garis-garis yang nyata pada janji-janji yang diberikan dalam penjelasan tersebut. Namun, karena gerakan kami adalah gerakan moral, akhlak, dan keadaban, kami akan memastikan pelaksanaannya sesuai jalan kesepakatan. Insya-Allah, kami tidak akan menyimpang karena hasrat kekuasaan. Tidak. Jika kesepakatan memang telah kami capai, kami akan menghargai kerja-kerja Pemerintah dalam memenuhi ketetapan itu, sembari mengawasi waktu pelaksanaan.

Namun, jikalau pendapat kami memang tidak pernah diindahkan, jikalau segala pembusukan ini tetap dibiarkan, tidak mustahil ia akan menjadi semacam pintu gerbang bagi momentum-momentum perubahan yang amat dirindukan oleh sejarah, yang akan membawa kita pada suatu era baru dalam siklus sejarah yang saya namakan Gelombang Keempat Indonesia. Dengan atau tanpa perubahan yang kami ajukan, takdir sejarah akan tetap berjalan, roda siklus peradaban akan tetap berputar. “Het Reveil, aankondigend een nieuw tijdperk werd ook hier verstaan.” Suara sangkakala yang menandakan datangnya suatu era baru di sini pun terdengar dan dihayati maknanya. Jalan perubahan ini memang penuh duri dan kepedihan. “Hoe het echter ook zij, uit alles blijkt dat we staan aan het begin van een nieuw tijdperk in de geschiedenis dezer gewesten.” Akan tetapi, bagaimanapun juga dari segala-galanya ternyata bahwa kami sedang menghadapi suatu era baru dalam sejarah daerah-daerah ini.

 

Tulisan sebelumnya:

Konsep Adab dalam Tafsir Pancasila

Menuju Gelombang Keempat Indonesia, Mengakhiri Reformasi I

Perspektif Siklus dan Teori Gelombang Nikolai Kondratiev

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Pola Perubahan dalam Siklus Sejarah Menurut Model Panarchy: Tinjauan Ringkas