Onder de Smartelijkste Barensweeën: Pikiran Perubahan Soekiman Wirjosandjojo dalam “De Nieuwe Koers”
“Onder de smartelijkste barensweeën werd de zogenaamd ‘nieuwe koers’ ... omdat men de moeilijkheid die steeds vergezelt het daarzijn van iedere hervorming niet kwalijk zou kunnen vergelijken met de waarmede een partus noodzakelijke gepaard gaat.” [Soekiman Wirjosandjojo, “De Nieuwe Koers”, Jong Java, Februari 1919]
Dengan penderitaan yang dirasakan seperti saat persalinan, akhirnya lahirlah apa yang disebut “haluan baru” ... oleh karena tidaklah salah bila kita samakan kesukaran-kesukaran yang senantiasa menyertai (perjuangan bagi) terwujudnya setiap perubahan dengan penderitaan yang dialami oleh seorang ibu yang melahirkan bayi.
Karena itu, mereka yang menghendaki perubahan dan perbaikan
mestilah bersabar dalam meniti tapak demi tapak langkahnya, laksana sabarnya
seorang ibu mengandung. Mereka mesti berteguh hati demi kelahiran perubahan
yang membahagiakan itu. Hikmah Soekiman ini tentu begitu relevan dengan apa yang
kita hadapi hari-hari ini, terutama sejak berbagai gelombang protes terhadap
perubahan Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Undang-undang
Minerba (Mineral dan Batu Bara), Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (HIP),
dan Undang-undang Omnibus Law, pun juga bagi mereka yang berjuang menghapus
ambang batas pencalonan presiden serta melawan reklamasi Pulau Seribu dan
penggusuran nelayan.
Memang halangan bagi perubahan dan perbaikan itu justru sering kali
berasal dari Pemerintah yang semestinya memperbaiki kehidupan rakyat itu
sendiri, baik itu pemerintahan kolonial bangsa asing maupun pemerintahan bangsa
sendiri. Memanglah godaan dalam berkuasa itu teramat besar, apalagi jika
menyangkut pengelolaan berbagai sumber daya alam yang kaya di tanah ini. Kalap
hati terkadang membuat oknum-oknum daripada Pemerintah berbagai zaman itu mengabaikan
kepentingan rakyat dan menjual kekayaan tanah ini kepada pemodal-pemodal besar
dunia. Investasi memanglah penting untuk pembangunan dan lapangan kerja, tetapi
membabi buta dalam mengakomodasi kepentingan pemodal juga tidak dapat
dibenarkan, mesti ada keseimbangan.
Janji-janji dan slogan-slogan Pemerintah berbagai zaman memang
manis dan membuai. “Overeenkomstig de traditie voegde ze evenwel niet direct de daad bij ‘t
woord.” Akan tetapi seperti biasa,
Pemerintah tidak segera melaksanakan apa yang telah dijanjikan. Seringnya para
juru bicara, media, hingga pasukan dengung (buzzer) dikerahkan untuk
menampakkan berbagai keberhasilan palsu, atau memang ada keberhasilan, tetapi
dibesar-besarkan. Semua kabar baik diklaim sebagai andil mereka, sementara
semua keburukan dilimpahkan kepada bawahan, lawan politik, atau “kaum radikal”.
Mereka selalu menampakkan diri bekerja, bekerja, dan bekerja, mengatasnamakan
kepentingan rakyat. “Doch het is toch merkwaardig en het frappeert ons ten zeerste dat elke
concessie, elke belofte van den kant der Regeering als het ware moet worden
afgedwongen, en dat zij nimmer uit eigen beweging, spontaan tot een goede daad
is overgegaan.” Akan tetapi memang sangat mengherankan dan merupakan sesuatu yang
sangat khas, bahwa setiap janji Pemerintah harus selalu didesak pelaksanaannya,
dan Pemerintah tidak pernah secara spontan melaksanakan suatu tindakan yang
baik.
Memanglah tidak semua orang dalam kekuasaan itu jahat, banyak pula
yang baik. Namun, karena sistem demokrasi kita yang sengaja dibuat tak sehat
dan penuh transaksi bawah meja, demi bisa berkuasa, banyak di antara mereka
menggantungkan diri pada kaum-kaum bermodal, baik modal finansial, pengaruh, media,
maupun modal-modal lain, sehingga menjerat diri mereka sendiri dalam tradisi balas
jasa kepada para cukong. Mereka lebih mendengar suara pemodal dan
cukong-cukong. Rakyat, buruh, dan mahasiswa hanya dimintai suara sekali dalam
lima tahun, dan selepasnya mereka dilarang bersuara terlalu keras. Memang
berbagai demonstrasi dan penyampaian aspirasi lainnya masih boleh dilakukan,
tapi semua sekadar formalitas demokrasi. Pemerintah dan anggota dewan tetap melenggang
semaunya. Mereka yang protes terlalu keras, biarpun cuma di media sosial, akan
diborgol layaknya kriminal jahat.
Keserakahan para oknum pemerintahan itu, ditambah semakin intensnya
kepentingan para cukong di dalam kekuasaan membuat berbagai janji kepada rakyat
dengan mudah dilupakan. Tiada lagi sekarang apa yang disebut timbul tenggelam
bersama rakyat. Kepentingan bisnislah yang timbul secara abadi, sementara rakyat
dan pemberantasan korupsi biarkan tenggelam saja. “Dit is het, waardoor wij in elke handeling
harerzijds dwang zien, onzerzijds opgelegd. Hiermee mag niet gezegd zijn, dat
wij die handeling niet waar deeren, maar wij willen alleen zeggen, dat een
goede daad, niet voortgesproten uit een zedelijke overweging niet ten volle zal
beantwoorden aan het effect, dat men zich er van voorstelt.”
Itulah sebabnya mengapa kami senantiasa menganggap bahwa setiap
tindakan Pemerintah hanya dilakukan karena desakan-desakan pihak kami. Ini
tidak berarti bahwa kami tidak menghargai tindakan itu, kami hanya ingin
mengatakan bahwa suatu tindakan baik yang dilakukan karena pertimbangan moral,
tidak akan membuahkan hasil yang kita harapkan. Ya, gerakan moral memang
dilakukan, apa pun namanya, baik lewat deklarasi KAMI, aksi-aksi mahasiswa, maupun
yang disebut-sebut sebagai Revolusi Akhlak itu. Jalan itulah yang dinamakan
jalan perubahan. Namun, jalan itu acapkali didiskreditkan dengan dalih
subversif, radikal, garis keras, hoaks, dan lain-lain rupa pelabelan. Pun begitu,
tetap jalan itulah yang akan kita ambil, jalan perubahan yang beradab dan bermartabat,
jalan moral, jalan akhlak, jalan bakti yang perlahan.
Karena kita memang bukan pemberontak ataupun separatis. Kita juga
cinta negeri ini, justru karena cinta kita yang teramat besar itulah kita
bergerak dan berteriak. Kita pula memegang saham besar bagi kemerdekaan bangsa
ini, dari perwujudan kesadaran nasional lewat Sarekat Islam yang legendaris
itu, hingga pembentukan Pancasila dengan berbagai perdebatan yang teramat
filosofis itu. Kita memiliki saham lewat Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar
Muzakir, dan Abdul Wahid Hasyim. Kita punya saham dalam Piagam Jakarta, yang
lalu dengan perubahan tertentu menjadi Pancasila itu. Lalu dengan seenak
jidatnya oknum-oknum itu melecehkan sejarah, memangkasnya jadi Trisila saja, menonjolkan
kelompoknya sendiri dengan perayaan kelahiran Pancasila 1 Juni, padahal
resminya ia disepakati panitia pembentukannya pada 18 Agustus. Watak macam apa
itu?
“Wij zijn niet
blind voor de omstandigheid.” Kami tidak
buta terhadap kenyataan. Kami memahami berbagai pembusukan memang terjadi, meski
mereka senantiasa berusaha menutup-nutupinya. Kita tetap akan menempuh jalan
ini. Jalan kita ini bernama jalan perubahan, jalan perbaikan. “Hier kwam tot uiting datgene wat reeds lang, onuitroeibaar
in ons leeft, de zucht naar vrijheid.” Di
sini telah dinyatakan apa yang telah lama terpendam dan tidak dapat diberantas
di dalam jiwa kita, yakni keinginan untuk merdeka, merdeka dari pembusukan
peradaban, dari kesemenaan kekuasaan. Namun catatlah, bahwa jalan kami bukan
jalan kekerasan. Jalan kami adalah jalan keadaban. Perubahan tidak harus
berarti penggulingan kekuasaan, tapi yang paling penting adalah perbaikan
kebijakan, pelurusan tindakan.
“Het komt ons
voor, dat niets ons mag weerhouden de Regeering den eenigen weg aan te geven,
welken zij zal hebben te begaan, opdat zonder verstoring der orde de goede
voornemens der Regeering zullen kunnen worden verwezenlijkt.” Kami merasa bahwa tiada sesuatu pun dapat menghalangi kami untuk
menunjukkan kepada Pemerintah jalan yang harus ditempuh agar segala niat Pemerintah
yang baik dapat dilaksanakan tanpa mengganggu ketertiban. “Die weg is niet die, aangegeven in de
Regeeringboodschap, namelijk die van onomlijnde beloften en vage
in-uitzichstellingen. Die weg is deze.” Jalannya
kami ini bukanlah jalan yang ditentukan dalam pesan Pemerintah yang berisikan
janji-janji yang arahnya tak menentu dan gambaran-gambaran untuk hari mendatang
yang samar-samar. Inilah jalan yang benar.
Kesemenaan dan penunggang gelap kekuasaan itu memang senantiasa
akan melahirkan keresahan dan ketidakadilan. Keresahan dan perasaan terhadap
ketidakadilan itu semestinya disalurkan ke dalam parlemen, yang berfungsi mengawal
pemerintahan. Namun, parlemen pun telah dikuasai nyaris secara mutlak oleh
gurita kekuasaan, maka yang muncul adalah parlemen jalanan. Parlemen jalanan
itulah Dewan Rakyat yang sebenarnya. Ia adalah pusat tenaga rakyat. “De algemeene opgewonden stemming die ook in
Indië de menschen had aangegrepen kwam tot uiting o.a. ook in den Volksraad.” Keresahan yang terdapat di mana-mana dan telah menjangkiti orang
di Hindia telah menampakkan diri antara lain di Volksraad (Dewan
Rakyat). Namun, perlu waktu bagi Dewan Rakyat itu untuk menghasilkan perubahan,
apalagi jika mereka terus ditekan dan coba ditenggelamkan. Meski begitu,
kesadaran akan keadaan telah semakin bangkit di sanubari rakyat.
“Doch het bleef
voorshands bij waarneming, tot agitatie tegen de misstanden had niemand den
moed.” Akan tetapi, ini pun untuk
sementara baru terbatas pada kesadaran saja, untuk mengadakan gerakan-gerakan
terhadap keadaan-keadaan yang buruk itu belum ada yang berani melakukannya. Kesadaran
itu mesti dibimbing oleh jiwa demokrasi yang kuat, sebagaimana pengaruh SI di
masa silam. “De invloed van
de in Indië uiteraard het meest democratische vereeniging S.I. heeft zich in
zooverre doen gelden, dat plots den Jaavan de schellen van de oogen vielen en
hij met bitterheid de onrechtvaardigheden in zijn omgeving ging beseffen.” Pengaruh perhimpunan S.I. (Sarekat Islam) yang asasnya paling
demokratis itu telah dirasakan sedemikian rupa sehingga orang Jawa secara
tiba-tiba seolah-olah terbuka matanya dan mulai menyadari dengan pedih segala
ketidakadilan yang terjadi di sekelilingnya.
“Ware niet een
man als Tjokroaminoto opgestaan, die de verborgen kracht in de breede massa tot ontplooling bracht, stellig zou de S.I. gebleven zijn een
volksorganisatie welke met haar macht geen raad weet.” Andai pada waktu itu tidak ada orang seperti Tjokroaminoto yang
bangkit, yang dapat menggerakkan tenaga yang terpendam dalam masyarakat dan
mengembangkannya, maka Sarekat Islam tentu akan tetap merupakan suatu
organisasi rakyat yang tidak tahu bagaimana harus menggunakan tenaga rakyat
itu. Kini, kita melihat orang-orang yang mampu memandu tenaga rakyat itu mulai
bermunculan, dan semua argumentasi publik yang pernah mereka ajukan, mulai
ditunjukkan gejala-gejalanya oleh pelbagai peristiwa konkret yang terjadi. Bermacam
fragmen-fragmen dari tenaga rakyat itu telah memasuki panggung sejarah, takat
demi takat. “En eenmaal in
beweging gebracht was zij niet tegen te houden.” Dan sekali tenaga rakyat itu digerakkan, tidak akan dapat
terkendalikan lagi.
Untuk menghindari kekacauan, semestinya dialog dan rekonsiliasi
dikedepankan. “Er worde onverwijld een Voorparlement of Nationale Raad bijeengeroepen, samengesteld
in streng democratische verhouding door en uit vertegenwoordigers van alle
politieke organisaties, zoomede uit afgevaardigden van bijzondere, nog niet in
politieke organisaties begrepen groepen.” Suatu Parlemen Sementara atau Dewan Penasihat Nasional hendaknya
dibentuk dengan segeram disusun dalam perbandingan menurut aturan demokrasi
yang ketat oleh dan dari para utusan semua organisasi serta wakil-wakil
golongan khusus yang belum termasuk organisasi politik. Hanya dengan cara
itulah kita dapat mencapai keseimbangan antara kehendak berbagai kelompok yang
saling bertentangan.
“Enkel bij
vervulling van dezen eisch zullen wij als vertegen-wordigers der volksmeerderheid
onzen steun aan de Regeering kunnen schenken, terwijl wij elke
verantwoordelijkheid voor de consequenties der niet-vervulling van ons afwerpen.” Hanya bila syarat ini dipenuhi, kami sebagai wakil-wakil dari
mayoritas rakyat akan dapat memberikan bantuan kepada Pemerintah, sedangkan
kami melepaskan semua tanggung jawab atas segala akibat dari tidak dipenuhinya
syarat itu. “Met dit
resultaat kunnen de onderteekenaars der motie zich tevreden stellen, ofschoon
de samenstelling niet zoo is als ze zich hebben voorgesteld.” Dengan hasil kesepakatan ini, para penandatanganan mosi harus
merasa puas, walaupun susunannya tidak seperti yang mereka harapkan. Memang
kesepakatan itulah yang mesti dikedepankan.
“Een volledige, volkomen
bevrediging op door ons geuite wenschen missen we tot dusver dan ook immer,
zoowel in de daden als in de woorden der Regeering.” Memang, sampai sekarang kami belum pernah memperoleh kekuasaan
penuh atas segala keinginan yang kami sampaikan kepada Pemerintah, baik dalam
tindakan maupun dalam kata-kata. “Zoo konden de Regeerings-verklaringen, gedaan bij monde ...
in den Volksraad ons geen houvast geven, vanwege hare vaagheid, door het gemis
aan goed omlijnde toezeggingen.” Umpamanya
saja, penjelasan-penjelasan Pemerintah yang disampaikan secara lisan dalam
Dewan Rakyat, tidak dapat memberi pegangan kepada kami, oleh karena
samar-samar, karena tidak adanya garis-garis yang nyata pada janji-janji yang
diberikan dalam penjelasan tersebut. Namun, karena gerakan kami adalah gerakan
moral, akhlak, dan keadaban, kami akan memastikan pelaksanaannya sesuai jalan
kesepakatan. Insya-Allah, kami tidak akan menyimpang karena hasrat kekuasaan.
Tidak. Jika kesepakatan memang telah kami capai, kami akan menghargai
kerja-kerja Pemerintah dalam memenuhi ketetapan itu, sembari mengawasi waktu pelaksanaan.
Namun, jikalau pendapat kami memang tidak pernah diindahkan,
jikalau segala pembusukan ini tetap dibiarkan, tidak mustahil ia akan menjadi
semacam pintu gerbang bagi momentum-momentum perubahan yang amat dirindukan
oleh sejarah, yang akan membawa kita pada suatu era baru dalam siklus sejarah
yang saya namakan Gelombang Keempat Indonesia. Dengan atau tanpa perubahan yang
kami ajukan, takdir sejarah akan tetap berjalan, roda siklus peradaban akan
tetap berputar. “Het Reveil, aankondigend een nieuw tijdperk werd ook hier verstaan.” Suara sangkakala yang menandakan datangnya suatu era baru di
sini pun terdengar dan dihayati maknanya. Jalan perubahan ini memang penuh duri
dan kepedihan. “Hoe het echter ook zij, uit alles blijkt dat we staan aan het begin van een
nieuw tijdperk in de geschiedenis dezer gewesten.” Akan tetapi, bagaimanapun juga dari segala-galanya ternyata
bahwa kami sedang menghadapi suatu era baru dalam sejarah daerah-daerah ini.
Tulisan sebelumnya:
Konsep
Adab dalam Tafsir Pancasila
Comments
Post a Comment