Sifat-sifat Pokok Kebudayaan Barat

“Falsafah hidup yang lambat-laun muncul akibat pergolakan nilai-nilai Abad Pertengahan di Eropa itu, ialah suatu paham pandangan hidup sekuler, yang biasa digelar dengan nama humanisme ... mementingkan hanya dasar keistimewaan kemanusiaan dan keduniaan serta kebendaan ... menyalurkan dirinya meneruskan dua tafsiran: kapitalisme dan sosialisme.”

Syahdan semenjak abad ke-16 hingga saat ini, dunia ini tengahlah berada di dalam kuasa-hegemoni daripada kebudayaan atau peradaban Barat. Sedikit maupun banyak, tentulah merasuk-resap pula segala pengaruh daripada pokok-pokok kebudayaan Barat itu, kepada alam pikiran kita, baik melalui kolonialisme, globalisasi, edukasi, maupun proses-proses lainnya. Dalam pada itu, pentinglah bagi kita untuk menginsafi segala penembusan tata-nilai kebudayaan mereka itu, guna mencapai suatu pandangan yang lebih adil dan murni terhadap kebudayaan dan peradaban kita sendiri.

Biasanya, hal yang disebut sebagai kebudayaan Barat itu dinisbahkan sebagai hasil warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropa dari kebudayaan Yunani Kuno, yang kemudian dipadukan dengan campuran Kebudayaan Romawi dan unsur-unsur lain dari hasil cita-rasa dan daya-gerak bangsa-bangsa Eropa sendiri, khususnya rumpun bangsa Jerman, Inggris, dan Perancis. Mereka meletakkan dasar-dasar falsafah dan kenegaraan serta pendidikan dan ilmu pengetahuan serta seni budaya dari kebudayaan Yunani Kuno. Mereka merumuskan dasar-dasar perundangan dan hukum serta ketatanegaraan dari kebudayaan Romawi Kuno.

Agama Kristen, sungguh pun berjaya memasuki benua Eropa, tetapi tiada juga meresap ke dalam kalbu Eropa. Justru sesungguhnya ia yang merupakan agama yang berasal dari Asia Barat (Betlehem, Palestina) dan merupakan, pada tafsiran aslinya, bukan agama baru, melainkan suatu terusan dari agama Yahudi itu, telah diambil-alih dan diubah-ubah oleh kebudayaan Barat demi melayani ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan yang telah lama dianut mereka sebelum kedatangan agama Kristen. Mereka telah mencampur-adukkan ajaran-ajaran yang kemudian menjelma sebagai agama Kristen dengan kepercayaan-kepercayaan kuno Yunani dan Romawi, serta Mesir dan Persia, serta pandangan-pandangan hidup dari kaum Pagan lama Eropa. Agama Kristen itu pun telah beralih pusatnya dari Darus Salam di Palestina ke Roma di Italia. Ini juga menunjukkan hakikat terjadinya pergeseran dari agama itu menjadi falsafah hidup bangsa Eropa.

Islam pun telah menyumbangkan pengaruhnya pada Abad Pertengahan Eropa dengan menyebarkan unsur-unsur penting ilmu pengetahuan serta sains dan teknologi. Akan tetapi, perkembangan pengaruh Islam dalam bidang-bidang tersebut lalu diolah dan dimodifikasi ke dalam bentuk yang lebih materialistis dalam jiwa Eropa itu. Dalam bidang-bidang sains dan teknologi, hasil pengolahan ini telah menjelmakan sifat-sifatnya sebagai apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Amerika (blok kapitalis) dan Rusia (blok komunis). Maka sesungguhnya kebudayaan Barat itu berlandaskan dasar falsafah tanpa agama, sehingga tiada terdapat dalam jiwa pengalaman mereka itu, bertakhta suatu ketetapan mengenai keyakinan.

Mereka hanya menegaskan dasar teori, yaitu sains atau hasil akal-nazari (rasionalisme) yang berlandaskan dugaan dan sangkaan-sangkaan serta pembuktian akal-jasmani (empirisme) yang mungkin benar atau tidak benar. Maka dari itu, dasar “ilmu” yang demikian dan sikap hidup yang menjadi akibatnya tiadalah akan dapat membawa kepada keyakinan. Meskipun agama Kristen telah mencoba berdaya-usaha menitikberatkan masalah keyakinan mengenai Tuhan, akhirat, dan akidah (teologi) asasi agama seperti yang tersebut, tapi cinta melulu kepada kekuasaan dunia (materialisme) yang melahirkannya telah memaksa agama (Kristen yang ter-Eropa-kan) itu menjunjung serta melayani bisik-bujukan hasrat duniawi jua; dan dalam sejarah perkembangannya di Eropa, dari zaman Konstantin hingga ke zaman sesudah terbitnya Islam, kepala-kepala Gereja senantiasa berusaha untuk merebut kekuasaan duniawi sambil meniru-niru cara hidup serta adat-istiadat keagungan golongan-raja-raja dan sistem feodalnya.

Oleh karena jiwa Barat itu, sedari zaman Yunani hingga zaman Romawi, dan zaman kedaulatan bangsa-bangsa Eropa, tetap berdasarkan kepada paham kebendaan dan keasyikan hidup duniawi melulu, dan oleh karena ajaran-ajaran akidah agama Kristen itu sendiri lemah dan kabur serta penuh dengan kesangsian, maka unsur-unsur keyakinan dan akidah mengenai hal-hal rohaniah agama itu semakin lama semakin lemah merosot – apatah lagi apabila sains dan unsur-unsur lain akali yang dibawa masuk dari dunia Islam mulai merasuk meraja-lela dalam jiwa dan pikiran Barat. Kemudian, kebudayaan Barat itu telah menggunakan hujah-hujah sains bagi menafikan ajaran-ajaran karut agama Kristen, dan telah menganjurkan semula kepada dirinya falsafah hidup yang memungkiri keistimewaan agama dalam masyarakat serta menggugat kewibawaannya, dan mendirikan sebagai gantinya, kewibawaan falsafah dan keistimewaan manusia dan dunianya serta cara-cara meninggikan lagi indra kesedapan manusia dalam menikmati dunia ini (materialisme).

Falsafah hidup yang lambat-laun muncul akibat pergolakan nilai-nilai Abad Pertengahan di Eropa itu, ialah suatu paham pandangan hidup sekuler, yang biasa digelar dengan nama humanisme. Paham humanisme ini mementingkan hanya dasar keistimewaan kemanusiaan dan keduniaan serta kebendaan, dan tiada meletakkan agama dan ajaran-ajaran serta kepercayaan Ketuhanan sebagai yang utama dan penting selain menjadi alat bagi kesejahteraan manusia dan ketenteraman masyarakat demi mencapai maslahat negara. Dari segi politik, paham humanisme ini berasaskan sejarah agama dan orang Eropa, menyalurkan dirinya meneruskan dua tafsiran: yang satu disebut sebagai kapitalisme, dan yang lain digelari sebagai sosialisme. Kedua paham itu sesungguhnya berdasarkan pada falsafah hidup yang sama, yaitu humanisme, sedangkan cara-caranya bagi mencapai tujuan akhirnya masing-masing berlainan, malah tampak bertentangan, meski unsur-unsurnya sama jua.

Inti sari falsafah hidup kebudayaan Barat itu berdasarkan kepada penerimaan paham dualisme, atau penduaan yang mutlak dalam hakikat, termasuk penduaan nilai kebenaran, sebagai kenyataan yang dianggapnya benar dan mutlak. Paham dualisme ini mengikrarkan adanya dua hakikat dan kebenaran yang bertentangan dan mutlak. Sebab inilah kita lihat dari asal-mulanya, dari sejak timbulnya falsafah Yunani Kuno, sifat penting kebudayaan Barat itu telah nyata terlihat, di mana pembedaan atau pemisahan atau dikotomi yang mutlak telah diterapkan pada yang rohani dan yang jasmani; antara yang bersifat benda dan yang tiada bersifat benda; antara Tuhan dan insan; antara ilmu dan tanzil; antara agama dan negara; antara perundangan hukum dan adab serta akhlak. Maka, kita lihat penduaan, pemisahan, atau dikotomi ini maujud dalam segala segi kehidupan kebudayaan Barat itu, termasuk dalam penilaian soal kebenaran, dan inilah juga yang dimaksudkan sebagai pandangan syirik bersanding dengan tauhid.

Sifat-sifat asasi yang dibahas di atas dapat dirangkum menjadi beberapa kelompok. Pertama, kebudayaan Barat itu berdasarkan falsafah semata dan bukan agama. Kedua, falsafah Barat itu menjelmakan sifatnya sebagai humanisme, mengikrarkan paham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta. Ketiga, kebudayaan Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang tragis, yaitu yang menerima pengalaman kesengsaraan hidup (tragedi) sebagai satu kepercayaan yang mutlak yang mempengaruhi peranan manusia di dunia. Sejak zaman Yunani Kuno, bangsa Yunani menganggap tragedi sebagai unsur utama hidup manusia sebagai pelaku dalam drama kehidupan dan kepahlawanan yang memperlihatkan watak tragis.

Paham tragedi kehidupan tersebut disebabkan oleh kehampaan kalbu akan nikmat iman. Kehampaan iman ini adalah akibat dari falsafah dualisme mutlak yang mengikrarkan adanya dua hakikat yang saling bertentangan sehingga menimbulkan keraguan serta ketegangan jiwa. Keadaan jiwa yang tiada tenteram ini mengakibatkan perasaan takut dan sedih mengenangkan nasib dirinya. Keadaan jiwa yang tegang ini juga yang menganjurkan orang Barat, yang menyifatkan kebudayaannya, untuk mencari jawaban bagi soal-soal abadi, untuk giat berusaha menyelidiki, mengkaji, dan mereka-reka teori-teori baru, mengemukakan masalah-masalah asal-usul alam dan manusia serta renungan-renungan lain yang dianggapnya sebagai ilmu pengetahuan – terus-menerus mencari dengan tiada akhirnya!

Pengembaraan dalam alam pikiran dan renungan yang tiada berakhir itulah yang merupakan semangat kebudayaan Barat. Sesungguhnya mereka tiada hendak mengakhiri pengembaraan itu justru lantaran pengembaraan itu sendiri sekurang-kurangnya meringankan beban kekosongan dan kesunyian kalbu, seolah-olah bagai penawar hati jiwa yang tegang. Semangat kebudayaan Barat itu membayangkan sesuatu yang ‘menjadi’ tetapi tiada juga ‘jadi’. Inilah memang sifat sesuatu yang mengikrarkan hakikat kefanaan dan membatalkan keabadian – melainkan bagi mereka, kefanaan itulah jua yang baka. Maka mengikuti sikap dan semangat yang demikian, tentulah pula pemahaman mereka mengenai segala sesuatu yang lain pun akan terpengaruh olehnya, seperti paham-paham kebudayaan yang memainkan peran penting dalam masyarakat, khususnya paham-paham “pembangunan”, “perubahan”, “kemajuan”, dan sebagainya, yang kini juga sedang menyeludup ke dalam perbendaharaan pikiran dan renungan masyarakat kita.

Sesungguhnya kebudayaan Barat telah lama menceraikan agama dari kehidupan sehari-hari dan hanya memeluk tradisi atau perbendaharaan adat yang diwarisi turun-temurun, kesenian, falsafah, dan sains serta teknologi sebagai dasar hidup mereka. Pengingkaran atas kepercayaan terhadap agama, yang telah menjadi sifat bawaannya itu, kemudian dikukuhkan pula oleh kekecewaannya terhadap pengalaman dalam beragama Kristen, yang tiada berhasil menjamin keyakinan dan penuh dengan dugaan. Justru saat para cerdik-pandai bangsa Yunani mulai merenungkan masalah kejadian manusia dan alam sekelilingnya, mereka memang insaf bahwa mereka tiada sebenarnya beragama, dan dari hal demikian, menderita kelemahan jiwa bagi hidup segar sentosa dalam dunia.

Mereka sadari betapa perlunya sumber-sumber kepercayaan yang teguh harus diwujudkan untuk menyuburkan ketinggian semangat dalam menangkis dan menentang serangan-serangan serta percobaan-percobaan hebat yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Persia dan lain-lain yang mengelilingi perbatasan negara-negara mereka. Dengan demikian, maka timbullah golongan ahli falsafah di kalangan mereka yang merenungkan masalah hakikat serta kejadian alam semesta. Mereka telah memunculkan soal-soal seperti: apakah hakikat dasar alam ini?; adakah alam ini jadi dengan sendirinya?; adakah Tuhan yang menjadikannya?; maujudkah Tuhan itu?; dan bagaimanakah cara manusia dapat mengetahui perkara-perkara ini, dan mencapai ilmu yang yakin mengenai jawaban persoalan-persoalan tersebut? Renungan-renungan dan pikiran-pikiran mereka berkisar dalam duduk perihal memecahkan rahasia persoalan-persoalan semacam itu.

Namun, betapa pun andalnya cara ilmiah yang menyusun serta mengatur jawaban-jawaban yang dikemukakannya itu, tiada juga dapat mereka menyentuh perkara asasi yang menjadi pucuk pemikiran mereka, yaitu apakah ilmu yang dapat membawa kepada keyakinan itu? Justru sesungguhnya pada akhirnya segala gubahan pikiran murni itu hanyalah merupakan suatu teori belaka, dan bukan sepenuhnya ilmu pengertian yang mesti kita maknai, yaitu yang mereka kemukakan hanyalah suatu dugaan atau sangkaan yang kebenarannya tiada dapat disahkan. Lambat-laun, terus hingga ke zaman Sokrates dan murid-muridnya seperti Plato dan Aristoteles, ahli-ahli falsafah Yunani hanya dapat mengemukakan jawaban, terhadap soal-soal yang sulit-rumit seperti yang telah disebut, bahwa oleh karena perkara keyakinan tiada dapat dicapai oleh falsafah, dan perkara-perkara alam gaib itu menghendaki syarat wajib diyakini, maka manusia hanya dapat merenungkan serta menjelajahi alam nyata (fisik) belaka, dan mengenakan rencana serta tata-tertib hidupnya yang serba lahir ini, dengan menyusun suatu cara hidup bermasyarakat yang terkawal oleh undang-undang dan pimpinan yang berkewibawaan.

Maka pada itu, demi kesejahteraannya, haruslah dia berikhtiar memikirkan serta mengemukakan rencana-rencana bagi menegakkan suatu negara yang sempurna. Mengenai masalah kesunyian jiwa yang hidup tanpa keyakinan itu, mereka menganjurkan bahwa manusia harus menerima hakikat itu sebagai nasibnya yang mutlak, yang tiada dapat dielakkan dan yang harus dihadapi dengan keteguhan diri. Maka pendirian inilah juga yang merupakan pucuk-bibit pemujaan tragic hero – pahlawan tragis – yang menjadi unsur utama dalam nilaian kesusastraan Barat. Mereka menegaskan bahwa bagi manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, tiada perlu dia mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang gaib yang tiada dapat diyakini, bahkan memadailah manusia yang mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang lahir saja, atau yang dapat diperhatikan oleh ilmu-ilmu lahir falsafah menerusi rasio atau akal hewani.

Bahwasanya, perlulah bagi manusia memiliki budi-pekerti yang tinggi nilainya, mengenali keadilan yang sempurna, yang patut dibayangkan dalam rencana negara yang sempurna itu. Mereka menegaskan bahwa manusia, demi mencapai kesejahteraannya, harus dididik dalam keyakinan falsafah yang telah digubah olehnya, dan seterusnya mendakwa bahwa tujuan pendidikan dari awal hingga ke akhirnya ialah demi memupuk warga-negara yang sempurna, dan segala kepercayaan yang dipahami olehnya serta dianggap orang sebagai ‘agama’ haruslah digunakan semata-mata sebagai alat demi mengukuhkan paham ‘warga-negara yang sempurna’ itu, serta menjamin wujudnya ‘negara yang sempurna’. Maka jelaslah kepada kita bahwa yang lebih mereka utamakan itu tiada lain dari menghasilkan wujudnya suatu negara yang sempurna – dan segala daya usaha lain haruslah berteraskan kepada dasar ini. Inti-sari falsafah yang terkandung dalam hasrat mendirikan negara yang sempurna itu terdapat dalam paham keadilan; bahwa keadilanlah yang menjadi pucuk-bibit masalah kesejahteraan manusia; bahwa manusia hanya dapat mencapai kesejahteraannya apabila dia hidup dalam suasana dan keadaan yang adil.

Lalu, apakah yang mereka maksudkan dengan paham keadilan itu? Setelah merenungkan bawaan dan tabiat alam semesta, mereka dapati perbedaan yang menyesalkan antara keadaan tabiat alam seluruhnya dan keadaan alam manusia. Keadaan tabiat alam seluruhnya terkawal oleh undang-undang alam yang tertib teratur dan mutlak, yang mereka gelar dengan nama kosmos (cosmos). Tiada sezarah pun jua yang akan dapat beranjak atau berkisar dari tempat atau kejadian yang telah ditetapkan baginya – andai kata terjadi pergeseran atau perkisaran yang dimaksudkan itu, niscaya akan hancur-leburlah alam ini seluruhnya. Sedang pun demikian, dilihatnya pula bahwa dalam alam keadaan manusia, yang dimengertinya sebagai ‘hewan yang berakal’, justru tiada terdapat keadaan terkawalnya oleh undang-undang yang tertib teratur dan mutlak yang dapat menetapkan supaya tiap-tiap manusia berada masing-masing pada tempat atau nasibnya yang tepat. Keadaan kekacauan ini mereka gelar dengan nama chaos. Akal hewani yang menjadi sifat kemanusiaannya itu tiada jua dapat mengatur manusia dengan seksama, peri tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam masyarakat. Di dalam masyarakat, manusia terlihat keadaan di mana seseorang boleh diberikannya tauliah (tugas, arahan, kredensial) dan pengesahan (pengakuan, verifikasi) untuk memegang tanggung jawab yang sebenarnya tiada layak baginya; tampak di mana tugas yang diberikan kepada seseorang itu tiada berpatutan dengan daya kemampuannya; terdapat keadaan di mana amanah yang diletakkan kepada seseorang itu dikhianati karena si pemegangnya tiada mempunyai sifat bawaan amanah.

Apabila kita renungkan keadaan manusia ini, sesungguhnya benar bahwa syarat utama bagi menegakkan keadilan itu adalah ilmu. Sebab keadilan berarti ‘keadaan di mana sesuatu itu berada tepat pada tempatnya’, sehingga mewujudkan suasana harmoni atau kesaksamaan, maka berikutlah bahwa sifat ilmu sahajalah yang dapat tahu menempatkan masing-masing pada tempatnya yang tepat. Plato pernah menarik perhatian dengan membahas bahwa untuk seseorang menjalankan tugasnya dengan sempurna dalam suatu bidang kehidupan, maka perlulah dia mempunyai ilmu yang lengkap pula mengenai bidang itu: seseorang dokter atau insinyur, misalnya, tentulah dikehendaki menempuh beberapa banyak tahun pelajaran dan latihan serta ujian sebelum dapat tugas-tugas kedokteran atau teknik itu diamanahkan kepadanya. Selang demikian, aneh sekali bahwa dalam mengamanahkan tugas yang terpenting dalam kehidupan masyarakat – yaitu tugas memimpin – tiada pula sekali-kali diperlukan bagi seseorang itu menempuh pelajaran, latihan, dan ujian yang khusus yang akan dapat membimbingnya ke arah peringkat keahlian memimpin masyarakatnya. Dan dalam soal inilah tertumpu punca (sebab atau akar-mula) yang mengakibatkan terdapatnya kezaliman dalam masyarakat; justru karena yang memimpin tiada mempunyai ilmu yang dapat memberitahu kepadanya tempat yang tepat bagi tiap sesuatu dan layak bagi tiap seseorang. Maka dengan ini pula, nyatalah bahwa yang dikatakan ‘kezaliman’ itu adalah keadaan di mana orang-orang diberikan tanggung jawab, tugas, dan amanah yang tiada layak baginya masing-masing, karena kedudukan dan bawaan dirinya tiada memadai bagi sifat tanggung jawab, tugas, dan amanah yang diberikan kepadanya itu.

Kita lihat juga di sini betapa kerapnya pertalian antara paham ilmu, tugas, dan tanggung jawab dengan negara dan masyarakat, dan berdasarkan kepada paham-paham inilah jua maka timbul sistem-sistem pelajaran dan pendidikan, undang-undang dan hukum, dan akhlak, yang semuanya diharapkan dapat memupuk dalam diri seorang warga negara itu apa yang digelar sebagai budi pekerti. Semua paham seperti inilah yang sebenarnya menjadi dasar falsafah humanisme Barat, meskipun tafsirannya menetapi berbagai jurusan yang pada akhirnya terumus dalam suatu penduaan bentuk-bentuk rencana politik kepada sistem kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa dasar humanisme itu sama untuk kedua sistem politik Barat yang keduanya berinti-sarikan paha,-paham manusia, negara, dan dunia semata-mata sebagai suatu kepercayaan teguh yang dianggapnya seakan-akan agama juga. Apabila sesuatu falsafah mendasarkan pandangan hidupnya atas dasar paham Negara yang Sempurna, dan berikut pula dari itu paham keadilan, paham ilmu, paham tugas, paham tanggung jawab, dan paham akhlak serta budi pekerti yang bersendikan kepada paham Negara yang Sempurna itu, maka dengan sendirinya rencana atau sistem pelajaran dan pendidikannya kan diarahkan menuju kepada tujuan mencapai sifat kesempurnaan kewarganegaraan. Segala pikiran dan idaman serta hasrat demikian yang ditumpukan demi manusia memperoleh kesejahteraannya dalam dunia yang dianggap dimiliki olehnya inilah yang membangkitkan dari dalam jiwa Kebudayaan Barat itu paham kebangsaan (nasionalisme).

Dengan demikian, telah disinggung tadi perihal bagaimana falsafah humanisme itu percayakan kebenarannya sehingga menganggap sifatnya itu seakan-akan agama. Yang dipahami sebagai agama itu dapat dirumuskan kepada tiga pengertian. Pertama, bahwa agama itu berasas pada satu tanzil daripada Tuhan Yang Hak kepada insan yang dilangsungkan dengan perantaraan wahyu yang diturunkan oleh-Nya kepada nabi atau rasul-Nya. Pengertian ini dipegang oleh mereka yang percaya akan kebenaran agama. Kedua, bahwa agama itu sekumpulan kepercayaan-kepercayaan takhayul, termasuk cara-cara melangsungkan ibadah atau penghambaan diri sebagaimana yang telah ditetapkan. Pengertian ini dipegang oleh mereka yang tiada percaya akan kebenaran agama. Ketiga, bahwa agama itu sekumpulan pendapat dan udang-undang yang disusun dan direka oleh para bijaksana dan filsuf bagi keperluan dan kesejahteraan khalayak ramai masyarakat insan, bagi mencegah hawa-nafsu, dan bagi membina serta menjamin tata-tertib dalam pelbagai golongan dan lapisan masyarakat insan. Pengertian ini dipegang oleh mereka yang bersikap tiada peduli terhadap agama sebagai agama, agama qua agama, akan tetapi menganggap agama itu penting hanya bagi kegunaannya sebagai alat negara.

Menurut pengertian yang pertama, agama itu adalah satu kebenaran sebenar-benarnya yang patut dianut dengan keyakinan dan dianjurkan bagi kesejahteraan serta kesempurnaan kehidupan insan. Agama patut disebarkan dan dipertahankan dengan segala daya. Menurut pengertian yang kedua, agama itu adalah satu kepalsuan yang berbahaya bagi insan, dan insan harus membebaskan dirinya dari genggaman belenggunya niscaya dapat hidup sempurna. Menurut pengertian yang ketiga, agama itu adalah suatu alat bagi mencapai kesejahteraan dan ketenteraman khalayak ramai, dan berguna bagi pihak yang berkuasa yang tiada terpengaruh olehnya, untuk memerintah negeri. Pengertian yang pertama menegaskan bahwa agama adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap kebenaran yang dipercayai; yang kedua mendakwa bahwa agama adalah kepercayaan terhadap kepalsuan yang dipercayai; yang ketiga mengaku bahwa agama adalah kepercayaan terhadap kegunaan yang dipercayai. Rumusan yang ringkas mengenai tiga pengertian terhadap agama ini bukan dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai inti-sari agama, akan tetapi, bagaimanapun, memadailah maksudnya di sini bagi menjelaskan bahwa Kebudayaan Barat itu sesungguhnya lebih giat menerima pengertian-pengertian yang kedua dan ketiga yang tersebut di atas. Dan kedua pengertian yang diterimanya itu juga dapat dirangkapkan pada sistem-sistem sosialisme dan kapitalisme mengikut gilirannya masing-masing. Demikianlah sifat-sifat pokok Kebudayaan Barat itu.

 

Sumber:

Syed Muhammad Naquib al-Attas. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC. Hal. 18-27. 

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan