Sifat-sifat Pokok Kebudayaan Barat
“Falsafah hidup yang lambat-laun muncul akibat pergolakan nilai-nilai Abad Pertengahan di Eropa itu, ialah suatu paham pandangan hidup sekuler, yang biasa digelar dengan nama humanisme ... mementingkan hanya dasar keistimewaan kemanusiaan dan keduniaan serta kebendaan ... menyalurkan dirinya meneruskan dua tafsiran: kapitalisme dan sosialisme.”
Syahdan semenjak abad ke-16 hingga saat ini, dunia ini
tengahlah berada di dalam kuasa-hegemoni daripada kebudayaan atau peradaban
Barat. Sedikit maupun banyak, tentulah merasuk-resap pula segala pengaruh
daripada pokok-pokok kebudayaan Barat itu, kepada alam pikiran kita, baik
melalui kolonialisme, globalisasi, edukasi, maupun proses-proses lainnya. Dalam
pada itu, pentinglah bagi kita untuk menginsafi segala penembusan tata-nilai
kebudayaan mereka itu, guna mencapai suatu pandangan yang lebih adil dan murni
terhadap kebudayaan dan peradaban kita sendiri.
Biasanya, hal yang disebut sebagai kebudayaan Barat itu dinisbahkan
sebagai hasil warisan yang telah dipupuk oleh bangsa-bangsa Eropa dari kebudayaan
Yunani Kuno, yang kemudian dipadukan dengan campuran Kebudayaan Romawi dan
unsur-unsur lain dari hasil cita-rasa dan daya-gerak bangsa-bangsa Eropa
sendiri, khususnya rumpun bangsa Jerman, Inggris, dan Perancis. Mereka
meletakkan dasar-dasar falsafah dan kenegaraan serta pendidikan dan ilmu
pengetahuan serta seni budaya dari kebudayaan Yunani Kuno. Mereka merumuskan
dasar-dasar perundangan dan hukum serta ketatanegaraan dari kebudayaan Romawi
Kuno.
Agama Kristen, sungguh pun berjaya memasuki benua Eropa,
tetapi tiada juga meresap ke dalam kalbu Eropa. Justru sesungguhnya ia yang
merupakan agama yang berasal dari Asia Barat (Betlehem, Palestina) dan
merupakan, pada tafsiran aslinya, bukan agama baru, melainkan suatu terusan
dari agama Yahudi itu, telah diambil-alih dan diubah-ubah oleh kebudayaan Barat
demi melayani ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan yang telah lama dianut
mereka sebelum kedatangan agama Kristen. Mereka telah mencampur-adukkan
ajaran-ajaran yang kemudian menjelma sebagai agama Kristen dengan
kepercayaan-kepercayaan kuno Yunani dan Romawi, serta Mesir dan Persia, serta
pandangan-pandangan hidup dari kaum Pagan lama Eropa. Agama Kristen itu pun
telah beralih pusatnya dari Darus Salam di Palestina ke Roma di Italia. Ini
juga menunjukkan hakikat terjadinya pergeseran dari agama itu menjadi falsafah
hidup bangsa Eropa.
Islam pun telah menyumbangkan pengaruhnya pada Abad
Pertengahan Eropa dengan menyebarkan unsur-unsur penting ilmu pengetahuan serta
sains dan teknologi. Akan tetapi, perkembangan pengaruh Islam dalam
bidang-bidang tersebut lalu diolah dan dimodifikasi ke dalam bentuk yang lebih
materialistis dalam jiwa Eropa itu. Dalam bidang-bidang sains dan teknologi,
hasil pengolahan ini telah menjelmakan sifat-sifatnya sebagai apa yang dicapai
oleh bangsa-bangsa Amerika (blok kapitalis) dan Rusia (blok komunis). Maka
sesungguhnya kebudayaan Barat itu berlandaskan dasar falsafah tanpa agama,
sehingga tiada terdapat dalam jiwa pengalaman mereka itu, bertakhta suatu
ketetapan mengenai keyakinan.
Mereka hanya menegaskan dasar teori, yaitu sains atau
hasil akal-nazari (rasionalisme) yang berlandaskan dugaan dan sangkaan-sangkaan
serta pembuktian akal-jasmani (empirisme) yang mungkin benar atau tidak benar.
Maka dari itu, dasar “ilmu” yang demikian dan sikap hidup yang menjadi
akibatnya tiadalah akan dapat membawa kepada keyakinan. Meskipun agama Kristen
telah mencoba berdaya-usaha menitikberatkan masalah keyakinan mengenai Tuhan,
akhirat, dan akidah (teologi) asasi agama seperti yang tersebut, tapi cinta
melulu kepada kekuasaan dunia (materialisme) yang melahirkannya telah memaksa
agama (Kristen yang ter-Eropa-kan) itu menjunjung serta melayani bisik-bujukan
hasrat duniawi jua; dan dalam sejarah perkembangannya di Eropa, dari zaman
Konstantin hingga ke zaman sesudah terbitnya Islam, kepala-kepala Gereja
senantiasa berusaha untuk merebut kekuasaan duniawi sambil meniru-niru cara
hidup serta adat-istiadat keagungan golongan-raja-raja dan sistem feodalnya.
Oleh karena jiwa Barat itu, sedari zaman Yunani hingga
zaman Romawi, dan zaman kedaulatan bangsa-bangsa Eropa, tetap berdasarkan
kepada paham kebendaan dan keasyikan hidup duniawi melulu, dan oleh karena
ajaran-ajaran akidah agama Kristen itu sendiri lemah dan kabur serta penuh
dengan kesangsian, maka unsur-unsur keyakinan dan akidah mengenai hal-hal rohaniah
agama itu semakin lama semakin lemah merosot – apatah lagi apabila sains dan
unsur-unsur lain akali yang dibawa masuk dari dunia Islam mulai merasuk
meraja-lela dalam jiwa dan pikiran Barat. Kemudian, kebudayaan Barat itu telah
menggunakan hujah-hujah sains bagi menafikan ajaran-ajaran karut agama Kristen,
dan telah menganjurkan semula kepada dirinya falsafah hidup yang memungkiri
keistimewaan agama dalam masyarakat serta menggugat kewibawaannya, dan
mendirikan sebagai gantinya, kewibawaan falsafah dan keistimewaan manusia dan
dunianya serta cara-cara meninggikan lagi indra kesedapan manusia dalam menikmati
dunia ini (materialisme).
Falsafah hidup yang lambat-laun muncul akibat pergolakan
nilai-nilai Abad Pertengahan di Eropa itu, ialah suatu paham pandangan hidup
sekuler, yang biasa digelar dengan nama humanisme. Paham humanisme ini mementingkan
hanya dasar keistimewaan kemanusiaan dan keduniaan serta kebendaan, dan tiada
meletakkan agama dan ajaran-ajaran serta kepercayaan Ketuhanan sebagai yang
utama dan penting selain menjadi alat bagi kesejahteraan manusia dan
ketenteraman masyarakat demi mencapai maslahat negara. Dari segi politik, paham
humanisme ini berasaskan sejarah agama dan orang Eropa, menyalurkan dirinya
meneruskan dua tafsiran: yang satu disebut sebagai kapitalisme, dan yang lain
digelari sebagai sosialisme. Kedua paham itu sesungguhnya berdasarkan pada
falsafah hidup yang sama, yaitu humanisme, sedangkan cara-caranya bagi mencapai
tujuan akhirnya masing-masing berlainan, malah tampak bertentangan, meski
unsur-unsurnya sama jua.
Inti sari falsafah hidup kebudayaan Barat itu berdasarkan
kepada penerimaan paham dualisme, atau penduaan yang mutlak dalam hakikat,
termasuk penduaan nilai kebenaran, sebagai kenyataan yang dianggapnya benar dan
mutlak. Paham dualisme ini mengikrarkan adanya dua hakikat dan kebenaran yang
bertentangan dan mutlak. Sebab inilah kita lihat dari asal-mulanya, dari sejak
timbulnya falsafah Yunani Kuno, sifat penting kebudayaan Barat itu telah nyata
terlihat, di mana pembedaan atau pemisahan atau dikotomi yang mutlak telah
diterapkan pada yang rohani dan yang jasmani; antara yang bersifat benda dan
yang tiada bersifat benda; antara Tuhan dan insan; antara ilmu dan tanzil;
antara agama dan negara; antara perundangan hukum dan adab serta akhlak. Maka,
kita lihat penduaan, pemisahan, atau dikotomi ini maujud dalam segala segi
kehidupan kebudayaan Barat itu, termasuk dalam penilaian soal kebenaran, dan
inilah juga yang dimaksudkan sebagai pandangan syirik bersanding dengan tauhid.
Sifat-sifat asasi yang dibahas di atas dapat dirangkum
menjadi beberapa kelompok. Pertama, kebudayaan Barat itu berdasarkan falsafah
semata dan bukan agama. Kedua, falsafah Barat itu menjelmakan sifatnya sebagai
humanisme, mengikrarkan paham penduaan (dualisme) yang mutlak dan bukan
kesatuan sebagai nilai serta kebenaran hakikat semesta. Ketiga, kebudayaan
Barat juga berdasarkan pandangan hidup yang tragis, yaitu yang menerima
pengalaman kesengsaraan hidup (tragedi) sebagai satu kepercayaan yang mutlak
yang mempengaruhi peranan manusia di dunia. Sejak zaman Yunani Kuno, bangsa Yunani
menganggap tragedi sebagai unsur utama hidup manusia sebagai pelaku dalam drama
kehidupan dan kepahlawanan yang memperlihatkan watak tragis.
Paham tragedi kehidupan tersebut disebabkan oleh
kehampaan kalbu akan nikmat iman. Kehampaan iman ini adalah akibat dari
falsafah dualisme mutlak yang mengikrarkan adanya dua hakikat yang saling
bertentangan sehingga menimbulkan keraguan serta ketegangan jiwa. Keadaan jiwa
yang tiada tenteram ini mengakibatkan perasaan takut dan sedih mengenangkan
nasib dirinya. Keadaan jiwa yang tegang ini juga yang menganjurkan orang Barat,
yang menyifatkan kebudayaannya, untuk mencari jawaban bagi soal-soal abadi,
untuk giat berusaha menyelidiki, mengkaji, dan mereka-reka teori-teori baru,
mengemukakan masalah-masalah asal-usul alam dan manusia serta renungan-renungan
lain yang dianggapnya sebagai ilmu pengetahuan – terus-menerus mencari dengan
tiada akhirnya!
Pengembaraan dalam alam pikiran dan renungan yang tiada
berakhir itulah yang merupakan semangat kebudayaan Barat. Sesungguhnya mereka
tiada hendak mengakhiri pengembaraan itu justru lantaran pengembaraan itu
sendiri sekurang-kurangnya meringankan beban kekosongan dan kesunyian kalbu,
seolah-olah bagai penawar hati jiwa yang tegang. Semangat kebudayaan Barat itu
membayangkan sesuatu yang ‘menjadi’ tetapi tiada juga ‘jadi’. Inilah memang
sifat sesuatu yang mengikrarkan hakikat kefanaan dan membatalkan keabadian –
melainkan bagi mereka, kefanaan itulah jua yang baka. Maka mengikuti sikap dan
semangat yang demikian, tentulah pula pemahaman mereka mengenai segala sesuatu
yang lain pun akan terpengaruh olehnya, seperti paham-paham kebudayaan yang
memainkan peran penting dalam masyarakat, khususnya paham-paham “pembangunan”,
“perubahan”, “kemajuan”, dan sebagainya, yang kini juga sedang menyeludup ke
dalam perbendaharaan pikiran dan renungan masyarakat kita.
Sesungguhnya kebudayaan Barat telah lama menceraikan
agama dari kehidupan sehari-hari dan hanya memeluk tradisi atau perbendaharaan
adat yang diwarisi turun-temurun, kesenian, falsafah, dan sains serta teknologi
sebagai dasar hidup mereka. Pengingkaran atas kepercayaan terhadap agama, yang
telah menjadi sifat bawaannya itu, kemudian dikukuhkan pula oleh kekecewaannya
terhadap pengalaman dalam beragama Kristen, yang tiada berhasil menjamin
keyakinan dan penuh dengan dugaan. Justru saat para cerdik-pandai bangsa Yunani
mulai merenungkan masalah kejadian manusia dan alam sekelilingnya, mereka
memang insaf bahwa mereka tiada sebenarnya beragama, dan dari hal demikian,
menderita kelemahan jiwa bagi hidup segar sentosa dalam dunia.
Mereka sadari betapa perlunya sumber-sumber kepercayaan
yang teguh harus diwujudkan untuk menyuburkan ketinggian semangat dalam
menangkis dan menentang serangan-serangan serta percobaan-percobaan hebat yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa Persia dan lain-lain yang mengelilingi perbatasan negara-negara
mereka. Dengan demikian, maka timbullah golongan ahli falsafah di kalangan
mereka yang merenungkan masalah hakikat serta kejadian alam semesta. Mereka
telah memunculkan soal-soal seperti: apakah hakikat dasar alam ini?; adakah
alam ini jadi dengan sendirinya?; adakah Tuhan yang menjadikannya?; maujudkah
Tuhan itu?; dan bagaimanakah cara manusia dapat mengetahui perkara-perkara ini,
dan mencapai ilmu yang yakin mengenai jawaban persoalan-persoalan tersebut?
Renungan-renungan dan pikiran-pikiran mereka berkisar dalam duduk perihal
memecahkan rahasia persoalan-persoalan semacam itu.
Namun, betapa pun andalnya cara ilmiah yang menyusun
serta mengatur jawaban-jawaban yang dikemukakannya itu, tiada juga dapat mereka
menyentuh perkara asasi yang menjadi pucuk pemikiran mereka, yaitu apakah ilmu
yang dapat membawa kepada keyakinan itu? Justru sesungguhnya pada akhirnya
segala gubahan pikiran murni itu hanyalah merupakan suatu teori belaka, dan
bukan sepenuhnya ilmu pengertian yang mesti kita maknai, yaitu yang mereka
kemukakan hanyalah suatu dugaan atau sangkaan yang kebenarannya tiada dapat
disahkan. Lambat-laun, terus hingga ke zaman Sokrates dan murid-muridnya
seperti Plato dan Aristoteles, ahli-ahli falsafah Yunani hanya dapat
mengemukakan jawaban, terhadap soal-soal yang sulit-rumit seperti yang telah
disebut, bahwa oleh karena perkara keyakinan tiada dapat dicapai oleh falsafah,
dan perkara-perkara alam gaib itu menghendaki syarat wajib diyakini, maka
manusia hanya dapat merenungkan serta menjelajahi alam nyata (fisik) belaka,
dan mengenakan rencana serta tata-tertib hidupnya yang serba lahir ini, dengan
menyusun suatu cara hidup bermasyarakat yang terkawal oleh undang-undang dan
pimpinan yang berkewibawaan.
Maka pada itu, demi kesejahteraannya, haruslah dia
berikhtiar memikirkan serta mengemukakan rencana-rencana bagi menegakkan suatu
negara yang sempurna. Mengenai masalah kesunyian jiwa yang hidup tanpa
keyakinan itu, mereka menganjurkan bahwa manusia harus menerima hakikat itu
sebagai nasibnya yang mutlak, yang tiada dapat dielakkan dan yang harus
dihadapi dengan keteguhan diri. Maka pendirian inilah juga yang merupakan
pucuk-bibit pemujaan tragic hero – pahlawan tragis – yang menjadi unsur
utama dalam nilaian kesusastraan Barat. Mereka menegaskan bahwa bagi manusia
untuk mencapai kesejahteraan hidupnya, tiada perlu dia mengetahui dan mengenali
perkara-perkara yang gaib yang tiada dapat diyakini, bahkan memadailah manusia
yang mengetahui dan mengenali perkara-perkara yang lahir saja, atau yang dapat
diperhatikan oleh ilmu-ilmu lahir falsafah menerusi rasio atau akal hewani.
Bahwasanya, perlulah bagi manusia memiliki budi-pekerti
yang tinggi nilainya, mengenali keadilan yang sempurna, yang patut dibayangkan
dalam rencana negara yang sempurna itu. Mereka menegaskan bahwa manusia, demi
mencapai kesejahteraannya, harus dididik dalam keyakinan falsafah yang telah
digubah olehnya, dan seterusnya mendakwa bahwa tujuan pendidikan dari awal
hingga ke akhirnya ialah demi memupuk warga-negara yang sempurna, dan segala
kepercayaan yang dipahami olehnya serta dianggap orang sebagai ‘agama’ haruslah
digunakan semata-mata sebagai alat demi mengukuhkan paham ‘warga-negara yang
sempurna’ itu, serta menjamin wujudnya ‘negara yang sempurna’. Maka jelaslah
kepada kita bahwa yang lebih mereka utamakan itu tiada lain dari menghasilkan
wujudnya suatu negara yang sempurna – dan segala daya usaha lain haruslah
berteraskan kepada dasar ini. Inti-sari falsafah yang terkandung dalam hasrat
mendirikan negara yang sempurna itu terdapat dalam paham keadilan; bahwa
keadilanlah yang menjadi pucuk-bibit masalah kesejahteraan manusia; bahwa
manusia hanya dapat mencapai kesejahteraannya apabila dia hidup dalam suasana
dan keadaan yang adil.
Lalu, apakah yang mereka maksudkan dengan paham keadilan
itu? Setelah merenungkan bawaan dan tabiat alam semesta, mereka dapati
perbedaan yang menyesalkan antara keadaan tabiat alam seluruhnya dan keadaan alam
manusia. Keadaan tabiat alam seluruhnya terkawal oleh undang-undang alam yang
tertib teratur dan mutlak, yang mereka gelar dengan nama kosmos (cosmos).
Tiada sezarah pun jua yang akan dapat beranjak atau berkisar dari tempat atau
kejadian yang telah ditetapkan baginya – andai kata terjadi pergeseran atau
perkisaran yang dimaksudkan itu, niscaya akan hancur-leburlah alam ini
seluruhnya. Sedang pun demikian, dilihatnya pula bahwa dalam alam keadaan
manusia, yang dimengertinya sebagai ‘hewan yang berakal’, justru tiada terdapat
keadaan terkawalnya oleh undang-undang yang tertib teratur dan mutlak yang
dapat menetapkan supaya tiap-tiap manusia berada masing-masing pada tempat atau
nasibnya yang tepat. Keadaan kekacauan ini mereka gelar dengan nama chaos.
Akal hewani yang menjadi sifat kemanusiaannya itu tiada jua dapat mengatur manusia
dengan seksama, peri tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam masyarakat.
Di dalam masyarakat, manusia terlihat keadaan di mana seseorang boleh
diberikannya tauliah (tugas, arahan, kredensial) dan pengesahan (pengakuan, verifikasi)
untuk memegang tanggung jawab yang sebenarnya tiada layak baginya; tampak di
mana tugas yang diberikan kepada seseorang itu tiada berpatutan dengan daya
kemampuannya; terdapat keadaan di mana amanah yang diletakkan kepada seseorang
itu dikhianati karena si pemegangnya tiada mempunyai sifat bawaan amanah.
Apabila kita renungkan keadaan manusia ini, sesungguhnya
benar bahwa syarat utama bagi menegakkan keadilan itu adalah ilmu. Sebab
keadilan berarti ‘keadaan di mana sesuatu itu berada tepat pada tempatnya’,
sehingga mewujudkan suasana harmoni atau kesaksamaan, maka berikutlah bahwa
sifat ilmu sahajalah yang dapat tahu menempatkan masing-masing pada tempatnya
yang tepat. Plato pernah menarik perhatian dengan membahas bahwa untuk
seseorang menjalankan tugasnya dengan sempurna dalam suatu bidang kehidupan,
maka perlulah dia mempunyai ilmu yang lengkap pula mengenai bidang itu:
seseorang dokter atau insinyur, misalnya, tentulah dikehendaki menempuh
beberapa banyak tahun pelajaran dan latihan serta ujian sebelum dapat
tugas-tugas kedokteran atau teknik itu diamanahkan kepadanya. Selang demikian,
aneh sekali bahwa dalam mengamanahkan tugas yang terpenting dalam kehidupan
masyarakat – yaitu tugas memimpin – tiada pula sekali-kali diperlukan bagi
seseorang itu menempuh pelajaran, latihan, dan ujian yang khusus yang akan
dapat membimbingnya ke arah peringkat keahlian memimpin masyarakatnya. Dan
dalam soal inilah tertumpu punca (sebab atau akar-mula) yang mengakibatkan
terdapatnya kezaliman dalam masyarakat; justru karena yang memimpin tiada
mempunyai ilmu yang dapat memberitahu kepadanya tempat yang tepat bagi tiap
sesuatu dan layak bagi tiap seseorang. Maka dengan ini pula, nyatalah bahwa
yang dikatakan ‘kezaliman’ itu adalah keadaan di mana orang-orang diberikan
tanggung jawab, tugas, dan amanah yang tiada layak baginya masing-masing,
karena kedudukan dan bawaan dirinya tiada memadai bagi sifat tanggung jawab,
tugas, dan amanah yang diberikan kepadanya itu.
Kita lihat juga di sini betapa kerapnya pertalian antara
paham ilmu, tugas, dan tanggung jawab dengan negara dan masyarakat, dan
berdasarkan kepada paham-paham inilah jua maka timbul sistem-sistem pelajaran
dan pendidikan, undang-undang dan hukum, dan akhlak, yang semuanya diharapkan
dapat memupuk dalam diri seorang warga negara itu apa yang digelar sebagai budi
pekerti. Semua paham seperti inilah yang sebenarnya menjadi dasar falsafah
humanisme Barat, meskipun tafsirannya menetapi berbagai jurusan yang pada
akhirnya terumus dalam suatu penduaan bentuk-bentuk rencana politik kepada
sistem kapitalisme dan sosialisme. Namun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa
dasar humanisme itu sama untuk kedua sistem politik Barat yang keduanya berinti-sarikan
paha,-paham manusia, negara, dan dunia semata-mata sebagai suatu kepercayaan
teguh yang dianggapnya seakan-akan agama juga. Apabila sesuatu falsafah mendasarkan
pandangan hidupnya atas dasar paham Negara yang Sempurna, dan berikut pula dari
itu paham keadilan, paham ilmu, paham tugas, paham tanggung jawab, dan paham
akhlak serta budi pekerti yang bersendikan kepada paham Negara yang Sempurna
itu, maka dengan sendirinya rencana atau sistem pelajaran dan pendidikannya kan
diarahkan menuju kepada tujuan mencapai sifat kesempurnaan kewarganegaraan. Segala
pikiran dan idaman serta hasrat demikian yang ditumpukan demi manusia
memperoleh kesejahteraannya dalam dunia yang dianggap dimiliki olehnya inilah yang
membangkitkan dari dalam jiwa Kebudayaan Barat itu paham kebangsaan
(nasionalisme).
Dengan demikian, telah disinggung tadi perihal bagaimana
falsafah humanisme itu percayakan kebenarannya sehingga menganggap sifatnya itu
seakan-akan agama. Yang dipahami sebagai agama itu dapat dirumuskan kepada tiga
pengertian. Pertama, bahwa agama itu berasas pada satu tanzil daripada Tuhan Yang
Hak kepada insan yang dilangsungkan dengan perantaraan wahyu yang diturunkan
oleh-Nya kepada nabi atau rasul-Nya. Pengertian ini dipegang oleh mereka yang
percaya akan kebenaran agama. Kedua, bahwa agama itu sekumpulan
kepercayaan-kepercayaan takhayul, termasuk cara-cara melangsungkan ibadah atau
penghambaan diri sebagaimana yang telah ditetapkan. Pengertian ini dipegang
oleh mereka yang tiada percaya akan kebenaran agama. Ketiga, bahwa agama itu
sekumpulan pendapat dan udang-undang yang disusun dan direka oleh para
bijaksana dan filsuf bagi keperluan dan kesejahteraan khalayak ramai masyarakat
insan, bagi mencegah hawa-nafsu, dan bagi membina serta menjamin tata-tertib
dalam pelbagai golongan dan lapisan masyarakat insan. Pengertian ini dipegang
oleh mereka yang bersikap tiada peduli terhadap agama sebagai agama, agama qua
agama, akan tetapi menganggap agama itu penting hanya bagi kegunaannya sebagai
alat negara.
Menurut pengertian yang pertama, agama itu adalah satu
kebenaran sebenar-benarnya yang patut dianut dengan keyakinan dan dianjurkan
bagi kesejahteraan serta kesempurnaan kehidupan insan. Agama patut disebarkan
dan dipertahankan dengan segala daya. Menurut pengertian yang kedua, agama itu
adalah satu kepalsuan yang berbahaya bagi insan, dan insan harus membebaskan
dirinya dari genggaman belenggunya niscaya dapat hidup sempurna. Menurut
pengertian yang ketiga, agama itu adalah suatu alat bagi mencapai kesejahteraan
dan ketenteraman khalayak ramai, dan berguna bagi pihak yang berkuasa yang tiada
terpengaruh olehnya, untuk memerintah negeri. Pengertian yang pertama
menegaskan bahwa agama adalah kepercayaan dan keyakinan terhadap kebenaran yang
dipercayai; yang kedua mendakwa bahwa agama adalah kepercayaan terhadap kepalsuan
yang dipercayai; yang ketiga mengaku bahwa agama adalah kepercayaan terhadap
kegunaan yang dipercayai. Rumusan yang ringkas mengenai tiga pengertian
terhadap agama ini bukan dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai inti-sari agama,
akan tetapi, bagaimanapun, memadailah maksudnya di sini bagi menjelaskan bahwa Kebudayaan
Barat itu sesungguhnya lebih giat menerima pengertian-pengertian yang kedua dan
ketiga yang tersebut di atas. Dan kedua pengertian yang diterimanya itu juga
dapat dirangkapkan pada sistem-sistem sosialisme dan kapitalisme mengikut
gilirannya masing-masing. Demikianlah sifat-sifat pokok Kebudayaan Barat itu.
Sumber:
Syed Muhammad Naquib al-Attas. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC. Hal. 18-27.
Comments
Post a Comment