Soekiman Wirjosandjojo: Penelitian Awal

 Soekiman adalah Perdana Menteri Republik Indonesia pada 1951-1952.

Soekiman anak bungsu dari empat bersaudara putra-putri pasangan Wirjosandjojo [Hardianti hanya menyebut nama satu kata] dengan [nama ibunya tidak disebut?]. Anak pertama dan kedua pasangan itu perempuan yang bernama Kartojo dan Wijoso, sedangkan anak ketiga seorang laki-laki yang bernama Satiman, yang di kemudian hari turut mendirikan Jong Java (awalnya Tri Koro Dharmo) bersama Kadarman dan Soenardi pada 7 Maret 1915. [Hardianti, 20-21]

Soekiman lahir pada 19 Juli 1898 di Solo, Jawa Tengah. Terdapat perbedaan pandangan tentang kampung tempat lahirnya, menurut [Hardianti, 20], ia lahir di Kampung Beton, sementara menurut [Wirjosukarto, i], ia lahir di Kampung Sewu. Menurut [Hardianti, 20], jarak antara Kampung Beton ke Solo sekitar 200 meter. Belum diketahui apakah kedua kampung sebenarnya satu kampung tapi dengan penyebutan nama yang berbeda, perlu penyelidikan atas hal ini. Soekiman wafat pada usia 76 tahun di Yogyakarta tanggal 23 Juli 1974. [Hardianti, 20 dan Wirjosukarto, i].

Keluarga Soekiman termasuk keluarga terpandang dalam lingkup masyarakat tempat tinggaknya. Mereka juga dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Ibu Soekiman merupakan pendakwah yang juga aktif dengan berbagai kegiatan kelompok ibu-ibu secara sukarela [Hardianti, 21]. Ayahnya adalah seorang pengusaha berbagai bahan pangan, seperti beras, dengan usaha yang terbilang sukses bergerak di Solo dan Boyolali [Hardianti, 22]. Barangkali terdapat pengaruh dari jaringan Syarikat Dagang Islam pada ayahnya, perlu untuk diteliti. Sebagai pengusaha, ayah Soekiman menjalin relasi dengan pensiunan tentara Belanda yang tinggal dan menjadi wali anak-anaknya di Boyolali, Van der Wal [Hardianti, 22]. Dengan latar belakang seperti itu, Soekiman tumbuh sebagai pemuda yang berbudi luhur dengan pergaulan yang luas, termasuk dengan kalangan bangsa asing, sehingga tampaknya menjadi salah satu pendorong kesadaran pergerakan modern pada dirinya [Hardianti, 22].

Soekiman kecil terbilang terlambat memasuki pendidikan formal, tetapi banyak mendapatkan pengajaran agama dari orang tuanya. Ia lalu sekolah sekitar tujuh tahun (1907-1914) di European Lagere School di Boyolali, yang sebenarnya sulit untuk dimasuki anak-anak bumiputra. Untuk mempermudah memasuki sekolah itu, Satiman dan Soekiman dijadikan anak angkat oleh Van der Wal [Hardianti, 27-28]. Di sana, ia belajar dengan kurikulum yang diusahakan mengikuti kurikulum dan tingkat pelajaran yang setara di Belanda [Hardianti, 29]. Setelah menyelesaikan pendidikan di Boyolali, Soekiman melanjutkan ke STOVIA Jakarta antara 1914-1923 sampai mendapatkan gelar dokter Jawa (Art Indische), kemudian melanjutkan ke Belanda sampai mendapatkan gelar dokter penuh [Hardianti, 23-24]. Seokiman muda mendapatkan banyak pengalaman organisasi dan politik saat sekolah di STOVIA. Ia juga sempat mendapatkan tawaran pekerjaan dari sebuah perusahaan kereta api dengan gaji yang cukup tinggi, sehingga membuat studinya sempat mengalami jeda. Namun, keputusan Soekiman untuk terus bekerja digagalkan oleh orang tuanya. Soekiman akhirnya mau melanjutkan studi dengan syarat bahwa orang tuanya mesti mau membiayainya sampai gelar dokter penuh di Belanda [Hardianti, 31]. Di Belanda, ia mendalami bidang penyakit dalam (internis). Sesudah berpraktik, ia terus melakukan penelitian tentang penyakit paru-paru bersama asistennya, Soewito Prawirohardjo, hingga sempat menggantikan posisi dokter spesialis paru-paru di sebuah rumah sakit di Pacet, Cianjur, yang dipanggil pulang ke Belanda oleh DVG (Diens Van Gezoundheid) selama tiga bulan [Hardianti, 32-33].

Sebelum pergi ke Belanda, Soekiman menikah dengan Koestami, putri dokter Keramat, dokter pemerintahan kolonial lulusan STOVIA Jakarta seangkatan dokter Radjiman. Keluarga istrinya asli dari Bagelan Purworejo, tetapi tinggal menetap di Bogor. Keramat sendiri lama ditugaskan sebagai dokter di Kalimantan Timur, sebelum memboyong keluarganya kembali ke Bogor. Koestami sendiri kelahiran 1906 di Barabai, Kalimantan Timur, dan diketahui menempuh pendidikan di sekolah Kawediri [atau Kawedari?], Jakarta. Keluarga istri Soekiman disebut berkomunikasi sehari-hari dengan bahasa Belanda, sehingga masa kecil Kustami sama sekali tidak dapat berbahasa Indonesia dan Jawa. Kustami baru bisa berbahasa Indonesia dan Jawa dengan baik saat aktif mengikuti organisasi Jong Java, setelah menikah dengan Sokiman dan menetap di Yogyakarta. Dengan istrinya yang terbiasa hidup ala Barat, Soekiman mendatangkan tenaga khusus untuk membantu keluarganya memperdalam bahasa Jawa. [Hardianti, 23-24]

Di Yogyakarta, Soekiman kali pertama tinggal di kawasan Ngabean yang berdekatan dengan tempat kerjanya, Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ia kemudian pindah ke sebelah timur gedung SMP Muhammadiyah, sebelum akhirnya pindah ke timur lagi ke tempat yang berhadapan dengan halaman Istana Pakualaman (Pakualam VI), yang sekarang menjadi Jalan Sultan Agung No. 32, tempat Soekiman Wafat. Rumah itu terbilang besar dengan arsitektur yang modern serta dilengkapi halaman depan dan belakang yang luas, menyerupai bentuk alun-alun Yogyakarta. Pada sisi timur rumahnya, berdiri poliklinik tempat Soekiman praktik pribadi. Di sini, mulai terlihat hubungan Soekiman dengan kalangan Muhammadiyah. Sementara ia membuka praktik dokter, istrinya membuka sejumlah kursus keterampilan kepada wanita sekitar rumahnya, seperti menjahit, memasak, dan merangkai bunga. Istri Soekiman lalu juga aktif mengikuti organisasi keagamaan dan pengajian di Yogyakarta. [Hardianti, 24-25]

Soekiman dan Koestami memiliki tiga anak, Sakri Soenarto, Bagoes Soekardono, dan Sritani. Bagoes mengikuti Soekiman menjadi dokter setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Gadjah Mada, Yogyakarta (UGM). Sakri, yang sebelumnya juga memasuki sekolah kedokteran, terlanjur masuk PETA (Pembela Tanah Air) zaman pendudukan Jepang dan susah keluar, sehingga meneruskan kariernya di militer. Sementara itu, Sritani sempat belajar di Fakultas Hukum UGM, tetapi tidak diteruskannya setelah menikah dengan Ir. Soewarno, seorang dosen Fakultas Teknik UGM. Sewaktu Satiman, pergi ke Belanda, Soekiman juga merawat anak Satiman dan kemudian turut merawat anak kakak perempuannya, Riyadi Soetrasno. [Hardianti, 25-26]

Soekiman memiliki ilmu dan pengetahuan agama yang luas, yang diperolehnya secara otodidak lewat membaca sumber-sumber Barat dan dengan belajar kepada sejumlah ulama tentang sumber-sumber berbahasa Arab. Ia tercatat pernah belajar kepada Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim [Hardianti, 34]. Hal itu kemudian membuatnya banyak bersentuhan dengan Syarikat Islam. Kariernya di rumah sakit Muhammadiyah juga tidak lepas dari pengaruh K.H. Fachruddin, yang menyarankan Soekiman menggantikan posisi dr. Soewodigdo yang ditarik kembali oleh pemerintah kolonial. Soekiman sempat bernegosiasi dengan pemerintah Belanda agar diizinkan membuka praktik sendiri. Ia sempat membangun poliklinik khusus perawatan paru-paru yang dikelolanya bersama istrinya. Ia dikenal banyak memberikan bantuan untuk kalangan yang tidak mampu berobat dan aktif mendatangi rumah pasiennya, bahkan sampai ke luar Yogyakarta [Hardianti, 35]. Salah satu pasien langganannya adalah Ki Hajar Dewantara. Keduanya diketahui cukup dekat walaupun berlainan landasan perjuangan. Soekiman bahkan dimakankan di pemakaman Taman Siswa Celeban, berdampingan dengan makan Ki Hajar [Hardianti, 36].

Pada masa pendudukan Jepang, Soekiman pernah mengalami perampasan mobil dan alat kerja oleh Serdadu Jepang di Perempatan Gondomanan, Yogyakarta. Beberapa hari setelah kejadian itu, serdadu Jepang juga datang ke rumahnya dan membongkar pagar besinya. Hal itu disebut meruntuhkan semangat Soekiman sebagai tenaga medis. Semenjak itu, Soekiman lebih banyak mencurahkan perhatian di bidang politik. Sebelumnya, ia memang telah aktif dalam partai politik, tetapi belum meninggalkan profesi dokternya. Ia lalu semakin aktif berpolitik dan tampil sebagai salah satu pemimpin penting gerakan Islam. Waktu Belanda kembali, ia masuk Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Soekiman akhirnya keluar dari PSII pada 1932 karena perselisihan dengan Tjokroaminoto terkait serikat kerja pegadaian. Tjokro disebut menekankan landasan keagamaan, sementara Soekiman dianggap menekankan landasan keagamaan yang lebih dipadukan dengan kebangsaan. Soekiman dan Soerjopranoto, bekas anggota PSII lainnya, lalu mendirikan Parti Islam Indonesia (PARII) pada 1933 [Hardianti, 40]. Pada 1938, ia bersama K.H. Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Wiwoho mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) [Wirjosukarto, cover belakang]. Sekitar tahun itu, ia juga aktif di MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia). Ia sempat menjadi utusan buruh Indonesia dan berpidato dalam Konferensi Buruh Internasional di Geneva, Swiss, pada 1939 dan berpidato pada Kongres Rakyat tentang “Indonesia Berparlemen” pada 1941. Tahun 1945, ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ketua Dewan Partai Masyumi, dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) [Hardianti, 40].

Pada 31 Januari 1948, Soekiman menjadi Menteri Dalam Negeri Kabinet Hatta I dan Menteri Negara (anggota Dewan Penasihat Tinggi?) Kabinet Hatta II. Soekiman menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) November 1949 bersama Soepomo, Abdul Karim Pringgodigdo, Djuanda, Sujono Hadinoto, Sumitro Djojohadikusumo, Ali Sastroamidjojo, Leimena, Simatupang, dan Sumardi, yang dipimpin oleh Hatta dengan Mohammad Roem sebagai wakil [Hardianti, 41]. Hasil KMB itu ialah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Soekarno dan Hatta sebagai wakilnya. Indonesia kemudian kembali menjadi negara kesatuan setelah Mosi Integral yang diajukan oleh Kabinet Natsir, kawan separtai Soekiman, pada 3 April 1950.

Soekiman Wirjosandjojo lalu menjadi Perdana Menteri Republik setelah Kabinet Natsir menyerahkan kembali mandatnya ke Presiden pada 20 Maret 1951. Sebelum Soekiman menjadi Perdam, Presiden sempat menyerahkan mandat formatur kabinet kepada Mr. Sartono (PNI), tapi usaha Sartono membentuk kabinet baru tidak berhasil dan menyerahkan kembali mandat itu kepada Kepala Negara. Presiden lalu menunjuk Soekiman (Masyumi) dan Sidik Djojosoekarto (PNI) sebagai formatur kabinet. [Kementerian Penerangan, 1951, hal.5] Keduanya akhirnya berhasil membentuk kabinet koalisi nasional yang mengakomodasi dua kekuatan politik paling besar ketika itu, PNI dan Masyumi. Kabinet yang bersifat koalisi nasional itu dikenal sebagai Kabinet Soekiman-Soewirjo.

Usaha pembentukan kabinet baru berlangsung selama kurang lebih lima minggu, menimbulkan suasana keruh dan tekanan politik yang tidak kecil. Formasi kabinet itu dapat diakhiri pada malam 26-27 April 1951 dengan penyusunan suatu Dewan Menteri, yang seterusnya disahkan oleh Presiden. Dewan Menteri Kabinet itu terdiri atas: [Kementerian Penerangan, 1951: 7-8]

1.      Dr. Soekiman Wirjosandjojo, sebagai Perdana Menteri;

2.      Soewirjo sebagai Wakil Perdana Menteri;

3.      Mr. Achmad Soebardjo sebagai Menteri Luar Negeri;

4.      Mr. Iskaq Tjokrohadisoerjo sebagai Menteri Dalam Negeri;

5.      Sewaka sebagai Menteri Pertahanan;

6.      Mr. Muhammad Yamin sebagai Menteri Kehakiman;

7.      A. Mononutu sebagai Menteri Penerangan

8.      Mr. Jusuf Wibisno sebagai Menteri Keuangan;

9.      Mr. Soejono Hadinoto sebagai Menteri Perekonomian;

10.  Ir. Soewarto sebagai Menteri Pertanian;

11.  Ir. Djuanda sebagai Menteri Perhubungan;

12.  Ir. Ukar Bratakusuma sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga;

13.  I. Tedjasukmana sebagai Menteri Perburuhan;

14.  Dr. Sjamsoeddin sebagai Menteri Sosial

15.  Mr. Wongsonegoro sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan;

16.  Dr. J. Leimena sebagai Menteri Kesehatan;

17.  L.H. Wachid Hasjim sebagai Menteri Agama;

18.  M.A. Pellaupessy sebagai Menteri Urusan Umum;

19.  Soeroso sebagai Menteri Urusan Pegawai;

20.  Gondokusumo yang diangkat kemudian hari sebagai Menteri Urusan Agraria.

Sedangkan program kabinet Soekiman dan Suwirjo, antara lain: [Hardianti, 42-43]

1. Menjalankan tindakan-tindakan yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketenteraman. Menyempurnakan alat-alat kekuasaan.

2. Membuat dan melaksanakan rencana kemakmuran Nasional dalam jangka pendek untuk mempertinggi kehidupan sosial ekonomi rakyat, membaharui hukum Agraria sesuai dengan kepentingan petani

3. Mempercepat usaha penempatan bekas pejuang dalam lapangan pembangunan.

4. Menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk konstituante dan menyelenggarakan Pemilihan Umum itu dalam waktu yang singkat. Mempercepat terlaksananya otonomi daerah.

5. Menyiapkan Undang-undang tentang:

a. Pengakuan Serikat Buruh.

b. Perjanjian kerja sama.

c. Penetapan upah minimum.

d. Penyelesaian pertikaian perburuan.

6. Menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif dan yang menuju perdamaian. Menyelenggarakan hubungan Indonesia Belanda menjadi hubungan yang berdasarkan perjanjian Internasional biasa, mempercepat peninjauan kembali lain-lain persetujuan hasil KMB dan meniadakan perjanjian-perjanjian yang nyata merugikan rakyat dan negara.

7. Memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia secepatcepatnya.

Comments

  1. Terimakasih artikelnya. Mhn informasinya ttg referensi yg di sitasi [Hardianti].

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu skripsi berjudul "Pemikiran Politik Islam Soekiman Wirjosandjojo" di UIN Sunan Ampel Surabaya, tulisan Hardianti

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan