Sains Transportasi dan Paradigma Ilmu: Refleksi Singkat
Meskipun studi sains dan teknik kontemporer selalu menekankan objektivitas, setiap keilmuan yang melibatkan manusia, sebagai makhluk yang memiliki sisi pandangan subyektif, tidak akan terlepas dari nilai-nilai yang melandasi pemikiran manusia itu, termasuk dalam melakukan analisis sistem transportasi. Paradigma yang terbentuk dari nilai-nilai itu akan mempengaruhi cara penentu kebijakan dalam mengidentifikasi masalah-masalah dan nilai-nilai komunitasnya yang terkait dengan sistem itu. Seterusnya, paradigma itu akan memberi warna dalam proses penentuan tujuan, objektif, kriteria, standar, dan regulasi bagi sistem. [C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi Edisi Ketiga Jilid 1, Terjemahan Fidel Miro, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 8]
Pada umumnya, dunia akademik formal
kontemporer mengajarkan kepada peserta didiknya bahwa ilmu pengetahuan bersifat
netral dan penelitian itu mesti objektif. Namun, tahukah kita bahwa pandangan
itu tidak selalu benar? Sadarkah kita bahwa sains tentang transportasi – baik itu rekayasa atau teknik
transportasi maupun manajemen atau ekonomi transportasi – sarat dengan paradigma atau nilai-nilai,
sehingga tidak sepenuhnya netral atau bebas nilai?
Pemahaman bahwa ilmu pengetahuan
mesti netral dan objektif tumbuh seiring perkembangan filsafat sains Barat
modern yang berujung pada dominannya scientific worldview, yang merupakan suatu pandangan bahwa hal
yang dapat diterima sebagai kebenaran adalah yang melulu logis (sesuai rasio)
dan empiris (dapat diobservasi secara fisik). Perkembangan pandangan itu
diawali dengan lahirnya aliran-aliran filsafat sains dalam tubuh peradaban
Barat selepas Zaman Kegelapan mereka, yaitu pada masa Renaisans, Revolusi
Sains, dan Aufklarung.[1]
Sebagai akibat dari trauma atas
hegemoni gereja dan problem teologis agama Kristen yang menghambat kemajuan
sains di Barat serta naturalisasi (dalam arti westernisasi) ilmu pengetahuan
yang mereka dapatkan dari pusat-pusat studi peradaban Islam Abad Pertengahan,
seperti Cordoba, Baghdad, Damaskus, dan Toledo, Eropa mengalami kebangkitan
intelektual baru.[2]
Namun, lantaran trauma keagamaan itu, mereka menyesuaikan pengetahuan yang
mereka serap dari dunia Islam dengan pandangan hidup mereka yang sekuler,
materialis, antroposentris, dan dualis.[3]
Dengan suasana alam-pikiran yang
demikian itu, para pemikir mereka mengembangkan aliran-aliran filsafat ilmu
yang di kemudian hari mengarah kepada pelepasan penyelidikan alam (sains) dari
nilai-nilai Ilahi (disenchantment of nature) dan nilai-nilai Din yang
tetap-sempurna (deconcecration of value). Rene Descartes mengembangkan
paham rasionalisme, di mana akal menjadi satu-satunya sumber dan tolok ukur
kebenaran. Lalu, sebagai reaksi pula atas rasionalisme, David Hume
mengembangkan aliran empirisme yang menganggap bahwa kebenaran hanya dapat
diperoleh dari pengalaman empiris. Immanuel Kant mencoba menggabungkan keduanya dengan merumuskan aliran
idealisme. Kemudian, bangkitlah aliran empirisme dalam bentuk baru, yaitu
positivisme, yang dipromosikan oleh Auguste Comte.[4]
Aliran positivisme itulah yang
kemudian mendominasi wacana sains Barat modern dan menyebar ke seluruh dunia,
yang berujung pada jamaknya pemahaman bahwa ilmu pengetahuan itu mesti netral
dan objektif. Dalam aliran ini, objek ilmu pengetahuan mesti positif (ada
secara empiris), dan kajian yang positif dianggap pasti sebagai studi yang
objektif. Istilah objektif muncul karena ingin menjauhkan objek dari subjeknya,
yaitu bahwa nilai dalam diri subjek tidak boleh tertanam pada objek. Dengan
begitu, ia memberi garis demarkasi antara fakta dengan nilai, mengambil jarak
dengan realitas, dan bersikap imparsial-netral. Fakta berdiri sendiri di luar
nilai. Gejala alam dipandang mekanis-determinis.[5]
Namun begitu, dapat dilihat bahwa
maksud sains itu mesti netral tidaklah seutuhnya dipenuhi. Hal itu karena yang
terjadi adalah bahasa sains itu hanya bebas dari nilai-nilai yang bertentangan
dengan positivisme. Sains Barat modern yang dianggap netral dan objektif itu
sejatinya justru dimuati paham positivisme itu, baik secara terang maupun
tersembunyi. Paham positivisme itu maujud ke dalam sejumlah tabiat, yang
mencakup: nihilisme (pengosongan nilai), sekularisme (pemisahan alam dari
pesona Ilahi), fenomenalisme (pembatasan kajian sains hanya dalam fenomena
fisik), materialisme (orientasi pendidikan dan pengetahuan yang berkutat pada
materi), naturalisme (penafian entitas supranatural dan supernatural), dan
ateisme (tidak bertuhan).[6]
Pada perkembangannya, muncul
kesadaran baru bahwa sains Barat atau ilmu pengetahuan secara umum tidak bebas
nilai. Para ilmuwan dan pemikir kontemporer, baik dari dunia Barat maupun dunia
Islam, mulai melakukan peninjauan ulang terhadap sains modern. Di Barat, ada
nama-nama seperti Karl R. Popper, Paul Feyerabend, Paul Illich, Thomas Kuhn,
Alfred North Whitehead, para filsuf Mazhab Frankfurt, dan lain-lain memberikan
kritik kepada sains Barat modern, yang mereka anggap menyebabkan dehumanisasi.[7]
Dari dunia Islam, gelombang
kesadaran baru bahwa sains Barat modern, meskipun memiliki banyak kesesuaian
pula dengan sains Islam, sarat dengan penyimpangan akibat pandangan hidup
sekuler, sehingga mesti dinaturalisasi ke dalam pandangan hidup Islam, atau
proses yang disebut juga Islamisasi sains kontemporer. Para pelopornya termasuk
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, dan Ismail Raji al-Faruqi,
serta para muridnya.[8]
Bahkan, Tjokroaminoto pun telah memiliki gagasan integrasi keilmuan Islam
dengan "modern wetenschap" dalam usulan rencana pendidikannya,
"Moeslim Nationale Onderwijs".[9]
Memanglah sains Barat modern itu
mengklaim dirinya netral dan objektif, tapi tetap sarat paradigma positivisme.
Namun, tanpa mempermasalahkan klaim itu pun, kita akan tetap mendapati bahwa
sejumlah cabang sains modern itu justru tidak lepas dari paradigma, salah
satunya adalah sains tentang transportasi. Dalam kajian kontemporer, ia dapat
menjadi cabang dari Teknik Sipil (Rekayasa Transportasi), Teknik Kelautan
(Teknik Transportasi Laut dan Operasi Pelabuhan), Teknik Penerbangan (Sistem
Transportasi Udara dan Operasi Bandara), Manajemen dan Bisnis (Manajemen
Transportasi dan Logistik serta Ekonomi Transportasi), atau berdiri sendiri
secara spesifik, seperti pada Teknik Perkeretaapian.
Namun, umumnya yang menjadi
representasi dari sains transportasi adalah Teknik atau Rekayasa Transportasi,
terutama karena cakupan matranya yang menyeluruh. Rekayasa atau teknik
transportasi umumnya didefinisikan sebagai penerapan prinsip-prinsip sains dan
teknologi dalam perencanaan, desain fungsional, pengoperasian, dan pengelolaan
berbagai fasilitas untuk segala bentuk mode transportasi (jalan, rel, air, dan
udara) dengan tujuan untuk menjamin pergerakan manusia dan barang yang aman,
cepat, nyaman, mudah, ekonomis dan ramah lingkungan.[10]
Berdasarkan pengertian tersebut,
terlihat bahwa Rekayasa Transportasi merupakan studi yang interdisipliner
dengan komponen, hubungan, dan kompleksitas yang besar. Ia memiliki keterkaitan
yang erat dengan sosiologi, psikologi, politik, manajemen, ekonomi, planologi,
arsitektur, rekayasa sistem, teknik sipil, matematika dan statistika, teknik
dirgantara, teknik perkapalan dan kelautan, teknik perkeretaapian, rekayasa
informatika dan elektronika, teknik mesin, dan lain-lain. Cakupan studinya yang
kompleks meliputi sisi “keilmuan lunak” yang berkenaan dengan manusia dan
kemasyarakatan, dan sisi “keilmuan keras” yang berhubungan dengan teknik dan
sains eksak. Dengan karakteristiknya yang demikian, studi dalam bidang Rekayasa
Transportasi umumnya mengarah kepada pendekatan sistemis.
Pendekatan sistem (system
approach) adalah suatu cara yang sistemis dan menyeluruh untuk memecahkan
masalah yang melibatkan suatu sistem. Sistem adalah suatu perangkat yang
terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan, disebut komponen, yang
menjalankan sejumlah fungsi dalam rangka mencapai suatu tujuan. Analisis sistem
adalah penerapan metode ilmiah guna memecahkan masalah-masalah yang rumit dan
interdisipliner di dalamnya. Tujuan (goal) dari sistem yang dianalisis
harus dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan operasional yang terukur dan dapat
dicapai (disebut objektif).[11]
Setiap objektif dari suatu sistem
umumnya memiliki ukuran-ukuran efektivitasnya sendiri (measure of
effectiveness / MOE). MOE merupakan suatu ukuran yang menunjukkan hingga
sejauh mana setiap tindakan yang diambil dapat memenuhi objektifnya.
Ukuran-ukuran yang berhubungan dengan hilangnya keuntungan atau lepasnya
peluang untuk setiap alternatif disebut ukuran biaya (measure of costs /
MOC). MOC merupakan konsekuensi dari keputusan dalam memilih alternatif itu.
Suatu kriteria atau persyaratan menghubungkan MOE dan MOC dengan cara
menetapkan suatu aturan yang digunakan untuk memilih salah satu dari beberapa
tindakan alternatif yang biaya dan efektivitasnya telah diketahui. Suatu tipe
kriteria atau persyaratan yang khusus untuk mematok tingkat terendah (atau
tertinggi) dari performa sistem yang dapat diterima maujud sebagai objektif
definitif, yang disebut sebagai standar.[12]
Standar bagi suatu sistem umumnya
ditetapkan dalam regulasi otoritas. Regulasi itu diwujudkan melalui suatu
kebijakan (policy) dari pihak yang berkuasa atau berwenang sebagai
prinsip pengarah atau langkah-langkah yang digunakan untuk mencapai objektif
sistem. Pelaksanaan standar atau regulasi itu tentu perlu dievaluasi, karena
umpan balik dan pengendalian sangat diperlukan agar performa sistem efektif.
Tindakan mengevaluasi status aktual dari suatu sistem dan menentukan arah
perubahannya disebut sebagai penentuan kebijakan.[13]
Kebijakan terkait sistem itu pada
akhirnya akan memberikan dampak terhadap manusia, masyarakat, dan lingkungan
sekitarnya, terutama pengguna langsung dari sistem itu. Hal itu karena terdapat
konsep-konsep rumit yang membentuk keinginan dasar dan menggerakkan perilaku
manusia sebagai pengguna sistem. Seiring perubahan pada sistem itu, insan yang
berhubungan dengannya juga dapat mengalami perubahan nilai. Lebih jauh lagi,
setiap kebijakan dalam merumuskan regulasi atau standar itu pasti dipengaruhi
oleh nilai-nilai dari pihak yang menentukannya, baik itu nilai sosial, nilai budaya,
nilai tamadun, dan lain-lain.[14]
Meskipun studi sains dan teknik
kontemporer selalu menekankan objektivitas, setiap keilmuan yang melibatkan
manusia, sebagai makhluk yang memiliki sisi pandangan subyektif, tidak akan
terlepas dari nilai-nilai yang melandasi pemikiran manusia itu, termasuk dalam
melakukan analisis sistem transportasi. Paradigma yang terbentuk dari
nilai-nilai itu akan mempengaruhi cara penentu kebijakan dalam mengidentifikasi
masalah-masalah dan nilai-nilai komunitasnya yang terkait dengan sistem itu.
Seterusnya, paradigma itu akan memberi warna dalam proses penentuan tujuan,
objektif, kriteria, standar, dan regulasi bagi sistem.[15]
Berbagai patokan itu pada gilirannya
akan menuntun otoritas dalam merancang, mengkaji, dan memilih alternatif aksi.
Pengujian terhadap objektif dan alternatif yang lama serta penentuan atau
modifikasi objektif dan alternatif baru hingga keseluruhan perulangan analisis,
sampai dihasilkan bentuk sistem yang dinilai paling tepat, juga tidak terlepas
dari paradigma, nilai, asumsi, dan berbagai hal subyektif lainnya. Besarnya
peran paradigma atau nilai-nilai dalam studi dan implementasi rekayasa
transportasi itu akan semakin terlihat jika kita meninjau pergeseran paradigma
transportasi dari paradigma lama yang berkutat pada motorisasi mekanis menuju
paradigma baru yang multi-modal dan lebih mementingkan manusia, komunitas, dan
lingkungan.
Sifat paradigmatis atau sarat nilai
dari sains transportasi juga tampak pada gagasan Sistem Transportasi Nasional
(Sistranas) yang diusulkan oleh Ahmad Munawar. Dalam konsepnya, Sistranas
memiliki sejumlah komponen yang berperan sebagai pemberi landasan nilai, baik
yang bersifat landasan filosofis maupun orientasi operasional. Instrumental masukan nilai itu meliputi Pancasila,
Undang-undang Dasar 1945, Wawasan Nusantara, Garis-garis Besar Haluan Negara,
sejumlah Undang-undang tentang transportasi, paradigma Pertahanan Nasional
Rakyat Semesta, dan Tri Gatra, yang seluruhnya ditujukan demi optimalisasi
layanan publik, pencapaian tujuan nasional, dan peningkatan ketangguhan
ketahanan nasional.[16]
Dengan demikian, sistem transportasi
dapat dipandang sebagai suatu pengejawantahan dari tatanan nilai suatu kelompok
kecil penentu kebijakan, yang dapat mempengaruhi perkembangan tatanan nilai
dari kelompok masyarakat yang lebih besar. Dengan kata lain, studi tentang
transportasi, seberapa pun objektifnya, tetaplah sarat dengan nilai. Sains dan
rekayasa transportasi dalam berbagai bentuknya, perlu kita pandang sebagai
keilmuan yang memiliki paradigma tertentu. Karena itu, penyelidikan terhadap
paradigma transportasi kontemporer, serta hubungannya dengan struktur peradaban
secara umum, perlu dilakukan.
[1] Budi Handrianto, Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sain Barat
Modern, (Jakarta: INSISTS, 2019), 60-61; lihat juga Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban
Islam: Makna dan Pembangunannya, (Ponorogo: CIOS-ISID-Gontor, 2010), 31
[2] Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: ..., 23-26
[3] Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 59-60
[4] Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 41-43 & 61-67
[5] Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 42-43
[6] Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 68
[7] Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 14
[8] Budi Handrianto, Islamisasi Sains: ..., 44
[9] H.O.S. Tjokroaminoto, “Muslim Nationale Onderwijs”, Kumpulan Tulisan Tjokroaminoto,
(Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, 1995)
[10] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi
Edisi Ketiga Jilid 1, Terjemahan Fidel Miro, (Jakarta: Erlangga, 2005),
hal. 5
[11] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ...,
hal. 7
[12] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ...,
hal. 7
[13] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ...,
hal. 8
[14] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ...,
hal. 7
[15] C. Jotin Khisty & B. Kent Lall, Dasar-dasar Rekayasa Transportasi ...,
hal. 8
[16] Ahmad Munawar, Dasar-dasar Teknik Transportasi, (Yogyakarta: Beta
Offset, 2011), 7-14
Comments
Post a Comment