Soekiman Wirjosandjojo: Salehnya Sang Dokter Pejuang

 


Nama Soekiman Wirjosandjojo mungkin tidak setenar Tjokroaminoto, Hamka, atau Natsir, tapi perannya dalam perjuangan kemerdekaan dan gerakan Islam di Indonesia tidak kalah penting. Soekiman adalah Perdana Menteri keenam Republik Indonesia (1951-1952), salah satu pendiri Jong Islamieten Bond (JIB), dan turut merintis Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Ia termasuk pelopor dokter bumiputra spesialis paru-paru dan cukup lama berpraktik di PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Soekiman lahir pada 19 Juli 1898 di Solo, Jawa Tengah. Ia adik Satiman Wirjosandjojo, salah satu pendiri Jong Java. Dia turut aktif di organisasi kepemudaan Jawa itu sebelum berkecimpung dalam JIB. Dengan ayahnya yang saudagar sembako dan ibunya yang guru mengaji, Soekiman dibesarkan dalam keluarga yang terpandang dan religius. Ia sempat terlambat memasuki pendidikan formal, tetapi mendapatkan ajaran agama dari orang tuanya.

Pergaulannya terbilang luas, termasuk dengan kalangan Belanda. Saat muda, ia tinggal di rumah Van der Wal, pensiunan tentara Belanda yang tinggal di Boyolali dan menjadi kolega ayahnya. Van der Wal menjadi wali bagi Soekiman dan Satiman, sehingga dapat bersekolah di European Lagere School (ELS) Boyolali. Setamat ELS, Soekiman melanjutkan ke STOVIA Jakarta antara 1914-1923 sampai mendapatkan gelar dokter Jawa (Art Indische), kemudian melanjutkan ke Universitas Amsterdam sampai dokter penuh.

Saat di STOVIA, ia sempat bekerja di jawatan perkeretaapian sehingga studinya sedikit terjeda. Ia juga aktif mengikuti berbagai organisasi kepemudaan dan politik. Setelah lulus, ia menikah dengan Koestami, putri dokter Keramat, kawan seangkatan dokter Radjiman, sebelum berangkat ke Belanda. Di Belanda, Soekiman mendalami bidang penyakit dalam. Pulang ke Hindia, ia sempat mengisi posisi dokter spesialis paru-paru di Pacet, Cianjur.

Soekiman lalu pindah ke Yogyakarta dan berpraktik di PKU Muhammadiyah. Pilihan kariernya di sana tidak lepas dari saran K.H. Fachruddin, tokoh Muhammadiyah dan Masyumi. Ia juga membuka praktik di rumahnya, tak jauh dari Keraton Pakualaman. Soekiman dikenal banyak memberikan bantuan bagi pasien yang tidak mampu. Sementara itu, istrinya dikenal aktif mengikuti organisasi pengajian dan menggelar kursus kewanitaan.

Soekiman juga dikenal dekat dengan kalangan Syarikat Islam (SI). Ia tercatat pernah belajar kepada Tjokroaminoto dan Agus Salim. Ia pernah menjadi anggota Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Soekiman pun dekat dengan Ki Hajar Dewantara, saudara tokoh SI Soerjopranoto, meskipun banyak berseberangan pandangan. Kia Hajar tercatat sebagai pasien Soekiman dan makam mereka pun bersebelahan di pemakaman Taman Siswa Celeban.

Pada masa pendudukan Jepang, klinik Soekiman pernah diserang oleh tentara Jepang. Sejak saat itu, ia meninggalkan praktiknya dan fokus dalam perjuangan politik. Bersama K.H. Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Wiwoho, Soekiman mendirikan Partai Islam Indonesia (PII). Ia menjadi utusan buruh Indonesia dan berpidato dalam Konferensi Buruh Internasional di Geneva, Swiss, pada 1939 dan berpidato pada Kongres Rakyat tentang “Indonesia Berparlemen” pada 1941.

Tahun 1945, Soekiman menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Ketua Dewan Partai Masyumi, dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada 31 Januari 1948, ia menjadi Menteri Dalam Negeri Kabinet Hatta. Dia juga menjadi anggota delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, yang menghasilkan pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).

Selepas Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pasca Mosi Integral Natsir, Soekiman menjadi Perdana Menteri Republik menggantikan Natsir yang menyerahkan kembali mandatnya pada 20 Maret 1951. Soekiman menjadi formatur kabinet bersama Sidik Djojosoekarto, tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), setelah sebelumnya Sartono gagal membentuk kabinet dalam 28 hari. Keduanya membentuk kabinet koalisi nasional yang mengakomodasi PNI dan Masyumi.

Dalam berpolitik dan menjalankan pemerintahan, Soekiman dikenal sebagai nasionalis Islam yang idealis. Ia menyadari betul pentingnya kestabilan dan keamanan bagi pembangunan dan kemakmuran rakyat, terutama berkaca dari kekacauan keadaan pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) 1948. Pikiran itu ia tuangkan dalam laporannya tentang pembentukan kabinet kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada 28 Mei 1951, yang berjudul “Menudju Kemakmuran Rakjat Lewat Keamanan”.

Dalam penyusunan kabinet dan programnya, Soekiman mempertimbangkan risiko yang dapat timbul dari sisa-sisa laskar pejuang jika mereka diagitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, Soekiman membentuk Dewan Rekonstruksi Nasional yang berfokus mengembalikan 200-300 ribu bekas pejuang ke masyarakat dan memanfaatkan tenaga mereka untuk pembangunan.

Upaya Soekiman menjalankan tindakan-tindakan tegas dalam menjamin keamanan dan ketenteraman juga terlihat dalam kebijakannya melakukan penangkapan massal terhadap kader dan aktivis komunis pada Agustus 1951. Dalam tempo kurang dari sebulan, sekitar 15.000 kader, aktivis, dan pendukung komunis dijebloskan ke penjara. Hal itu sampai membuat Alimin, tokoh senior PKI, sempat bersembunyi di kedutaan besar Republik Rakyat Cina.

Meski begitu, Soekiman tidak berlaku otoriter dalam menjalankan kekuasaan. Ia selalu menegaskan pentingnya tertib dan kepastian hukum. Hal itu karena menurutnya, “Hukum dengan tiada kekuasaan menimbulkan anarki, kekuasaan dengan tiada hukum menimbulkan tirani.” Memang ada kritik atas kebijakan penangkapan itu, tapi mengingat kejadian pada 1965, “mass crackdown” yang dilakukan pemerintahan Soekiman terbukti tepat.

Dalam organisasi negara, Soekiman berupaya menyelesaikan persiapan pemilihan umum untuk membentuk Konstituante dan mempercepat terlaksananya otonomi daerah. Pemerintahan Soekiman berpendapat bahwa Undang-undang Dasar Sementara yang berlaku saat itu harus diganti dengan Undang-undang Dasar definitif yang dibentuk oleh Konstituante. Soekiman meneruskan rancangan undang-undang pemilu usulan kabinet Natsir. Pemerintahannya juga meninjau ulang UU No. 22 tahun 1948 tentang pembagian tingkatan daerah.

Pemerintahan Soekiman juga menyiapkan undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja-bersama, penetapan upah minimum, penyelesaian pertikaian perburuhan, dan pemberian tunjangan hari raya, yang membuatnya dikenang sebagai “Bapak THR”. Dalam politik luar negeri, ia mendorong diselenggarakannya hubungan Indonesia-Belanda sesuai Statuta-Uni menjadi hubungan berdasarkan perjanjian internasional biasa. Ia juga meninjau kembali hal-hal yang merugikan dalam Konferensi Meja Bundar dan berupaya memasukkan Irian-Barat ke dalam wilayah RI.

Sebagaimana para tokoh Masyumi lain, hingga akhir hayatnya pada 23 Juli 1974, Soekiman tetap mempertahankan sikap agamis, bersih, rasional, modern, beradab, konstitusional, dan demokratis. Saat Soekarno semakin condong ke kubu komunis, Soekiman menolak ditawari bergabung dalam DPR Gotong Royong (DPR GR). Ia senantiasa menjunjung kemerdekaan dan “rule of law” serta berpolitik sebagai insan parlementer. Semoga generasi nasionalis Islam masa depan dapat menghidmati jalan perjuangannya.

 

Sumber:

Hardianti. 2018. Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M). Jurusan Sejarah Peradaban Islam. Fakultas Adab dan Humaniora. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Wirjosandjojo, Soekiman. 1984. Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot. Editor Amir Hamzah Wirjosukarto. Malang: YP2LPM.

Wirjosandjojo, Soekiman. 1951. Menudju Kemakmuran Rakjat Lewat Keamanan. Jakarta: Kementerian Penerangan.

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan