Pesawat Terbang, Sains, dan Peradaban: Antara Charles Moraze, Bertrand Russel, dan Naquib al-Attas

IG: https://www.instagram.com/academiadaluzblanca/  


Bagi Charlez Moraze, sejarawan Perancis, pesawat terbang telah menjadi dilema. Pada satu hal, ia telah menjadi semacam instrumen penyelidikan ilmiah yang mampu melayani rasa penasaran manusia, memungkinkan studi gerakan udara dalam detail yang menakjubkan, turut memelopori riset tentang ketinggian, membantu menyempurnakan mesin pembakaran internal, ikut mendorong perkembangan bahan bakar minyak industri, mengubah wajah industri bahan mentah melalui kepeloporannya dalam penggunaan material dan struktur ringan, hingga memacu antusiasme orang. Namun bagi Moraze, ia juga membawa bahaya tirani unifikasi. [Moraze, 1951: 41]

Memang pesawat mampu menjadi detektor yang tajam dari perkembangan ekonomi, tapi dengan cepat pula membatas area-area utama aktivitas manusia lewat jaringan jalur-jalurnya yang saling menjalin. Ia memanglah dapat membuka dan menghubungkan pusat-pusat industri baru yang saling berjauhan, melebur batas-batas rivalitas nasionalisme dan geografi, dan menandai tempat-tempat yang dipilihnya dengan tanda-tanda keuntungan yang menjanjikan. [Moraze, 1951: 41]

Namun, ia juga menandai keprihatinan dari peradaban yang kalah maju dibandingkan sang hegemon. Jaringan-jaringannya menjadi saksi dari daya-kuasa dari para imperialis yang saling bersaing untuk memperebutkan supremasi dunia, sambil memperhebat kekuatan destruktif mereka, di mana pesawat itu menjadi alat-bantunya. Dalam-mana peradaban dan kebudayaan yang tengah kalah atau sedang berada di lembah gelombangnya, laksana pelanduk di tengah-tengah pertarungan sesama gajah. [Moraze, 1951: 41]

Senada dengan Moraze, Naquib al-Attas, filsuf Malaysia, menyampaikan keprihatinannya terhadap tabiat manusia dalam meluaskan ilmu penerbangan:

“Dalam masa lima puluh tahun, manusia telah menjadi lebih pandai dan andal dalam ilmu penerbangan daripada burung yang telah terbang lebih dari lima puluh ribu tahun. Akan tetapi, burung tahu akan kadar sayapnya; tahu luasan dan batasan pengembaraan dan penaungannya; tahu akan tugas dan tujuannya, sebab telah diilhamkan demikian sehingga tiada akan terjadi pengeliruan tempat masing-masing. Sedangkan manusia, yang konon berakal tetapi berpadu hawa nafsu, menafikan segala ketertiban hidup; penguasaan angkasa dan alam sekeliling olehnya telah disalahgunakan sehingga penguasaan itu dikenakan supaya melingkupi juga penguasaan terhadap sesama manusia” [al-Attas, 1971: 44]

Sebuah dunia yang tersatukan, suatu unifikasi yang menjadi dampak dari paham tentang progres kehidupan manusia yang berasaskan kepada sains dan pandangan hidup yang berpusat kepada sains menurut pemaknaan pandangan hidup Barat yang sekuler, juga sedang menjadi arus-utama di segenap lini kehidupan. Suatu moralitas baru sedang muncul, yang dibangun di atas fusi dari semua sistem etika yang memenangkan kekuatan di atas kebenaran (yang berarti kemenangan Barat, dengan semua karakteristik kebudayaan mereka), meski tidak seutuhnya melumpuhkan suara peradaban lain yang kini lebih lemah. Siapa pun yang melawan unifikasi itu seperti akan lenyap. [Moraze, 1951: 40]

Baik Tiongkok maupun Amerika Serikat (AS), dua hegemon dunia kini, sama-jua merupakan anak peradaban atau kebudayaan Barat. Baik kapitalisme dan liberalisme, maupun kapitalisme-negara (state-capitalism) dan komunisme yang mereka anut, sama-sama berpangkal pada paham materialisme, dualisme, dan sekularisme. [al-Attas, 2001: 20] Kebudayaan Tiongkok tradisional sudah lama dipapas oleh revolusi kebudayaan ala Mao. Yang tersisa kali ini adalah sesama anak peradaban Barat yang, meskipun saling berebut kuasa, saling berjalin dengan kuat dalam perekonomian dan kuasa global. Teknologi dan uang AS diinvestasikan di Tiongkok, yang menyediakan manufaktur dan tenaga kerja murah sekaligus pasar besar bagi merek AS. Tiongkok yang jadi kaya dari investasi itu lalu membangun gurita kuasanya sendiri dan berekspansi. Jadilah dunia multipolar yang ter-unifikasi.

Di poros mana pun orang berlabuh, pada akhirnya paham kebendaan juga yang akan ditemuinya. Dan paham kebendaan itu dibangun di atas tiang-tiang yang ditopang oleh saintisme. Saintisme bukanlah sekadar tindakan mengembangkan sains dan teknologi untuk kemajuan bangsa, melainkan suatu paham yang menganggap bahwa semua kebenaran harus dilandaskan pada kacamata rasional dan empiris. Lebih lanjut, ia dilekati oleh paham positivisme, yang mengajarkan bahwa pengetahuan itu mesti bebas dari nilai-nilai, kecuali tentunya nilai-nilai dari paham itu sendiri, yang mencakup naturalisme, nihilisme, relativisme, fenomenalisme, reduksionisme, mekanisme, nominalisme, dan materialisme. [Handrianto, 2019: 68]

Kata Bertrand Russel, filsuf Britania, sains itu semacam bumbu dalam kehidupan manusia, dan sebagai bumbu ia memanglah bagus, menambah kesedapan dalam hidup manusia itu. Namun, tatkala ia dijadikan satu-satunya bumbu atau daya-gerak dalam peri-kehidupan itu, ia akan membawa bencana. Ia akan membawa unifikasi, mengerdilkan semua nilai dan hal lain yang telah memberikan makna bagi beragam peradaban selama sekian ribu tahun, malahan ia melarang semua nilai selain dirinya. Sains yang dilekati paham-paham turunan daripada modernisme dan pos-modernisme ini telah menjadi tirani. [Russel, 1951: 35]

Di Barat, sains (terutama hasil penelitian Alfred Charles Kinsey) telah melegalkan seks bebas dan LGBT, malahan menjadikan mereka bak raja. Di Tiongkok, teknologi telah menjadi alat persekusi dan genosida bagi praktisi Falun Gong (Falun Dhafa) dan Muslim Uighur, serta alat jebakan utang bagi negara-negara miskin yang gila pembangunan infrastruktur, belum lagi perusakan alam olehnya. Di Barat pula, teknologi telah lama menjadi alat kolonisasi, invasi, perbudakan, dan pelenyapan kaum-kaum yang sedang kalah, seperti suku asli Amerika dan Australia yang dibasmi sampai hampir punah saat penemuan benua itu. Dan materialisme pula sekularisme itu, baik dari cabang liberalisme maupun komunisme, sejak zaman Perang Dingin dulu, telah ramai berebut pangsa ekspor.

Dorongan untuk mempelajari sains telah beralih dari kecintaan terhadap kebenaran dan objek yang diselidiki menjadi hasrat untuk menguasai. Impuls dunia telah didominasi oleh industrialisme, pragmatisme, dan instrumentalisme. Perkembangan pengetahuan telah beranjak dari corak kontemplasi menjadi corak manipulasi. Sains yang bermula pada pengejaran kebenaran, kini semakin tidak kompatibel dengan kebulatan kebenaran, karena pencarian kebenaran dalam dunia modern acap dipandang cenderung menuju pada skeptisisme saintifik, belum lagi alam pikiran pos-modernisme yang memang hendak merombak-ulang semua tatanan kebenaran. [Russel, 1951: 35-36]

Bukanlah sains dan pengetahuan itu yang salah, melainkan manusia dan cara pemakaian mereka. Manusia telah menyelewengkan kebutuhan akan pengetahuan empiris menjadi pemujaan atas empirisme, menggeser fokus penyelidikan atas objek menjadi paham positivisme, menyimpangkan tafakur atas alam menjadi pikiran naturalisme yang menolak keberadaan atau signifikansi semua yang supra dan supernatural, mengganti orientasi terhadap nilai kebenaran menjadi pemutlakan atas fenomena, dan seterusnya. Sains dan pengetahuan itu sendiri tidak jahat, malah mengandung kebaikan, tetapi dualisme yang parsial atasnya itulah yang berbahaya.

Seperti pula kata Russel:

This is the fundamental reason why the prospect of a scientific society must be viewed with apprehension. The scientific society in its pure form, which is what we have been trying to depict, is incompatible with the pursuit of truth, with love, with art, with spontaneous delight, with every ideal than men have hitherto cerished, with the sole exception of ascetic renunciation. It is not the knowledge that is the source of these dangers. Knowledge is good and ignorance is evil. [Russel, 1951: 36]

Senada dengan itu pula al-Attas menyatakan:

Peradaban dan kebudayaan Barat telah mengenakan rasionalisme dan empirisme, yakni cara-gaya pendekatan dan penyelidikan sains itu, kepada bidang-bidang lain seperti ilmu kemanusiaan dan kemasyarakatan. Kemudian pengaruh sains dalam pemikiran mereka itu demikian hebat mendalam, sehingga sains itu dijadikan seolah-olah sebagai suatu nilai hidup yang utama bagi membimbing manusia ke arah kesejahteraan. Mereka lupa bahwa sains hanyalah alat kemanfaatan bagi manusia; dan alat tiada dapat dijadikan nilai kehidupan. [al-Attas, 2001: 42]

Di tengah keadaan dunia dan alam pandang manusia yang demikianlah, pesawat terbang berikut transportasi, sebagai bagian daripada sains dan teknologi, yang sendirinya merupakan cabang daripada peradaban, mesti dilepaskan dari kaitan dengan pendorong tirani unifikasi, penyeragaman, dan parsialitas itu. Seperti peringatan Moraze, transportasi itu memang sewajarnya mendorong adaptasi dan re-adaptasi atau saling-serap yang natural antar setiap peradaban dan kebudayaan. Namun, transportasi juga, terutama jika ia cepat dan punya jangkauan jauh seperti pesawat, apalagi didukung oleh teknologi informasi yang masif, rawan menyebabkan proses itu berjalan dengan tajam dan patah-patah, sehingga sintesis yang dihasilkannya cenderung artifisial, merusak ritme apropriasi pengetahuan, dan merusak tatanan-adabi dari peradaban dan kebudayaan yang sedang dihegemoni, meski tatanan tamadun itu telah dinikmati ribuan tahun. [Moraze, 1951: 40]

Ia rawan menjadikan proses peradaban stakato dan mekanistis, tidak ada lagi pemberhentian sementara di mana nalar manusia secara bertahap mengadaptasikan perangkat luar itu ke dalam pandangan alam kebudayaannya, atau seperti kata Rendra: “tanpa dangau persinggahan”. Dan mesti diingat pula kata-kata Heisenberg:

One has to remember that every tool carries with it the spirit by which it has been created ... In those parts of the world in which modern science has been developed, the primary interest has been directed for a long time toward practical activity, industry and engineering combined with a rational analysis of the outer and inner conditions for such activity. Such people will find it rather easy to cope with the new ideas since they have had time for a slow and gradual adjustment to the modern scientific methods of thinking. In other parts of the world these ideas would be confronted with the religious and philosophical foundations of native culture.” [Heisenberg, 1971: 32]

Pengejaran kita akan sains dan teknologi daripada penerbangan dan transportasi secara umum, mesti berulang-kali kita tinjau kembali, apakah ia telah sesuai dengan natur dari alam pandang, kebudayaan, dan peradaban kita yang sejatinya? Kita sekali-kali tiada boleh melupakan itu, dan patut menginsafi jika belum, bahwa di antara pelbagai peradaban dan kebudayaan, pemaknaan atas ilmu secara keseluruhan, termasuk sains di dalamnya itu, dan di dalamnya lagi sains tentang transportasi dan pesawat terbang itu, masing-masing dapat memiliki paham yang tertentu mengenainya, yang memiliki kesamaan dan perbedaan. Kesamaan pandang itu memang bisa besar, tetapi perbedaannya juga dapat demikian mendalam dan mutlak seakan-akan jurang yang tiada dapat dipertemukan. [al-Attas, 2001: 49-50]

 

Sumber:

Al-Attas, S. M. Naquib. 2001. Risalah untuk Kaum Muslimin. Kuala Lumpur: ISTAC.

Handrianto, Budi. 2019. Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern. Jakarta: INSISTS.

Heisenberg, Werner. 1971. Physics and Philosophy: The Revolution in Modern Science. London: George Allen & Unwin LTD University Books.

Moraze, Charles. 1951. “The Aeroplane and Civilization”. Impact of Science on Society. Vol. 11, No. 2, 39-41

Russel, Bertrand. 1951. “Science and Values”. Impact of Science on Society. Vol. 11, No. 2, 35-37

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan