Kapal dalam Terminologi Quran Menurut Studi Dionisius Albertus Agius
Profesor Dionisius A. Agius FBA merupakan
profesor emeritus pada studi bahasa Arab dan kebudayaan Islam di Universitas
Exeter dan Universitas King Abdulaziz. Risetnya mencakup studi bahasa Arab, Siculo-Arabic,
semantik bahasa Arab, etnografi, sejarah sosio-kultur, dan studi tentang kapal
dan kemaritiman.
Menurut Agius, terdapat paralelisme atau
penyetaraan makna antara kapal dan laut dengan unta dan gurun pasir dalam
kebudayaan puisi masyarakat klasik Arab. Sejak sebelum Islam, dalam
pertemuan-pertemuan niaga dan haji, orang-orang Arab secara lintas-suku telah mengadakan
pertunjukan para penyair yang melantunkan puisi-puisi mereka tentang berbagai
hal, termasuk tentang unta, gurun pasir, kapal, dan laut, meskipun kehidupan
mereka tampak jauh dari kebudayaan laut itu, tetapi paralelisme antara
perjalanan melintasi gurun pasir dan lautan lepas tetap saja tidak dapat
diabaikan.[1]
Bisa dibilang bahwa gurun pasir dan laut
menjadi bagian dari repertoar puitis dasar dalam bahasa Arab awal. Bagi penyair
gurun, perjalanan unta (takhallu) dilantunkan untuk menggambarkan
pemeragaan metaforis, yaitu bahwa gurun dan laut sama-sama melambangkan
keluasan, di mana waktu serasa tak berujung sementara gerakan unta dan kapal
menggambarkan kesimetrian dan koordinasi. Seorang penunggang unta yang dengan
senang hati menunggangi untanya selama perjalanan jauh dengan kecepatan pacuan
dan goyangannya yang khas, akan tampak mirip dengan pelaut di kapal yang
berlayar dengan angin saat ia berayun ke depan, ke belakang, dan ke samping di
lautan.[2]
Puisi Zuhayr bin Abī Sulmā (wafat setelah 627
M) misalnya, berusaha untuk mendeskripsikan pasir dan laut dengan pilihan kata
yang sama sensitifnya, membandingkan pemandu karavan yang menunggangi unta
mereka di gurun yang luas dengan para pelaut yang mengarungi kapal mereka
melintasi lautan.
Yaghsyā al-ḥudātu
bihim waʿts al-katsībi ka-mā
Yughsyī
as-safāʿina mawj al-lujjat al-ʿarak
Para penunggang unta membawa mereka ke
bagian-bagian yang lunak di hamparan pasir dengan cara yang sama seperti
nelayan membawa kapalnya jauh ke dalam ombak laut lepas.[3]
Selain itu, paralelisme antara kapal dengan
unta juga mencakup perbandingan antara howdah (tandu yang dipasang di atas unta)
dan punuk unta dengan layar kapal dan ombak, seperti pada ungkapan tentang
kapal-kapal yang terombang-ambing di atas aliran air dengan ombak berpunuk (fī
khalījin mughrabi). Sementara itu, kapal yang berlayar mengarungi
"ombak berpunuk" juga dibandingkan dengan unta yang didorong oleh
angin di atas bukit pasir gurun.[4]
Unta sebagai "kapal gurun" jelas
merupakan konsep yang kuat dalam menginspirasi para penyair untuk mengangkat
tema perbandingan semacam itu. Cukup masuk akal untuk mengasumsikan bahwa para
penyair itu mendasarkan ungkapan mereka tentang kapal kepada pengamatan pribadi,
dan bahwa puisi mereka dibacakan kepada hadirin yang mengenal baik perjalanan
dengan perahu atau kapal, baik di sungai maupun di laut lepas. Lalu, seperti
apakah istilah dan konsep sumber-sumber Islam awal tentang kapal?
Sebagaimana puisi klasik Arab, Quran juga
memuat sejumlah terminologi kapal, terutama safīnah, fulk, dan jāriyah.
Safīnah
Kata safīnah termasuk istilah kapal
yang paling sering muncul dalam puisi-puisi pra-Islam dan awal Islam serta
dalam Quran. Kata itu terkenal di antara orang-orang Arab dan Mesopotamia,
misalnya dalam menjuluki unta sebagai safīnat al-barr (kapal gurun).
Istilah tersebut juga muncul setidaknya tiga kali dalam Quran, yaitu dua kali
dalam surah al-Kahf (Gua, surah ke-18) dan sekali pada surah al-ʿAnkabūt
(Laba-laba, surah ke-29) yang menyinggung tentang Bahtera Nabi Nuh AS. Termasuk
pula pada konteks bahtera tersebut, kata safīnah menjadi arketipe semua
kapal yang mencapai tujuannya dengan selamat dengan dan hanya dengan rahmat Allah.
Simbolisme kapal ibarat manusia yang bergumul dengan liku-liku kehidupan dan
Bahtera Nuh AS menunjukkan bahwa takdir terletak pada kehendak Tuhan.[5]
Istilah safīnah secara umum merujuk
pada kapal laut besar yang dioperasikan dengan layar. Kata tersebut digabungkan
untuk menjelaskan fungsi yang berbeda: safīnah baḥriyyah (kapal laut
dalam), safīnah ḥarbiyyah (kapal perang), dan safīnah safariyyah
(kapal angkutan). Dalam sejarahnya, istilah itu merupakan suatu bentuk Semit
yang berakar pada kata S-F-N, “melingkupi, menutupi“. Kata Arab safīnah
kemungkinan berakar dari bahasa Aramaic, s’fina’ dan s’finta’,
yang kemungkinan bertalian dengan kata bahasa Babilonia, çâphan (saw-fan), dan kata Akadia, sapn(a)tu.[6]
Fulk
Selain itu, dalam Quran juga terdapat istilah fulk
untuk kapal. Fulk, yang muncul sekitar dua puluh tiga kali dalam
beberapa ayat Quran, adalah tipe kapal klasik yang disebutkan oleh beberapa
sejarawan dan ahli geografi Muslim dan didaftarkan oleh hampir semua leksikograf
abad pertengahan. Asalnya mungkin Laut Merah, Teluk Persia atau Samudra Hindia
Barat. Dalam istilah gramatikal, fulk (jamak: fulūk) adalah maskulin
dan feminin tetapi bisa juga digunakan secara kolektif.[7]
Munculnya fulk dalam Quran sangat
penting karena sejumlah alasan. Pertama, penggunaan metafora istilah kapal dan
pesan din yang disampaikannya terbilang mendasar. Misalnya, fulk
direpresentasikan sebagai Bahtera Nuh, dalam penyelamatan umat manusia dari
banjir besar[8].
Ia juga menjadi simbol perdagangan dan kelimpahan kehidupan yang merupakan anugerah
dan karunia Tuhan.[9]
Kedua, istilah itu mencerminkan suatu informasi bahari untuk merujuk suatu tipe
kapal tertentu, yang secara intuitif dapat disimpulkan dari bayangan kita
tentang Bahtera Nuh dan kapal kargo (penumpang); di mana digambarkan bahwa kapal
besar itu telah ditundukkan oleh Allah sehingga dapat berlayar dan mengatasi
ombak dan angin di lautan, baik itu angin yang menguntungkan, angin kencang,
maupun badai, sesuai dengan perintah-Nya sehingga dapat dimanfaatkan oleh
manusia.[10]
Meski dengan kesan cakupan penggunaan yang
menggambarkannya sebagai kapal besar dalam ayat-ayat tersebut, istilah fulk
juga digunakan untuk mencakup jenis wahana air yang lebih umum. Pada abad ke-5
M misalnya, istilah efólkion direkam dalam tulisan berbahasa Yunani yang
menggambarkan kapal kargo di Laut Merah. Lalu, dalam naskah kisah Sindbād Si
Pelaut dalam pengembaraannya yang ketiga dan keenam, terdapat rujukan istilah fulk,
yang dari konteks penggunaannya, mewakili suatu perahu cadangan atau sekoci.[11]
Menarik untuk mendapati bahwa kata fulk
(sebagai bentuk kolektif representasi kapal) dan aflāk (benda-benda
langit) sama-sama berasal dari akar yang sama, F-L-K, yang bertalian dengan
kata kerja falaka, yang lalu memberikan sedikit gambaran bahwa bentuk fulk
itu memiliki kecenderungan berbentuk membulat atau memiliki sisi-sisi tertentu
yang berbentuk seperti lengkungan atau sferik. Begitu pula kapal kargo juga
sering dikatakan memiliki lambung berbentuk bulat.[12]
Jāriyah
Selanjutnya, terdapat istilah jāriyah
yang secara populer didefinisikan memiliki akar pada kata kerja jarā “berlari
atau mengalir”, sehingga mengandung makna “suatu kapal, karena ia berjalan di
atas laut”. Dari Quran, kita dapat mengambil kesan bahwa istilah tersebut
mencakup pengertian kapal besar, seperti fulk, dan juga diasosiasikan
dengan Bahtera Nuh.
Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik
(sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera, (inna lammā ṭaghā al-māʿu ḥamalnāhum fī āl-jāriyah)[13]
Jāriyah digambarkan sebagai kapal laut dalam yang
berlayar dengan anggun di lautan. Dua ayat Quran menggambarkannya sebagai kapal
yang tinggi, menyibak mereka lewat lautan.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
kapal-kapal di tengah (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. (wa-min ayātihi al-jawāri fī l-baḥri ka-l-aʿlām)[14]
Dalam ayat lain,
Dan kepunyaan-Nya-lah bahtera-bahtera yang
tinggi layarnya di lautan laksana gunung-gunung. (wa-lahu l-jawār l-munshaʿātu fī l-baḥr ka-l-aʿlām)[15]
Simbolisme spiritual dalam ayat-ayat ini jelas.
Kapal tidak bisa bergerak tanpa angin, sama seperti manusia tidak berdaya tanpa
Pencipta-Nya. Dalam kedua ayat tersebut, kata aʿlām (tunggal: ʿalam),
diterjemahkan di sini sebagai "gunung-gunung", menyajikan gambaran tipe
kapal dengan layarnya yang luas dan tinggi, yang terbentang lebar dan tinggi
“seperti gunung” (kal-aʿlām). Penafsir Quran klasik pada umumnya
tampaknya setuju dalam pemaknaan aʿlām sebagai jibāl (gunung-gunung),
tetapi beberapa penerjemah menafsirkannya secara berbeda.[16]
Namun, menurut Agius, penggambaran kapal dan
layarnya itu sebagai gunung cenderung memiliki sisi valid dan menarik yang paling
besar. Dengan begitu, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa istilah jāriyah
itu mewakili suatu tipe kapal yang mirip dengan fulk, suatu kapal layar
besar, atau setidaknya cukup besar, yang melaju dengan mulus di atas laut.[17]
[1] Dionisius A. Agius, Classic Ships of
Islam: From Mesopotamia to the Indian Ocean, (Leiden: Brill), 277
[2] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
... , 278
[3] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 278
[4] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 279
[5] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 270
[6] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 270
[7] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 285;
[8] Q.S. Yūnus [10]: 73; [11]: 37-38; al-Mu’minūn
[23]: 27-28; asy-Syuʿarā’ [26]: 119; dan Yāsīn [36]: 41.
[9] Q.S. al-Baqarah [2]: 154; Yūnūs [10]: 22;
Ibrāhīm [14]: 32; an-Naḥl [16]: 14
[10] Q.S. al-Ḥajj [22]: 65; Q.S. al-ʿAnkabūt [29]:
65; ar-Rūm [30]: 46; Q.S. Luqmān [31]: 31; Fāṭir [35]: 12; aṣ-Ṣāffāt [37]: 140;
Q.S. al-Mu’min [40]: 80.
[11] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 286
[12] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 287
[13] Q.S. al-Ḥāqqah [69]: 11
[14] Q.S. asy-Syūrā [42]: 32
[15] Q.S. ar-Raḥmān [55]: 24
[16] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 288
[17] Dionisius A. Agius, Classic Ships of Islam
..., 289
Comments
Post a Comment