Kunjungan ke Sarajevo, Reformasi Alija Izetbegovic, dan 26 Tahun Genosida Srebrenica

 

“... we positively said that the Islamic world cannot be renewed without Islam or againts it,” Alija Izetbegovic dalam Islamska Declarasija

 

Bila kita mengenang Presiden Soeharto, terlepas dari baik-buruk pemerintahannya, kita tentu akan mengingat kunjungannya yang ikonis ke Sarajevo pada Maret 1995, lalu kita tidak boleh melupakan peristiwa memilukan di bulan Juli tahun yang sama, genosida Srebrenica, di mana lebih dari 8300 orang muslim Bosnia dibantai oleh paramiliter etnis Serb yang disokong oleh militer Serbia. Kemudian, di tengah kecamuk yang membuat Bosnia-Herzegrovina remuk redam itu, kita patut pula mengenang dan menghayati pemikiran tokoh sentral dalam perjuangan umat Islam di sana, Alija Izetbegovic, presiden pertama Bosnia yang menyambut kedatangan Pak Harto kala itu.[1]

Kunjungan ke Sarajevo dan Upaya Soeharto Merangkul Umat Islam

Kunjungan Soeharto ke Sarajevo itu menandai membaiknya hubungan rezim Orde Baru dengan kelompok-kelompok Islam yang sebelumnya selalu ia tekan, setidaknya sebagai upaya merangkul mereka oleh Pemerintah. Dengan kunjungan itu, yang memang berjalan cukup genting dan dramatis mengingat situasi keamanan di sana, Soeharto seolah ingin menunjukkan dirinya sebagai presiden yang peduli dengan permasalahan umat Islam, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Dalam bukunya, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik terhadap Islam Liberal dari H.M. Rasjidi sampai INSISTS, Tiar Anwar Bachtiar menulis:

De-Islamisasi dalam politik Orde Baru rupanya tidak menjadi pilihan politik yang dipertahankan hingga akhir masa kekuasaannya. Setelah Peristiwa Tanjung Priuk tahun 1985, UU Asas Tunggal tahun 1985 sebagai puncak tindakan represif Orde Baru terhadap umat Islam, situasi justru menjadi berubah. Soeharto kelihatannya mulai mencari dukungan dari kalangan Islam yang sebelumnya ia musuhi. Situasi berbalik ini terjadi seiring dengan perubahan peta politik dunia pada akhir tahun 1980-an.[2]

Perubahan politik dunia pada akhir tahun 1980-an yang dimaksud Bachtiar adalah meluasnya tuntutan demokratisasi dan runtuhnya sejumlah rezim non-demokratis di dunia, bila tak mau menyebut otoriter. Pada 1988, rezim komunis Uni Soviet mulai terlihat akan runtuh dengan Armenia dan Azerbaijan, dua wilayah religius Kristen dan Muslim, menuntut kemerdekaan. Tahun 1989, Polandia dan Hungaria mengalami demokratisasi. Pada November 1989, tembok Berlin runtuh, menandai bubarnya rezim Jerman Timur. Desember 1989, rezim Nicolae Ceaucescu di Rumania digulingkan. Lalu, Yugoslavia dan USSR menyusul bubar pada 1991.[3]

Di dalam negeri, sejak 1980-an, kontrol Leonardus Benny Moerdani terhadap militer semakin menguat. Hal itu membuat Soeharto khawatir akan digulingkan, sehingga memaksanya merangkul kekuatan politik Islam yang sebelumnya ia represi. Hal itu terlihat dari dukungan Soeharto terhadap pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan berbagai program turunannya seperti koran Republika, Center for Information and Development Studies (CIDES), Bank Muamalat, beasiswa ORBIT, Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK), Majelis Sinergi Kalam (MASIKA), Gerakan Wakaf Buku, hingga pendirian Internasional Islamic Forum for Science, Technology and Human Resources Development (IIFTIHAR).[4]

Soeharto pun menggeser posisi Moerdani dan mengangkat tokoh-tokoh militer dari kalangan Muslim, seperti Try Sutrisno. Tokoh-tokoh intelektual dan cendekiawan Muslim, termasuk mereka yang berafiliasi dalam politik Islam pun mulai diberikan keleluasaan. Dalam masa seperti itu, peran dan posisi B.J. Habibie sebagai seorang teknokrat profesional yang mampu menjalin hubungan dengan berbagai kelompok Islam yang berbeda pun menjadi sentral. Habibie berhasil menjadi semacam jembatan komunikasi Soeharto dengan kelompok-kelompok Islam, tidak hanya dengan kelompok Islam Liberal yang sudah cukup lama dekat dengan Soeharto, tetapi juga dengan kelompok anti-Islam liberal. Peran sentral itu mengantarkannya pula menjadi Ketua ICMI.[5]

Memang, Soeharto sebelumnya menjalankan politik belah bambu dengan mengangkat kalangan Islam Liberal, membiarkan kaum tradisionalis, dan menekan kelompok reformis Islam dan Islam politik. Setelah mendapatkan dukungan hampir seluruh umat Islam dalam menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI), rezim Orde Baru, sebagaimana pemerintahan sekuler umumnya, merasa takut dengan kekuatan politik umat Islam, terutama bekas-bekas pemimpin Masyumi yang dibubarkan di era Demokrasi Terpimpin.[6] Keinginan merehabilitasi Masyumi ditentang oleh Soeharto. Partai Muslimin Indonesia, yang ia izinkan, pun tidak boleh dipimpin oleh orang Masyumi. Kelompok Masyumi pun bergeser sepenuhnya ke ranah dakwah dengan pendirian Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII), tapi tetap dengan pengawasan ketat Pemerintah.

Tekanan terhadap NU dan kelompok tradisionalis lainnya tidak sekeras tekanan terhadap Islam politik dan reformis Islam. Hal itu karena kelompok NU dianggap masih dapat dikendalikan dan berkompromi, seperti pengalaman mereka mendukung Nasakom di era Orde Lama. Namun begitu, kebijakan depolitisasi terhadap umat Islam terus berlanjut dan mencapai puncaknya  pada penyederhanaan partai yang mengakibatkan umat Islam hanya memiliki satu jalur aspirasi politik sejak 1973, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, itu pun tidak menjalankan perannya secara efektif akibat intervensi rezim dalam setiap muktamarnya; kooptasi ulama melalui pendirian dan kontrol terhadap Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak 1975; hingga pemberlakuan Asas Tunggal pada 1985.[7]

Dalam ranah akademis pun, rezim Orde Baru menyingkirkan kelompok reformis dan tradisionalis Islam dari posisi-posisi strategis, termasuk penyusunan kurikulum. Sebagai gantinya, mereka mengangkat golongan Islam Liberal, terutama guna mendukung kampanye modernisasi dan pembangunan. Tokoh-tokoh berhaluan liberal seperti Mukti Ali dan Harun Nasution pun diangkat sebagai pejabat di Kementerian Agama dan berujung pada pergeseran rujukan kurikulum IAIN dan UIN dari Al-Azhar Mesir menjadi kurikulum yang mengacu pada studi Islam ala orientalis di kampus-kampus Barat, terutama McGill University, Kanada.[8]

Setelah periode represi itu, menyadari kontrolnya terhadap ABRI yang melemah, Soeharto mulai berusaha mengambil hati umat Islam. Ia mulai hadir dalam muktamar dan acara berbagai organisasi Islam. Ia juga berangkat haji pada 1991. Kabinet yang dibentuknya pada 1992 dan 1997 pun semakin memperlihatkan keberpihakan kepada kalangan Islam.[9] Salah satu puncaknya yang dramatis adalah kunjungan Soeharto ke Sarajevo pada 13 Maret 1995, ibukota Bosnia Herzegrovina yang tengah dikepung paramiliter etnis Serb yang disokong oleh militer Serbia. Kunjungan kontrak mati, begitulah momen itu disebut.[10]

Ketenangan Sang Jendral dalam Suasana Sarajevo yang Mencekam

Betapa tidak, hanya dua hari sebelum kunjungan The Smiley General itu, pesawat utusan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) ditembak jatuh oleh Pasukan Serbia di atas udara Bosnia. Panglima pasukan PBB di Bosnia pun tidak mengizinkan Soeharto mengunjungi Sarajevo, tapi ia tetap bersikeras datang. Setelah serangkaian perdebatan, PBB akhirnya membolehkannya terbang ke sana, dengan syarat ia harus menandatangani surat pernyataan risiko, bahwa PBB tidak akan bertanggung jawab bila sesuatu menimpa Soeharto. Itulah asalnya disebut kunjungan kontrak mati.[11]

Rombongan 14 orang Indonesia dan seorang petugas PBB pun sampai di Sarajevo. Soeharto didampingi Moerdiono, Ali Alatas, diplomat senior Nana Sutresna, ajudan Presiden Kolonel Soegijono, Komandan Grup A Pasukan Pengamanan Presiden Kolonel Sjafrie Sjamsoeddin, juru foto kepresidenan Saidi, dan beberapa awak media. Sjafrie sempat waswas karena Soeharto menolak mengenakan helm dan rompi anti peluru. Dengan tenang, ia justru memilih memakai songkok hitam. Untuk membingungkan penembak jitu Serbia yang menguasai daerah sekitar landasan, Sjafrie pun turut mengenakan kopiah hitam yang dipinjamnya dari wartawan. Selepas mendarat, mereka langsung menaiki panser Pasukan PBB dan menuju Istana Presiden Bosnia.[12]

Keadaan di sana waktu itu sangat memprihatinkan. Sarajevo porak-poranda dibombardir pasukan Serbia. Di Istana Presiden, tempat Presiden Alija Izetbegovic menyambut rombongan Indonesia, sekadar air bersih pun hampir-hampir tidak mengalir. Pun begitu, Izetbegovic sangat bahagia telah dikunjungi. Ia sampai tidak percaya rombongan Indonesia akhirnya benar-benar datang. Kunjungan itu memberikan suntikan moril kepada Bosnia yang tengah menghadapi pengepungan dan genosida, tetapi di awal-awalnya tidak banyak digubris oleh dunia, bahkan otoritas Eropa yang menekankan HAM sekalipun.[13] Sebelumnya, Izetbegovic memang sering digambarkan sebagai “orang tua yang kesepian”.[14] Di sisi lain, bagi Soeharto, kunjungan itu turut memperbaiki citranya di mata kalangan Islam di Indonesia.

“Ya kita kan tidak punya uang. Kita ini pemimpin Negara Non Blok tetapi tidak punya uang. Ada negara anggota kita susah, kita tidak bisa membantu dengan uang ya kita datang saja. Kita tengok,” demikian kata Soeharto.

Alija Izetbegovic, Reformasi Islam, dan Perjuangan Bosnia

Sejarah kunjungan itu dan genosida Srebrenica yang dibahas selanjutnya, tidak terlepas dari perjuangan seorang pria Bosnia kelahiran 8 Agustus 1925, Alija Ali Izetbegovic, yang kelak menjadi aktivis Islam, pengacara, penulis, filsuf, serta pahlawan dan Presiden Bosnia pertama. Kakeknya pernah menjadi Walikota Bosanski Samac di Bosnia bagian utara. Di situ pula ia lahir, sebelum keluarganya pindah ke Sarajevo dua tahun kemudian. Di Sarajevo, Izetbegovic memasuki First Boys’ Gymnasium High School. Ia lalu mendaftar studi agronomi di universitas, sebelum tiga tahun kemudian pindah ke Fakultas Hukum.[15]

Ayah Alija terluka parah dalam Perang Dunia (PD II) di front Italia di Piavi dan lumpuh selama sepuluh tahun terakhir hidupnya. Ibunya mengurusi lima anak: Alija sendiri, dua kakak perempuannya, dan dua adik laki-lakinya. Leluhur Izetbegovic merupakan keluarga pedagang dan prajurit di Kekhalifahan Osman. Mereka pindah dari Belgrade (kini di Serbia) ke Bosnia pada 1868. Sebelumnya, kakeknya sempat menjadi prajurit di Istanbul dan menikah dengan wanita Turki dari Iskjudar bernama Sedika. Sayangnya, bisnis keluarga ayahnya mengalami kebangkrutan sebelum pindah ke Sarajevo. Ibunya adalah wanita yang sangat religius dan mencintai agamanya. Saat masih kecil, ibunya selalu membangunkannya di waktu salat fajar untuk pergi ke musala terdekat. Dia juga mengingat bagaimana imam musala itu membaca surah ar-Raḥmān, yang menjadi favorit Alija kecil.[16]

Lahir dan besar saat dunia Islam tengah menghadapi kolonialisme Eropa, keruntuhan kekhalifahan pasca Perang Dunia I, masa sulit di antara dua perang dunia, represi rezim komunis Yugoslavia, dan konflik yang berkepanjangan antar etnis (Bosniak Muslim, Serb Ortodoks, dan Croax Katolik) tentu memberikan dampak yang besar bagi Izetbegovic. Izetbegovic muda mulai mencari jalan dan melakukan studi perbandingan terhadap berbagai ideologi yang saling bersaing di sekitarnya: nasionalisme, komunisme, fasisme, kapitalisme, sosialisme, dan pan-Islamisme. Ia banyak membaca. Dengan propaganda rezim komunis yang masif dalam koran dan pamflet edaran, Alija sempat memiliki keraguan terhadap Islam, tapi fase keraguan ini hanya berlangsung singkat. Ia pada akhirnya tidak dapat menyetujui elite komunis yang dia pandang tak berjiwa dan suka mengeksploitasi.[17]

Selain itu, Izetbegovic juga membaca karya-karya filsafat, terutama L’Evolution Creatrice karya Bergson, Critique of Pure Reason karya Kant, dan The Decline of the West karya Oswald Spengler. Lalu, semasa PD II, ia sibuk membantu para pengungsi Muslim dari Bosnia bagian timur yang datang ke Sarajevo untuk melarikan diri dari Chetniks, sebelum ia hijrah ke Posavina pada 1944 guna menghindari kewajiban militer di Kroasia. Ia tidak mau tunduk kepada fasisme Kroasia maupun kelompok komunis Josip Broz Tito.[18]

Beberapa bulan sebelum runtuhnya Kerajaan Yugoslavia pada 1941, ia mulai aktif di organisasi Young Muslims yang bertujuan untuk mengangkat harkat komunitas muslim Bosnia dan membuat mereka bangga menjadi Muslim. Organisasi itu terdiri atas pelajar, mahasiswa, guru madrasah, dan intelektual muda Muslim Bosnia di Sarajevo, Zagreb, dan berbagai tempat lain. Ia bergabung karena tertarik dengan pandangan mereka tentang Islam dan tempatnya di dalam masyarakat.[19] Pada masa PD II, organisasi itu pecah menjadi faksi Handzar yang berafiliasi dengan Jerman dan faksi pro komunis. Izetbegovic bergabung dengan faksi Handzar dan terus aktif hingga berdirinya Federasi Yugoslavia yang komunis.[20]

Karakteristik Young Muslims memiliki kemiripan dengan gerakan reformis Islam yang mengacu kepada Pan-Islamisme, sehingga lekat dengan citra sebagai gerakan Islam politik atau Islam ideologis. Mereka memberikan tantangan kepada kaum ulama yang lebih tradisional dengan pembicaraan mengenai menjadikan Islam sebagai inspirasi moral dalam kerangka modernisasi dan negara bangsa ala Barat, agar dapat menghasilkan Renaisans bagi kebudayaan Islam di Bosnia. Mereka memperdebatkan berbagai paham yang berkembang di Eropa dan posisi Islam di antara paham-paham itu, sehingga menjadi suatu kajian matriks kultural. Mereka banyak mengambil gerakan reformis di Mesir, seperti Ikhwanul Muslimin, sebagai titik pijakan, juga sejumlah gerakan di India-Pakistan, seperti Muhammad Iqbal.[21] Ini pada gilirannya mempengaruhi bagaimana Izetbegovic menuliskan sejumlah bukunya.

Setelah kaum komunis berhasil meneguhkan kekuasaan di Yugoslavia pada 1945, mereka berupaya menyingkirkan lawan-lawan ideologisnya. Kelompok Young Muslims yang tidak mau tunduk pada rezim komunis pun menjadi sasaran, meskipun mereka secara resmi bukan partai politik maupun kelompok milisi. Izetbegovic sendiri ditangkap pada 1946 akibat keterlibatannya di sana dan dijatuhi hukuman penjara tiga tahun. Setelah bebas pada 1949, ia mendaftar kuliah jurusan Agronomi, tapi pada 1954, ia pindah jurusan ke Fakultas Hukum dan lulus pada 1956. Ia lalu bekerja selama hampir sepuluh tahun untuk suatu perusahaan konstruksi.[22]

Nama Izetbegovic kembali mencuat pada 1970 saat ia menerbitkan Islamska Deklaracija (Deklarasi Islam / Islamic Declaration), suatu risalah manifesto politik yang menguraikan pandangannya tentang hubungan antara Islam dan modernisasi. Dia mengelaborasi ide pembaruan Islam melalui perpaduan tradisi Islam dengan semangat pembangunan, modernisasi dan progres ala Barat. Secara gamblang, dia menyerukan semacam reformasi agama dan politik Islam.[23] Ia menulis bahwa ada renaisans bagi umat Islam di dunia yang berusaha bangun dari keterpurukan mereka dan mencoba mengatasi kejumudan mereka.[24] Sedasawarsa kemudian, tepat di tahun kematian Tito, ia menerbitkan karya besar lain berjudul Islam between East and West.[25]

Meskipun karya-karyanya ini cenderung bersifat teoritis dan filosofis, tidak secara langsung menentang rezim komunis Yugoslavia, Pemerintah kembali menangkap dan mengadili Izetbegovic, menjatuhinya hukuman empat belas tahun penjara pada 1983. Ia dihukum karena ide-idenya itu dianggap sebagai ekstremisme dan fundamentalisme yang jelas merisaukan bagi rezim komunis.[26] Selain itu, ia dituding membahayakan bagi etnis Serbia dan Kroasia, meskipun isi buku itu tidak secara gamblang memberikan seruan revolusi bagi rakyat Bosnia. Ia dituduh sebagai seorang radikal.[27]

Akibat tekanan dalam dan luar negeri, rezim Yugoslavia akhirnya meringankan hukuman Izetbegovic dan mengeluarkannya dari penjara pada 1988. Saat itu, Federasi Yugoslavia sudah hampir runtuh karena tidak ada lagi pemimpin yang cukup kuat untuk menyatukan negara dengan masyarakat yang terbelah itu secara tangan besi seperti Tito. Kebobrokan politik dan ekonomi semakin membuat rakyat tidak puas dengan sistem Yugoslavia. Akhirnya, partai komunis kehilangan kekuatan. Sejak 1989, partai-partai politik baru bermunculan.[28] Tak ketinggalan, Izetbegovic mendirikan Partai Aksi Demokratik pada 1990 dengan basis elektoral etnis Muslim Bosniak. Pada 1990, pemilihan multi-partai pertama diadakan di Kroasia dan Slovenia.[29]

Izetbegovic melihat hal itu sebagai kesempatan untuk mewujudkan kedaulatan bagi Muslim Bosnia. Dalam pemilu itu, partainya memperoleh suara tertinggi dan ia terpilih sebagai presiden pertama dalam dewan kepresidenan Bosnia-Herzegrovina. Populasi etnis Bosnia saat itu memang cukup besar. Hal itu menimbulkan kebencian dan ketidakpuasan dari etnis Serbia. Di tengah keadaan seperti itu, perpecahan Yugoslavia tak terhindarkan. Kroasia dan Slovenia memerdekakan diri. Pemerintahan Izetbegovic lalu mengadakan referendum pada 29 Februari hingga 1 Maret 1992. Pada 3 Maret, ia menyatakan Bosnia-Herzegrovina merdeka. Kemerdekaan itu diakui oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa pada 7 April 1992.[30]

Malangnya, kemerdekaan itu justru mengantarkan Bosnia-Herzegrovina kepada perpecahan etnis. Partai Demokrat Serbia yang berbasis etnis Serb menyerukan boikot terhadap referendum tersebut. Musuh-musuhnya melancarkan kampanye negatif, melabeli Izetbegovic sebagai radikal fundamentalis yang berusaha mewujudkan negara Islam di Balkan. Namun, kedaulatan Bosnia-Herzegrovina seolah sudah menjadi harga mati bagi Izetbegovic. Ia bahkan dengan bangga mengaku bahwa inspirasi langkah politiknya bersumber dari Islam. Ia tak takut menghadapi serbuan paramiliter etnis Serb yang disokong militer Serbia.[31]

Namun, kekuatan Bosnia-Herzegrovina ternyata tak sanggup membendung bombardir yang dilancarkan oleh pasukan Serbia. Izetbegovic mungkin salah perhitungan dan menganggap bahwa negara-negara demokrasi Barat akan membantunya. Namun, Uni Eropa dan PBB awalnya enggan untuk aktif terlibat. Hal itu memperparah dan memperlama pengepungan yang dilakukan pasukan Serbia. Puncaknya, terjadi suatu peristiwa mengerikan yang menyebabkan lebih dari 8300 orang Muslim Bosnia dibantai. Peristiwa itu dinamai genosida Srebrenica dan akan dibahas pada bagian selanjutnya. Barulah setelah dianggap bahwa pasukan Serbia melewati batas kemanusiaan yang bisa ditoleransi, pasukan PBB ikut turun membantu Bosnia.

Namun, sebelum membahas genosida itu, mari kita pungkasi bagian ini dengan mengulas pandangan dan filosofi perjuangan Izetbegovic. Nyatanya, ia berhasil mewujudkan cita-cita Bosnia yang merdeka dan berdaulat sebagai negara modern yang tetap mempertahankan akar tradisi dan peradaban Islam, sebagaimana dirumuskannya dalam buku-bukunya itu. Ia teguh memperjuangkan pandangannya meski harus babak belur dan mendapat stigma negatif sebagai seorang fundamentalis. Dengan begitu, ia justru semakin berhasil memenangkan hati rakyat Bosnia.

Izetbegovic pun menjabat sebagai Presiden dalam Dewan Kepresidenan Bosnia-Herzgrovina dari 1990-2000. Ia berhasil memimpin rakyatnya melalui cobaan dan masa-masa sulit dalam peristiwa-peristiwa berdarah sekitar tahun 1995 itu. Lebih dari itu semua, ia meninggalkan banyak warisan pemikiran yang mendalam dan integral dalam upayanya mempertemukan modernisasi Barat dengan warisan peradaban Islam. Selain dua buku yang telah disebutkan, ia juga meninggalkan karya-karya lain, meliputi Problems of the Islamic Renaissance; My Flight to Freedom – Notes from Prison; The Miracle of Bosnian Resistance; Izetbegovic 96 – the Years of War and Peace; Izetbegovic 1997-2001: Speeches, Interviews, Letters; dan Memoirs.[32]

Ide Izetbegovic soal reformasi Islam setidaknya dapat digolongkan ke dalam upaya Islamisasi kaum Muslim, sebagaimana tertuang dalam Islamska Deklarasija, “A Programme for the Islamization of Muslims and the Muslim Peoples”. Ia yakin bahwa gagasannya itu mesti diperjuangkan melalui iman dan perjuangan. Deklarasi itu sendiri ditujukan kepada “umat Muslim yang tahu di mana mereka berada dan memiliki hati yang memberitahu mereka di sisi mana mereka berpihak” sehingga mereka mampu untuk “memahami konsekuensi-konsekuensi dari cinta dan ketaatan yang mengikat mereka (kepada Din)”, yaitu tanggung jawab untuk mengentaskan dunia Islam yang saat ini “berada dalam keadaan gejolak dan perubahan”.[33]

Menariknya, tatkala ia tengah menghadapi represi rezim komunis Yugoslavia hingga kepungan pasukan Serbia, ia merumuskan bahwa tantangan terbesar umat Islam bukan lagi angkatan bersenjata musuh, melainkan gagasan dan modal. Rival dan lawan peradaban dan kebudayaan Islam, baik dari Barat (seperti Amerika) maupun dari Timur (seperti Tiongkok saat ini, meskipun berwarna komunis dan state capitalism yang merupakan gagasan Barat), akan menggunakan ide dan kapital untuk terus membuat negeri-negeri Muslim berada dalam keadaan ketergantungan, bagai raksasa yang terlelap, sehingga mereka dapat mempertahankan patronasi atau hegemoni kekuasaan mereka. Ia menuliskan:

Everyone is trying to take advantage of this time of movement and change, particularly foreign powers, both East and West. Instead of their armies, they now use ideas and capital, and by a new mode of influence are once more endeavouring to accomplish the same aim: to ensure their presence and keep the Muslim nations in a state of spiritual helplessness and material and political dependence ... China, Russia and the Western countries quarrel as to who among them will extend patronage and to which part of the Muslim world.”[34]

Karena itu, Izetbegovic menyeru dunia Islam untuk melepaskan diri dari jerat hegemoni kekuatan sekuler dan memperjuangkan nasib mereka sendiri di kancah internasional, dengan cara “arrange that world according to their vision of it”.[35] Uniknya, ide ini mirip pernyataan Soekiman Wirjosandjojo yang menganggap Islam sebagai “suatu ‘hervorming stelsel’ yang berkehendak mengatur dunia menurut asas-asasnya, mengadakan perubahan menurut angan-angan Islam”.[36] Untuk mewujudkan cita itu, ia merumuskan “a synthesis of ideas heard with increasing frequency in various places and which are accorded about the same importance in all parts of the Muslim world”.[37] Gagasan itu diharapkannya untuk  dipromosikan dalam bentuk rencana-rencana aksi yang terorganisasi dengan rapi.

Menurutnya, perjuangan untuk melakukan reformasi gerakan dan cita masyarakat dunia Islam bukanlah hal baru, melainkan suatu pengalaman yang telah dilalui oleh para “syuhada” dan orang-orang besar yang berjuang dengan gagah berani secara individual maupun kelompok dalam menghadapi kekuatan “jahiliah”. Namun, pada masa kini, besaran dan kompleksitas yang tengah merundung umat Islam di seluruh dunia mengharuskan dilakukannya langkah-langkah yang sistematis dari jutaan orang, tidak lagi menjadi masalah satu suku, etnis, negara, kelompok mazhab, atau aliran saja. Ia telah menjadi masalah yang mengharuskan persatuan, suatu gagasan pan-Islamisme. Tujuannya gerakannya mesti ideal dan berjangka panjang, tapi langkahnya mesti realistis dan terukur.[38]

Dalam mengupayakan pembaruan itu, prinsip-prinsip Islam tetaplah harus menjadi akar gerakan. Hal itu karena “Islam is the single idea which has been able to excite the imagination of the Muslim peoples and to instil in them the necessary measure of discipline, inspiration and energi. No other ideal, foreign to Islam, has ever managed to hold sway in any meaningful way either in the culture or a state level”. Faktanya, semua hal besar dalam sejarah bangsa-bangsa dunia Islam, telah tercatat dalam sejarah, merupakan pencapaian yang hanya dimungkinkan dalam suatu spirit untuk berjuang di bawah bendera Islam.[39]

Oleh karena itu, menurut Izetbegovic, tidak ada modernisasi tanpa akar dalam sumber-sumber pokok Islam, baik Quran maupun Sunah. “... a people that has accepted Islam is thereafter incapable of living and dying for any other ideal ... A Muslim can die only in the name of Allah and for the glory of Islam, or flee the battlefield ... we positively said that the Islamic world cannot be renewed without Islam or against it,” tulisnya. Baginya, Islam yang telah berakar pada sanubari seseorang itu akanlah terus menjadi persepsi bagi dirinya akan tempatnya di dunia, tujuan hidupnya sebagai manusia, hubungannya dengan Allah dan dengan manusia, dan tetap menjadi landasan etis, filosofis, ideologis, dan politis untuk setiap tindakan yang otentik menuju pembaharuan dan perbaikan keadaan bangsa-bangsa Muslim.[40]

Dengan demikian, dalam model pembaharuan Izetbegovic, pilihannya hanyalah bergerak menuju pembaharuan Islam secara positif, yaitu mengakarkan kembali nilai-nilainya dalam dunia yang telah disekulerkan, atau tetap menjadi sekuler dan dualis yang berarti kepasifan dan stagnasi. Tidak ada opsi ketiga, yang dalam hal ini berarti menjadi Muslim yang sekuler atau sekuler yang Islami, karena memang tidak ada yang semacam itu, baik secara etis, filosofis, ideologis, maupun politis.[41] Bagi Izetbegovic, Quran dan Sunah membolehkan adanya pembaruan dan modernisasi, tetapi kitab itu juga memberikan batasan terhadap hal-hal yang boleh dan tidak boleh diubah. Menurutnya, model modernisasi yang dilakukan Attaturk di Turki adalah contoh negatif yang telah kehilangan akar Islamnya dan malah berujung stagnasi ekonomi serta berbagai permasalahan peradaban lainnya.[42]

Dalam rangka itu, Izetbegovic mencoba meninjau hubungan ulama dan kemodernan. Alija memandang ulama sebagai peran yang penting di dalam masyarakat, tetapi ulama yang mengalami kejumudan juga membuat masyarakat menjadi jumud. Ia mengkritisi ulama yang seolah-olah menyempitkan Islam hanya sebatas pada aspek ritual peribadatan, terutama yang memberikan porsi terlalu besar bagi fikih ritual dan melupakan aspek-aspek esensial yang lain. Ia menyebut ulama seperti itu telah menjadikan Islam sebagai bentuk tanpa isi. Sebaliknya, kaum modern yang hanya menerima gagasan modernisasi Barat tanpa mengintegrasikannya dengan ruh nilai Islam ia kritik sebagai pengusung isi tanpa bentuk yang telah kehilangan jati-dirinya. Ia menuliskan:

The idea of Islamic renewal, which understands Islam as capable not only of educating human beings but also of ordering the world, will always have two types of people as its opponents: conservatices who want the old forms, and modernists who want someone else’s forms. The former drag Islam back into the past, the latter push it toward an alien future.”[43]

Kalangan tradisionalis dan modernis (dalam konteks pertarungan pemikiran Islam di Indonesia, mungkin lebih tepat untuk disebut sebagai kalangan neo-modernis atau Islam-liberal)[44], meskipun terlihat berbeda, sejatinya sama-sama membatasi Islam hanya sebagai “religion, in the European sense of the word”, padahal dengan melihat perannya dalam sejarah dunia, Islam itu merupakan Din sekaligus Tamadun[45], yang dalam istilah Izetbegovic, merupakan “a reconfirmation of the fundamental truths on the origin of man and his mission ... that ... demand for the conjunction of faith and knowledge, morals and politics, ideals and interests”,[46] yang sederhananya, merupakan suatu sistem peradaban dan kebudayaan.

Dengan demikian, dalam mengartikulasikan tatanan Islam, bagi Izetbegovic, tidak ada sistem yang sepenuhnya Islami atau sepenuhnya tidak Islami, karena yang mewujudkan nilai Islam di dalam setiap sistem adalah manusianya, sehingga tatanan Islam itu mesti diwujudkan bukan semata sebagai perjuangan sistemis, melainkan sebagai perjuangan untuk menghadirkan masyarakat yang Islami, yang diawali dengan melakukan Islamisasi bagi individu Muslim yang telah sekuler. Dengan demikian, perjuangan menurutnya tidaklah cenderung kepada aspek politis, tetapi lebih ia tekankan pertama-tama pada aspek moral-ideologis. Hal itu karena masyarakat dibentuk oleh kumpulan individu dan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan Islami itu, setiap individu mesti mewujudkan moralitas dan ideologi Islam dalam hidupnya.

Namun begitu, peran negara atau sistem lainnya, baik besar maupun kecil, formal maupun informal, tetaplah diperlukan untuk membantu membimbing individu dan masyarakat itu ke arah jiwa yang berasaskan Islam. Ia menyayangkan banyaknya elite di dunia Islam, dari elite pendidikan, pemerintahan, perekonomian, bahkan hingga elite agama yang mengaku sebagai pembaharu, yang telah mengalami pergeseran pikiran menjadi sepenuhnya berorientasi Barat. Mereka dipandangnya justru akan memperparah kerusakan dalam dunia Islam. Ia menuliskan:

These self-styled reformers in the present-day Muslim countries may be recognized by their pride in what they should rather be ashamed of, and their shame in what they should be prud of. These are usually ‘daddy’s sons’ schooled in Europe, from which they return with a deep sense of their own inferiority towards the wealthy West and a personal superiority over the poverty-sicken and backward surroundings from which they spring. Lacking an Islamic upbringing and or any spiritual or moral links with the people, they quickly lose their elementary criteria and imagine that by destroying local ideas, customs and convictions, while introducing alien ones, they will build America – for which they have an exaggerated admiration – overnight on their home soil. They introduced the cult of a standard; instead of developing the potential of their own world, they develop desires, thus opening the way to corruption, primitivism and moral chaos.”[47]

Oleh karena itu, Izetbegovic tidak mengutamakan perdebatan soal sistem atau bentuk pemerintahan dalam perumusan gagasannya. Sebab baginya, prioritas utama umat Islam di seluruh dunia saat ini belum atau bukan pendirian suatu pemerintahan Islam, melainkan melakukan Islamisasi masyarakat Muslim yang terlanjur sekuler. Ia menganggap bahwa pemerintahan Islam tidak akan mungkin diwujudkan tanpa adanya konteks masyarakat yang Islami, apalagi jika masyarakat Muslim itu minoritas, seperti di Eropa. Selain itu, tatanan sekuler memang tengah mendominasi dunia pada era ia hidup hingga hari ini, sehingga tidak dapat diabaikan dalam perumusan strategi perjuangan. Tatanan sekuler itu telah memiliki “kaki tangan” dalam masyarakat Muslim, yaitu orang Islam yang sekuler dan berusaha mempertahankan kuasa dan oligarki mereka. Benturan yang frontal dalam perpolitikan justru rawan merugikan umat jika kekuatan dan persatuan umat masih rendah, sehingga prioritas utamanya bukanlah politik, melainkan “futuhat” spiritual. Ia menulis:

What was meant by the independence of a Muslim country in which the administration of public life fell into the hands of this type of person? How did they make use of that freedom?

By accepting foreign modes of thought and by seeking political support from foreigners, weather East or West, each of these countries voluntarily, through the mouths of their new administrators, acquiesced ro re-enslavement. A spiritual and material independence was created, embracing an alien philosophy, an alien way of life, alien aid, alien capital and alien support. These country formally achieved independence, but they did not achieve real freedom, since freedom of any kind is primarily spiritual. The independence of a people which has not first won this is soon reduced to an anthem and a flag, two very minor factors for true independence.”[48]

Perjuangan mewujudkan pemerintahan Islam dipandangnya tidak berarti sepanjang masyarakat belum menjadi Islami. Hal itu menjadi kewajiban bagi masyarakat Islam yang menjadi mayoritas di mana hampir seluruh masyarakat Muslim itu telah memiliki kesadaran, dengan tetap memberikan perlindungan kepada minoritas zimi. Namun, bagi masyarakat Muslim yang menjadi minoritas atau masyarakat Muslim mayoritas yang masih didominasi sekularisme, perjuangan mesti lebih diarahkan bagi terjaminnya pelaksanaan beragama Islam, perlindungan dari negara terhadap umat, kehidupan sehari-hari yang normal, dan perkembangan masyarakat yang terjamin. Sepanjang hal itu terpenuhi, umat Islam yang menjadi minoritas dipandang Izetbegovic wajib untuk loyal kepada negara itu, kecuali dalam urusan-urusan yang jelas haram dan dapat membahayakan Islam dan kaum Muslim minoritas itu.

Untuk itu, bentuk utama daripada pembaharuan Islam: yang digariskan oleh Izetbegovic adalah suatu kemerdekaan umat ini dari apa yang disebutnya sebagai “alien philosophy, an alien way of life, alien aid, alien capital and alien support”, yaitu yang berpangkal dalam pandangan hidup sekuler. Karena itu, kemerdekaan yang pertama kali ialah futuhat di dalam pandangan alam, suatu Islamisasi pengetahuan dan pikiran yang membebaskan insan dari jerat kebendaan. Karena itu, akar kemunduran umat ini menurut Izetbegovic adalah “the degradation or rejection of Islamic thought”. Baginya, semua keberhasilan dan kegagalan umat Islam, baik secara politik maupun moral, sejatinya hanyalah refleksi atas penerimaan kita atas Islam dan penerapannya dalam kehidupan.[49] Ia menulis:

A weakening in the influence of Islam on the practical life of the people has always been accompanied by their degradation and that of social and political institutions.”[50]

Bagi Izetbegovic, reformasi atau pembaharuan Islam adalah keharusan di tengah kejumudan dan kemunduran umat di berbagai bidang. Ia mencoba membedakan antara prinsip-prinsip dan hakikat sejati Islam dengan realitas historis masyarakat Muslim. Baginya, sering kali masyarakat Muslim itu, walaupun rutin menjalankan ritual, justru kehilangan sejumlah besar prinsip dan hakikat esensial Islam itu sendiri, sehingga menghasilkan realitas atau karakter yang mengecewakan dalam tubuh umat. Untuk itu, langkah pertama pembaruan Islam menurutnya adalah mencoba untuk menutup celah antara prinsip-prinsip dan hakikat luhur Islam dengan perilaku Muslim yang masih belum ideal. Setelah perbaikan keagamaan itu, barulah perbaikan institusional, seperti ekonomi dan politik dapat mengikuti. Baginya, perbaikan pemikiran Din menjadi panglima, sebelum perbaikan ekonomi dan politik.

Perbaikan pemikiran Islam itu lanjutnya, dimulai dari perbaikan pendidikan dan ilmu pengetahuan melalui Islamisasi dan integrasi dengan prinsip-prinsip keilmuan Islam. Sumber nilai Islam, terutama Quran, mesti menjiwai pemikiran, pengetahuan, dan keilmuan setiap Muslim, sehingga terbentuk suatu penerimaan dan praksis kontinum keislaman yang baik, yang berikutnya akan mewujudkan tatanan masyarakat yang madani, sehingga perbaikan negara, kebudayaan, dan peradaban dapat diletakkan dasarnya secara kokoh. Ia menulis:

The phenomenon of the abandonment of Islam, most frequently seen in the suppression of Islamic thought from active and vigilant life and its reduction to transience and passivity, can be most clearly observed by taking the Quran, the central truth of Islamic ideology and practice.

It should be remarked that every edvance of the Islamic peoples, every age of refinement, began with the affirmation of the Quran.

...

What was the position of the Quran at the time preceding the age of stagnation and retreat? Devotion to the Book did not cease, but it lost its active character while retaining what was irrational and mystic. The Quran lost its authority as law while gaining in sanctity as an object. In study and interpretation, wisdom yielded to air-splitting, essence to form and grandeur of thought to the skill of recitation.[51]

Melihat gagasan-gagasan itu, kita dapat melihat Izetbegovic sebagai seorang pemikir dan pemimpin yang berkarakter Islam dan sampai pada titik tertentu, selaras dengan gagasan Islamisasi sains dari para pengusungnya, yang menekankan bahwa masalah utama umat adalah masalah pengetahuan dan pemikiran yang telah menjadi sekuler. Di sisi ini, ia hampir memasuki wilayah yang digeluti oleh Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi, Seyyed Hosein Nasr, dan lain-lain. Namun, ia memanglah lebih banyak berkiprah di dunia politik dan kenegaraan daripada dunia akademis, sehingga level pengembangan idenya tidak sampai tahap filsafat Ilmu yang mendalam. Pun begitu, pemikirannya tetap patut diteliti, mengingat studi terhadap buku-bukunya masih jarang ada di Indonesia, apalagi perbandingannya dengan pemimpin gerakan Islam di Indonesia macam Tjokroaminoto, Ahmad Dahlan, Wachid Hasyim, Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, Natsir, Soekiman Wirjosandjojo, dll.

 

Genosida Srebrenica: 8300 Lebih Muslim Syahid

Setelah cukup berpanjang-lebar mengulas tentang kunjungan Presiden Soeharto ke Sarajevo dan pemikiran serta perjuangan Presiden Alija Izetbegovic, sekarang kita beranjak kepada refleksi atas peringatan 26 tahun genosida Srebrenica. Bukanlah maksud tulisan ini untuk menjelaskan kronologi peristiwa yang disebut oleh Kofi Annan sebagai pembantaian paling sadis di Eropa pasca-Perang Dunia II tersebut. Namun, mengingat cukup banyak orang Indonesia yang tidak tahu tentangnya, alangkah baiknya hal itu dituliskan secara singkat di sini sebagai pendahuluan atas refleksinya.[52]

Sebagaimana kita tahu, Republik Bosnia-Herzegrovina dahulu pernah menjadi wilayah Kesultanan Osman, yang membawa Din Islam ke sana, dan Kekaisaran Austria-Hongaria. Orang Slavic yang masuk Islam lalu disebut etnis Bosniak, yang memilih Kristen Ortodoks Timur disebut etnis Serb, dan yang beragama Katolik disebut etnis Croat. Singkat cerita, kedua imperium itu melemah dan runtuh setelah kalah di The Great War, sehingga Peter I dari Serbia melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Yugoslavia yang diakui internasional sejak 1922.[53]

Pada 1941, Kerajaan Yugoslavia diserbu Poros Aksis sehingga kekuatan raja tidak lagi efektif. Pada 1943, berdirilah Partai Federal Demokratik Yugoslavia yang berhaluan komunis. Monarki di sana dilucuti penuh pada 1946 sebelum Republik Rakyat Federal Yugoslavia diresmikan pada 1946, setelah kemenangan partai komunis itu dalam pemilu. Pada 1963, negara itu berganti nama menjadi Republik Federal Sosialis Yugoslavia. Front sosialis-komunis makin kuat dengan tampilnya Josip Broz Tito sebagai presiden (1953-1980) dan perdana menteri (1944-1963).[54]

Namun, sepeninggal Tito, diperparah dengan kondisi ekonomi yang buruk, dorongan demokratisasi menguat. Pada 1989, partai-partai baru bermunculan dan partai komunis yang sebelumnya berkuasa semakin kehilangan pamornya. Pemilu banyak partai pertama diadakan di wilayah Kroasia dan Slovenia pada 1990. Setahun kemudian, keduanya mendeklarasikan kemerdekaan dari Yugoslavia. Sebagaimana dibahas dalam riwayat Izetbegovic, yang saat itu terpilih sebagai presiden utama dalam dewan kepresidenan wilayah Bosnia-Herzegrovina, momentum itu dimanfaatkan Izetbegovic untuk turut memperjuangkan kemerdekaan Bosnia yang berdaulat, dengan menggelar referendum. Ringkasnya, Bosnia-Herzegrovina akhirnya merdeka pada 3 Maret 1992.[55]

Namun, etnis Serb yang ada di wilayah Bosnia-Herzegrovina tidak setuju dengan kemerdekaan itu karena mereka bercita-cita mendirikan Serbia Raya atau Republica Srpska. Sejak awal, mereka telah berusaha menggagalkan referendum itu. Ketegangan antar-etnis itu pun semakin memuncak hingga berujung pengepungan Sarajevo (2 April 1992-29 Februari 1996), ibukota Bosnia, oleh gabungan tentara paramiliter etnis Serb (VRS) yang berasal dari wilayah Bosnia pimpinan Ratko Mladic – mantan anggota Liga Komunis Yugoslavia, pasukan Scorpion yang didukung oleh Pemerintahan Slobodan Milosevic di Serbia, dan Tentara Rakyat Yugoslavia (JNA), dan pembantaian di Srebrenica pada 11 Juli 1995, di sekitar 8.372 orang Bosnia – mayoritas laki-laki – di dalam dan sekitar kota itu dibunuh.[56]

Srebrenica merupakan kota yang terletak di ujung Timur Bosnia, dekat perbatasan dengan Serbia. Pasukan gabungan Serbia itu sebelumnya meluluh-lantakkan Bratunac. Mereka membakar desa-desa dan menganiaya hingga membunuh warga. Sekitar 1.156 warga Bratunac tewas dan sisanya mengungsi ke Srebrenica. Kota itu akhirnya dikepung dan dibombardir. Tampaknya, Pemerintah Bosnia awalnya menganggap bahwa tentara mereka mampu mempertahankan diri, tetapi pasukan gabungan Serbia terbukti lebih superior, unggul jumlah, dan berhasil menguasai saluran sumber daya penting seperti, seperti suplai air dan energi. Kelaparan masal membuat pihak Bosnia makin sulit bertahan.[57]

Memasuki 1995, PBB sempat mencoba turun-tangan dengan membentuk pasukan UNPROFOR yang berisikan 400 tentara asal Belanda. Namun, pada 4 Juni 1995, pasukan Serbia sepenuhnya menguasai Srebrenica. Pada 6 Juli, pasukan Serbia mulai menggempur pos-pos tentara Belanda, memasuki kamp-kamp pengungsian, dan melakukan penangkapan terhadap etnis Bosnia. Menjelang 11 Juli, mereka memisahkan laki-laki etnis Bosnia berumur 12-77 tahun. Pembantaian pun dimulai, tak ketinggalan kasus penganiayaan dan pemerkosaan. Pembantaian berlangsung setidaknya sampai 22 Juli.[58]

Setelah pembantaian itu, barulah NATO bergerak lebih aktif membantu Bosnia. Akhir Agustus, pasukan NATO melakukan serangan udara dan memukul mundur pasukan Serbia. Lalu, pada November 1995, Presiden Izetbegovic dan Presiden Slobodan Milosevic melakukan perundingan yang disponsori oleh Amerika Serikat di Wright-Patterson Air Force, Dayton, Ohio, yang dikenal sebagai Dayton Accords. Hasil negosiasi itu disepakati pada 21 November dan ditandatangani pada Desember 1995. Perjanjian itu mengakui Bosnia-Herzegrovina sebagai satu negara yang berdaulat yang terdiri atas dua bagian: federasi Bosniak-Croat dan Republik Serb Bosnia, dengan Sarajevo tetap sebagai ibukota yang tidak terbagi.[59]

 

Refleksi 26 Tahun: Membangun Ulang Kehidupan dan Perjuangan Ilmu Pengetahuan

Sebagai bangsa yang meyakini bahwa “kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”, apalagi sebagai umat Islam yang mengimani bahwa perjuangan merebut kemerdekaan itu berhasil “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai implementasi dari landasan hidup berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sudah sepatutnyalah kita menghidmati perjuangan saudara-saudara kita di Bosnia itu. Mereka dengan amat gigih memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa dan negara serta keluhuran Din dan Tamadun Islam, sebagaimana yang digariskan dalam pemikiran Izetbegovic.

Mereka tidak silau dengan kekayaan kapitalisme Barat atau gegap-gempita komunis Soviet, malahan selalu berusaha kembali kepada akar diri mereka yang sebenarnya, Islam, dengan berupaya untuk memurnikannya dari segala penyimpangan dan mengijtihadkan hal-hal yang memang diberikan fleksibilitas di dalamnya oleh syarak. Semangat peradaban dan kebudayaan itu diperjuangkan secara istikamah dalam kerangka platform kehidupan bernegara secara modern, mengadopsi sains dan teknologi Eropa sambil melakukan integrasi nilai-nilai Islam ke dalamnya. Memanglah masih banyak permasalahan di sana, tetapi kehidupan kembali ditata, dan alangkah indahnya, menurut prinsip-prinsip Islam.

Meski kita akui, Bosnia-Herzegrovina tidaklah bebas dari sekularisme, bahkan dapat dikatakan bahwa paham sekularisme masih cukup dominan di sana. Namun, warisan perjuangan Islam di kawasan itu tidak dapat seluruhnya diabaikan. Tulisan-tulisan Izetbegovic dan berbagai pejuang lainnya yang mungkin tidak kita kenali, amatlah laik untuk kita pelajari dan kita ambil saripati kebaikannya buat menambah perbendaharaan dalam perjuangan kita di dalam negeri. Izetbegovic terutama telah terbukti mampu memperjuangkan nilai-nilai peradaban dan kebudayaan Islam dalam kerangka platform negara republik modern, sesuatu yang setara dengan perjuangan para pendahulu kita seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Abikoesno Tjokrosoejoso, M. Natsir, H. Agus Salim, Soekiman Wirjosandjojo, dan lain-lain.

Sayangnya, masih sedikit sekali generasi muda pejuang di tanah air yang mempelajari pemikiran-pemikiran berbobot semacam itu, khususnya Izetbegovic. Padahal, apa yang dihadapinya memiliki irisan atau kemiripan dengan apa yang para pendahulu kita dan generasi kita hadapi. Ia pernah menghadapi rezim komunis Broz Tito, pernah pula menghadapi konflik antar-etnis dan antar-agama, dan ia pula menghadapi suatu masyarakat yang terpecah, divided nation, sebagaimana yang ada di negeri kita ini. Pikirannya yang luas dalam skala peradaban dan langkahnya yang realistis dan sistematis dalam skala platform adalah sesuatu yang pantas kita pelajari, terutama yang dituangkan dalam dua adikaryanya, Islamska Deklarasija dan Islam: Between East and West.

Pikiran dan perjuangan Izetbegovic yang terperikan dalam buku-buku itu dan kegigihan seluruh rakyat Bosnia dalam mempertahankan kemerdekaan dan keislaman tidak hanya teruji dalam sejarah pengepungan Sarajevo dan genosida di Srebrenica itu, tetapi juga setelahnya. Mereka adalah insan adabi yang tidak bertindak atas nafsu menuntut balas. Alih-alih menghendaki kerusakan pada lawan, mereka memilih untuk membangun kehidupan dan keadaban. Mereka tidak mewarisi dendam dari yang gugur, tetapi melanjutkan cita perjuangan para syuhada. Mungkin mereka masih menangisi atau meratapi 8.372 nama yang gugur, tapi mereka merancang langkah ke depan dengan seksama.

Hal itu mesti mengingatkan kita, tak peduli betapa sulitnya tantangan kita, betapa kuatnya lawan kita, dan/atau betapa tidak-idealnya keislaman kita saat ini, selagi masih ada kesempatan untuk berbenah, masih ada benih untuk ditanam, maka perjuangan masih harus dilanjutkan, seperti kata Izetbegovic, “The Islamic world is not a desert; it is virgin soil awaiting the ploughman’s hand,”[60] atau seperti kata Diponegoro, “Kang duwe lakon Sira, datan ana liyan maning-maning.”[61] Kitalah yang mesti berjuang, menjadi tangan yang merawat benih itu.

 



[1] Ali Mansur, Karta Raharja Ucu, “Rompi, Peci, dan Kontrak Mati Soeharto di Sarajevo”, Republika, Selarung, Kamis, 12 Maret 2020. (Diakses pada 17 Juli 2021 di  laman https://www.republika.co.id/berita//q7142y282/rompi-peci-dan-kontrak-mati-soeharto-di-sarajevo)

[2] Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia: Kritik-kritik Terhadap Islam Liberal dari H.M. Rasjidi Sampai INSISTS, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2017), hal. 31

[3] Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia ..., hal. 31

[4] Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia ..., hal. 35

[5] Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia ..., hal. 32-33

[6] Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia ..., hal. 23

[7] Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia ..., hal. 24-29

[8] Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia ..., hal. 30-31

[9] Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia ..., hal. 36

[10] Ali Mansur, Karta Raharja Ucu, “Rompi, Peci, ...

[11] Ali Mansur, Karta Raharja Ucu, “Rompi, Peci, ...

[12] Ali Mansur, Karta Raharja Ucu, “Rompi, Peci, ...

[13] Ali Mansur, Karta Raharja Ucu, “Rompi, Peci, ...

[14] Fadrik Aziz Firdausi, “Alija Izetbegovic: dari 'Deklarasi Islam' hingga Kemerdekaan Bosnia”, Tirto ID, Politik, 19 Oktober 2019. (Diakses pada 17 Juli 2021 di laman  https://tirto.id/alija-izetbegovic-dari-deklarasi-islam-hingga-kemerdekaan-bosnia-ejXW )

[15] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)”, Islamic Studies, Vol. 43, No. 1 (Islamic Research Institute, Internasional Islamic University, Islamabad: Spring 2004), hal. 181

[16] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., hal. 182

[17] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., hal. 182

[18] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., hal. 183

[19] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., hal. 183

[20] Fadrik Aziz Firdausi, “Alija Izetbegovic: dari 'Deklarasi Islam' ...

[21] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., hal. 183-184

[22] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., 185

[23] Fadrik Aziz Firdausi, “Alija Izetbegovic: dari 'Deklarasi Islam' ...

[24] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., 185

[25] Fadrik Aziz Firdausi, “Alija Izetbegovic: dari 'Deklarasi Islam' ...

[26] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., 185

[27] Fadrik Aziz Firdausi, “Alija Izetbegovic: dari 'Deklarasi Islam' ...

[28] Fadrik Aziz Firdausi, “Alija Izetbegovic: dari 'Deklarasi Islam' ...

[29] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., 185

[30] Fadrik Aziz Firdausi, “Alija Izetbegovic: dari 'Deklarasi Islam' ...

[31] Fadrik Aziz Firdausi, “Alija Izetbegovic: dari 'Deklarasi Islam' ...

[32] Enes Karic, “Orbituaries: Alija Izetbegovic (1925-2003)” ..., 186

[33] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration: A Programme for the Islamization of Muslim and the Muslim Peoples, (Sarajevo: 1990), hal. 3

[34] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 3

[35] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 4

[36] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, Editor: Amir Hamzah Wiryo Sukarto, (Malang: YP2LPM, 1984), hal. 21

[37] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 4

[38] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 4-5

[39] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 5-6

[40] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 6-7

[41] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 7

[42] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 11-14

[43] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 8

[44] Selanjutnya lihat Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia ..., hal. 15-20

[45] Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya, (Ponorogo: CIOS-ISID-Gontpr, 2010, hal. 2

[46] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 8

[47] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 10

[48] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 15

[49] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 16

[50] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 16

[51] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 19

[52] Akhmad Muawal Hasan, “Tragedi Pembantaian Ribuan Muslim di Srebrenica”, Tirto, Politik, 11 Juli 2018, (Diakses pada 17 Juli 2021 di laman https://tirto.id/tragedi-pembantaian-ribuan-muslim-di-srebrenica-cNP8 )

[53] Akhmad Muawal Hasan, “Tragedi Pembantaian Ribuan Muslim ...

[54] Akhmad Muawal Hasan, “Tragedi Pembantaian Ribuan Muslim ...

[55] Akhmad Muawal Hasan, “Tragedi Pembantaian Ribuan Muslim ...

[56] Akhmad Muawal Hasan, “Tragedi Pembantaian Ribuan Muslim ...

[57] Akhmad Muawal Hasan, “Tragedi Pembantaian Ribuan Muslim ...

[58] Bill Clinton, “Dayton Accords: General Framework Agreement for Peace”, Encyclopedia Britannica Online, 14 November 2020. (Diakses pada 17 Juli 2021 di laman https://www.britannica.com/event/Dayton-Accords )

[59] Bill Clinton, “Dayton Accords ...

[60] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration ..., hal. 77

[61] Yang punya peran adalah kamu, sebab tak ada lagi yang lain, atau dengan kata lain, kamu bertanggungjawab untuk berperan. Lihat Peter Carey, Asal Usul Perang Jawa : Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hal. xxii dan 177


Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee