“Pendirian Sekolah Tinggi Islam” Menurut Soekiman Wirjosandjojo

 


Mungkin nama Soekiman Wirjosandjojo tak banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia saat ini, bahkan pula oleh aktivis dakwah Islam. Padahal, peran Soekiman dalam perjuangan kemerdekaan dan dakwah tidaklah kecil, termasuk dalam dunia pendidikan Islam.

Soekiman adalah Perdana Menteri Republik Indonesia ke-6, menjabat pada 1951-1952. Antara 1945-1949, ia pernah menjadi Ketua Dewan Partai Masyumi, anggota BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan), anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), anggota Dewan Penasihat Tinggi RI, Menteri Dalam Negeri Kabinet Hatta I, dan anggota delegasi KMB (Konferensi Meja Bundar). Dia juga pernah aktif dalam Sarekat Islam dan menjadi Penasihat PP Muhammadiyah.[1]

Dalam bidang pendidikan, Soekiman turut berperan dalam pembangunan Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Namanya dijadikan nama sebuah gedung di kampus tersebut. Ia juga pelopor dokter spesialis paru-paru di Indonesia, setelah lulus dari STOVIA Jakarta pada 1923 dan memperoleh gelar dokter penuh di Universitas Amsterdam.[2] Sebagai dokter, ia berpraktik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan klinik pribadinya, dekat Keraton Pakualaman.[3]

Sebelum cita-cita pendirian perguruan tinggi Islam itu terwujud, Soekiman dan para pemimpin Masyumi yang bersama-sama menggagasnya telah mempersiapkan jauh-jauh hari ide-ide yang melandasinya. Salah satu pemikiran Soekiman soal pendidikan itu ia tuangkan dalam tulisannya yang diterbitkan dalam Pedoman Masyarakat di Medan pada 10 Mei 1939, yang berjudul Pendirian Sekolah Tinggi Islam. Artikel itu kemudian turut dibukukan dalam kumpulan tulisan Soekiman berjudul “Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot” dengan editor Amir Hamzah Wirjosukarto.

Menurut Soekiman, akar masalah pendidikan di Indonesia adalah sekularisme yang ditanamkan oleh pemerintah kolonial. Akibat sekularisme itu, terjadi dikotomi antara “ilmu pengetahuan umum” atau “sains modern” (modern wetenschaap) dengan “ilmu din”, sehingga menimbulkan jurang yang besar antara kalangan “Intellectueelen” dan kalangan ulama.

Celah itu pada akhirnya dimanfaatkan oleh penguasa kolonial untuk memecah-belah perjuangan kemerdekaan umat Islam di negeri jajahan, melalui perbedaan pandangan hidup dan pengetahuan. Terutama menjelang kemerdekaan dan saat penyusunan dasar negara, konstitusi, dan berbagai fundamen esensial lain dalam bernegara, perbedaan pandangan hidup dan pengetahuan itu terbukti menimbulkan konflik berkepanjangan.

“Kyai dan penghulu-penghulu kebanyakan tidak mengenal pengetahuan umum, sedang sebaliknya intellectueelen tidak mendapat pengajaran Islam. Dengan itu, santri-santri dan intellectueelen menjadi jauh dalam pergaulan. Kaum Kyai tidak bisa memasuki dalam kalangan intellectueel sebab tidak punya pengetahuan umum; tetapi sebaliknya kaum Domine bisa masuk dalam kalangan intellectueelen sebab mereka punya pengetahuan umum.”[4] 

Perbedaan itu timbul akibat kaum “intelektual” dididik dalam sekolah-sekolah Belanda yang tidak mengajarkan agama Islam atau mengajarkannya dalam kadar yang tidak sesuai. Hal itu membuat pola pikir mereka tidak lagi sebagai bumiputra muslim yang berjuang, tetapi sebagai kalangan elite, sinyo yang ter-Eropa-kan. Atau jika pun mereka sadar dan menjadi pejuang, perjuangannya akan dilandasi oleh falsafah yang sekuler pula.

Di sisi lain, kalangan ulama tradisional tidak dapat mengakses – atau bahkan sebagian menolak – mempelajari sains modern, karena tidak diberi kesempatan oleh pemerintah kolonial, tidak memiliki ongkos, anti dengan sains yang dianggap “produk penjajah”, atau alasan lain. Dengan masyarakat papan menengah atasnya yang semakin ter-Barat-kan, “metode lama” para kiai tradisional itu pun tak mampu lagi meyakinkan mereka atau tak mampu menjawab tantangan pemikiran zaman itu.

Intellectueelen dulu tidak suka mempelajari agamanya karena kaum ulama, Kyai dan guru-guru besar agama Islam di Indonesia umumnya tidak punya pengetahuan umum, sehingga pihak Intellectueelen tidak bisa campur padanya. Sebaliknya, pihak Kyai dan sebagainya itu tidak bisa bercampur dengan intellectueelen itu, karena kepandaiannya tidak bisa selaras dengan intellectueelen itu.”[5]

Untuk mengatasi permasalahan itu, sekularisme harus dienyahkan dari tata kelola pendidikan.

“Sila pertama dari Pancasila dan mata pelajaran Agama yang diwajibkan dari sekolah Dasar sampai di Perguruan Tinggi merupakan unsur pendidikan yang mutlak. Malah sudah dijadikan pula doktrin dalam pembangunan dan pembentukan corak kepribadian bangsa kita. Itu berarti bahwa dalam hidup kita, agama tak dapat dan tak boleh dipisahkan. Dus pendidikan agama  adalah syarat dan unsur mutlak.

Pendidikan / pengajaran ilmu agama dan ilmu keduniaan harus seimbang pula. Bagi paham sekularisme yang mengutamakan unsur keduniaan saja, tidak ada tempatnya di Indonesia”[6]

Untuk mengupayakan de-sekularisasi tersebut, lembaga pendidikan yang menjalankan konsep integrasi ilmu atau Islamisasi sains mesti didirikan, dari tingkat dasar sampai universitas. Selain itu, lembaga itu harus melahirkan kader pemimpin atau birokrat untuk memenuhi cita-cita “zelf-bestuur” yang Islami.

“Untuk pembangunan sekolah luhur Islam itu perlu di bawahnya ada sekolah rendah Islam yang mendapat pelajaran Islam dan pelajaran umum, dan di sampingnya itu diadakan pula sekolah untuk Kyai dan penghulu supaya mendapat pelajaran pengetahuan umum ... Dalam sekolah itu orang akan dapatkan dua aliran, ialah yang ingin mendapat pengetahuan umum dan sebagian ingin menjabat pangkat tinggi.”[7]

Agar lembaga pendidikan semacam itu dapat terwujud, para pendidik yang menguasai ilmu Din dan sains modern serta memahami perlunya upaya integrasi ilmu atau Islamisasi sains perlu dicetak, terutama mengambil dari kader-kader gabungan ormas Islam.

“Untuk mencapai cita-cita  sekolah tinggi itu, perlu sekali leerkracht (tenaga pengajar) ialah guru-guru, buat ini lebih dahulu guru-guru dari NU dan Muhammadiyah dan sebagainya diberi pelajaran dari sekolah tinggi itu tentang wetenschaap, kemudian akan bisa menjadi guru besar dalam sekolah yang dimaksudkan.”[8]

Hoogleeraar (dosen akademis umum) akan memberi pelajaran kepada Kyai dan ulama-ulama yang sudah pandai tentang Islam, yang mana akan menjadi guru dalam sekolah tersebut ... Diterangkan bahwa dari Al Azhar akan membantu kirim 3 orang guru dengan dipikul sendiri ongkosnya dari sana ... Dari itulah guru-guru dari sana itu hanya buat memberi pelajaran kepada calon-calon guru di sini saja yang sudah pandai dalam urusan Islam, supaya bisa mendapat pengetahuan umum. Hoogleeraren itu Cuma sebagai pengawas dari guru-guru di sini sendiri.”[9]

Kursus bagi alim-ulama yang telah mapan dalam ilmu agama itu supaya menguasai pula ilmu pengetahuan umum dan konsep Islamisasi sains merupakan “cara cepat” untuk menghasilkan guru-guru dan dosen-dosen yang ahli dan profesional dalam bidangnya masing-masing sekaligus berlandaskan falsafah atau pandangan alam Islam, yang memang masih sedikit sekali jumlahnya, apalagi dalam tataran perguruan tinggi.

“Kita di Indonesia sudah ada doktor in de letterkunde (bidang literatur / sastra), in de rechten (bidang hukum) dan sebagainya, tetapi tidak punya doktor in de Islam.”[10]

Di Indonesia, sudah banyak orang yang pandai agama Islam, tetapi tidak mempunyai kennis wetenschaap (ilmu pengetahuan umum) sama sekali.”[11]

“Keadaan sekarang ini kemajuan Islam jalannya pincang karena sampai ini waktu kita belum punya doktoren dan professoren in de Islam atau doktoren in de filosofie dan sebagainya.”[12]

Selain itu, kurikulum harus direncanakan secara matang dan kepustakaan yang baik harus disediakan, termasuk literatur warisan klasik Islam. Asrama atau pesantren kampus pun perlu disediakan agar peserta-didik mampu menginternalisasi aspek keadaban dengan lebih utuh.

“... sekolah itu perlu dapat ajaran bahasa Arab, tafsir, hadis, tauhid, dan ilmu-ilmu Islam lain dan juga pengetahuan seperti adat recht, Volkenkunde Indonesia, ilmu hukum Indonesia, dan sebagainya … Sekolah itu perlu pakai internaat (asrama atau pesantren), supaya anak-anak itu bisa menjalankan praktiknya (kehidupan keadaban Islam), jangan tahu tentang teori saja … Dalam sekolah tersebut, perlu pula ada bibliotheek … Seorang ahli di Perancis sudah menjanjikan akan menyokong pengumpulan bibliotheek Islam (yang dirampas pemerintah kolonial) … karena negeri itu ada mempunyai tanah-tanah jajahan yang penduduknya beragama Islam.”[13]

Selain itu, perlu dilakukan gerakan penerjemahan besar-besaran terhadap semua kepustakaan yang telah dikumpulkan untuk memperkaya bahasa Indonesia dan Melayu dengan penyerapan istilah, memudahkan pemahaman, dan membantu upaya Islamisasi sains.

“Sekolah luhur itu akan diusahakan supaya tidak perlu pakai bahasa asing lagi, agar bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa perantaraan dan bahasa wetenschaap. Juga sekolah yang memakai bahasa Melayu itu dari tanah Malaka, Johor, Straits (Singapura), dan sebagainya bisa ditarik kemari.”[14]

Soekiman menyadari betul kegemilangan peradaban Islam di masa lalu yang mesti diperjuangkan lagi kebangkitannya kini.

“Selain daripada kewajiban mencari, menyelidiki dan mengajarkan ilmu itu diperintahkan Agama, sebagaimana dahulu dengan rajin dan sukses dilaksanakan oleh pemerintahan dinasti Abbasiyah di Baghdad ... dan di Cordova, Granada, Andalusia ... di jaman Khalifah Abdurrahman III (912-961) dan Al-Hakim II (961-976), di waktu mana Barat masih diliputi awan kegelapan dan kejahiliyahan, peradaban dan karya ilmiah Islam sudah sangat tersohor dan memancarkan sinar ketinggiannya atas Eropa dan seluruh dunia ...”[15]

Pengusahaan institusi pendidikan Islam semacam itu, menurut Soekiman, mestinya menjadi kewajiban Pemerintah dari negeri yang mayoritasnya umat Islam ini. Namun, tidak selamanya Pemerintah berkehendak untuk melaksanakannya atau adanya ketidakcocokan dari masyarakat terhadap konsep sekolah tinggi dan sekolah rendah Islam ala Pemerintah, karena beragam dan dinamisnya kelompok-kelompok Islam dalam masyarakat itu dan kekhawatiran atas intervensi politis dari Pemerintah yang acapkali masih bercorak sekuler.

Tentang organisasi tidak perlu terlalu dipusingkan, itu semua bisa diserahkan kepada perhimpunan-perhimpunan yang sudah ada dan zelfbestuur-zelfbestuur yang semuanya beragama Islam, dan hal itu nantinya bisa minta subsidi pada Pemerintah, dan kemudian juga bisa diserahkan kepada Pemerintah sama sekali, karena itu memang ada kewajibannya Pemerintah ... Sebagai sekolahan tinggi buat technisch di Bandung dulu dari tangan particulier (partikelir), tetapi sekarang sudah menjadi sekolah Pemerintah sendiri, yang diurus oleh Pemerintah”[16]

Karena itu, pengusahaan lembaga pendidikan Islam seperti itu secara partikelir oleh lembaga-lembaga keumatan diharapkan menjadi langkah utama. Memang hal itu tidak mudah mengingat banyak terjadi keterbatasan finansial dalam tubuh umat. Selain itu, umat juga mengalami masalah lintas bidang atau aspek yang sama-sama urgen dan perlu diselesaikan, sehingga mesti ada pembagian sumber daya secara cermat. Namun, jika bagian-bagian dalam tubuh umat itu mau bersatu dan bekerja sama, semua kesulitan itu akan dapat diatasi.

“Untuk memikul beban yang begitu berat, uang kas mesjid bisa diminta ... Kas mesjid itu bukan uang Pemerintah, tetapi uang umat, jadi kalau digunakan buat keperluan Islam ada pada tempatnya ... Buat mencapai cita-cita dan kemauan itu, diminta sokongan di mana-mana supaya mendirikan komite, guna cari uang dan propaganda. Dari rakyat yang sudah melarat itu, bisa dikumpulkan juga biar tidak banyak, tapi dari sedikit dan asal punya kemauan keras akan tercapai juga maksud itu ... Maka dari itu, cita-cita itu wajib kita kerjakan dan di belakang hari diminta supaya segala hal itu dipikul oleh negeri kita yang mempunyai banyak penduduk (rakyat Islam). Maka, jika badang particulier itu sudah memulai punya inisiatif demikian, di belakang hari ada harapan Pemerintah akan suka mengambil over itu.”[17]


Kunjungi pula IG: https://www.instagram.com/academiadaluzblanca/?hl=id 


Sumber:

Handrianto, Budi. 2019. Islamisasi Sains: Sebuah Upaya Mengislamkan Sains Barat Modern. Jakarta: INSISTS.

Hardianti. 2018. Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M). Jurusan Sejarah Peradaban Islam. Fakultas Adab dan Humaniora. UIN Sunan Ampel Surabaya.

Wirjosandjojo, Soekiman. 1984. Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot. Editor: Amir Hamzah Wiryo Sukarto. Malang: YP2LPM.



[1] Hardianti, “Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M)”, Skripsi, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, (Surabaya: UIN Sunan Ampel, 2018), 40-41

[2] Ibid., 23-24

[3] Ibid., 24-25

[4] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, Editor Amir Hamzah Wiryosukarto, (Malang: YP2LPM, 1984), 27.

[5] Ibid., 27

[6] Ibid., 313

[7] Ibid., 28

[8] Ibid., 28

[9] Ibid., 30

[10] Ibid., 29

[11] Ibid., 30

[12] Ibid., 31

[13] Ibid., 29

[14] Ibid., 29

[15] Ibid., 311-312

[16] Ibid., 30

[17] Ibid., 31

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan