Biografi Sebagai Satuan Sejarah, Menurut Kuntowijoyo

 


Umum

Menurut Kuntowijoyo, ahli sejarah yang masyhur itu, biografi atau catatan hidup tentang seseorang termasuk ke dalam naskah sejarah, sama halnya dengan sejarah kota, negara, atau bangsa. Meskipun sangat mikro, biografi dapat dianggap bagian dari mosaik sejarah yang lebih besar. Malah ada pendapat yang mengatakan bahwa sejarah adalah penjumlahan dari biografi-biografi. Memang lewat biografi, dapat dipahami para pelaku sejarah, zaman yang menjadi latar belakang kehidupannya, dan lingkungan sosial-politiknya. Namun, bisa pula sebuah biografi tidak perlu menulis tentang hero yang menentukan jalan sejarah, cukup partisipan, bahkan mereka yang tak diketahui atau terlupakan. Namun, tidak menulis seorang tokoh tentu memiliki risiko tersendiri.[1]

Meskipun memiliki potensi sebagai teks sejarah, sayangnya banyak biografi tidak ditulis oleh sejarawan, tetapi ditulis oleh jurnalis atau pengarang yang bukan sejarawan. Banyak mahasiswa atau sejarawan yang belum menggeluti biografi. Kesulitan mencari sumber, terutama wawancara narasumber, memang memberikan hambatan yang cukup besar. Apalagi jika narasumber itu mesti ditanya tentang isu-isu sensitif atau rahasia. Meski begitu, penulisan biografi itu tetaplah berharga untuk digeluti, sebab bisa menjadi sarana latihan menulis buat para mahasiswa sejarah atau sejarawan muda.[2]

Otobiografi dan Memoar

Selain biografi, ada otobiografi, yaitu biografi yang ditulis sendiri. Dengan otobiografi yang dilahirkan dari tangan pertama, diharapkan bahwa sejarah dapat dipahami dengan lebih baik. Kekuatannya terletak pada keterpaduan yang utuh (koherensi) sehingga pembaca tahu bagaimana penulis memahami diri, lingkungan sosial-budaya, dan zamannya. Otobiografi merupakan refleksi yang otentik dari pengalaman seseorang. Meski begitu, ia memiliki kelemahan sebab pandangannya yang parsial terhadap sejarah zamannya. Hal itu karena mungkin orang yang menulis otobiografi itu tidak mengalami sejarah secara keseluruhan. Selain itu, otobiografi memang cenderung subjektif dan hanya mencakup proses sejarah yang belum final karena hanya ditulis sampai saat naskah itu dikerjakan dalam masa hidupnya. Meski begitu, otobiografi bisa juga ditulis oleh orang lain berdasarkan penuturan orang yang otobiografinya ditulis itu. Hal itu tidak mengurangi nilainya sebagai otobiografi.[3]

Mirip-mirip dengan otobiografi, ada memoar. Memoar juga ditulis sendiri, biasanya hanya mengenai suatu peristiwa saja. Memoar yang terkumpul dengan baik, sebagaimana otobiografi, juga dapat menjadi sumber sejarah yang penting dalam cakupan yang mikro. Selain pandangan pribadi, memoar – juga otobiografi – juga dapat diisi dengan statistik, narasi peristiwa, dan kaitan suatu peristiwa tertentu dengan peristiwa sejarah yang lebih luas.[4]

Permasalahan

Setiap biografi seharusnya mengandung empat hal, yaitu (1) kepribadian tokohnya, (2) kekuatan sosial yang mendukung, (3) lukisan sejarah zamannya, dan (4) keberuntungan dan kesempatan yang datang.[5]

Pertama, kepribadian sangat ditonjolkan bagi mereka yang menganut hero in history. Mereka percaya bahwa sejarah adalah kumpulan biografi. Individulah yang menjadi pendorong transformasi sejarah. Sehubungan dengan kepribadian tokoh, sebuah biografi perlu memperlihatkan adanya latar belakang keluarga, pendidikan, lingkungan sosial-budaya, dan perkembangan diri. Juga penting untuk menceritakan tikungan-tikungan yang menentukan jalan hidup orang itu selanjutnya dan membawa perubahan penting. Namun, banyak pula biografi yang tidak menceritakan titik-balik atau moment of truth itu, tetapi hanya menceritakan kelurusan tokohnya pada nilai yang telah dianut sejak semula. Bagaimanapun juga, gambaran mengenai diri tokoh itu amat perlu, dengan atau tanpa moment of truth itu.[6]

Kedua, ada yang berpandangan bahwa kekuatan sosiallah yang berperan dalam gerak sejarah, bukan perorangan. Ketiga, ada yang berpandangan bahwa melukiskan zaman yang memungkinkan seseorang muncul jauh lebih penting daripada pribadinya atau kekuatan sosial yang mendukungnya. Pertanyaannya ialah mengapa seseorang muncul pada suatu zaman dan bukan zaman yang lain. Keempat, ada yang berpendapat bahwa para tokoh sejarah muncul berkat adanya faktor keberuntungan, kesempatan, kebetulan, kans, atau semacamnya dalam sejarah.[7]

Setidaknya ada dua macam biografi, yaitu (1) potrayal (potret) dan (2) scientific (santifik), yang masing-masing memiliki metodologi sendiri. Biografi potret bila hanya mencoba memahami hidup tokohnya. Termasuk dalam jenis ini biografi (politik, bisnis, seni, olahraga, dan sebagainya) dan prosografi (biografi kolektif). Sementara itu, dalam biografi saintifik, orang berusaha menerangkan tokohnya berdasarkan analisis ilmiah. Dalam hal ini, penggunaan konsep dan teori psikoanalisis menghasilkan sejarah kejiwaan (psycho history).[8]

Penggunaan teori sosial dalam penulisan sejarah mengubah sejarah sebagai cerita tentang kemanusiaan dengan pendekatan hermeneutika (menafsirkan, menakwilkan dari sudut pandang pengamat atau pembaca) yang memahami (understand, verstehen), menjadi sejarah yang menerangkan (explain, erklaren). Memahami seseorang berarti “mengerti dari dalam” berdasarkan “makna subjektif” dari tokohnya sendiri sebagaimana sang tokoh menafsirkan hidupnya, sedangkan menerangkan adalah “menjelaskan dari luar” dengan menggunakan bahasa ilmu (hubungan-hubungan kausal) terhadap seorang tokoh yang tentu saja di luar kesadaran subjek sendiri.[9]

Selain itu, makna “memahami” di sini dapat berarti dua hal: (1) “memahami secara subjektif” atau “interpretasi dalam peristilahan subjektif” (aktuelle Verstehen) dan (2) memahami konteks yang lebih luas (erklarende Verstehen). Dengan kata lain, pendekatan “memahami” itu dapat mencakup makna memahami sebagaimana sang tokoh memberi makna perbuatannya, juga memahami konteks (hidup, lingkungan sosial-budaya, sejarah) dari yang bersangkutan. Kebanyakan biografi menggunakan dua pengertian memahami ini.[10]

Biografi Kolektif (Prosografi)

Biografi kolektif (prosografi) adalah penelitian tentang sekelompok orang yang mempunyai karakteristik latar belakang yang sama dengan mempelajari kehidupan mereka. Latar belakang yang sama itu berarti zaman (rentang waktu, abad, tahun), persamaan nasib, kedudukan ekonomi, persamaan pekerjaan, persamaan pemikiran, persamaan peristiwa, dan sebagainya. Selain serba persamaan itu, pasti juga ditemukan perbedaan, kontras, bahkan pertentangan.[11]

Dalam praktik yang umum, ada dua pendekatan terhadap biografi kolektif, yaitu pendekatan elitis dan pendekatan massa. Pendekatan elitis bertujuan untuk mengungkap kehidupan tokoh-tokoh sejarah yang terkenal, sedangkan pendekatan massa mengungkap kehidupan massa yang tidak dikenal. Pendekatan elitis bertujuan memahami kepribadian tokoh-tokohnya, akar perbuatan dan keputusannya, dan kepentingan yang tersimpan di balik retorika. Pendekatan massa berusaha mengungkap perubahan-perubahan struktural, yaitu mobilitas sosial dan kultural.[12]

Sejarah Kejiwaan

Sejarah kejiwaan merupakan peleburan psikoanalisis dan sejarah, bukan sekadar penerapan psikoanalisis pada sejarah. Kalau penulis masih menekankan “makna subjektif” dari tokohnya, maka biografi itu menjadi biografi biasa, bukan sejarah kejiwaan. Analisis kejiwaan berbicara soal “bawah sadar” yang merupakan “penjelasan dari luar” yang dipikirkan sejarawan, bukan yang dipikirkan tokoh atau pelaku sejarah. Pun begitu, sejarah kejiwaan tetap pula menjelaskan pembentukan pribadi, interaksinya dengan lingkungan, dan perkembangan jiwanya dalam sejarah hidupnya.[13]



[1] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 203-204

[2] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 203

[3] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 204-205

[4] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 205-206

[5] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 206

[6] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 206-208

[7] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 206-207

[8] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 208

[9] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 209

[10] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 209

[11] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 212

[12] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 212

[13] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah Edisi Kedua, ... hal. 214-217


Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan