Kenangan Moh. Roem atas dr. Soekiman Wirjosandjojo
Soekiman, Moh. Roem, dan Hatta saat Konferensi Meja Bundar |
Diambil dari berkas tanpa sampul berjudul "Mengenang dr. Sukiman", kemungkinan Panji Masyarakat, XVI/604-606
Hal
10
Tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Di
mobil, pulang dari pemakaman, Saudara Baihaqi menanyakan, apakah Presiden
Suharto diberitahu oleh keluarga tentang wafatnya dr. Soekiman. Penulis ini
datang kurang lebih satu jam sebelum pemakaman dan pada saat itu semua
persiapan sudah selesai. Kepada keluarga, ia hanya dapat menyatakan ikut
berduka cita atas nama banyak kawan dari Jakarta, yang tidak dapat datang.
Pertanyaan itu sama sekali tidak terbayang pada penulis.
Dalam
alam pikiran Saudara Baihaqi, tentu tidak perlu Presiden Suharto mengetahui
tentang wafatnya tiap orang, tapi dr. Soekiman bukan sekadar “tiap orang”.
Kalau-kalau dengan mengingat riwayat hidup almarhum, cukup alasan untuk
mengaruniakan kepadanya perlakuan yang dipandang oleh masyarakat sebagai
penghargaan yang tertinggi, dimakamkan di Taman Pahlawan.
Orang
pulang dari pemakaman, masih dalam suasana khidmat, tidak besar nafsunya untuk
bertukar pikiran, apalagi dengan Saudara Baihaqi yang terkenal lincah dan
dinamis. Karena itu, jawab penulis singkat. Berkenaan dengan memberitahukan
kepada Presiden, tidak hanya terletak kepada keluarga. Dengan adanya pesan dari
almarhum, maka pemakaman dilangsungkan di “Wijayabrata”, tempat pemakaman
keluarga besar Taman Siswa.
Dimakamkan dekat Ki Hajar
Dr.
Soekiman meninggalkan pesan agar dimakamkan dekat Ki Hajar Dewantara. Keinginan
itu sudah disampaikan dua tahun yang lalu kepada Majelis Agung Taman Siswa yang
diterima baik. Tentu hal itu tidak banyak orang yang tahu. Pesan itu bagi
banyak orang agak mengherankan. Penulis ini tidak menduga, tapi sama sekali
tidak heran.
Ideologi
Ki Hajar dan dr. Soekiman berlainan. Ki Hajar terkenal dalam sejarah bersama
dengan Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo, yang mendirikan Indische Party di
tahun 1913. Partai ini sudah mengemukakan gagasan persatuan untuk seluruh kepulauan
nusantara dengan satu kewarganegaraan, yang dinamakan Indierschap. Termasuk di
dalamnya orang-orang Indo yang dilahirkan di sini. Ketiga pemimpin itu dianggap
golongan yang radikal dan ditakuti oleh Pemerintah Kolonial. Karena itu, mereka
diasingkan di Nederland. Kemudian, Ki Hajar terkenal sebagai pendiri dari
perguruan nasional Taman Siswa. Dr. Soekiman sejak ia kembali dari Nederland
menggabungkan diri dengan organisasi Islam dan menjadi salah seorang pemimpin
Partai Sarikat Islam, sejajar dan di samping pemimpin-pemimpin seperti
Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Penulis
ini tahu, bagaimana pemimpin-pemimpin rakyat waktu itu memandang iddeologi.
Sangat serius. Akan tetapi mereka tidak sepaham atau terpengaruh oleh sikap
orang komunis atau totaliter, bahwa yang tidak setuju dengan awak adalah musuh
awak. Persahabatan antar Ki Hajar dan dr. Soekiman itu memang mengharukan.
Ideologi bagi angkatan Ki Hajar dan dr. Soekiman aalah pedoman bagi mengabdi
tanah air dan bangsa. Kalau berlainan, tidak mengurangi keikhlasan
masing-masing untuk menjadi patriot yang baik.
Kalau
penulis tidak keliru, dewasa ini ada yang memandang ideologi lain dengan dr.
Soekiman. Orang sekarang tidak lagi “ideologi-oriented” tapi
“program-oriented”. Mendirikan pabrik dipandang lebih penting dari memelihara
ideologi. Tentu dr. Soekiman tidak anti mendirikan pabrik. Tapi selamanya akan
ditanyakan: untuk apa? Dan pertanyaan itu ada jawabnya dalam ideologi.
Dr. Soekiman termasuk yang dinamakan “Nenek Moyang”
Dr.
Soekiman termasuk segolongan orang, yang pada saatnya oleh Presiden Soekarno
dinamakan “anak-anak negeri yang terbaik” (de beste zonen van het land). Mereka
itulah anggota Panitia Penyelidik Persiapan-persiapan Kemerdekaan yang membuat
Undang-undang Dasar 1945. Malah, dr. Soekiman termasuk nama-nama yang disebut
oleh Soekarno dalam pidato penutupannya yang terkenal dengan nama “Lahirnya
Panca Sila”. Hal itu menunjukkan bahwa dr. Soekiman aktif dalam
pembicaraan-pembicaraan yang diadakan.
Di
Amerika, mereka yang membuat Undang-undang Dasar disebut The Founding Fathers.
Berhubung dengan pentingnya kedudukan UUd dalam penghidupan kenegaraan di
Amerika, malah mereka itu disebut orang-orang yang “tidak akan mati”. Mengapa?
UUD di Amerika senantiasa dipelajari orang. Ada Mahkamah tersendiri yang terus
menerus mengecek apakah perundang-undangan negara tidak melanggar UUD. Karena
itu, nama-nama dari The Founding Fathers itu senantiasa akan dijumpai.
Kita
pun memandang UUD 45 sangat serius. Pembesar-pembesar negara, pemimpin-pemimpin
kita selalu menyebut UUD 45 dalam kata sambutannya, wejangannya, pidatonya, dan
hampir di setiap kesempatan. Dengan sendirinya UUD 45 akan senantiasa menjadi
bahan penyelidikan dan pelajaran bagi generasi-generasi sekarang dan yang akan
datang. Mereka akan ketemu tiap kali dengan 62 orang “anak-anak negeri yang
terbaik” termasuk dr. Soekiman. Dalam arti yang khusus, the founding fathers
itu bagi kita dapat dinamakan nenek moyang kita.
Dokter yang berpolitik
Soekiman
keluaran sekolah dokter Stovia, yang gedungnya pada tanggal 20 Mei yang lalu
diresmikan oleh Presiden Suharto sebagai Cagar Sejarah. Peristiwa itu
didasarkan karena pada tanggal 20 Mei 1908 Budi Utomo didirikan di gedung itu
oleh pelajar Stovia bernama sutomo.
Hal
11
Kita
juga dapat mengatakan, bahwa gedung itu dijadikan Cagar Sejarah, karena Sutomo
mendirikan Budi Utomo. Dan Sutomo adalah orang yang selama belajar di gedung
itu bertumbuh dan berkembang menjadi seorang pemimpin bangsa Indonesia. Gedung
itu tidak saja memprodusir Sutomo, tapi juga pemimpin-pemimpin lain yang
memainkan peranan penting dalam sejarah kemerdelaam. Seperti Wahidin, Rivai,
Kayadu, Ciptomangunkusumo, Bahder Johan, dll.
Soekiman
lulus dari Stovia dengan mendapat gelar Indisch Arts (dokter pribumi), yang
tingkatnya lebih rendah dari dokter Belanda keluaran Universitas. Banyak orang
Belanda yang waktu itu menganggap, bahwa orang pribumi belum matang untuk
menempuh pendidikan universiter.
Seperti
beberapa dokter lain lulusan Stovia, yang jumlahnya tidak banyak, Soekiman
pergi ke Nederland dan berhasil menambah pelajaran dan menempuh ujian untuk
mencapai tingkatan sejajar dengan dokter Belanda, yaitu arts. Tidak benarlah
anggapan Belanda, bahwa otak orang Indonesia belum matang mendapat pelajaran
yang setinggi-tingginya!
Dan
Soekiman di Nederland tidak hanya belajar. Ia tidak melupakan tugas yang lebih
mulia, yaitu berjuang dalam lapangan politik, ikut menyiapkan kemerdekaan bagi
bangsanya. Untuk periode 1925/1926 ia terpilih menjadi ketua dari perhimpunan
mahasiswa Indonesia di Nederland, yang memberikan banyak pemimpin di kemudian
hari. Perhimpunan itu mula-mula namanya Indische Vereniging, kemudian menjadi
Indonesische Vereniging. Dan waktu Soekiman menjadi ketuanya, perkembangannya
sudah maju selangkah lagi, namanya Perhimpunan Indonesia.
Menurut
keterangan yang penulis dapat dari Mr. Ali Sastroamijoyo, yang berada di
Nederland pada waktu itu, salah satu yang penting dalam penghidupan perhimpunan
ialah pidato dari ketua baru yang dinamakan keterangan asas. Dalam keterangan
asas yang diucapkan Ketua Soekiman, cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia
lebih jelas dan lebih tajam dikemukakan, seperti kesatuan Indonesia, Indonesia
Merdeka untuk dan oleh bangsa Indonesia, nasionalisme yang sadar, masa aksi dan
self-help (termasuk non-cooperation).
Pemimpin berideologi Islam
Sebagai
orang yang selama hidupnya berkediaman di Yogyakarta, mungkin persahabatan
Soekiman dengan Ki Hajar itu sudah dimulai di masa mudanya, tapi tidak
terpengaruh, waktu kepribadian Soekiman mendapat bentuk yang tetap, yaitu
seorang pemimpin berideologi Islam. Dalam pada itu, saya rasa pada umumnya
orang memandang dr. Soekiman pemimpin nasional. Ia luas dalam pandangannya dan
dapat kerjasama dengan pemimpin-pemimpin yang berlainan ideologi. Tapi ia
mempunyai batas yang tegas dan jelas. Dan ia memang terkenal sebagai orang yang
anti-komunis.
Dengan
Mr. Ali Sastroamijoyo dan Mr. Suyudi, keduanya anggota Partai Nasionalis
Indonesia, dr. Soekiman tidak lama sesudah pulang dari Nederland, mendirikan
sebuah majalah politik bahasa Jawa, bernama Janget (ikatan). Meskipun usia
majalah itu tidak lama karena majalah politik dari orang yang agak radikal
memang sulit, penerbitan itu adalah suatu contoh dari kepribadian dr. Soekiman.
Dr.
Soekiman akhirnya terkenal sebagai salah seorang pemimpin dari partai politik
Islam. Mula-mula beliau bersama-sama Cokroaminoto dan Haji Agus Salim memimpin
Partai Sarekat Islam, kemudian karena perbedaan paham keluar dari partai itu
dan mendirikan partai sendiri, yaitu Partai Islam Indonesia.
Tidak
sedikit terjadi perpecahan dalam partai-partai politik di waktu itu, tidak
hanya yang berdasarkan Islam, juga yang berdasarkan marhaenisme dan sosialisme.
Orang zaman sekarang akan menamakan hal yang demikian itu “berantakan”.
Pemimpin-pemimpin waktu itu tidak menamakan hal itu demikian, tapi perbedaan
paham yang dihormati dan diakui, dan tidak menghalangi persahabatan seperti
antara Ki Hajar dan dr. Soekiman.
Dr.
Soekiman dan Haji Agus Salim berlainan pendapat sehingga dr. Soekiman akhirnya
mendirikan partai sendiri. Tapi mereka bertemu kembali dalam buyutnya. Hadir
dalam pemakaman itu Rono, cucu Haji Agus Salim, dengan istrinya Prihatni, cucu
dr. Soekiman. Mereka sudah dikaruniai Tuhan dengan seorang anak.
Ketua Masyumi
Sesudah
proklamasi dan partai-partai politik didirikan, dr. Soekiman muncuk sebagai
Ketua Umum Partai politik Islam Masyumi, pada tanggal 7 November 1945. Selama
lima tahun yang pertama ia memegang pimpinan partai itu, kemudian sampai partai
itu dibubarkan oleh Presiden Soekarno, sebagai Wakil Ketua. Hal itu menunjukkan
betapa kuatnya kedudukan dr. Soekiman dalam kehidupan politik di Republik
Indonesia.
Dr.
Soekiman tidak memandang suatu kedudukan dalam pemerimtahan sebagai pangkat
untuk pribadinya, melainkan semata-mata sebagai kewajiban bagi negara, yang ia
kerjakan sesuai dengan nilai-nilai yang ia percayainya dan ia junjung tinggi.
Maka berganti-ganti ia duduk dalam pemerintahan dan di luar pemerintahan, tapi
pengabdiannya bagi negara sama saja. Ia pernah menduduki tempat yang paling bertanggung
jawab dalam negara, yaitu Perdana Menteri dalam kabinet parlementer (April
1951-April 1952). Ia juga pernah menjadi Menteri Dalam Negeri dalam kabinet
presidentiil di bawah pimpinan Wakil Presiden Hatta (Januari 1948-19 Desember
1948).
Pengalaman Pribadi
Penulis
ini ingin menambahkan pengalaman pribadi, yang merupakan kenangan sedap. Sampai
Masyumi dibubarkan penulis adalah anggota partai tersebut. Dalam Kabinet
Sjahrir, ia ikut serta sebagai Menteri Dalam Negeri secara pribadi. Ia juga
menjadi anggota Delegasi Republik yang ikut membuat Perjanjian Linggajati.
Partai Masyumi yang dipimpin oleh dr. Soekiman tidak setuju dengan Linggajati.
Meskipun hal itu tidak menyebabkan jatuhnya kabinet, maka sulit juga bagi
penulis keadaan yang demikian.
Kemudian
melalui perkembangan politik, istimewa berhadapan dengan Belanda, juga melalui
dua aksi militer, pada waktu Hatta memimpin Delegasi Republik di Konferensi
Meja Bundar, ada dua anggota Masyumi yang duduk dalam delegasi tersebut, yaitu
dr. Soekiman dan penulis. Betapapun dr. Soekiman dapat berlainan pendapat dalam
politik, orang dapat mengabdi tanah airnya, sesuai dengan keyakinan
masing-masing dan sama-sama ikhlas dan jujur. Pada saatnya orang dapat
berdampingan dalam satu delegasi untuk menghadapi tugas yang penting seperti
menjadi angota delegasi RI di Konferensi Meja Bundar. Di samping tidak
melupakan tugas, pembaca dapat membayangkan, bahwa bagi penulis rasa bahagia
mencampuri tugas itu.
Anti komunis, tidak anti Soekarno
Dr.
Soekiman terkenal anti komunis, tapi tidak anti soekarno. Kadang-kadang orang
tidak dapat menghayati [emagaran yang subtil itu. Adakalanya juga hal yang
demikian itu hilang artinya. Untuk segolongan orang umpamanya, tidak ada
artinya lagi untuk mengatakan anti komunis, tidak anti Soekarno. Karena
Soekarno anti mereka, dan oleh Soekarno mereka diasingkan selama 4 tahun 4
bulan. Nasib ini menimpa rombongan yang bersama-sama dengan Sutan Sjahrir
ditahan di penjara Madiun.
Bagi
Soekiman, soalnya pernah lebih subtil, yang akhirnya barangkali tidak kurang
menyedihkan daripada yang ditahan. Dr. Soekiman senantiasa berpendirian, bahwa
Soekarno bukan komunis, sebagaimana Soekarno sendiri sering mengatakan. Karena
itu ia jangan dijauhi, tapi harus didekati. Tentang ini penulis rasa dr. Soekiman
bersungguh-sungguh. Mungkin karena dr. Soekiman lebih tua, ia masih mempunyai
harapan untuk menjauhkan Soekarno dari komunis.
Dr.
Soekiman berusaha waktu itu untuk bertemu dengan Soekarno, yang sudah
seringkali diikhtiarkannya. Akhirnya waktu dr. Soekiman berada di Jakarta, ia
dapat janji dari Istana Presiden Soekarno, bahwa pertemuan itu akan
diselenggarakan di Yogyakarta ...
Sumber
yang ada berakhir di bagian ini. Lanjutan tulisan belum diperoleh.
Comments
Post a Comment