Khitah Baru “Nieuwe Bannen”
Tulisan dr. Soekiman Wirjosandjojo berjudul “Nieuwe
Bannen”, terbit dalam Gedenkboek van het “Indonesische Vereeniging”, Leiden,
1923, menggunakan nama pena Sakri Soenarto, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
oleh Suhaji.
Meskipun rakyat negara Rusia tidak ditakdirkan
dijajah oleh bangsa lain, mereka itu sebelum perang dunia, terutama pada
permulaan abad yang lalu berada dalam keadaan yang kira-kira sama dengan kita.
Juga di sana rakyat sesungguhnya hampir tidak mengenal adanya hukum. Rakyat itu
berada di bawah kekuasaan suatu rezim bertangan besi yang menindak tegas setiap
aksi untuk memperoleh tambahan hak-haknya. Aksi-aksi rahasia disuburkan oleh
hukuman-hukuman berat, dengan pembuangan ke Siberia bagi orang-orang yang
berani menyatakan buah pikiran pembaharuan di muka umum. Banyak aliran di bawah
tanah dan persekutuan-persekutuan rahasia merajalela. Peranan para pemuda Rusia
yang bekerja untuk organisasi rahasia ini menunjukkan watak jiwa pengorbanan
yang mulia, menjiwai kebanyakan mereka. Dengan menempuh bahaya akan kehilangan
kebebasannya apabila tertangkap, mereka mendatangi para petani untuk
mempropagandakan pikiran yang dianut oleh persekutuan rahasia tersebut. Pemuda
dan pemudi itu tidak hanya berasal dari kalangan rakyat jelata saja, melainkan
juga dari kalangan atas, mencari hubungan dengan para petani dengan maksud
seperti di atas. Putra-putri jenderal meninggalkan rumah orang tuanya
melaksanakan panggilan jiwa yang telah bersemi dalam dirinya.[2]
Melangkah dari Rusia ke India, dapat terlihat
jiwa pengorbanan yang penuh semangat untuk kepentingan tanah air yang tertindas
yang dilakukan oleh para pemuda India.[3] Pada
waktu pembagian kebudayaan dan ketatanegaraan Benggali yang sudah menyatu
dengan India, di bawah Pemerintahan Lord Curson telah dilakukan politik
penindasan. Lord Curson yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas dan zalim
dengan ucapan menghina dan menolak apa yang menjadi cita-cita dan keinginan
rakyat India, menimbulkan rasa ketidaksnangan yang tidak dapat ditahan-tahan
lagi. Api kepahitan dan dendam yang membara di kalangan rakyat berkobar menjadi
kebakaran yang hebat. Tindakan terakhir yang berarti dari Lord Curson sebelum
meletakkan jabatannya sebagai raja muda ini sangat meresahkan rakyat Benggali. Pergerakan
nasional pada zaman ini mendekati titik yang penting dalam sejarahnya. Akibat pembagian
Benggali akhirnya mewujudkan persaudaraan yang sangat didambakan antara kaum Muslimin
dan kaum Hindu. Dalam masa ini juga perasaan nasional meluas dan mendalam. Masing-masing
merasa dirinya terangkat oleh kecintaan dan semangat yang menyala-nyala untuk
kepentingan tanah air. Kecenderungan untuk berkorban dengan senang hati yang
membangkitkan rasa hormat, menandai selanjutnya dikap kebanyakan orang India.
Dan tidak sedikit dari kalangan pemudanya.[4]
Gerakan swadesi oleh pimpinannya, Bannerjee,
digambarkan sebagai gerakan yang mengandung unsur baik ekonomi maupun sosial-politik.
Dari sini, maka pemboikotan terhadap barang-barang bikinan luar negeri
merupakan aksi pelengkap. Dan dari bidang inilah tampak menonjol peranan para
pemuda. Bagaikan didukung oleh satu cita-cita bersama yang besar, mereka
melibatkan diri dalam aksi propaganda pemboikotan terhadap barang-barang impor.
Mereka membentuk korps-korps sukarelawan, mengambil bagian dalam pawai-pawai
yang diatur sebagai aksi demonstrasi terhadap pembagian Benggali. Mereka mengunjungi
rapat-rapat besar dan pertemuan beramai-ramai, ikut menyanyikan lagu kebangsaan
India, Bande Mataram dengan nyaringnya.[5]
Pendek kata, selaku kelompok kecil pilihan
mereka memadati aksi pembebasan itu. Semua itu terjadi di mana ratusan di
antara mereka karena api semangat mudanya dikeluarkan dari universitasnya jika
mereka menolak membayar denda, selanjutnya banyak di antara mereka yang
dicambuk dan dianiaya, maka hal ini mau tidak mau terpaksa timbul rasa hormat
kepada barang siapa yang tahu menghargai sifat tidak mementingkan diri sendiri
dan pengorbanan sebagai sifat-sifat yang luhur dalam diri manusia.[6]
Marilah kita coba sekarang membuat gambaran
tentang sikap yang telah diambil oleh pemuda di dalam kebangkitan Indonesia. Sudah
beberapa kali dan di pelbagai tempat telah diutarakan keluhan, seakan-akan kami
para pemuda menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap kejadian-kejadian di tanah
air kita. Kawan sebangsa, Alimin, belum lama ini sekali lagi dalam brosurnya
yang berjudul “Surat Terbuka” telah mengemukakan keluhan ini. Sungguh keluhan
ini memang beralasan. Sebagian besar pemuda yang sedang belajar tetap tidak
tersentuh oleh gelombang kebangsaan yang melanda dunia. Kebanyakan dari mereka
hanya “hidup untuk makan” saja, sudah merasa puas apabila hasil studinya
berhasil membawanya ke tempat pekerjaan dalam instansi pemerintahan Hindia
Belanda yang selama ini didambakannya. Tetapi rupanya sekarang ini sudah ada
perubahan jalan pikiran. Banyak nama-nama dari dunia mahasiswa, kita lihat
telah banyak menduduki kepengurusan organisasi kebangsaan kita. Beberapa pemuda
tampil ke muka dalam rapat-rapat dan pertemuan setelah mereka menyelesaikan
kuliahnya.[7]
Juga dalam dunia kecil kami yang berfungsi
sebagai pos terdepan masyarakat Indonesia di Eropa, perkembangan rasa
kebangsaan sangat menggembirakan. Sekarang telah benar-benar diinsafi bahwa
kebangkitan suatu bangsa sulit terlaksana tanpa dorongan putra-putrinya yang
terpelajar.[8]
Kepergian kita ke negeri penjajah kita tidak
boleh lagi untuk kepentingan pribadi semata, melainkan kehadiran kita di tempat
ini meskipun jauh jarak hubungannya, harus juga digunakan untuk kepentingan
yang suci bagi tanah air. Syukurlah hal ini makin dimengerti dan diwujudkan
dalam tindakan.[9]
Perjalanan ke pelbagai bagian Eropa yang
dilakukan orang-orang kita untuk melihat dengan mata kepala sendiri keadaan
setempat dan untuk mengetahui buah pikiran yang terdapat di sana; untuk
berhubungan dengan orang-orang India, Mesir, Filipina, dan Irlandia, harus
diartikan menurut pengertian termaksud di atas. Bahwa pemuda memegang peranan
dalam setiap pergerakan kemerdekaan, adalah benar-benar merupakan gejala biasa
yang dapat dilihat di mana-mana.[10]
Juga hal-hal yang sama (paralel) dapat kita
saksikan. Masih satu gejala lagi pada akhir-akhir ini mulai tampak menonjol. Pergerakan
kemerdekaan di Indonesia pada saat ini sedang mengalami pertentangan batin yang
akibatnya akan menentukan di dalam kebangkitannya kembali. Jika tanda-tandanya
tidak menipu, dapat terlihat munculnya aliran baru, yang meratakan jalan
pikiran dari banyak para pemimpin.[11]
Pada saat dirasakan bahwa siasat yang ditempuh
selama ini tidak tepat, yaitu yang berwujud kerja sama dengan Pemerintah (kolonial),
baik di dalam maupun di luar Dewan-dewan Perwakilan Daerah maupun Dewan
Perwakilan Rakyat, pada saat itu pula mulai masak keyakinan bahwa khitah lain
harus ditempuh.[12]
Bagi pergerakan pembaharuan di dalam
negara-negara yang pemerintahannya berparlemen, untuk mencapai tujuan, terbuka
hanya dua jalan, jika orang ingin membuang jauh cara kekacauan (anarki):
pertama, jalan melalui Perwakilan Rakyat; kedua, jalan yang tidak menghendaki
adanya titik-titik sentuhan dengan kekuasaan yang ada – koperasi atau
non-koperasi.[13]
Ini berlaku juga bagi Pergerakan Kebangsaan di
negeri-negeri jajahan seperti negeri kita. Saat yang penting yang sekarang
dialami oleh bangsa kita juga dapat ditemukan kembali di dalam sejarah
pergerakan bangsa India dan Irlandia. Juga di tempat lain dalam masa tertentu
dalam perjuangan, harus diadakan pilihan antara politik “berunding, gerakan
unjuk perasaan tertentu dan pengiriman utusan” dan taktik yang langsung
berhadapan dengan itu, yaitu “membangun di atas kekuatan sendiri”, “percaya kepada
diri sendiri”, “tidak minta-minta”.[14]
Bal Gangadar Tilak, seorang yang paling terkemuka
di dalam pergerakan kebangsaan India sebelum tampilnya Mahatma Gandhi, adalah
yang pertama kali menginsafi bahwa perubahan-perubahan (di India) tidak pernah
dilakukan oleh penjajah dengan sukarela. Hal itu harus dipaksakan, dan ini merupakan
kebalikan dari sikap orang-orang moderat yang tetap melihat manfaat kerja sama
dengan Pemerintah dengan cara mengirim utusan dan permohonan yang diperkirakan
dapat dicapai; ia mencari manfaat dari kekuatan sendiri, dalam pengerahan
tenaga, dalam boikot dan dalam melakukan perlawanan secara pasif (lijdelijk
verzet). Dalam sidang Kongres Nasional pada tanggal 4 September 1920 di
Kalkuta, ternyata Gandhi keluar sebagai pemenang di dalam perdebatan yang
berlangsung berjam-jam lamanya, di dalam menganjurkan sepenuhnya paham non-koperasi.
Kegagalan kerja melalui DPR dibiarkannya secara tidak memuaskan dan
didiamkannya oleh Penguasa permohonan-permohonan dan seruan-seruannya,
menyebabkan rakyat India putus asa lalu menggunakan senjata ampuh non-koperasi.[15]
Kejadian yang kira-kira sama telah kita lihat
sebelumnya di Irlandia.[16] Negara
ini, di mana semangat kepahlawanan dan jiwa pengorbanan putra-putrinya sangat
mengharukan di dalam melawan musuh mereka bersama, yaitu penguasa Inggris, yang
sejarahnya mengisi lebih dari satu tempat dalam sejarah pergerakan kemerdekaan
mereka, sebenarnya dapat dianggap sebagai tempat kelahiran buah pikiran non-koperasi
sebagai senjata di tangan rakyat yang tertindas di dalam perjuangan melawan penjajahnya.[17]
Bukankah sudah sejak didirikannya Pergerakan
Sinn Fein pada tahun 1904, yang Arthur Griffith adalah pemimpin utama dan
pendirinya, siasat perlawanan secara pasif itu telah diatur dan dipuji olehnya.
Dengan mengorganisasi, membangun dan bekerja di dalam negeri sendiri cara
perjuangan ini meminta kepada pengikutnya untuk menolak bekerja sama meskipun
hanya dalam satu bidang di dalam rangka lancarnya kerja Pemerintah Inggris.[18]
Kekecewaan umum dan rasa dendam akibat
mengingkari janji dan tidak mengakui kepentingan-kepentingan yang sangat dibutuhkan
rakyat Irlandia dari DPR di satu pihak, pembuyaran lamunan yang telah
berkali-kali ditimbulkan oleh aksi parlementer terhadap cita yang berkobar
dalam diri rakyat Irlandia, untuk menghidupkan kembali hak menentukan nasib
sendiri secara sempurna bagi rakyat mereka, terhadap pencabutan Uniwet tahun
1800 yang menyebabkan hilangnya kembali kemerdekaan yang telah diperjuangkan
dengan susah payah pada tahun 1782 dan telah tercapainya kemakmuran hidup
rakyat di bawah Parlemen Grattan di lain pihak, adalah merupakan fakta-fakta
yang kuat, yang membawa pikiran orang-orang Irlandia mendorong ke arah itu
(non-koperasi).[19]
Orang boleh bagaimanapun juga memberi
penilaian terhadap alat perjuangan ini, namun orang tidak boleh tidak akan
mengakui kegunaannya terhadap keuletan dan kemampuan berusaha secara tekun,
yang dengan ini para pendukung siasat ini berusaha mewujudkan cita-citanya.[20]
Juga pergerakan kebangsaan kita sekarang
berada di simpang jalan. Melanjutkan sikap yang telah dianut selama ini,
politik oportunis, yaitu politik yang tidak mempunyai dasar pendirian tertentu,
melainkan hanya memanfaatkan keadaan dan menunggu saat yang baik, serta politik
minta-minta dengan embel-embelnya: meminta dan percaya pada keadilan dan
perikemanusiaan pihak penguasa yang memerintah kita, adalah meragukan. Hal itu disebabkan
luka yang disebabkan oleh praktik politik penjajahan pemerintah asing, mengena
terlalu dalam ke dalam kemauan baik rakyat Indonesia. Sekarang sedang
berlangsung, sebagaimana gejala-gejalanya menunjukkan kepada kita, proses yang
sama di tanah air kita, yang telah diperlihatkan pada waktu penampilan Gandhi
di India dan pemunculan pergerakan Sinn-Fein di Irlandia.[21]
Tidak mengemis, tidak ikut ambil bagian dalam karya
hukum di badan-badan perwakilan rakyat semu, melainkan di dalam diri kita
sendiri terletak kemenangannya. Di atas kekuatan sendiri dan kemampuan sendiri
marilah kita membangun, adalah khitah pemimpin kita sekarang ini. Dan adalah
amat indah apabila arah Perhimpunan Indonesia bergabung dengan arus (khitah)
itu.[22]
[1] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal. 8
[2] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 8
[3] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 8
[4] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 9
[5] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 9
[6] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 10
[7] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 10
[8] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 10
[9] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 11
[10] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 11
[11] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 11
[12] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 11
[13] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 11-12
[14] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 12
[15] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 12
[16] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 12
[17] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 13
[18] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 13
[19] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 13
[20] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 13-14
[21] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 14
[22] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 14
Comments
Post a Comment