Ibdāʿ: Istilah Penciptaan dalam Risalah-risalah al-Kindi
Sebagai salah satu pemikir falsafah Islam
generasi paling awal, al-Kindi memiliki keunikan tersendiri karena posisinya
yang membela teori penciptaan dari ketiadaan, berbeda dengan para filsuf
sesudahnya yang cenderung menerima konsep keabadian alam. Uniknya, cara
al-Kindi membuktikan kefanaan alam semesta berbeda dengan cara para ahli Kalam,
karena ia memanfaatkan modifikasi campuran argumen-argumen Aristoteles,
Neoplatonisme, dan John Philoponus untuk mengembangkan model argumentasinya
sendiri yang unik.[1]
Begitu pula kosa kata yang kerap ia gunakan
untuk menggambarkan penciptaan dari ketiadaan, yaitu ibdāʿ dan ta’yis,
agak lain dari kosa kata yang standar digunakan di antara praktisi ilmu Kalam,
yang diturunkan dari kata ḥadatsa. Tulisan ringan ini hendak mengulas
penggunaan kedua terminologi itu, tanpa membahas kerangka argumen al-Kindi
dalam membuktikan kefanaan dunia secara keseluruhan, mengingat hal itu
memerlukan ruang dan kesempatan yang lebih luas. Walaupun sedikit, hanya
terbatas pada kedua kata itu, pembahasan ini tetaplah dapat dianggap esensial
dalam memahami kekhasan gagasan al-Kindi tentang penciptaan dari ketiadaan.[2]
Kata ibdāʿ itu secara sederhana dapat
mengandung arti proses bermula; pembuatan sesuatu yang baru, pembaruan; dan
restorasi atau pengembalian sesuatu kepada suatu keadaan tertentu, pengembalian
kepada kondisi yang baru. Secara umum, al-Kindi menggunakannya untuk merujuk
pada proses pengadaan sesuatu keberadaan ke dalam realitas alam dari ketiadaan
atau tanpa memerlukan sumber atau bahan baku substrat material apa pun, yang
terjadi secara instan, seketika, atau tanpa dibatasi oleh durasi dalam kerangka
waktu. Dalam risalahnya Tentang Definisi Hal-hal dan Uraiannya (Risālah fī Ḥudūd
al-Asyyā’ wa Rusūmihā), ia mendefinisikan ibdāʿ sebagai tindakan mengadakan
sesuatu dari ketiadaan, sementara di tempat lain ia menyebut tindakan
mewujudkan sesuatu dari ketiadaan (ta’yis al-aysāt ʿan lays) sebagai perbuatan
yang secara layak dinamai ibdāʿ.[3]
Dalam risalahnya yang lain, Risalah tentang
Jumlah Buku Aristoteles dan Apa yang Diperlukan untuk Mempelajari Filsafat (Risālah
fil Kammiyat Kutub Arisṭu wa mā Yaḥtāj ilayhi fī Taḥṣīl al-Falsafah), di
mana ia memberikan interpretasi atas beberapa ayat dalam Quran surah 36, ia
menarik pembuktian yang menguatkan argumen penciptaan dari ketiadaan itu dari
interpretasinya atas ayat-ayat tersebut, terutama tentang bagaimana sesuatu itu
diadakan dari keadaannya yang sebaliknya, sehingga keberadaan mestilah
diciptakan dari ketiadaan.[4] Bagian
surah yang dikutip oleh al-Kindi itu mengisahkan bahwa orang-orang kafir
mempertanyakan soal kebangkitan dan kehidupan setelah kematian kepada
Rasulullah SAW.
“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang
belulang yang telah hancur luluh?”[5]
Jawaban yang diperintahkan Allah SWT untuk
diberikan oleh Rasulullah SAW kepada mereka mengandung argumentasi retoris
tentang penciptaan pertama kali, penciptaan di hari kemudian, dan penghidupan
kembali tulang-belulang dari makhluk yang telah mati. Ayat-ayat itu juga
mengandung bagian tentang penciptaan sesuatu dari kebalikannya (api dari kayu
yang hijau) yang turut menginspirasi gagasan al-Kindi tentang penciptaan dari
ketiadaan. Kutipan ayat itu juga memberikan informasi tentang cara Tuhan
menciptakan sesuatu melalui perintah-Nya, yang memberikan kesan tentang
mekanisme kehendak Tuhan.
“Katakanlah bahwa Dia (Tuhan) yang telah
menciptakannya (tulang belulang itu) kali yang pertama akan menghidupkannya
kembali, dan Dia Maha Mengetahui terhadap semua makhluk. Yaitu Dia yang
menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu menyalakan
(api) dari kayu itu. Dan bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi itu
berkuasa untuk menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, sungguh Dia berkuasa.
Dan Dialah Maha Pencipta (al-khallāq) lagi Maha Mengetahui (al-ʿalīm).
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu (syay’an),
hanyalah berkata kepadanya (sesuatu itu): ‘Jadilah!’, maka terjadilah ia
(sesuatu itu)”.[6]
Al-Kindi lalu mencoba menafsirkan ayat-ayat
tersebut. Dia pertama-tama menunjukkan kelemahan dalam posisi orang yang tidak
beriman atau orang kafir.
Penanya, yang tidak percaya pada kekuasaan
Tuhan, yang Maha Besar dan Agung, bagaimanapun harus mengakui bahwa ada sesuatu
(kāna) setelah ketiadaan (lam yakun), dan bahwa tulang-tulangnya
tersebut sebelumnya tidak ada (maʿdūm), lalu menjadi ada, lalu hancur,
dan harus ada kembali setelah hancur-luluh (yaitu karena tulang-tulang tersebut
harus ada sebelumnya sehingga orang kafir tersebut dapat mengajukan pertanyaan
tentangnya, karena suatu pertanyaan pengujian tidak dapat diajukan pada sesuatu
yang tidak ada).[7]
Lalu, bagaimanakah pengadaan sesuatu dari
ketiadaan ini mungkin? Al-Kindi mengambil gagasan generasi sesuatu dari
kebalikannya berdasarkan isyarat produksi api dari pohon dalam ayat tersebut. Perumusan-ulang
oleh al-Kindi atas pernyataan Alquran tentang penciptaan dunia dari ketiadaan
sangat menarik. Berdasarkan argumentasi dalam ayat-ayat itu, al-Kindi
memosisikan makhluk ciptaan sebagai contoh dari prinsip umum pembangkitan
sesuatu dari kontranya: seperti api diadakan dari non-api dan panas diadakan
dari non-panas, sehingga secara umum sesuatu (huwa) diadakan dari hal
lain yang bukan sesuatu itu (la huwa), tubuh diadakan dari bukan tubuh,
dan keberadaan diciptakan dari ketiadaan.[8]
Karena Dia membuat api dari bukan api (jaʿala
min lā nārin nāran) – yaitu api dari kayu yang hijau, atau panas dari yang
bukan panas, sehingga sesuatu harus dapat dihasilkan dari kebalikannya. Karena
jika apa yang terjadi (al-ḥādits) tidak berasal dari substansi (ʿayn)
yang berlawanan, dan jika tidak ada perantara antara dua kontrarietas (yang
berlawanan) itu – dengan “berlawanan” yang saya maksud adalah “itu” dan
“bukan-itu” (huwa wa lā huwa) – hal itu harus datang dari dirinya
sendiri (min dzātihi). Namun jika begitu, kemudian esensinya (dzāt)
harus selalu tetap, abadi dan tanpa awal, padahal tidak mungkin. Sebab, jika
kekeringan tidak datang dari bukan api, maka itu harus berasal dari api,
sehingga api akan keluar dari api, dan api (ini) dari api (yang lain), dan mau
tidak mau akan ada terus-menerus tanpa akhir (sarmadan) dan selamanya
menjadi api dari api dan api dari api. Oleh karena itu, api akan selalu ada,
dan tidak akan pernah ada keadaan (ḥāl) di mana ia tidak ada (hiya
laysun). Jadi, tidak akan pernah ada api setelah sebelumnya tidak ada api.
Namun, api memanglah dapat ada (mawjūdan) setelah sebelumnya tidak ada (lam
takun), dan dapat dipadamkan/ditiadakan setelah ada. Jadi, satu-satunya
kemungkinan yang tersisa adalah bahwa api mesti dihasilkan dari bukan api, dan
bahwa setiap generasi berasal dari selain dirinya sendiri. Jadi, semua ciptaan
yang diadakan, dihasilkan dari “yang-bukan-itu” (lā huwa).[9]
Al-Kindi lanjut menjelaskan bahwa orang-orang
yang tidak beriman yang digambarkan dalam surah 36 itu meragukan penciptaan
langit dan bumi, karena dalam urusan tabii-manusiawi, yang menjadi kerangka
pandangan orang kafir itu, sesuatu yang lebih besar memerlukan waktu pembuatan
yang lebih panjang. Namun, analogi mereka antara perbuatan manusia dan tindakan
penciptaan Ilahi hanya berdasarkan atas kejahilan. Al-Kindi menulis:
Dalam hati mereka, orang-orang kafir
menyangkal penciptaan langit, karena apa yang mereka yakini tentang jangka
waktu yang dibutuhkan untuk penciptaan didasarkan pada analogi mereka dengan
tindakan manusia. Karenanya, dalam kasus tindakan manusia, semakin besar
pekerjaan yang dihasilkan, semakin lama periode (waktu) yang diperlukan,
sehingga bagi (manusia), hal-hal yang masuk akal atau ternalar (yaitu langit
dan angkasa) akan membutuhkan waktu terlama untuk dibuat. Jadi, jelas bahwa
Tuhan tidak membutuhkan periode (waktu) untuk menciptakan sesuatu, karena Dia
mengadakan “itu” (identitas) dari “bukan-itu” (non-identitas) (jaʿala huwa
min lā huwa). Jika kekuasaan-Nya (qudrah) sedemikian rupa sehingga dapat
menghasilkan (yaʿmalu) tubuh-tubuh dari bukan-tubuh (non-material), dan
memunculkan keberadaan dari yang bukan-keberadaan (ketiadaan) (akhraja aysan
min laysin), dan karena Dia mampu (qādir) untuk melakukan suatu
perbuatan tanpa (bergantung pada) substrat material (min lā ṭīnatin),
Dia tidak harus memproduksi sesuatu (yaʿmalu) pada atau di dalam
(kerangka) waktunya. Hal itu karena, tidak ada tindakan (fiʿl) umat
manusia yang tanpa substrat material, sementara tindakan (Tuhan) yang tidak
harus dilakukan pada substrat material, tidak mengharuskan jangka waktu
tertentu (dalam kerangka fisik). “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia
menghendaki sesuatu (syay’an), hanyalah berkata kepadanya (sesuatu itu):
‘Jadilah!’, maka terjadilah ia (sesuatu itu).” Artinya, Dia hanya perlu
menghendaki, dan bersama-sama dengan kehendak-Nya, dihasilkan apa yang Dia
kehendaki. Segala puji yang agung hanya bagi-Nya, dan Maha Tinggi Dia atas
pendapat orang-orang yang tidak beriman![10]
Titik sentral pandangan Al-Kindi adalah, bahwa
semua perubahan atau generasi berasal dari pertentangan, kebalikan, atau yang
bukan dirinya. Api, misalnya, adalah kering, sehingga harus berasal dari
sesuatu yang tidak kering. Prinsip ini berakar pada Plato, tetapi al-Kindi
mungkin lebih menerapkan pengertian perubahan menurut Aristoteles. Dia setuju
dengan Aristoteles bahwa, setiap kali sesuatu menjadi sesuatu, ia berasal dari
yang bukan sesuatu itu. Ia menyatakannya sebagai huwa berasal dari lā
huwa.[11]
Namun, al-Kindi lanjut menerapkan prinsip ini dengan cara yang berbeda atau
bahkan bertentangan dengan Aristoteles, demi mempertahankan konsep penciptaan
dari ketiadaan, dengan berargumen bahwa jika sesuatu mengada, hal itu juga
harus mengada dari keadaan yang berlawanan. Dengan begitu, ia dapat menegaskan
bahwa suatu keberadaan diadakan dari ketiadaan. Uniknya, al-Kindi tidak hanya
merujuk ketiadaan dengan sekadar ʿadam dan negasi dari kata kerja kāna,
tetapi juga menggunakan terminologi khasnya, lays (ketiadaan) sebagai
lawan dari ays (keberadaan).
Selanjutnya, al-Kindi mengusulkan gagasan
untuk memberikan kekhususan dalam proses penciptaan dibandingkan segenap proses
generasi yang lain. Hal itu karena menurutnya, Kuasa dan Tindakan Tuhan jelas
berbeda dengan kuasa dan tindakan manusia, sehingga standar dan batasan pada
kuasa dan tindakan manusia tidak dapat diberlakukan kepada Kuasa dan Tindakan
Tuhan. Dengan begitu, penciptaan sebagai Kuasa dan Tindakan prerogatif Tuhan,
pasti berbeda dari kuasa dan tindakan generasi oleh manusia (misalnya tindakan
tukang kayu menghasilkan meja dari papan kayu). Ia bahkan menambahkan kepada tipe-tipe
perubahan dalam fisika Aristoteles itu suatu jenis perubahan yang lain: gerakan
atau tindakan penciptaan (al-ḥarakah al-ibdāʿ), yang unik atau berbeda dari ragam
perubahan yang lain, sebab tindakan penciptaan itu dilakukan tanpa memerlukan
substrat atau substansi bahan baku yang telah ada sebelumnya, sehingga dengan
demikian tidak bergantung kepada kerangka waktu fisika.[12]
Klaimnya bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan
tanpa (bergantung pada) waktu (kerangka fisik) dan tanpa substrat material (ṭīnah)
dimaksudkan untuk menandai kekhasan penciptaan sebagai suatu proses yang unik
dari berbagai jenis perubahan, generasi, atau kausasi lainnya. Al-Kindi
membedakan penciptaan dari hubungan kausalitas manusia (fisik) dan menuduh
orang-orang kafir gagal membedakan Tindakan Ilahi dari tindakan manusia.
Ciri-ciri khas penciptaan, yang tidak memerlukan sebab material dan tanpa
bergantung waktu, ini dipilih al-Kindi dengan cermat, memberinya kesempatan
untuk mengambil jalur berlawanan dari Aristoteles, sementara masih dapat
meminjam metodologinya.[13]
Makna Ibdāʿ Menurut Leksikon
Dalam risalahnya Tentang Definisi Hal-hal dan
Uraiannya (Risālah fī Ḥudūd al-Asyyā’ wa Rusūmihā), al-Kindi
mendefinisikan salah satu istilah penciptaan, al-ibdāʿ (الإبداء), sebagai iẓhār ash-shay’ ʿan lays (إظهار الشيء عن ليس), memanifestasikan sesuatu dari ketiadaan.[14] Sebagian
peneliti membaca lays sebagai lā syay’ (لا شيء).[15] Lalu,
apakah pemaknaan istilah ibdāʿ menurut al-Kindi itu sesuai dengan
pemaknaan leksikal dan konteks penggunaan istilah yang terkait dalam Quran?
Kata ibdāʿ berkaitan dengan kata kerja badaʿa, abdaʿa,
atau ibtadaʿa (menciptakan, membuat, mengadakan, menyusun, membangun, merencanakan,
mereka, memikirkan, menyebabkan, menghasilkan, menemukan, membawa sesuatu yang
sebelumnya tidak ada menuju keberadaan; berinovasi, memperbarui, memulai
sesuatu yang baru, mengadakan perubahan atau pembaruan, meningkatkan keadaan
sesuatu, meletakkan sesuatu pada tempatnya semula, mencapai hasil yang
istimewa, menghasilkan sesuatu yang menakjubkan), baddaʿa (melebihi,
melampaui, mengungguli, menjadi unggul), atau istabdaʿa (menemukan atau
membuat sesuatu yang luar biasa).[16]
Kata ibdāʿ merupakan kata benda verbal
yang diturunkan dari bentuk kata kerja abdaʿa. Kata ibdāʿ
mengandung makna penciptaan, pembentukan, pembuatan, perancangan, pengadaan, pencapaian
sesuatu yang unik atau menakjubkan, permulaan sesuatu yang baru; dan keunikan,
kekhususan, keistimewaan, keanehan, kebaruan, keaslian, orisinalitas, kemampuan
kreatif.[17]
Pencipta, inovator, atau pelaku perbuatan kreatif disebut sebagai mubdiʿ
atau bādiʿ.[18]
Zat Yang Maha Menciptakan atau Mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada
disebut sebagai al-Badīʿ. Kata Badīʿ (Pencipta, Yang Memulai)
dimuat dalam Quran sebagai salah satu sifat Allah, “Pencipta langit dan bumi”, Badīʿ
as-samāwāt wal-arḍ ([2]: 117 dan [6]: 101). Penggunaan Badīʿ merujuk
kepada Tuhan menunjukkan keunikan perbuatan kreatif Allah dan mengimplikasikan
bahwa alam semesta diwujudkan tanpa prototipe sebelumnya atau dari ketiadaan.[19]
Frasa abdaʿa Allāh al-khalq bermakna
“Allah menciptakan makhluk-ciptaan dari ketiadaan, tanpa contoh, prototipe,
atau kemiripan dengan sesuatu yang telah ada sebelumnya (lā ʿalā mithāl)”.
Kata abdaʿa bersinonim dengan aḥdatha, istakhraja, ansha’a, ikhtaraʿa,
dan abda’a.[20]
Menariknya, kata abdaʿa dan abda’a – juga badaʿa dan bada’a,
serta berbagai bentuk turunan mereka – terkait dalam hal makna meskipun berbeda
dalam huruf akhirnya (hamzah dengan ʿayn). Kelompok kata abda’a
(menggunakan hamzah) secara sederhana berarti memulai sesuatu, yang mana tidak
harus berupa sesuatu yang baru, juga mencakup sesuatu yang telah ada
sebelumnya. Sementara itu, kata abdaʿa
berarti memulai sesuatu yang baru atau yang belum pernah ada sebelumnya,
sehingga dapat digunakan untuk secara khusus merujuk pada tindakan menciptakan
sesuatu dari ketiadaan.[21]
Perbedaan dan persamaan kedua akar kata
tersebut juga diperlihatkan dalam penggunaan kata turunan bada’a
(menggunakan hamzah) itu dalam Quran. Frasa innahu huwa yubdi’u wa yuʿīd
(Q.S. [85]: 13) berarti, “Sesungguhnya Dialah Yang menciptakan (makhluk) dari
permulaan dan menghidupkannya (kembali)”. Frasa innahu yabda’u-l-khalq
thumma yuʿīduh (Q.S. [10]: 4) bermakna “Sesungguhnya Dialah yang memulai
penciptaan makhluk kemudian mengulanginya (menghidupkannya kembali setelah
berbangkit)”. Frasa wa bada’a khalqa al-insān min ṭīn (Q.S. [32]: 7)
berarti “dan (Dia) yang memulai penciptaan manusia dari tanah”. Frasa fabada’a
bi-awʿiyatihim qabl wiʿā’i akhīh (Q.S. [12]: 76) berarti “Maka mulailah
Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya
sendiri”. Frasa wa hum badaūkum awwala marrah (Q.S. [9]: 13) bermakna “dan
merekalah yang pertama mulai memerangi kamu”. Frasa mā yubdi’u al-bāṭil wa
mā yuʿīd (Q.S. [34]: 49) bermakna “yang batil itu tidak akan memulai dan
tidak (pula) akan mengulangi/kembali”.[22]
Tampak bahwa kata bada’a atau abda’a
dan berbagai bentuk turunannya juga digunakan untuk merujuk kepada perbuatan
memulai sesuatu, baik itu perbuatan Tuhan maupun perbuatan makhluk. Bedanya
dengan turunan badaʿa dan abdaʿa adalah bahwa makna bada’a
dan abda’a dapat merujuk pada tindakan memulai sesuatu yang baru
(sebelumnya tidak ada) sekaligus lama (sebelumnya telah ada, tapi diberikan
keadaan baru). Tindakan Tuhan memulai penciptaan makhluk dari permulaan –
seperti pada Q.S. [85]: 13 dan Q.S. [10]: 4 – menandakan bahwa Dia memulai
proses pengadaan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Di sisi lain,
tindakan Tuhan menciptakan manusia dari tanah yang dijelaskan dalam Q.S. [32]:
7 menunjukkan bahwa kata ibdā’ (dengan hamzah) itu juga mencakup makna memulai
sesuatu dari sesuatu yang lain yang telah ada sebelumnya, sehingga tidak harus berasal
dari ketiadaan.
Berdasarkan kandungan makna kata ibdāʿ
(dengan ʿayn), persamaan serta perbedaannya dengan kata ibdā’
(dengan hamzah), dan contoh penggunaan berbagai bentuk kata turunan dari akar
kata yang sama di dalam Quran, dapat ditunjukkan bahwa pemilihan terminologi
yang dilakukan oleh al-Kindi terkait penciptaan dari ketiadaan cukup cermat. Ia
memilih ibdāʿ (dengan ʿayn, bukan ibdā’ dengan hamzah)
karena penciptaan dari ketiadaan itu secara khusus berarti pengadaan sesuatu
yang baru yang sebelumnya belum pernah ada. Definisi istilah itu pun ia berikan
dengan tepat, iẓhār ash-shay’ ʿan lays (memanifestasikan sesuatu dari
ketiadaan), dengan kata lays di situ dapat juga dibaca sebagai lā
shay’. Penggunaan kata ibdāʿ untuk memerikan penciptaan itu juga
bersesuaian dengan peristilahan yang digunakan di dalam Quran. Hal itu – juga
bagian-bagian risalah al-Kindi yang menunjukkan analisisnya terhadap sejumlah
ayat dalam Quran, terutama beberapa ayat terakhir surah [36] yang berhubungan
dengan kemampuan Tuhan untuk menciptakan dan membangkitkan kembali – dapat mengindikasikan
bahwa upaya intelektual al-Kindi, setidaknya sebagian, diinspirasi oleh
ayat-ayat Quran. Ditambah fakta bahwa ia adalah filsuf yang membela teori
penciptaan dari ketiadaan dan menolak konsep Yunani tentang keabadian alam, hal
itu menunjukkan keunikan posisi falsafahnya dibandingkan para filsuf generasi
penerusnya, terutama dalam sikapnya terhadap dikursus kalam. Hal ini sekaligus
memberikan kekhasan tersendiri gagasan penciptaannya dibandingkan konsep para ahli
kalam, yang lebih banyak menggunakan turunan kata ḥadatsa untuk merujuk
tentang penciptaan.
[1] Ahmed Abdel Meguid, “Al-Kindi's Argument
for the Finitude of Time in His Critique of Aristotle's Theory of the Eternity
of the World in the Treatise On First Philosophy: The Role of the Perceiving
Soul and the Relation Between Sensation and Intellection”, Journal of
Islamic Studies, 2018, pp. 1-35, hal. 3
[2] Michael Chase, "Creation in Islam
from the Quran to al-Farabi", The Routledge Companion to Islamic
Philosophy, (New York: Routledge, 2016), hal. 251
[3] Michael
Chase, "Creation in Islam from the Quran to al-Farabi" ..., hal. 251
[4] Michael
Chase, "Creation in Islam from the Quran to al-Farabi" ..., hal. 251
[5] Ibnu
Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.373-375 mengutip Quran [36]: 78
[6] Ibnu
Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.373-375 mengutip Quran [36]:
79-82
[7] Ibnu
Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.374
[8] Alfred
L. Ivry, "Al-Kindi and the Mu`tazila: A Philosophical and Political
Reevaluation", Oriens, Vol. 25/26, 1976, pp. 69-85, hal. 78
[9] Ibnu
Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.374-375
[10] Ibnu
Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.375
[11] Richard
Walzer, "New Studies on Al-Kindī", Oriens, Vol. 10, No. 2 (Dec. 31,
1957), pp. 203-232, hal. []
[12] Michael
Chase, "Creation in Islam from the Quran to al-Farabi" ..., hal. 252
[13] Richard
Walzer, "New Studies on Al-Kindī", Oriens, Vol. 10, No. 2 (Dec. 31,
1957), pp. 203-232, hal. []
[14] Ibnu
Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal. 165
[15] S.M. Stern, “Notes on Al-Kindi’s Treatise
on Definitions”, Abū Yūsuf Yaʿqūb ibn Isḥāq al-Kindī: Tests and Studies
Collected and Reprinted, (Frankfurt am Main: 1999, Institute for the
History of Arabic-Islamic Science, Johann Wolfgang Goethe University), hal 33/423
[16] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: Spoken Language Services, Inc., 1979), hal. 57; Edward William
Lane, Arabic-English Lexicon, (London: Williams and Norgate, 1863), hal. 166
[17] Hans Wehr, A Dictionary of Modern ..., hal. 57; Edward William Lane, Arabic-English
Lexicon ..., hal. 166
[18] Hans Wehr, A Dictionary of Modern ..., hal. 58; ; Edward William Lane, Arabic-English
Lexicon ..., hal. 167
[19] Umar Faruq Abdallah, “Innovation and
Creativity in Islam”, Nawawi Foundation Paper, 2006, hal. 2
[20] Edward
William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 166
[21] Umar Faruq Abdallah, “Innovation and
Creativity in Islam”, Nawawi Foundation Paper, 2006, hal. 2
[22] Edward
William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 163
Comments
Post a Comment