Ibdāʿ: Istilah Penciptaan dalam Risalah-risalah al-Kindi

 


Sebagai salah satu pemikir falsafah Islam generasi paling awal, al-Kindi memiliki keunikan tersendiri karena posisinya yang membela teori penciptaan dari ketiadaan, berbeda dengan para filsuf sesudahnya yang cenderung menerima konsep keabadian alam. Uniknya, cara al-Kindi membuktikan kefanaan alam semesta berbeda dengan cara para ahli Kalam, karena ia memanfaatkan modifikasi campuran argumen-argumen Aristoteles, Neoplatonisme, dan John Philoponus untuk mengembangkan model argumentasinya sendiri yang unik.[1]

Begitu pula kosa kata yang kerap ia gunakan untuk menggambarkan penciptaan dari ketiadaan, yaitu ibdāʿ dan ta’yis, agak lain dari kosa kata yang standar digunakan di antara praktisi ilmu Kalam, yang diturunkan dari kata ḥadatsa. Tulisan ringan ini hendak mengulas penggunaan kedua terminologi itu, tanpa membahas kerangka argumen al-Kindi dalam membuktikan kefanaan dunia secara keseluruhan, mengingat hal itu memerlukan ruang dan kesempatan yang lebih luas. Walaupun sedikit, hanya terbatas pada kedua kata itu, pembahasan ini tetaplah dapat dianggap esensial dalam memahami kekhasan gagasan al-Kindi tentang penciptaan dari ketiadaan.[2]

Kata ibdāʿ itu secara sederhana dapat mengandung arti proses bermula; pembuatan sesuatu yang baru, pembaruan; dan restorasi atau pengembalian sesuatu kepada suatu keadaan tertentu, pengembalian kepada kondisi yang baru. Secara umum, al-Kindi menggunakannya untuk merujuk pada proses pengadaan sesuatu keberadaan ke dalam realitas alam dari ketiadaan atau tanpa memerlukan sumber atau bahan baku substrat material apa pun, yang terjadi secara instan, seketika, atau tanpa dibatasi oleh durasi dalam kerangka waktu. Dalam risalahnya Tentang Definisi Hal-hal dan Uraiannya (Risālah fī Ḥudūd al-Asyyā’ wa Rusūmihā), ia mendefinisikan ibdāʿ sebagai tindakan mengadakan sesuatu dari ketiadaan, sementara di tempat lain ia menyebut tindakan mewujudkan sesuatu dari ketiadaan (ta’yis al-aysāt ʿan lays) sebagai perbuatan yang secara layak dinamai ibdāʿ.[3]

Dalam risalahnya yang lain, Risalah tentang Jumlah Buku Aristoteles dan Apa yang Diperlukan untuk Mempelajari Filsafat (Risālah fil Kammiyat Kutub Arisṭu wa mā Yaḥtāj ilayhi fī Taḥṣīl al-Falsafah), di mana ia memberikan interpretasi atas beberapa ayat dalam Quran surah 36, ia menarik pembuktian yang menguatkan argumen penciptaan dari ketiadaan itu dari interpretasinya atas ayat-ayat tersebut, terutama tentang bagaimana sesuatu itu diadakan dari keadaannya yang sebaliknya, sehingga keberadaan mestilah diciptakan dari ketiadaan.[4] Bagian surah yang dikutip oleh al-Kindi itu mengisahkan bahwa orang-orang kafir mempertanyakan soal kebangkitan dan kehidupan setelah kematian kepada Rasulullah SAW.

“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh?”[5]

Jawaban yang diperintahkan Allah SWT untuk diberikan oleh Rasulullah SAW kepada mereka mengandung argumentasi retoris tentang penciptaan pertama kali, penciptaan di hari kemudian, dan penghidupan kembali tulang-belulang dari makhluk yang telah mati. Ayat-ayat itu juga mengandung bagian tentang penciptaan sesuatu dari kebalikannya (api dari kayu yang hijau) yang turut menginspirasi gagasan al-Kindi tentang penciptaan dari ketiadaan. Kutipan ayat itu juga memberikan informasi tentang cara Tuhan menciptakan sesuatu melalui perintah-Nya, yang memberikan kesan tentang mekanisme kehendak Tuhan.

“Katakanlah bahwa Dia (Tuhan) yang telah menciptakannya (tulang belulang itu) kali yang pertama akan menghidupkannya kembali, dan Dia Maha Mengetahui terhadap semua makhluk. Yaitu Dia yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu menyalakan (api) dari kayu itu. Dan bukankah Dia yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa untuk menciptakan yang serupa dengan itu? Benar, sungguh Dia berkuasa. Dan Dialah Maha Pencipta (al-khallāq) lagi Maha Mengetahui (al-ʿalīm). Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu (syay’an), hanyalah berkata kepadanya (sesuatu itu): ‘Jadilah!’, maka terjadilah ia (sesuatu itu)”.[6]

Al-Kindi lalu mencoba menafsirkan ayat-ayat tersebut. Dia pertama-tama menunjukkan kelemahan dalam posisi orang yang tidak beriman atau orang kafir.

Penanya, yang tidak percaya pada kekuasaan Tuhan, yang Maha Besar dan Agung, bagaimanapun harus mengakui bahwa ada sesuatu (kāna) setelah ketiadaan (lam yakun), dan bahwa tulang-tulangnya tersebut sebelumnya tidak ada (maʿdūm), lalu menjadi ada, lalu hancur, dan harus ada kembali setelah hancur-luluh (yaitu karena tulang-tulang tersebut harus ada sebelumnya sehingga orang kafir tersebut dapat mengajukan pertanyaan tentangnya, karena suatu pertanyaan pengujian tidak dapat diajukan pada sesuatu yang tidak ada).[7]

Lalu, bagaimanakah pengadaan sesuatu dari ketiadaan ini mungkin? Al-Kindi mengambil gagasan generasi sesuatu dari kebalikannya berdasarkan isyarat produksi api dari pohon dalam ayat tersebut. Perumusan-ulang oleh al-Kindi atas pernyataan Alquran tentang penciptaan dunia dari ketiadaan sangat menarik. Berdasarkan argumentasi dalam ayat-ayat itu, al-Kindi memosisikan makhluk ciptaan sebagai contoh dari prinsip umum pembangkitan sesuatu dari kontranya: seperti api diadakan dari non-api dan panas diadakan dari non-panas, sehingga secara umum sesuatu (huwa) diadakan dari hal lain yang bukan sesuatu itu (la huwa), tubuh diadakan dari bukan tubuh, dan keberadaan diciptakan dari ketiadaan.[8]

Karena Dia membuat api dari bukan api (jaʿala min lā nārin nāran) – yaitu api dari kayu yang hijau, atau panas dari yang bukan panas, sehingga sesuatu harus dapat dihasilkan dari kebalikannya. Karena jika apa yang terjadi (al-ḥādits) tidak berasal dari substansi (ʿayn) yang berlawanan, dan jika tidak ada perantara antara dua kontrarietas (yang berlawanan) itu – dengan “berlawanan” yang saya maksud adalah “itu” dan “bukan-itu” (huwa wa lā huwa) – hal itu harus datang dari dirinya sendiri (min dzātihi). Namun jika begitu, kemudian esensinya (dzāt) harus selalu tetap, abadi dan tanpa awal, padahal tidak mungkin. Sebab, jika kekeringan tidak datang dari bukan api, maka itu harus berasal dari api, sehingga api akan keluar dari api, dan api (ini) dari api (yang lain), dan mau tidak mau akan ada terus-menerus tanpa akhir (sarmadan) dan selamanya menjadi api dari api dan api dari api. Oleh karena itu, api akan selalu ada, dan tidak akan pernah ada keadaan (ḥāl) di mana ia tidak ada (hiya laysun). Jadi, tidak akan pernah ada api setelah sebelumnya tidak ada api. Namun, api memanglah dapat ada (mawjūdan) setelah sebelumnya tidak ada (lam takun), dan dapat dipadamkan/ditiadakan setelah ada. Jadi, satu-satunya kemungkinan yang tersisa adalah bahwa api mesti dihasilkan dari bukan api, dan bahwa setiap generasi berasal dari selain dirinya sendiri. Jadi, semua ciptaan yang diadakan, dihasilkan dari “yang-bukan-itu” (lā huwa).[9]

Al-Kindi lanjut menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak beriman yang digambarkan dalam surah 36 itu meragukan penciptaan langit dan bumi, karena dalam urusan tabii-manusiawi, yang menjadi kerangka pandangan orang kafir itu, sesuatu yang lebih besar memerlukan waktu pembuatan yang lebih panjang. Namun, analogi mereka antara perbuatan manusia dan tindakan penciptaan Ilahi hanya berdasarkan atas kejahilan. Al-Kindi menulis:

Dalam hati mereka, orang-orang kafir menyangkal penciptaan langit, karena apa yang mereka yakini tentang jangka waktu yang dibutuhkan untuk penciptaan didasarkan pada analogi mereka dengan tindakan manusia. Karenanya, dalam kasus tindakan manusia, semakin besar pekerjaan yang dihasilkan, semakin lama periode (waktu) yang diperlukan, sehingga bagi (manusia), hal-hal yang masuk akal atau ternalar (yaitu langit dan angkasa) akan membutuhkan waktu terlama untuk dibuat. Jadi, jelas bahwa Tuhan tidak membutuhkan periode (waktu) untuk menciptakan sesuatu, karena Dia mengadakan “itu” (identitas) dari “bukan-itu” (non-identitas) (jaʿala huwa min lā huwa). Jika kekuasaan-Nya (qudrah) sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan (yaʿmalu) tubuh-tubuh dari bukan-tubuh (non-material), dan memunculkan keberadaan dari yang bukan-keberadaan (ketiadaan) (akhraja aysan min laysin), dan karena Dia mampu (qādir) untuk melakukan suatu perbuatan tanpa (bergantung pada) substrat material (min lā ṭīnatin), Dia tidak harus memproduksi sesuatu (yaʿmalu) pada atau di dalam (kerangka) waktunya. Hal itu karena, tidak ada tindakan (fiʿl) umat manusia yang tanpa substrat material, sementara tindakan (Tuhan) yang tidak harus dilakukan pada substrat material, tidak mengharuskan jangka waktu tertentu (dalam kerangka fisik). “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu (syay’an), hanyalah berkata kepadanya (sesuatu itu): ‘Jadilah!’, maka terjadilah ia (sesuatu itu).” Artinya, Dia hanya perlu menghendaki, dan bersama-sama dengan kehendak-Nya, dihasilkan apa yang Dia kehendaki. Segala puji yang agung hanya bagi-Nya, dan Maha Tinggi Dia atas pendapat orang-orang yang tidak beriman![10]

Titik sentral pandangan Al-Kindi adalah, bahwa semua perubahan atau generasi berasal dari pertentangan, kebalikan, atau yang bukan dirinya. Api, misalnya, adalah kering, sehingga harus berasal dari sesuatu yang tidak kering. Prinsip ini berakar pada Plato, tetapi al-Kindi mungkin lebih menerapkan pengertian perubahan menurut Aristoteles. Dia setuju dengan Aristoteles bahwa, setiap kali sesuatu menjadi sesuatu, ia berasal dari yang bukan sesuatu itu. Ia menyatakannya sebagai huwa berasal dari lā huwa.[11] Namun, al-Kindi lanjut menerapkan prinsip ini dengan cara yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan Aristoteles, demi mempertahankan konsep penciptaan dari ketiadaan, dengan berargumen bahwa jika sesuatu mengada, hal itu juga harus mengada dari keadaan yang berlawanan. Dengan begitu, ia dapat menegaskan bahwa suatu keberadaan diadakan dari ketiadaan. Uniknya, al-Kindi tidak hanya merujuk ketiadaan dengan sekadar ʿadam dan negasi dari kata kerja kāna, tetapi juga menggunakan terminologi khasnya, lays (ketiadaan) sebagai lawan dari ays (keberadaan).

Selanjutnya, al-Kindi mengusulkan gagasan untuk memberikan kekhususan dalam proses penciptaan dibandingkan segenap proses generasi yang lain. Hal itu karena menurutnya, Kuasa dan Tindakan Tuhan jelas berbeda dengan kuasa dan tindakan manusia, sehingga standar dan batasan pada kuasa dan tindakan manusia tidak dapat diberlakukan kepada Kuasa dan Tindakan Tuhan. Dengan begitu, penciptaan sebagai Kuasa dan Tindakan prerogatif Tuhan, pasti berbeda dari kuasa dan tindakan generasi oleh manusia (misalnya tindakan tukang kayu menghasilkan meja dari papan kayu). Ia bahkan menambahkan kepada tipe-tipe perubahan dalam fisika Aristoteles itu suatu jenis perubahan yang lain: gerakan atau tindakan penciptaan (al-ḥarakah al-ibdāʿ), yang unik atau berbeda dari ragam perubahan yang lain, sebab tindakan penciptaan itu dilakukan tanpa memerlukan substrat atau substansi bahan baku yang telah ada sebelumnya, sehingga dengan demikian tidak bergantung kepada kerangka waktu fisika.[12]

Klaimnya bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan tanpa (bergantung pada) waktu (kerangka fisik) dan tanpa substrat material (ṭīnah) dimaksudkan untuk menandai kekhasan penciptaan sebagai suatu proses yang unik dari berbagai jenis perubahan, generasi, atau kausasi lainnya. Al-Kindi membedakan penciptaan dari hubungan kausalitas manusia (fisik) dan menuduh orang-orang kafir gagal membedakan Tindakan Ilahi dari tindakan manusia. Ciri-ciri khas penciptaan, yang tidak memerlukan sebab material dan tanpa bergantung waktu, ini dipilih al-Kindi dengan cermat, memberinya kesempatan untuk mengambil jalur berlawanan dari Aristoteles, sementara masih dapat meminjam metodologinya.[13]

Makna Ibdāʿ Menurut Leksikon

Dalam risalahnya Tentang Definisi Hal-hal dan Uraiannya (Risālah fī Ḥudūd al-Asyyā’ wa Rusūmihā), al-Kindi mendefinisikan salah satu istilah penciptaan, al-ibdāʿ (الإبداء), sebagai iẓhār ash-shay’ ʿan lays (إظهار الشيء عن ليس), memanifestasikan sesuatu dari ketiadaan.[14] Sebagian peneliti membaca lays sebagai lā syay’ (لا شيء).[15] Lalu, apakah pemaknaan istilah ibdāʿ menurut al-Kindi itu sesuai dengan pemaknaan leksikal dan konteks penggunaan istilah yang terkait dalam Quran? Kata ibdāʿ berkaitan dengan kata kerja badaʿa, abdaʿa, atau ibtadaʿa (menciptakan, membuat, mengadakan, menyusun, membangun, merencanakan, mereka, memikirkan, menyebabkan, menghasilkan, menemukan, membawa sesuatu yang sebelumnya tidak ada menuju keberadaan; berinovasi, memperbarui, memulai sesuatu yang baru, mengadakan perubahan atau pembaruan, meningkatkan keadaan sesuatu, meletakkan sesuatu pada tempatnya semula, mencapai hasil yang istimewa, menghasilkan sesuatu yang menakjubkan), baddaʿa (melebihi, melampaui, mengungguli, menjadi unggul), atau istabdaʿa (menemukan atau membuat sesuatu yang luar biasa).[16]

Kata ibdāʿ merupakan kata benda verbal yang diturunkan dari bentuk kata kerja abdaʿa. Kata ibdāʿ mengandung makna penciptaan, pembentukan, pembuatan, perancangan, pengadaan, pencapaian sesuatu yang unik atau menakjubkan, permulaan sesuatu yang baru; dan keunikan, kekhususan, keistimewaan, keanehan, kebaruan, keaslian, orisinalitas, kemampuan kreatif.[17] Pencipta, inovator, atau pelaku perbuatan kreatif disebut sebagai mubdiʿ atau bādiʿ.[18] Zat Yang Maha Menciptakan atau Mengadakan sesuatu yang sebelumnya tidak ada disebut sebagai al-Badīʿ. Kata Badīʿ (Pencipta, Yang Memulai) dimuat dalam Quran sebagai salah satu sifat Allah, “Pencipta langit dan bumi”, Badīʿ as-samāwāt wal-arḍ ([2]: 117 dan [6]: 101). Penggunaan Badīʿ merujuk kepada Tuhan menunjukkan keunikan perbuatan kreatif Allah dan mengimplikasikan bahwa alam semesta diwujudkan tanpa prototipe sebelumnya atau dari ketiadaan.[19]

Frasa abdaʿa Allāh al-khalq bermakna “Allah menciptakan makhluk-ciptaan dari ketiadaan, tanpa contoh, prototipe, atau kemiripan dengan sesuatu yang telah ada sebelumnya (lā ʿalā mithāl)”. Kata abdaʿa bersinonim dengan aḥdatha, istakhraja, ansha’a, ikhtaraʿa, dan abda’a.[20] Menariknya, kata abdaʿa dan abda’a – juga badaʿa dan bada’a, serta berbagai bentuk turunan mereka – terkait dalam hal makna meskipun berbeda dalam huruf akhirnya (hamzah dengan ʿayn). Kelompok kata abda’a (menggunakan hamzah) secara sederhana berarti memulai sesuatu, yang mana tidak harus berupa sesuatu yang baru, juga mencakup sesuatu yang telah ada sebelumnya. Sementara itu, kata abdaʿa  berarti memulai sesuatu yang baru atau yang belum pernah ada sebelumnya, sehingga dapat digunakan untuk secara khusus merujuk pada tindakan menciptakan sesuatu dari ketiadaan.[21]

Perbedaan dan persamaan kedua akar kata tersebut juga diperlihatkan dalam penggunaan kata turunan bada’a (menggunakan hamzah) itu dalam Quran. Frasa innahu huwa yubdi’u wa yuʿīd (Q.S. [85]: 13) berarti, “Sesungguhnya Dialah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali)”. Frasa innahu yabda’u-l-khalq thumma yuʿīduh (Q.S. [10]: 4) bermakna “Sesungguhnya Dialah yang memulai penciptaan makhluk kemudian mengulanginya (menghidupkannya kembali setelah berbangkit)”. Frasa wa bada’a khalqa al-insān min ṭīn (Q.S. [32]: 7) berarti “dan (Dia) yang memulai penciptaan manusia dari tanah”. Frasa fabada’a bi-awʿiyatihim qabl wiʿā’i akhīh (Q.S. [12]: 76) berarti “Maka mulailah Yusuf (memeriksa) karung-karung mereka sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri”. Frasa wa hum badaūkum awwala marrah (Q.S. [9]: 13) bermakna “dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu”. Frasa mā yubdi’u al-bāṭil wa mā yuʿīd (Q.S. [34]: 49) bermakna “yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi/kembali”.[22]

Tampak bahwa kata bada’a atau abda’a dan berbagai bentuk turunannya juga digunakan untuk merujuk kepada perbuatan memulai sesuatu, baik itu perbuatan Tuhan maupun perbuatan makhluk. Bedanya dengan turunan badaʿa dan abdaʿa adalah bahwa makna bada’a dan abda’a dapat merujuk pada tindakan memulai sesuatu yang baru (sebelumnya tidak ada) sekaligus lama (sebelumnya telah ada, tapi diberikan keadaan baru). Tindakan Tuhan memulai penciptaan makhluk dari permulaan – seperti pada Q.S. [85]: 13 dan Q.S. [10]: 4 – menandakan bahwa Dia memulai proses pengadaan sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Di sisi lain, tindakan Tuhan menciptakan manusia dari tanah yang dijelaskan dalam Q.S. [32]: 7 menunjukkan bahwa kata ibdā’ (dengan hamzah) itu juga mencakup makna memulai sesuatu dari sesuatu yang lain yang telah ada sebelumnya, sehingga tidak harus berasal dari ketiadaan.

Berdasarkan kandungan makna kata ibdāʿ (dengan ʿayn), persamaan serta perbedaannya dengan kata ibdā’ (dengan hamzah), dan contoh penggunaan berbagai bentuk kata turunan dari akar kata yang sama di dalam Quran, dapat ditunjukkan bahwa pemilihan terminologi yang dilakukan oleh al-Kindi terkait penciptaan dari ketiadaan cukup cermat. Ia memilih ibdāʿ (dengan ʿayn, bukan ibdā’ dengan hamzah) karena penciptaan dari ketiadaan itu secara khusus berarti pengadaan sesuatu yang baru yang sebelumnya belum pernah ada. Definisi istilah itu pun ia berikan dengan tepat, iẓhār ash-shay’ ʿan lays (memanifestasikan sesuatu dari ketiadaan), dengan kata lays di situ dapat juga dibaca sebagai lā shay’. Penggunaan kata ibdāʿ untuk memerikan penciptaan itu juga bersesuaian dengan peristilahan yang digunakan di dalam Quran. Hal itu – juga bagian-bagian risalah al-Kindi yang menunjukkan analisisnya terhadap sejumlah ayat dalam Quran, terutama beberapa ayat terakhir surah [36] yang berhubungan dengan kemampuan Tuhan untuk menciptakan dan membangkitkan kembali – dapat mengindikasikan bahwa upaya intelektual al-Kindi, setidaknya sebagian, diinspirasi oleh ayat-ayat Quran. Ditambah fakta bahwa ia adalah filsuf yang membela teori penciptaan dari ketiadaan dan menolak konsep Yunani tentang keabadian alam, hal itu menunjukkan keunikan posisi falsafahnya dibandingkan para filsuf generasi penerusnya, terutama dalam sikapnya terhadap dikursus kalam. Hal ini sekaligus memberikan kekhasan tersendiri gagasan penciptaannya dibandingkan konsep para ahli kalam, yang lebih banyak menggunakan turunan kata ḥadatsa untuk merujuk tentang penciptaan.



[1] Ahmed Abdel Meguid, “Al-Kindi's Argument for the Finitude of Time in His Critique of Aristotle's Theory of the Eternity of the World in the Treatise On First Philosophy: The Role of the Perceiving Soul and the Relation Between Sensation and Intellection”, Journal of Islamic Studies, 2018, pp. 1-35, hal. 3

[2] Michael Chase, "Creation in Islam from the Quran to al-Farabi", The Routledge Companion to Islamic Philosophy, (New York: Routledge, 2016), hal. 251

[3] Michael Chase, "Creation in Islam from the Quran to al-Farabi" ..., hal. 251

[4] Michael Chase, "Creation in Islam from the Quran to al-Farabi" ..., hal. 251

[5] Ibnu Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.373-375 mengutip Quran [36]: 78

[6] Ibnu Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.373-375 mengutip Quran [36]: 79-82

[7] Ibnu Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.374

[8] Alfred L. Ivry, "Al-Kindi and the Mu`tazila: A Philosophical and Political Reevaluation", Oriens, Vol. 25/26, 1976, pp. 69-85, hal. 78

[9] Ibnu Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.374-375

[10] Ibnu Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal.375

[11] Richard Walzer, "New Studies on Al-Kindī", Oriens, Vol. 10, No. 2 (Dec. 31, 1957), pp. 203-232, hal. []

[12] Michael Chase, "Creation in Islam from the Quran to al-Farabi" ..., hal. 252

[13] Richard Walzer, "New Studies on Al-Kindī", Oriens, Vol. 10, No. 2 (Dec. 31, 1957), pp. 203-232, hal. []

[14] Ibnu Ishaq al-Kindi, Rasāil al-Kindi ..., hal. 165

[15] S.M. Stern, “Notes on Al-Kindi’s Treatise on Definitions”, Abū Yūsuf Yaʿqūb ibn Isḥāq al-Kindī: Tests and Studies Collected and Reprinted, (Frankfurt am Main: 1999, Institute for the History of Arabic-Islamic Science, Johann Wolfgang Goethe University), hal 33/423

[16] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: Spoken Language Services, Inc., 1979), hal. 57; Edward William Lane, Arabic-English Lexicon, (London: Williams and Norgate, 1863), hal. 166

[17] Hans Wehr, A Dictionary of Modern ..., hal. 57; Edward William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 166

[18] Hans Wehr, A Dictionary of Modern ..., hal. 58; ; Edward William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 167

[19] Umar Faruq Abdallah, “Innovation and Creativity in Islam”, Nawawi Foundation Paper, 2006, hal. 2

[20] Edward William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 166

[21] Umar Faruq Abdallah, “Innovation and Creativity in Islam”, Nawawi Foundation Paper, 2006, hal. 2

[22] Edward William Lane, Arabic-English Lexicon ..., hal. 163

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan