Indonesia Berparlemen, Tulisan Soekiman Wirjosandjojo

 

Pidato di Kongres Rakyat Indonesia, Desember 1939, dimuat di Mingguan “Adil”, Sala pada 30 Desember 1939, 6 Januari 1940, dan 13 Januari 1940.

Wasyawirhum fil amrie (wa shāwirhum fil-amr)

Sebelum kami memulai pidato kami tentang Indonesia Berparlemen, kami atas nama Partai Islam Indonesia mengucap diperbanyak terima kasih atas kepercayaan pengurus GAPI yang telah menyerahkan kewajiban yang maha penting ini kepada partai kami, yaitu salah satu anggota yang termuda daripada keluarga pergerakan politik Indonesia.[1]

PII merasa bangga dan berbesar hati mendapatkan kehormatan yang sedemikian besar dan yang berupa suatu penyuruhan, yakni akan mempertahankan dan membela di medan umum: suatu hak yang memang semula sudah disertakan oleh Tuhan kepada kita rakyat Indonesia (primordial recht), hak mana umumnya oleh ahli-ahli hukum dan oleh segenap manusia yang mempunyai perasaan keadilan (rechtsgevoel) dipandang sebagai salah satu hak dasar (grendrecht) dari sesuatu bangsa untuk mengatur keadaan tanah air dan dirinya menurut kehendak dan keyakinannya sendiri![2]

Hak itu adalah "hak menentukan diri sendiri" (zelf-beschikkingsrecht); sesungguhnya hak yang mewujudkan suatu ketentuan yang teguh dan tetap ini (aksioma), dan yang sering kali sudah dibicarakan, tak perlu dan tak butuh lagi pada pembelaan, sehingga kewajiban PII mengadakan pleidoi untuk hal ini semata-mata bersifat pengulangan dan penegasan (verduidelijking) daripada pendirian rakyat Indonesia yang telah ternyata dalam aksi rapat umum pada Minggu yang lalu di seluruh Indonesia menuntut adanya "Parlemen Indonesia", ialah parlemen yang sejati untuk Indonesia! Walaupun demikian, Partai Islam Indonesia telah mengutus diri kami untuk menjalankan kewajiban yang dipikulkan kepadanya oleh Pengurus GAPI di depan Kongres Rakyat Indonesia yang pertama ini.[3]

Apakah parlemen itu, dan bagaimanakah kepentingannya parlemen bagi sesuatu umat? Marilah kita coba mengupas dan menerangkan dua-duanya soal tersebut di atas ini! Banyak sekali pengarang dan kaum ahli hukum negeri, (Staatsrechtsgeleerden), yang telah menulis tentang teori-teori hal pemerintah negeri, sehingga dari bertimbun-timbunnya literatur tentang soal ini memudahkan kami akan mengutarakan pandangan tentang peristiwa yang kita hadapi pada sekarang ini.[4]

Dari zaman dahulu sehingga sampai dewasa ini, yang menjadi asas atau sendi pemerintahan negeri itu adalah dua dasar pendirian (prinsip); pertama pemerintahan yang berdasar atas pimpinan seseorang yang pada zaman dahulu berupa suatu pemerintahan raja yang dikuasakannya tak ada batasnya (absolutische monarchie), yang kekuasaannya ini didasarkan atas kuasa Tuhan, dan yang kerajaannya dianggap sebagai berkat kemurahan Tuhan (bij Godsgenade). Tentu saja sistem pemerintahan yang demikian ini kalau dipandang menurut ilmu kerajaan (staatsrechtlijk) tak ada habisnya (eeuwig), sebab bersifat sebagaimana sifatnya Tuhan, yaitu langgeng atau langsung. Oleh karena itulah, maka selalu dituturkan (gezeggereerd) bahwa kekuasaan raja yang absolutisch sebagaimana Tuhan itu tidak dapat untuk ditiadakan dengan hak-hak dan kehendak dari manusia belaka![5]

Di zaman sekarang, sistem pemerintahan seseorang tadi sudah menjelma kembali dalam dictatorschap. Hakikatnya sistem ini ialah: satu orang memerintah dan orang banyak harus tunduk kepadanya! Jadi kemauan si satu dapat mengalahkan kemauan si banyak. Menurut Prof. Robert Michels, "absolute monarchie" itu bersendi atas kemauan seseorang raja. "Sic volo, Sic jubeo" (Prof. Robert Michels dalam bukunya "Zur Soziologie des Parteiwesens". Alfred Kroner Verlag Leipig, pag. 1)[6]

Kedua: bertentangan dengan prinsip pemerintahan di atas ialah sistem kerakyatan (demokrasi). Pusat kekuasaan bukan lagi di tangan orang-seorang, akan tetapi rakyat yang terbanyak. Sistem demokrasi ini tidak mengakui hak-hak luar biasa, misalnya hak kelahiran (geboorterecht) yang ada pada seorang raja, atau hak-hak sebagai hadiah yang diberikan oleh raja (verkregenrechten) misalnya, yang diberikan kepada kaum bangsawan dan kaum pendeta. Hakekat demokrasi adalah: persamaan hak bagi semua orang terhadap segala wet negeri. Jadi undang-undang negeri itu tidak boleh memperbeda-bedakan hak-hak dari satu orang dengan yang lain. Tiap orang ada mempunyai kemungkinan yang sama untuk menduduki tiap-tiap jabatan negeri, sampai jabatan yang paling tinggi! Yang menjadi dasar ukuran untuk menduduki jabatan-jabatan itu bukan "geboorterecht" dan "verkregen rechten" sebagaimana yang tersebut tadi, akan tetapi: kepandaian, kecakapan, dan kecerdasan.[7]

Tentang demokrasi ini, Lord Bryes di dalam bukunya yang bertitel: "Modern Democraties" (Bd. I halaman 2), berkata: "Democratie, adalah satu-satunya cara pemerintahan, di mana kekuasaan pemerintah negeri menurut dasar undang-undang negeri, tidak disediakan hanya bagi satu golongan istimewa (bijzonder klas) atau beberapa golongan, tetapi disediakan bagi segenap anggota masyarakat!" Dengan pendek kata: Di dalam pemerintahan yang absolutistisch (monarkichie, dictatorschap) adalah cuma seorang saja yang menanggung jawab atas keadaan di dalam negeri, sedang dalam sistem demokrasi itu: rakyatlah, si banyaklah (meerderheid) yang memikul tanggungan jawab atas segala sesuatunya.[8]

Teranglah bahwa baik di dalam hakikat, maupun di dalam wujudnya, dua macam pemerintahan itu bertentangan satu sama lain. Riwayat pergaulan hidup manusia, bermula di Eropa, kemudian di lain-lain bagian dunia ini adalah menunjukkan: pertarungan dan pergulatannya pengaruh kekuasaan dua macam sistem pemerintahan itu.[9]

Jika pergulatan dan pertarungan itu di suatu bahagian dunia bisa terjadi dengan segala kekerasan dan kehebatan, maka di lain bahagian dunia bisa juga terjadi dengan cara atau jalan yang damai dan halus! Akan tetapi pertentangan-pertentangan biasanya berakhir dengan kemenangan aliran kerakyatan (demokrasi)![10]

Dan menurut riwayat, berlakunya demokrasi di dalam pemerintahan, biasanya memakai jalan melalui badan-badan perwakilan (parlementaire democratie). Untuk sekadar menjelaskan dan melengkapkan pandangan kami tentang riwayat Parlementaire Democratie, maka baiklah di sini kami kemukakan dengan pendek akan sejarah Parlemen Inggris, yaitu suatu badan perwakilan rakyat, yang biasanya menjadi contoh bagi negeri-negeri lain yang menyusun pemerintahannya dengan sistem demokrasi.[11]

 

Parlemen Inggris

Di waktu rakyat Perancis, sesudah berakhirnya revolusi besar, asyik menyusun pemerintahan yang mesti memenuhi dua macam ketentuan yaitu 1) rakyat mesti campur tangan di dalam kekuasaan pemerintahan dan 2) pemerintah harus bertanggung jawab atas segala perbuatannya, maka di negeri Inggris sudahlah terdapat macam pemerintah yang demikian itu.[12]

Di dalam "Magnacarta", abad ke XIII (1215), yaitu suatu perjanjian perdamaian antara Raja Johan zonder Land dengan sementara kaum bangsawan terbesar, terdapatlah benih badan perwakilan yang membatasi kekuasaan ratu, seperti: larangan kepada raja untuk memungut dua macam bea (belastingen): auxilium dan scutagium kecuali dengan mufakatnya vergadering pembesar-pembesar negeri yang dinamakan: Commune Consilium regni. Lebih jelas tentang hal ini orang dapat membaca di dalam karangan Prof. Wolfgang Michael yang bertitel: "Die Entwicklung des Parlementarismus in England".[13]

Di dalam abad ke XIV, badan perwakilan itu sudah ditambah anggotanya dengan wakil-wakil dari graafschap-graafschap di kota-kota dan dari golongan yang terpenting dari penduduk negeri.[14]

Dengan tambahnya anggota-anggota di dalam badan perwakilan itu, maka bertambah besar pulalah pengaruh (invloed)nya badan perwakilan itu atas pemerintahan negeri; dan di dalam tahun 1688, di waktu raja dan badan perwakilan bertentangan satu sama lain, berebutan kekuasaan (suprematie) dalam urusan negeri, terkenal sebagai "glorious revolution", maka menanglah badan perwakilan dan lahirlah pemerintahan dengan sistem parlementer. Kekuasaan parlemen Inggris sejak saat itu terus bertambah luas, sehingga menjadi dewan perwakilan rakyat yang sejati dengan nama "house of Commons" (Lager Huis) dan "House of Lord" (Hooger Huis) seperti yang kita kenal sekarang ini. Barang siapa akan mendalamkan pengetahuannya tentang ini, bacalah kitab karangan A. Lawrence Lowell yang bertitel: "The Gouvernment of England" tahun 1924, jilid I halaman 16-26, dan bacalah juga buku Prof. Mr. H. Krabbe, yang bertitel: "Kritische Darstellung der Staatslehre" tahun 1930, halaman 200-202, dan buku Dr. D. Van Hinloopen Labberton yang bertitel: "De Middeleeuwsche oorsprong en Geschiedenis van het Engelsche Parlementaire stelsel" 1931.[15]

 

Parlemen Belanda

Oleh karena pada saat ini negeri Belanda yang memegang kekuasaan di Indonesia, maka patutlah riwayat Dewan Perwakilannya dipelajari pula, walaupun tidak dengan sedalam-dalamnya. Buku dari D. Hans yang bertitel: "Het Nederlandsche Parlement", memberi penerangan singkat tentang riwayat Tweede dan Eerste Kamer (Staten Generaal) dari pemerintahan negeri Belanda.[16]

Menurut D. Hans, riwayat "Badan Perwakilan" bagi negeri Belanda telah dimulai dengan uleman (ajakan) Raja Philips de Goede kepada wakil-wakil segenap "staten", yaitu badan-badan provinsi yang terdiri dari beberapa orang ternama dari penduduk provinsi itu, untuk bermusyawarah bersama-sama di kota Brussel pada ketika tanggal 25 April 1465.[17]

Badan musyawarat ini, yang bernama "Algemeene Staten", bervergadering pada tiap tahun dua atau tiga kali. Anggota-anggotanya diwajibkan membicarakan dan mengurus pertama kali hal kepeningan daerahnya masing-masing. Sifat bermusyawarah yang demikian ini kemudiannya diubah-ubah sampai beberapa kali (1576; 1581), akan tetapi sekalipun demikian toh masih belum bisa memuaskan, sehingga kritik-kritik yang tajam telah dihadapkan kepadanya.[18]

Demikianlah misalnya, Jhr. Mr. J. J. de la Bassecour Caan antara lain menyatakan di dalam bukunya yang bertitel: "Schets van den Regeeringsvorm der Ned. Republick", halaman 204, demikian: "Vergadering Staten Generaal (badan perwakilan) karena sifat dan bentukannya sama sekali tidak cakap untuk menjadi badan pemerintahan negeri. Pengurus Staten dari hertogdom Gelderland, dalam tahun 1722 sudah menyiarkan surat kepada daerah-daerah yang lain, yang menerangkannya: "bahwa umumnya Rakyat itu dibutakan dalam urusannya sendiri ("dat men het volk doorgaands te blind in zijne eigene zaaken houdt"). Dengan pendek orang merasa tidak senang dengan adanya pemerintahan negeri yang tak memuaskan itu, dan mereka memandang perlu sekali mengadakan suatu kekuasaan di dalam negeri, yang mewakili tidak hanya satu kelas, satu golongan (standen) saja, akan tetapi mewakili segenap rakyat.[19]

Perwakilan Rakyat Belanda yang sejati mulai tumbuh sesudah perubahan besar di negeri Perancis (Fransche Revolutie) mempengaruhi keadaan di Eropa. Dalam tahun 1796 telah dilangsungkan persidangan nasional (nationale vergadering) yang pertama, dan Napoleon-lah yang memberi dasar fondament pertama kepada bentukan pemerintahan negeri, yang dinamakan: "Grondwettelijken Staat". Di dalam Grondwet, dasar hukum negeri, ditulis dengan terang tentang hak dan kewajiban Raja dan Rakyat.[20]

Sesudah merdeka di dalam tahun 1813 dari genggaman Frans, maka negeri Belanda lalu mempunyai satu badan perwakilan rakyat, satu parlemen, yang tersusun oleh dan menjadi badan perwakilan rakyat.[21] Beberapa kali, misalnya di dalam tahun-tahun: 1814, 1815, 1840, 1848, 1887 dan 1924, hak-haknya selalu diluaskan (budgetrecht = hak menetapkan begrooting negeri; recht van petitie = hak memajukan tuntutan-tuntutan kepada pemerintah; recht van interpellatie = hak minta keterangan yang luas; recht van enquette = hak penyelidikan yang luas). Dan prinsip pertanggungjawaban pemerintah atas perbuatannya dan cara pemilihan yang langsung (rechtstreeksche verkiezingen) telah didapatkan pula.[22]

Dalam riwayat dua negeri tersebut di atas, yang boleh ditambah dengan riwayat dari hampir segenap bangsa-bangsa yang sopan di lain-lain bagian dunia ini, maka ternyatalah dengan terang-benderang: bahwa pihak rakyat di mana saja tidak senang dan tidak puas hatinya dengan hanya menggantungkan nasibnya pada pemerintahan yang tidak bersendi atas aliran kerakyatan, hingga mereka terus-menerus mengadakan perjuangan untuk mengubah keadaan di dalam pemerintahan negeri supaya dapat sepadan dengan kehendaknya.[23]

 

Sistem Pemerintahan Islam

Perkumpulan kami, sebagai suatu partai yang berdasarkan Islam, tentu saja merasa wajib menerangkan: betapa sikap Islam terhadap soal parlemen itu, atau dengan lain perkataan: "Bagaimanakah cara pengurusan negeri di dalam Islam?" Saya sebut nama-nama: Partai Syarikat Islam Indonesia, Partai Islam Indonesia, Muhammadiyah, MIAI, dan lain-lainnya. Dengan hadirnya perkumpulan-perkumpulan Islam di dalam Kongres Rakyat Indonesia, nyatalah, bahwa soal-soal yang menjadi pembicaraan, soal-soal yang mengenai nasib rakyat Indonesia seluruhnya, mendapat perhatian sepenuhnya daripada sebagian terbesar, kalau tidak semuanya, umat Islam di tanah air kita ini! Di antara berbagai-bagai soal itu, soal Parlemenlah yang khusus menarik perhatiannya umat Islam di negeri kita! Syahdan, keadaan yang demikian itu mesti ada sebabnya; dan sebab-sebab itulah yang di sini perlu kami terangkan di medan umum.[24]

Kecuali memang sudah selayaknya, kita rakyat Indonesia memikirkan soal-soal yang mengenai nasib kita bersama, adalah satu-satunya hal yang hangat untuk dirunding bersama pada masa sekarang ini; yaitu soal pemerintahan yang senantiasa menjadi perhatian dalam agama Islam. Pada sebelumnya dunia Eropa mengadakan bermacam-macam cara pemerintahan yang tadi sudah kami bentangkan, Allah SWT telah bersabda kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang termaktub di dalam Al Quran ayat 159 surat Ali Imran:[25]

"Wa amruhum syura bainahum"

"Dan musyawarahkanlah Muhammad, segala kepentingannya dengan orang itu sendiri!"

Di sini, nyatalah bahwa pemerintahan yang dikehendaki oleh Islam itu, ialah suatu pemerintahan yang berlaku dengan musyawarat, yang tidak bergantung atas kehendak satu golongan, apalagi atas kemauan seseorang saja. Pemerintah Islam diharuskan membicarakan dan memusyawarahkan segala sesuatu yang mengenai nasib umatnya dengan umat itu sendiri. Apakah demikian itu pada hakikatnya bukan suatu sistem yang dikehendaki oleh demokrasi dengan perantaraan badan perwakilan?[26]

Tentang hal ini, M.J. Bonn di dalam risalahnya yang bertitel: "Die krisis der Europaischen Demokratie", pada halaman 20 ada menerangkan, bahwa: "Sesungguhnya hakikat sesuatu sistem pemerintahan secara parlementer itu ialah memerintah dengan bertukar pikiran (diskusi)".[27]

Ada lagi suatu firman Allah, yaitu ayat 38, surat Syuro, yang dengan terang melukiskan hak sesuatu bangsa atau umat untuk mengatur urusannya sendiri. Ayat ini berbunyi: wa syawirhum fil amri. Sesudah memujikan mereka yang beriman sungguh kepada Tuhan yang menjalankan segala perintah-Nya, maka Allah bersabda:[28]

"... dan kepentingan mereka seharusnya menjadi pembicaraan di antara mereka itu sendiri."

Apakah bukan maksud ayat ini "hak sesuatu bangsa atau umat untuk mengurus dan menentukan nasib dirinya sendiri". Cukuplah agaknya di sini gambaran kami sekedar tentang bentukan pemerintahan secara Islam; dan pemerintahan yang demikian sifatnya itu tidak saja hanya dilakukan di negeri-negeri Islam yang sekarang ini, tetapi pun juga dipraktikkan lebih dahulu oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh penggantinya Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Di dalam riwayat Islam, maka pemerintahan 4 pengganti Rasul itu biasanya dipandang sebagai zaman keemasan dari kerajaan Islam pada permulaannya.[29]

Untuk menjelaskan gambaran pemerintahan secara Islam, maka di sini saya sajikan pemandangannya Dr. Zaki Ali, yang termuat dalam bukunya yang baru terbit dengan titel: "Islam in the World" (halaman 53, bagian "Islamic Polity"), ia menunjukkan dengan tegas sifat kerakyatan (demokrasi) pemerintahan Islam:

"Islam has always insisted, that all believers are equal in the sight of God. Therefore sharply democrated classes are absent. There is No. specially privileged class neither a hereditery aristocracy nor a privileged priesthood. Socially or economically there is no difference between the greates of the Caliph and the commonest of the faithful”.[30]

“Islam itu senantiasa menabur-naburkan, bahwa semua orang yang percaya (kepada Tuhan) adalah sama di dalam mata Allah SWT. Lain daripada itu, tiada golongan-golongan yang diperbedakan dengan nyata antara satu sama lainnya. Tidak ada golongan atau kelas yang mempunyai hak istimewa, tiada hak bangsawan yang turun menurun, tiada golongan pendeta yang mempunyai hak luar biasa. Di dalam lapangan sosial dan ekonomi, tiada perbedaan di antara pemegang pemerintahan (khalifah) yang terkuasa dan orang yang biasa di antara umat yang percaya.”[31]

Kesimpulannya, agama Islam memang mewajibkan kita menyokong dengan sekuat-kuatnya tuntutan rakyat Indonesia untuk keperluan mendapatkan parlemen yang sejati (Volwaardig Parlement). Marilah sekarang kita mencoba menggambarkan pemerintahan yang berlaku di tanah air kita.[32]

 

Pemerintahan di Indonesia

Dengan melampaui zaman Oost Indische Compagnie dan saat Cultuurstelsel van den Bosch, di dalam waktu mana boleh dibilang: Indonesia tidak karuan cara pemerintahannya, dan oleh karena itu, keadaan rakyatnya lalu korat-karit. Maka, buat pertama kali bangsa kita mendapat “dasar hukum dalam negeri” (Regeeringsreglement, yaitu aturan pemerintah yang terang) dalam tahun 1854 (R.R. 1815-1818-1827-1830-1836, menurut Prof. Mr. Kleintjes dalam bukunya: Staatsintellingen van Ned. Indie 1917 jilid I halaman 17, berarti instructies (perintah-perintah) belaka kepada G.G.)[33]

Di dalam aturan pemerintahan menurut R.R. 1854, yang memegang kendali pemerintah sesungguhnya hanyalah satu orang saja, yaitu pembesar G.G. yang harus berbangsa Belanda, yang menanggung jawab atas pekerjaan beleidnya kepada Raja dan Parlemen Nederland. Kalau cara pemerintahan demikian ini dikupas dan diukur dengan ukuran sistem pemerintahan yang sudah saya terangkan tadi, maka aturan pemerintahan ini nyata-nyata tergolonglah pada pemerintahan seseorang yang tak ada batas kekuasaannya (absolut). Bangsa kita diwajibkan tunduk di bawahnya. Pembesar negeri tak menanggung jawab atas beleid pemerintahannya kepada rakyat kita yang diperintah olehnya, tetapi apel kepada Raja Belanda yang memberikan kuasa kepadanya; jadi persis keadaannya monarki absolut di zaman purbakala dalam akibatnya bagi rakyat.[34]

Kalau pada zaman penghabisan abad ke-19 keadaan rakyat Indonesia tak begitu menyenangkan, ini tidak perlu diherankan jika kita mengetahui, bahwa tanah air kita, karena masih tetap dipandang sebagai “sumber penguntungan akan tetap selalu memberikan keuntungan-keuntungan materiil, yang sama menjadi tujuan dari penaklukan” (... “wingewest aan Nederland zal blijven verschaften de stoffelijke voordeelen, die het doel waren der verovering”).[35]

Keadaan ini rupanya dirasakan oleh sebagian kecil dari bangsa Belanda, karena merasa tak patut dipertahankan lagi. Zaman “politik menyayang” (etische politiek) menjelma, dan sudah lama sebelumnya Volksraad diadakan di sini, maka Mantri-mantri (Menteri-menteri) Jajahan di Nederland sama merancang perubahan dalam bentukan pemerintahan Indonesia, dengan hajat akan memberi sekedar bagian dalam pemerintahan kepada penduduk-penduduk yang bukan amtenar (ambtenaar).[36]

Oleh minister jajahan tuan Van Dedem dalam tahun 1894, dan 10 tahun kemudian daripada itu oleh minister Fock, dan di dalam tahun 1913 oleh minister De Waal Malefiet telah dicoba rancangkan suatu percobaan untuk membangunkan suatu badan perwakilan di samping G.G. dan Raad van Indie. Tetapi baru dalam tahun 1916 (16 Desember) diterima oleh Parlemen Nederland, rancangan untuk Volksraad sekarang ini, yang diajukan oleh minister jajahan Pleyte. Dan mulai tahun 1917, penduduk Indonesia mempunyai “badan perwakilan” yang di dalam tahun 1925 diubah bersama dengan percobaan R.R. menjadi “Staatsinrichting van Ned. Indie”.[37]

 

Volksraad

Sifat dan bentuknya Volksraad tahun 1917 itu hanyalah bersifat penasihat saja (adviseerend). Jumlah anggotanya, voorzitter-nya tidak dihitung, ada 48. Dan mulai tahun 1925, diberi hak untuk turut campur tangan dalam beberapa bagian pemerintahan. Tentang penetapan begrooting negeri, tentang pembikinan undang-undang negeri (ordonanties) dan lain-lain, ditentukan dengan adanya permufakatan (overeenstemming) antara G.G. dan Volksraad.[38]

Tetapi apa lacur? Di dalam art. 89 I.S. Tuan Besar G.G. mempunyai alat senjata untuk meniadakan keputusan Volksraad (Conflictenregelling), artinya untuk memerintah, bertentangan dengan kehendak Volksraad, dengan memakai kemauannya sendiri. Alat senjata (conflictregelling) itu kalau kami tidak keliru, sering kali digunakan oleh G.G. yang dulu, sehingga hak untuk turut bikin undang-undang negeri (medewetgevende bevoegheid) tidak jarang sia-sia.[39]

Kalau selanjutnya pula kita mengingat akan cara pemilihan anggota-anggota Volksraad yang mesti dipilih (hanyalah 38 dari 60 anggota, sedang yang 22 orang harus dibenum oleh G.G.), yaitu dengan cara tidak langsung (getrapt kiesrecht) oleh provincialeraad, gemeenteraad dan desa-raad dan beberapa raad lain di luar Pulau Jawa, maka dapatlah kita tetapkan bahwa pemilihan umum dengan jalan langsung (algemeen direct kiesrecht) masihlah jauh dari itu, dan masih tetaplah menjadi idam-idaman kita.[40]

Di sini bukanlah kewajiban kami akan mengadakan penyelidikan yang agak mendalam tentang keadaan kita di lapangan politik, ekonomi atau sosial. Kita semuanya merasakan pahit getir nasib kita. Hak berkumpul dan bersidang, hak mengeluarkan pikiran dan hak berbicara telah disempitkan tidak sedikit oleh beberapa aturan negeri yang terkenal, (art. 153 bis dan ter, 154 dan 161 bis dari W.V.W.). Hak memilih dan terpilih (actief dan passief kiesrecht) belum seberapa luas adanya, sedang sebaliknya Pemerintah mempunyai alat senjata yang luas untuk menghalangi majunya pergerakan kebangsaan kita, sehingga tak ada “fair-play”, perlombaan yang pantas, di antara pergerakan Indonesia dan Pemerintah. Berhubung dengan adanya segala sesuatu ini, maka di lapangan pergerakan hak-hak kita sekarang ini mundur kalau dibandingkan dengan tahun 1918.[41]

Di lapangan ekonomi dengan pendek: kemelaratan rakyat sungguh menyedihkan sekali, onderneming-onderneming dan perdagangan sebagian besar bukan di tangan kita! Di lingkungan sosial, masih sangat besar kebutuhan rakyat pada sekolahan-sekolahan, rumah-rumah sakit, dan rumah-rumah untuk pemeliharaan orang miskin, anak-anak yatim, demikian pun perlindungan kaum buruh (sociale wet geving) dan lain-lainnya.[42]

Segala sesuatunya itu diwajibkan: rakyat Indonesia menuntut perubahan dan perbaikan nasib! Adapun di antara alat-alat yang dapat digunakan untuk itu: parlemen yang sejatilah yang terpenting adanya. Oleh sebab itu, Kongres Rakyat Indonesia menuntut adanya Volksraad yang sempurna, menganjurkan: Indonesia berparlemen! Apakah sebabnya: tuntutan yang sudah lama itu pada hari ini kita ulangi kembali?[43]

Sebagaimana sekalian Saudara-saudara yang hadir sekarang ini sudah sama mengetahui, mendengar, dan membaca, maka di benua Eropa dan di bahagian benua Asia pada sekarang ini sedang menderita keadaan suasana yang tidak normal, yaitu berhubung dengan peperangan yang hebat antara negeri satu dengan lainnya. Sekarang keadaan yang tidak normal itu belum merembet dan menjalar ke seluruh bahagian dunia ini, akan tetapi kemungkinan tentang itu selalu ada. Sebagai sebuah gedung yang dimakan api, maka sudah tentu lain-lain gedung yang ada di kanan kirinya selalu dikhawatirkan kalau-kalau api itu nanti akan merentek-renteknya, sehingga gedung lain pun mungkin sekali kena bahaya terbakar itu. Demikianlah juga halnya dengan api peperangan yang sekarang ini; negeri-negeri yang pada saat ini masih di dalam keadaan netral tidak campur di dalam peperangan, mungkin sekali nanti akan terseret di dalam bahaya perang itu. Sehingga tidak mengherankan apabila semua negeri yang netral sekali pun, pada ini waktu sudah lama mengadakan persediaan perlengkapan-persenjataan untuk menjaga keselamatannya masing-masing. Tidak saja di tapal batas masing-masing negeri diadakan penjagaan militer yang sentosa untuk keselamatan bangsanya, pun di dalam negeri tampaklah pihak Pemerintah mengadakan tindakan-tindakan bermaksud menenteramkan keadaan rakyatnya. Baik kerajaan-kerajaan yang berperang, maupun negeri-negeri yang bersikap netral, telah sama mengatur barisan di dalam negeri (Home Front) yang sebaik-baiknya, supaya tiada ada musuh yang akan menikam dirinya dari belakang atau menghalangi kehendaknya untuk membela tanah tumpah darahnya.[44]

Negeri Nederland dan Indonesia yang sekarang masih menjadi satu, tidaklah terasing dari bahaya itu. Negeri Belanda letaknya terjepit di antara Inggris dan Jerman, yang pada saat ini sedang bermusuhan hebat satu dengan lain. Demikian pula keadaan di Pasifik pada ini waktu, berhubung dengan berkobarnya api peperangan di Eropa dan di Asia pada saat ini, pun amat penuh dengan bahaya mengancam. Gregory Bienstock dalam bukunya yang bertitel: “De strijd om den grooten Ocean” 1938, meyakinkan kita tentang adanya bahaya-bahaya besar itu. Dan orang harus tidak melupakan, bahwa Indonesia, di mana kita semuanya ini berada, pun terletak di bahagian lautan Pasifik itu.[45]

 

Persiapan Nederland dan Indonesia

Apakah Pemerintah Negeri Belanda sudah berusaha dengan sungguh-sungguh akan meneguhkan “home front” itu, baik di Nederland maupun di Indonesia? Bagaimanakah akan berbuat itu?[46]

Menurut keyakinan kami, untuk kepentingan tersebut hanyalah ada satu jalan yang mungkin, yaitu dengan menumpahkan perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan pihak yang mewujudkan barisan “home front” itu. Untuk mengadakan ketenteraman dan keselamatan bersama, tidak saja home front harus dipelihara di negeri Belanda, tetapi juga harus diurus di Indonesia. Adapun selanjutnya untuk keperluan menyelamatkan dan menenteramkan segala-gala ini, juga di Indonesia haruslah diadakan perhatian yang sepenuh-penuhnya terhadap soal-soal yang menjadi kebutuhan rakyat Indonesia.[47]

Kalau segala tuntutan dan kebutuhan ini dipenuhi, kami yakin barangkali tidak akan gila, jikalau kita tidak akan mempersatukan kekuatan dan tenaga kita dengan rakyat Belanda untuk menyelamatkan kepentingan kita bersama.[48] Akan terjadinya barisan yang rapat antara rakyat Belanda dengan rakyat Indonesia. Yang terutama tergantunglah kesemuanya ini kepada kemauan rakyat Belanda. Di sinilah patut diperingatkan, bahwa pendirian kekuasaan dari sesuatu pemerintah akan tegak dan sentosa, apabila pemerintah itu merasa yang dirinya dikuatkan dan diteguhkan oleh simpati dan sokongan moral rakyat![49]

 

Adakah halangan-halangan Staatsrechtlijk untuk memenuhi tuntutan Parlemen Indonesia?

Di dalam Grondwet Negeri Belanda pada art. 61 antara lain urusan di Indonesia (inwendige aangelegenheden) akan diserahkan aturannya kepada badan-badan kekuasaan yang ada di Indonesia. Di dalam artikel itu, dianggap pula adanya Volksraad sebagai badan perwakilan rakyat Indonesia, sehingga kemungkinan akan lahirnya Parlemen Indonesia yang sejati nyata-nyata diadakan. Partai-partai politik rakyat negeri Belanda dari kiri sampai yang kanan, sekarang ini sudah sama bersemboyan dan sudah sama menjanjikan di dalam program kolonialnya: sedikitnya Zelfstandigheid, yakni kedudukan politik yang berarti mengurus diri sendiri bagi Indonesia.[50]

Teranglah di dalam teori, yaitu di atas kertas, bangsa Belanda tidak menyangkal akan adanya perlemen tulen di Indonesia. Apalagi, biar pun akhirnya diungkiri, Pemerintah Belanda telah terikat moril akan adanya janji-janji dari G.G. van Limburg Stirum dalam tahun 1918, yang diucapkan dari atas takhta kekuasaan di dalam kualifikasinya (kwaliteit) sebagai pemegang kemudi pemerintahan Indonesia, walaupun kita mengetahui, bahwa tindakan yang demikian itu terdorong oleh keadaan-keadaan yang genting di Eropa (November-wolingen).[51]

Alhasil, tuntutan “Indonesia Berparlemen” sekarang ini memang sudah pada tempatnya dan sudah pada saatnya! Dengan menguraikan beberapa pemandangan dan pikiran di atas, yang mengandung segala kebutuhan-kebutuhan yang riil dan hidup dalam sanubari rakyat, maka sudahlah cukup dimengerti, bahwa rakyat Indonesia sama sekali tidak menghendaki sesuatu huru-hara, tetapi menghendaki suatu jalan dan macam cara bekerja bersama yang aman dan damai, dengan hak dan kedudukan yang sama-sama rendah dan tingginya dan yang sama kehormatannya antara rakyat Indonesia dan rakyat Nederland.[52]



[1] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.40

[2] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.40

[3] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.40

[4] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.41

[5] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.41

[6] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.41

[7] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.42

[8] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.42

[9] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.42

[10] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.43

[11] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.43

[12] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.43

[13] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.43

[14] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 43

[15] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.44

[16] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.44

[17] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.44

[18] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.45

[19] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.45

[20] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.45

[21] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.45-46

[22] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.46

[23] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.46

[24] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.46

[25] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.47

[26] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.47

[27] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.47

[28] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.47

[29] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.48

[30] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.48

[31] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.48

[32] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.49

[33] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.49

[34] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.49

[35] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.49-50

[36] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.50

[37] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.50

[38] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.50

[39] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.50-51

[40] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.51

[41] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.51

[42] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.51

[43] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.52

[44] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.52

[45] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.53

[46] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.53

[47] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.53

[48] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.53

[49] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.54

[50] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.54

[51] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.54

[52] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.54-55

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan