Tentangan Terhadap Agama Islam, Tulisan Soekiman Wirjosandjojo
Tulisan Oktober 1930 di Pembela Islam, Bandung
To know is to understand.
Adapun hak melakukan kritik dan kemerdekaan
pikiran itu adalah dipertanggungjawabkan bagi tiap-tiap manusia. Di dalam Islam,
hak yang tersebut itu adalah dikuatkan dengan ayat Quran. Tidak ada paksaan di
dalam agama. Tuduhan yang mengatakan bahwa agama Islam itu disiarkan dengan
kekuatan pedang dan senjata adalah bohong belaka.[1]
Jikalau sampai kejadian menggunakan pedang,
maka pedang itu digunakan semata-mata hanya buat keperluan membela diri.
Seperti peperangan di Badar dan di lain-lain tempat, sesudahnya Nabi kita
Muhammad SAW lari dari Mekkah ke Madinah (Hijrah) telah dijalankannya buat
membela (risalah) dirinya (kebenaran).[2]
Dan juga di dalam Islam kita mendapat
kemerdekaan pikiran yang seluas-luasnya, yang telah dibuktikan oleh adanya beberapa
tafsir dari ayat Quran.[3]
Oleh sebab itu, orang tiada boleh menyangka
kepada kita, bahwa kita orang Islam ini tidak mempunyai kesabaran. Lihatlah
saja di negeri-negeri yang mempunyai pemerintahan Islam sebagaimana Mesir,
Turki, Persia, dan lain-lainnya, di sana tidak ada rintangan kepada agama yang
lain-lain. Di dalam Islam, tidak ada paksaan agama. Islam penuh dengan
kesabaran, asal saja pihak lain tidak mengganggu pekerjaan kita buat menyiarkan
agama Islam. Lain pula, kalau pihak lain itu merusak agama kita, tentulah
terpaksa kita menggunakan pedang.[4]
Adapun sekalian kritik itu semuanya bagus, ya,
malah perlu sekali sebagai cambuk untuk menghapuskan keadaan yang busuk dan
buat menjaga jangan sampai pengertian-pengertian dan peraturan-peraturan itu menjadi
sempit (als voorbehoed middel tegen verstarring van begrippen en stelsel). Dan
juga kita orang Islam, orang-orang biasa saja (orang awam), janganlah
berpendapat, bahwa kita selamanya ada di jalan kebenaran. Siapa juga berpikiran
demikian tentulah ia salah.[5]
Sering kali orang-orang lain itu bisa melihat
kesalahan kita lebih terang daripada kita sendiri bisa lihat, sebab itu kritik
adalah perlu sekali bagi kita, tetapi kritik yang senonoh yang maksudnya tidak
menentang asas agama.[6]
Kritik-kritik itu mesti diperiksa isinya
dengan sungguh-sungguh. Baru terang kepada kita, maksud dan harganya orang yang
mengkritik itu. Tiap-tiap kritik itu tiada perlu kita terima dengan
pergoncangan. Kepada mereka yang selamanya bermaksud baik dan oleh karena
sempit pahamnya sehingga keliru mengkritiknya, kita harus memberi penerangan
yang terang kepadanya buat membuktikan kesalahan yang terdapat dalam kritik
itu. Sebenarnyalah demikian kehendak Islam; adakah lain perkara, ataukah mereka
yang mengkritik itu merasa dan insaf akan besarnya tanggung jawab daripada
kritiknya? Buat boleh mengkritik orang harus memenuhi beberapa perkara:[7]
Pertama, orang-orang yang mengkritik itu harus
mengetahui sungguh-sungguh dan telah mempelajari betul-betul pasal yang
dikritiknya itu.[8]
Kedua, kritik itu harus tiada menyakitkan hati
bagi yang dikritik supaya kritik itu dapat dibaca dan diperhatikan oleh orang
yang dikritik. Dan jika orang menjalankan kritiknya dengan jalan yang tidak
senonoh, tentulah ia akan mendapat buah yang tidak diharapkan. Apalagi kritik
yang mengenai sesuatu peraturan, sebagaimana Islam, orang yang mengkritik itu
harus memenuhi sungguh-sungguh bab yang pertama tadi, agar supaya umat Islam,
yang banyaknya kurang lebih sepertiga daripada manusia yang di muka bumi ini,
menghargai kritik itu.[9]
Hal ini haruslah diperhatikan sungguh oleh
pemimpin-pemimpin dari surat-surat kabar dan pemimpin-pemimpin rakyat.[10]
Dengan heran sekali kami membaca suatu artikel
dalam surat kabar “Swara Oemoem” No. 50 dan nomor-nomor berikutnya yaitu suatu
surat kabar yang dipimpin oleh orang-orang yang berharga, setidak-tidaknya
orang-orang yang terpelajar, artikel mana ialah mencoba membuat perbandingan di
antara pergi ke Mekkah dan pergi ke Digul. Mekkah dan Digul adalah dua anasir
yang tiada bisa dibandingkan. Orang-orang yang pergi ke Digul itu karena
dipaksa, tetapi orang-orang yang pergi ke Mekkah itu terjadi atas keikhlasan
hatinya; yaitu memenuhi perintah Agama (Din), sebagaimana mereka yang pergi ke
schouwbrug buat menonton opera dan concerten (konser) memenuhi rasa seninya
(kunstzin).[11]
Demikian juga orang-orang yang menyukai sport
(olahraga), tentu pergi menonton voetbal (sepak bola), tenis, dan lain
sebagainya buat menyenangkan hati mereka yang amat senang kepada sport itu
(sportzin).[12]
Apakah hal-hal ini dicela juga?
Jika kita periksa kritik itu dengan
sungguh-sungguh, maka yang menjadi alasan kritik itu ialah ekonomi. Baik,
tetapi orang mesti konsekuen, tetap, yaitu melarang tiap-tiap orang yang
meninggalkan tanah air, tiada peduli dengan maksud apa, sebab tiap-tiap
meninggalkan tanah Indonesia ini berarti suatu kerugian uang. Sebab pada saat
meninggalkan Indonesia, tiadalah ada suatu perbedaan tentang kepentingannya dan
besarnya pemenuhan keperluan, baik orang yang ke Eropa ataupun yang ke Mekkah.[13]
Tetapi orang-orang itu tidak mau mengerti hal
ini. Orang-orang yang mengajak kepada kita buat pergi keluar negeri (kecuali ke
Mekkah) tidaklah mereka itu menghitung-hitung kerugian kapital yang mesti
dikeluarkannya. Tetapi dicela rupanya orang-orang yang pergi ziarah ke Mekkah. Dengan
sia-sia kita mencari alasan-alasan yang baik (husnuzan) dalam kritik itu. Dipandang
dari pendirian politik maka tiap-tiap “Auswanderung”, yaitu meninggalkan Indonesia
buat sementara waktu adalah suatu perkara yang penting. Sebab dengan jalan ini
kita bisa memperbandingkan nasib negeri kita dengan nasib negeri luaran. Dan
kita tidak selamanya percaya saja negeri kita itu ada dalam kebaikan.[14]
Anasir ekonomi tersebut di atas tadi yang
dipakai oleh mereka sebagai alasan kritiknya tidak bisa berdiri tegak, jikalau
dikupas kritiknya itu dengan sungguh-sungguh. Bagaimana perbandingan mereka
tentang Mekkah dengan Digul, itulah tidak bisa masuk akal manusia yang sehat. Tetapi
ternyatalah sepanjang kritiknya mereka memuji kepada Digulers karena
keyakinannya politik, dan sebaliknya mereka merendahkan orang-orang yang pergi
ziarah ke Mekkah tidak mempunyai keyakinan.[15]
Baik tentang pemujinya kepada Digulers kita
accoord (akur). Tetapi berapa banyaknya haji-haji yang telah pergi ke Mekkah
juga sekarang ada di Digul? Sebagai percontohan, kita sebutkan di sini almarhum
Haji Misbach yang telah wafat di Manokwari karena keyakinannya pada politik
yang keyakinannya ini ada lebih besar daripada keyakinannya Redaksi “Swara Oemoem”.
Karena keyakinannya Islam. Kami minta dengan sangat kepada si penulis artikel
itu, hendaklah membuktikan pendapatnya kalau orang-orang yang pergi ke Mekkah
itu tidak berkeyakinan.[16]
Di mana pun juga yang keberanian dan keikhlasan
itu mesti ditunjukkan, maka orang-orang Islam tidaklah suka ketinggalan, malah
sebaliknya, mereka kaum Islam itu sering kali berdiri di depan.[17]
Buat membuktikan hal ini, maka kami memperingatkan
akan bangsa Mesir, Afridis, Turki, Palestina, Filipina (Moro), dan lain-lain.
Nyatalah sekarang bahwa maksud “Swara Oemoem” hendak mempengaruhi perasaan
orang ramai, supaya si orang ramai berkeyakinan kalau Islam itu membikin
manusia jadi penakut (sebagaimana orang yang tak punya keyakinan).[18]
Kita heran, apakah maksud kalimat dari “Swara
Oemoem” No. 66 yang berbunyi: “Jadi sudah terang, bahwa orang akan ziarah ke
Mekkah itu belum punya keyakinan.” Barang siapa mempunyai pikiran yang hanya
sedikit, tentulah melihat dan mengetahui kemustahilannya pendapat yang tersebut
itu. Barang siapa yang tidak membuta-tuli dan siapa suka menyelidiki pergerakan
Indonesia, teristimewa sekali PSII dengan sebetulnya, tentulah mesti mengetahui
bahwa pemimpin-pemimpin dari partai itu di dalam menjalankan kewajibannya tak
memedulikan hukuman penjara atau buangan, selamanya mereka itu berdiri di depan
sendiri guna membela keperluan rakyat.[19]
Berpuluh-puluh yang pada waktu ini meringkuk
di dalam penjara, apakah ini juga tidak dari belum punya keyakinan? Mereka, dan
pergerakan rakyat yang lainnya, pada waktu dahulu telah mendirikan berapa
gerung-gerung Nasional di beberapa tempat dengan zonder ramai-ramai dengan
tidak membesarkan hatinya berlebih-lebihan karena amal nasionalnya.[20]
Betul mereka ini tidak mendirikan cooperative
bank en vrouwentehuizen dan lain-lainnya dengan pertolongan pemerintah, alias
subsidi (sebagaimana perbuatannya promotor-promotor “Swara Oemoem”) dengan
memakai leuze: “Percayalah kepada kekuatanmu sendiri”, boleh jadi karena belum
mempunyai keyakinan; boleh jadi juga mereka berpendapat bahwa perbuatan minta
subsidi itu berarti melemahkan rakyat.[21]
Jika kita menyelidiki sedalam-dalamnya isi artikel
itu, maka kita dapat menetapkan bahwa maksud artikel itu tiada lain melainkan:
ANTI ISLAM. Demikianlah juga konklusinya: H. Hadikoesoemo, jempolan
Muhammadiyah; H. Hasjim, Jempolan Muhammadiyah; Erfan Dachlan, pemuka Ahmadiyah
di Indonesia; dan A.D. Hanie, pemuka Wal Fajri.[22]
Kalimat-kalimat yang berikut ini (yang dikutip
dari “Swara Oemoem”) dapat membuktikan akan benarnya pendapat kita: “Bukankah
sudah nyata kalau segenapnya bunyinya agama-agama itu tidak cocok sama sekali
terhadap kepadanya dunia sebab nyatanya beda amat dengan angan-angannya”.[23]
Mengingat perkataan di atas ini, mestilah
dilanjutkan nasehatnya (Swara Oemoem” dengan: “Buanglah segala agama”. Mereka
membicarakan hal-hal Mekkah itu sebenarnya hanyalah buat menyebarkan perasaan
anti Islam. Mereka tiada mengetahui bahwa pergi ziarah ke Mekkah itu adalah
menyampaikan Rukun Islam yang kelima yang diwajibkan bagi tiap Muslimin dan
Muslimat. Ziarah ke Mekkah itu sebagai Rukun Islam mempunyai syarat-syarat yang
tertentu yang harus ditepati dahulu sebelum pergi ziarah ke Mekkah. Kepergian ini
tidak hanya buat mengunjungi Mekkah semata-mata saja, tetapi dengan pertemuan
di Mekkah itu bisa tercapai suatu daripada cita-cita Islam yang sekarang
menjadi cita-cita segenap dunia, ialah Damai Dunia (Wereldvrede), persaudaraan
di antara rupa-rupa bangsa di muka bumi ini. Cita-cita Volkenbond dari bangsa
kulit putih yang sekarang berkedudukan di Jenewa itu sebenarnya sudah
dikerjakan oleh umat Islam tiap-tiap tahun sejak tiga belas abad yang lalu
dengan mengadakan pertemuan internasional di Mekkah, sungguh pun hal ini buat
sementara waktu belum teratur.[24]
Dipandang dari pendirian politik dan
melebarkan pemandangan, maka meninggalkan tanah air buat sementara waktu itu
amat perlu. Hal ini kami telah pertunjukkan di atas. Barang siapa tidak
mempunyai keyakinan seperti tersebut di atas ini karena tersebab oleh pendirian
ekonomi yang dipakainya, maka mereka itu tidak akan insaf akan keperluan
kebangsaan yang terperintah oleh lain bangsa. Siapa pernah tahu menginjak
negeri yang merdeka dan pernah meniup angin udara politik kemerdekaan di situ
tentulah mengerti, bagaimana sesatnya penghidupan dalam negeri tanah jajahan
sebagaimana Indonesia ini. Negeri luaran itu boleh kita katakan sebagai suatu
tempat beristirahat buat menyembuhkan penyakit-penyakit pikiran dan budi
pekerti manusia yang berwujud: menerima apa saja yang susah, (berusting) dan
ketiadaan perasaan kebangsaan, yang tumbuh dengan suburnya di negeri jajahan.[25]
Tiada perdulikan di mana tempat saja di luar
negeri yang merdeka, sesudahnya kita menginjak negeri luaran, baru di situ kita
belajar membikin perbandingan, dan memperluas pemandangan. Barang siapa pernah
berdiam di negeri luaran, maka sudah tentulah terbit perasaan akan mengajak
segenap bangsanya pergi di luar negeri.[26]
Dengan jalan begini, tentulah Indonesia lebih
cepat mendapat kemerdekaan. Sekarang kita kembali kepada artikelnya "Swara
Oemoem" tadi. Sudah tentu tidak dengan alasan mereka mengatakan bahwa
tiap-tiap agama itu ada bertentangan dengan keadaan dunia. Umpama saja pendapat
"Swara Oemoem" itu benar apakah ini bisa mengherankan kita? Peraturan
manakah yang akan mengadakan perubahan-perubahan hal ihwalnya keadaan pada
sekarang ini, yang pada permulaan timbulnya tidak bertentangan dengan keadaan
pada dewasa ini? Barangkali cara nationalistisch, fasistisch atau marxistisch?[27]
Perkataan "hervormen" (mengubah)
tentu akan tidak ada, kalau stelsel-stelsel (peraturan-peraturan) yang baru
itu, terus sesuai dengan keadaan yang sekarang ini, sebagaimana kunci cocok
dengan slot. Juga Islam adalah suatu "hervormingstelsel". Ia
berkehendak mengatur dunia menurut asas-asasnya, mengadakan perubahan-perubahan
menurut angan-angan Islam. Jika aturan-aturan Islam itu pada waktu itu belum
mencocoki keadaan di dalam kerajaan yang belum Islam, lebih-lebih bertentangan
apakah itu kesalahannya Islam?[28]
Sunggunpun begitu, kritik "Swara
Oemoem" itu adalah juga baiknya ialah kritik itu akan lebih memajukan
Islam daripada memundurkannya. Sebagai satu badan, Dunia Islam akan
bersama-sama menentang kepada musuhnya, akan mempertahankan kebenaran dan
hak-haknya. Pada suatu masa akan datang waktunya, yang Islam sebagaimana aliran
yang tidak bisa dicegah akan menarik atau membinasakan mereka yang melemparkan
kekotoran kepada Islam yang suci itu:[29]
"The world of Islam, mentally and
spiritually quiescent for almost a thousand years, is once more stir, once more
on the march." (Indonesianya: "Dunia Islam, akalnya dan rohaninya
tenang hampir seribu tahun, sekali lagi Dunia Islam bergerak, dan
menggemparkan, sekali lagi Dunia Islam berjalan maju.")[30]
Demikianlah perkataan Lothrop Stoddard dalam konklusinya
dari ia punya buku "The New World of Islam", ada benarnya. Memang
betullah umat Islam segenap dunia, sekarang baru bergerak.[31]
[1] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 15
[2] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 15
[3] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 15
[4] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 15
[5] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 15-16
[6] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 16
[7] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 16
[8] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 16
[9] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 16
[10] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 16
[11] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 16-17
[12] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 17
[13] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 17
[14] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 17
[15] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 18
[16] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 18
[17] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 18
[18] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 18
[19] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 18-19
[20] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 19
[21] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 19
[22] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 19
[23] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 19
[24] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 19-20
[25] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 20
[26] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 20
[27] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 21
[28] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 21
[29] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 21
[30] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 21-22
[31] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 22
Comments
Post a Comment