Soekiman Wirjosandjojo: Dokter dan Negarawan yang Berpandangan Alam Islam
Abstrak
Soekiman Wirjosandjojo, sebagai salah satu tokoh
perjuangan Islam dan kemerdekaan Indonesia serta salah satu pelopor Universitas
Islam Indonesia dan dokter di PKU Muhammadiyah di Yogyakarta, memiliki weltanschauung
(pandangan alam) Islam yang mencakup soal konsep alam semesta sebagai “imperium
Ilahi”, “interwoven” ilmu pengetahuan, “total submission” kepada
Allah sebagai pilihan paling logis, Islam sebagai “hervorming-stelsel”
dan “code of life”, keselarasan aspek jasmaniah dan rohaniah dalam
kesehatan dan kebahagiaan manusia, pendidikan dan perguruan tinggi Islam, dan
negara eenheidsstaat bersistem demokrasi parlementer yang berjiwa ajaran
Islam sebagaimana tertuang dalam Pancasila versi Piagam Jakarta. Pandangan alam
Islam itu mempengaruhi perjuangan Soekiman sebagai seorang dokter, cendekiawan,
politisi, dan negarawan.
Kata kunci: hervorming-stelsel, integrasi, interwoven
ilmu, pandangan alam, universitas Islam
Pendahuluan
Pandangan alam – padanan dari worldview, yang
sering juga disetarakan dengan pandangan dunia, pandangan hidup, atau falsafah
hidup – menjadi konsep yang dewasa ini banyak digunakan sebagai matriks kajian
atau kerangka kerja (framework) oleh para pengkaji pemikiran, peradaban,
sains, dan Din (istilah padanan yang lebih komprehensif untuk agama) Islam;
dari Ninian Smart, al-Mawdudi, Sayyid Qutb, Atif Zayn, Thomas F. Wall, Thomas
S. Kuhn, Alparslan Acikgence, hingga Syed Muhammad Naquib al-Attas. Meski
berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka pada umumnya mengaitkannya
dengan suatu landasan bagi seluruh aktivitas ilmiah-intelektual, sosial,
ritual, finansial, hingga politik dari seseorang, yang pada akhirnya membentuk
bangunan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban dengan corak tertentu.[1]
Cendekiawan dan aktivis perjuangan Nasional dan Islam di
Indonesia pada masa lalu pun, seperti Buya Hamka dan Soekiman Wirjosandjojo,
telah menggunakan istilah worldview, dengan pengertian dan cakupannya
masing-masing. Hamka menulis buku berjudul “Pandangan Hidup Muslim”[2],
sementara Soekiman menggunakan istilah padanannya “weltanschauung”, “pandangan
alam”, dan “pendirian hidup” dalam tulisannya.[3] Gagasan
para cendekiawan era perjuangan kemerdekaan Indonesia soal worldview itu
penting untuk dikaji agar tidak ada reaksi kontra-produktif yang menganggapnya
sebagai konsepsi asing; juga sebaliknya, agar upaya untuk menyebarkan dan
membumikan konsep itu di masyarakat kita mendapatkan tambahan legitimasi, sebab
para pendahulu bangsa kita memang sudah menggunakan konsep itu.
Tulisan ini bermaksud untuk menggali pengertian pandangan
alam menurut Soekiman Wirjosandjojo dan pengaruh konsep itu terhadap perjuangan
hidupnya, baik sebagai dokter dan cendekiawan, maupun sebagai negarawan. Tokoh
Soekiman dipilih semata karena banyaknya ruang kosong, mengingat riwayat dan
pemikirannya relatif sangat jarang dikaji dibandingkan dengan riwayat dan
pemikiran tokoh bangsa dan Islam lain di tanah air, seperti Tjokroaminoto,
Hamka, dan Natsir. Buku biografi dan kumpulan tulisan Soekiman pun sudah langka
di pasaran. Hal itu mengusik penulis untuk menggali gagasan-gagasan Soekiman
yang relevan dengan keadaan bangsa Indonesia dan umat Islam hari ini, terutama
soal pandangan alam.
Tulisan ini disajikan menggunakan metode analisis
deskriptif sederhana dan mengutamakan kutipan langsung untuk menggali konsepsi
yang diteliti berdasarkan bahasa asli sosok yang diteliti, dengan penyesuaian
ejaan. Perbandingan gagasan soal “worldview” dari tokoh yang dikaji
dengan pengertian beberapa pemikir Islam kontemporer sedikit-banyak juga
diberikan untuk lebih dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang letak ide
Soekiman dalam bangunan pemikiran Islam zaman ini.
Sekilas Peran Soekiman Wirjosandjojo
Soekiman Wirjosandjojo – lahir di Surakarta, 19 Juni 1898
dan wafat di Yogyakarta pada 23 Juli 1974 – merupakan Perdana Menteri ke-6
Republik Indonesia yang menjabat antara 1951-1952. Ia juga pernah menjadi Ketua
Dewan Partai Masyumi, anggota BPUPKI, anggota KNIP, anggota Dewan Penasihat
Tinggi RI, Menteri Dalam Negeri Kabinet Hatta I, dan anggota delegasi KMB. Dia
juga pernah aktif di Sarekat Islam (SI), menjadi Penasihat PP Muhammadiyah, turut
mendirikan Partai Islam Indonesia (PII)[4], hingga
aktif bergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia), sebelum berubah
menjadi Masyumi.[5]
Dalam bidang pendidikan, Soekiman turut berperan dalam
pembangunan Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Namanya dijadikan
nama sebuah gedung di kampus tersebut (Gedung Fakultas Kedokteran, Kampus
Terpadu UII, Jl. Kaliurang km.14,5 Sleman, Yogyakarta).[6] Ia
juga menjadi salah satu pelopor dokter spesialis paru-paru di Indonesia,
setelah lulus dari STOVIA Jakarta pada 1923 dan memperoleh gelar dokter penuh dengan
spesialisasi penyakit dalam (internis) di Universitas Amsterdam.[7]
Sebagai dokter, ia pernah berpraktik di sebuah rumah sakit Pemerintah kolonial
di Pacet, Cianjur; Rumah Sakit PKU Muhammadiyah (ia berpraktik di sini atas
saran K.H. Fachruddin), Yogyakarta; dan klinik pribadinya, di dekat Keraton
Pakualaman.[8]
Ia sempat juga berpidato dalam peresmian pendirian Fakultas Kedokteran UII.[9]
Pandangan Alam Islam Menurut Soekiman Wirjosandjojo
Seluruh aktivitas intelektual dan kenegaraan Soekiman
itu, yang dilakukannya demi cita-cita mewujudkan “baldatun ṭayyibatun wa
Rabbun Ghafūr”, menurutnya berangkat dari kesadaran yang timbul “manakala
kita merenungkan benar-benar, ‘pandangan hidup’ yang ditentukan, diwajibkan
oleh Islam pada pemeluknya” yang tentunya merupakan pandangan alam Islam.[10]
Dalam pandangan alam Islam itu, alam semesta tabii ini sejatinya merupakan
bagian dari apa yang disebut Soekiman sebagai “Imperium Ilahi”.
“Bahwasanya alam semesta dengan segala isinya, termasuk segenap
manusia di muka bumi ini adalah ciptaan dan milik Allah S.w.t. semata-mata,
bahwa ‘Universe’, yang makin lama rahasia-rahasia yang ada di dalamnya,
lambat-laun diketemukan hukum-hukumnya oleh sarjana-sarjana, diatur rapi dan
dikuasai oleh-Nya. Bahwa ‘dunia’ yang kita kenal di mana manusia hidup sekarang
ini, merupakan hanya bagian kecil saja daripada ‘imperium’ Illahi, yang
mencakup segenap alam semesta yang tak terbatas luasnya.”[11]
Karena alam semesta ini merupakan bagian dari Imperium
Ilahi, maka ia sepenuhnya diatur menurut hukum dan kekuasaan Allah SWT,
sehingga hukum-hukum yang ditemukan oleh para ilmuwan, yang sering disebut
dalam terminologi sekuler sebagai “hukum alam” itu, mestilah selaras dengan
ayat-ayat-Nya, sebab alam itu sendiri adalah suatu ayat (tanda) yang terbentang
yang merupakan ciptaan-Nya, sehingga tidak mungkin berlawanan dengan ayat-ayat
wahyu yang diturunkan oleh-Nya.
“Makin maju ilmu alam (physica) dan ilmu teknik (technology)
makin dekatlah ilmiah (wetenschap, science) pada pengakuan akan
adanya “ZAT”, adanya Kekuatan Gaib, yang mengatur alam semesta (universe)
menurut rencana tertentu dengan hukum-hukum yang tak dapat diganggu gugat (onfeilbaar
onschendbaar) kesempurnaan dan keteguhannya.”[12]
Dengan landasan pemahaman berupa pandangan hidup “yang
ditentukan, diwajibkan oleh Islam pada pemeluknya” itu, Soekiman meyakini bahwa
setiap aktivitas ilmiah, utamanya observasi alam atau suatu objek bagian dari
alam, semestinya menjadikan seorang ilmuwan lebih menyadari dan menghidmati
Keagungan dan Kebesaran Allah SWT, yang sayangnya tidak terjadi dalam bangunan
kerja sains sekuler.
“Dengan berhasilnya para sarjana melontarkan ‘Sputnik-Sputnik’
dan ‘Explorer-Explorer’ ke dalam angkasa raya sampai memasuki edaran bulan dan
matahari yang ratusan ribu mil bahkan jutaan kilometer jauhnya dari bumi itu,
maka hanya terbuktilah luas lebarnya Alam milik Allah S.w.t.[13]
Konsekuensinya, menurut Soekiman, aktivitas ilmiah
tersebut seharusnya membuat manusia sadar akan betapa kecil dan lemahnya
daya-kemampuan mereka dalam jalannya alam semesta ini, sehingga secara sadar
menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, yang menguasai segenap alam itu
tanpa bisa diganggu-gugat. Dengan begitu, sehebat apa pun manusia itu
menganggap dirinya dengan semua sains dan teknologi yang ia hasilkan, mereka
tetap tidak dapat lepas dari pengaturan-Nya, malah ilmu pengetahuan mereka itu
sendiri hanyalah pemberian dari-Nya.
Bagi kaum Muslim menjadi kepercayaan bahkan keyakinan
bahwa dunia ini, sebagai bagian Alam Semesta dan manusia yang sebagai makhluk
dianugerahi derajat tertinggi di antara makhluk-makhluk lainnya, berada mutlak
di bawah kekuasaan penciptanya ...
Diberkahinya manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya
oleh Allah Taala dengan alat pemikir, pengupas dan penimbang yang dalam bahasa
Inggeris dinamakan ‘reason’, ‘judgement’, yang dapat melahirkan
kemauan bebas (free will) dan kebebasan memilih (free choice),
tidak berarti bahwa manusia dapat meloloskan diri dari hukum Pencipta Alam,
bahwa tiap yang tumbuh dan hidup pada suatu saat mesti menghadapi matinya,
bahwa ia tidak dapat menentukan nasib yang baik dan enak saja, karena di bidang
ini pun berlaku pula hukum ‘pasang surut’, alam Illahi.[14]
Konsekuensi berikutnya dari pandangan terhadap realitas
yang demikian, menurut Soekiman, adalah bahwa manusia tidak boleh menggunakan
sains dan teknologinya itu untuk berlaku secara semena-mena, baik terhadap
sesama manusia, maupun terhadap makhluk Allah yang lain di alam dunia, dari
tumbuhan, hewan, hingga benda-benda tidak bernyawa (non-animated object).
Dengan demikian, segenap daya-usaha manusia itu dalam mengelola bumi tidak
boleh melanggar prinsip-prinsip berkeadilan yang sudah digariskan oleh Allah
SWT, agar selaras dengan fitrah dan tidak menimbulkan kezaliman.
Ia hanya dapat menjalankan dengan selamat kebebasan
kemauannya, selama tidak melanggar hukum-hukum Allah S.w.t. yang berdasar kebenaran
dan keadilan mutlak, selama perbuatannya tidak merusak keseimbangan keadaan
hidup yang hak di bidang moral, maupun di bidang kehidupan materiil, yang
semuanya dikuasai oleh ketentuan-ketentuan Illahi.[15]
Berangkat dari landasan pemahaman yang mengakui kekuasaan
mutlak Allah itu, Soekiman menerangkan bahwa konsekuensi paling logis bagi
manusia, yang dianugerahi akal dan kemampuan untuk memilih itu, adalah untuk
tunduk secara utuh-penuh kepada Allah SWT, dalam artian menjalankan segenap
struktur dan tata-bangunan hukum, aturan, prinsip, nilai, kaidah, maksud, dan
akhlak yang telah diwahyukan dalam Kitab Suci dan Sunah Rasul-Nya. Meskipun
tiada paksaan di dalam menempuh jalan Din, tetapi jalan yang benar itu telah
jelas adanya bagi mereka yang berpikir.
Allah S.w.t. menganugerahi manusia dengan kebebasan
memilih (free choice) untuk dapat menjalankan pemilihan antara hak dan
batil, antara makruf dan munkar. Al Quran dan Al Hadits disediakan bagi seluruh
manusia (the whole of humanity) atas dasar kebebasan memilih untuk
menerima kebenaran petunjuk-petunjuk Allah yang terkandung di dalamnya, atau
menolak. Tidak ada paksaan dalam urusan Agama (Lā ikrāha fid-Dīn). Bagi
mereka yang dengan pancaindranya, dan kebebasan kemauan dan kemerdekaan untuk
memilih, memutuskan menerima kebenaran perintah dan petunjuk-petunjuk Al Hakim,
yang terkandung dalam Al-Quran Al-Karim dan Al Hadits, diwajibkan menyerah diri
dengan kemauannya yang bebas pada kehendak Illahi.[16]
Pandangan hidup yang demikianlah yang disebut oleh
Soekiman sebagai pandangan alam (weltanschauung) Islam, yang
mengantarkan kepada suatu pendirian hidup berdasarkan Al-Quran dan Sunah serta produk
pemikiran para ulama, yang dijadikan sebagai pedoman hidup dalam membentuk pribadi
dan masyarakat secara lahir-batin, sehingga membentuk tata-kehidupan yang
beradab yang memiliki tingkat nilai-nilai yang luhur, yang pada akhirnya
membentuk suatu peradaban Islam yang madani.
Pendirian hidup yang menyerah bulat (total submission)
pada kehendak dan bimbingan Illahi itulah, yang dinamakan Islam, dan mereka
yang mengakui kekuasaan (kedaulatan) Allah S.w.t. di atas segala kekuasaan di
dunia ini, dan mengatur hidup dan kehidupannya baik secara pribadi (individual)
maupun dalam jemaah (kolektif), sesuai dengan perintah dan petunjuk-petunjuk
Allah SWT disebut dengan nama Muslim. Diwajibkan pada kaum Muslim untuk
mendasarkan hidup dan kehidupannya, baik sebagai orang-seorang (individu)
maupun dalam wujud masyarakat (society) atas pedoman hidup, atas ‘a
code of life’ yang disebut dengan nama Syariat dalam Islam. Suatu hukum
suci, yang bersumber pada Al Quran Al Karim dan Hadits Nabi Muhammad SAW yang
mengandung prinsip: ‘Amar Makruf nahi Munkar’, yang mendidik dan memajukan
segala sesuatu yang dianggap umum baik, sifat-sifat luhur yang kita pujikan
pada Allah dan rasul-Nya (virtues), di samping menjauhkan serta
membersihkan diri dan masyarakat dari segala sesuatu, yang dipandang umum
buruk, yang bertentangan dengan kesusilaan dan moral (vice evils).[17]
Dengan hukum Syariat, Islam membangun Masyarakat lahir batin dan membawa
pergaulan hidup bersama ke arah tujuan tingkat hidup, di mana syarat-syarat
terselenggara untuk berkembangnya nilai-nilai hidup yang tinggi, sehingga
kebenaran dan keadilan terjamin kokoh kuat, dan di segala bidang kehidupan
inisiatif dan karya manusia dapat ditujukan pada perbaikan dan penyempurnaan
tingkat hidup jasmaniah dan rohaniah.[18]
Pengaruh Pandangan Alam Islam terhadap Soekiman sebagai
Cendekiawan dan Dokter
Pandangan alam Islam memberikan pengaruh terhadap
pemikiran dan perjuangan Soekiman sebagai seorang cendekiawan dan dokter. Ia
menolak paham sekularisme dalam pendidikan dan praktik serta kebijakan pendidikan
nasional yang sekuler.
Alhamdulillah dalam Dasar Negara dan sistem pendidikan
sekolah-sekolah kita sudah kita dapati suatu fondamen pembinaan hidup anak-anak
Indonesia yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan jiwanya. Sila pertama
(Ketuhanan Yang Maha Esa) dari Pancasila dan mata pelajaran Agama yang
diwajibkan dari sekolah Dasar sampai di Perguruan Tinggi (Universitas)
merupakan unsur pendidikan yang mutlak. Malah sudah dijadikan pula doktrin
dalam pembangunan (nation building) dan pembentukan corak kepribadian (character
forming) bangsa kita. Itu berarti bahwa dalam hidup kita agama tak dapat
dan tak boleh dipisahkan. Dus pendidikan agama adalah syarat dan unsur mutlak.
Pendidikan/Pengajaran ilmu agama dan ilmu keduniaan harus seimbang pula. Bagi
paham sekularisme yang mengutamakan unsur keduniaan saja tidak ada tempatnya di
Indonesia.[19]
Soekiman bahkan menganggap sekularisme yang banyak
menjangkiti pikiran kaum Muslim, yang menjadi dampak sekularisasi dan
dikuasainya pendidikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pasca politik etis itu,
sebagai salah satu akar masalah paling fundamental bagi kemunduran umat Islam,
termasuk menjadi sebab bagi perpecahan umat dan bangsa, terutama di sekitar
perumusan dasar negara dan konstitusi. Akibat sekularisme itu, terjadi dikotomi
antara “ilmu pengetahuan umum” atau “sains modern” (modern wetenschaap)
dengan “ilmu din”, sehingga menimbulkan jurang yang besar antara kalangan “Intellectueelen”
dan ulama.
Intellectueelen dulu tidak suka mempelajari agamanya karena kaum ulama,
kyai, dan guru-guru besar agama (dalam pengertian Din) Islam di Indonesia
umumnya tidak punya pengetahuan umum, sehingga pihak intellectueelen
tidak bisa campur padanya. Sebaliknya, pihak Kyai dan sebagainya itu tidak bisa
bercampur dengan intellectueelen itu, karena kepandaiannya tidak bisa
selaras dengan intellectueelen itu.[20] ...
Kyai dan penghulu-penghulu kebanyakan tidak mengenal pengetahuan umum, sedang
sebaliknya intellectueelen tidak mendapat pengajaran Islam. Dengan itu
santri-santri dan intellectueelen menjadi jauh dalam pergaulan. Kaum Kyai
tidak bisa memasuki dalam kalangan intellectueel sebab tidak punya
pengetahuan umum; tapi sebaliknya kaum Domine bisa masuk dalam kalangan intellectueelen
sebab mereka punya pengetahuan umum.[21]
Perbedaan itu timbul akibat kaum “intelektual” dididik
dalam sekolah-sekolah Belanda yang tidak mengajarkan agama Islam atau
mengajarkannya dalam kadar yang tidak sesuai. Hal itu membuat pola pikir mereka
tidak lagi sebagai bumiputra muslim yang berjuang, tetapi sebagai kalangan
elite, sinyo yang ter-Eropa-kan. Atau jika pun mereka sadar dan menjadi
pejuang, perjuangannya akan dilandasi oleh falsafah yang sekuler pula.
Di sisi lain, kalangan ulama tradisional tidak dapat
mengakses – atau bahkan sebagian menolak – mempelajari sains modern, karena
tidak diberi kesempatan oleh pemerintah kolonial, tidak memiliki ongkos, anti
dengan sains yang dianggap “produk penjajah”, atau alasan lain. Dengan
masyarakat papan menengah atasnya yang semakin ter-Barat-kan, “metode lama”
para kiai tradisional itu pun tak mampu lagi meyakinkan mereka akan kebenaran
agama atau tak mampu menjawab tantangan pemikiran zaman itu.
Setelah menyadari bahwa sekularisme menjadi masalah
mendasar dalam aspek pendidikan dan ilmu pengetahuan di dunia Islam, Soekiman
(juga para pemimpin Masyumi lainnya) menganjurkan pembentukan sekolah-sekolah
Islam yang menggabungkan pembelajaran “ilmu-ilmu agama” dengan “sains umum”,
terutama sekali pada tingkat perguruan tinggi. Tidak hanya pembelajaran secara
bersamaan, sekolah dan perguruan tinggi itu mesti dirancang untuk mengarah pada
usaha-usaha “interwoven” (menjalin, mengaitkan, integrasi-interkoneksi)
antara pelajaran agama dengan sains modern itu.
Hendaknyalah keadaan itu disempurnakan dengan meng-interwoven-kan
(mengintegrasikan, menjalinkan, mengaitkan) benar-benar pendidikan agama dan
pengajaran ilmu keduniaan serta susunan kurikulum kuliah-kuliahnya, sehingga
UII dapat menggembleng dan memprodusir (memproduksi) kader-kader yang.
memiliki kedua macam ilmu itu yang cukup baik, yang mempunyai pengertian penuh
pula akan kewajibannya baik terhadap bangsa maupun terhadap agamanya, bermoral
dan bercita-cita tinggi. Lembaga Perguruan Tinggi kita ini dibangun atas
landasan (kebutuhan) bangsa yang dijiwai dan diliputi agama Islam. Jadi dasar
tujuannya ialah: mendidik perasaan dan membangun jiwa pengabdian.[22]
Alasan usulan pendirian sekolah tinggi Islam itu adalah
karena Soekiman menyadari sepenuhnya bahwa umat Islam ini mesti dibangun di
atas jalan perjuangan ilmu, tanpa mengecilkan perjuangan di bidang-bidang lain,
seperti ekonomi, hukum, dan politik. Hal itu karena ilmu memiliki kedudukan
mendasar sebagai pemandu bagi jiwa umat ini untuk menghadapi zaman yang penuh
kesulitan, kegelapan, dan penjajahan. Selain itu, ilmu juga dianggap Soekiman
sebagai syarat esensial dalam proses dakwah Islam.
Bukankah Rasulullah Nabi Muhammad SAW sendiri pernah
bersabda: yang maknanya kurang lebih berbunyi : “Ilmu itu adalah obat untuk
kepicikan (kekurangan) seseorang yang buta huruf dan buta ilmu (ignorance)
ibarat bantuan sinar menara laut dalam kegelapan malam kejahiliyahan.
Mempelajari ilmu-ilmu nilai harganya dan wajibnya seperti ibadah berpuasa.
Mengajarkan/mendidik (orang lain dengan) ilmu, seperti ibadah bersembahyang.
Bagi seorang yang berhati ikhlas, ilmu itu berupa pendorong, pembangkit
(perasaan halus murni dan mengisi jiwanya dengan unsur-unsur perikemanusiaan)”
... “Ajarkanlah ilmu!” Seorang yang mengajar/mendidik (orang lain dengan)
(ilmu) itu adalah tanda takut pada Allah S.w.t. Siapa yang mencari ilmu sama
halnya dengan mencintai Allah S.w.t. Barang siapa menyebar ilmu, artinya sama
dengan membagi sedekah. Barang siapa yang memiliki ilmu akan menjadi orang yang
terpuji dan disegani. Ilmu itu sifatnya menjaga kita dari kesalahan dan
perbuatan dosa, membersihkan jalan menuju surga, menjadi teman di waktu
merantau, merupakan pegangan kuat di tengah-tengah padang pasir dan dalam
keadaan terasing. Dalam keadaan duka dan cita ia menjadi cahaya penerang.
Menjadi pelengkap kepribadian dalam menghadapi kawan-kawan”. Dengan jalan
itulah Tuhan: telah menunjuk mereka yang memang terpilih untuk tugas mendakwahkan
kebenaran dan keadilan Allah S.w.t.[23]
Soekiman juga menyadari bahwa gemilangnya generasi
pendahulu Islam dalam membangun peradaban tidak lepas dari faktor kecintaan
akan ilmu, suatu hal yang dirasanya memudar akibat tekanan penjajahan yang
bersifat diskriminatif dalam mengelola pendidikan atau sengaja memisahkan
rakyat negeri jajahan yang Muslim dari pendidikan Islam.
Selain daripada kewajiban mencari, menyelidiki dan
mengajar-kan ilmu itu diperintahkan Agama, sebagaimana dahulu dengan rajin dan
sukses dilaksanakan oleh pemerintahan dinasti Abasiyah di Bagdad mulai dari
Khalifah Al Manshur, Al Makmun (813-833) dan di Cordova, Granada, Andalusia
(Spanyol) oleh pemerintahan dinasti Muawiyah di jaman Khalifah Abdurrahman III
(912-961) dan Al Hakim II (961-976), di waktu mana Barat masih diliputi awan
kegelapan dan kejahiliyahan, peradaban dan karya ilmiah Islam sudah
sangat tersohor dan memancarkan sinar ketinggiannya atas Eropa dan seluruh
dunia sehingga dunia Barat akhirnya mengakui akan peranan dan menghargai
sumbangan saat Islam dalam memperkembangkan berbagai ilmu pengetahuan seperti
ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu bumi, ilmu kedokteran, dan sebagainya ... Seperti
akhir-akhir ini ditandaskan/diulangi lagi oleh seorang sarjana Barat STEVEN
RUNCIMAN dalam sebuah karangan di majalah “Islamic Studies” (Journal
of The Central Institute of Islamic Research Karachi) yang antara lain
mengakui ‘The Muslim contribution to medicine, to mathematica, to astronomy
and the other sciences, is now generally appreciated in the West’, (halaman
197 terbitan June 1964) ... Memang terbelakangnya pengetahuan dan kurangnya
pelajaran ilmu di kalangan Rakyat negeri jajahan adalah ciri khas disengaja
politik kolonialisme yang hendak memonopoli segala kedudukan dan jabatan
penting baik dalam pemerintahan kolonial maupun dalam lapangan
perusahaan-perusahaan swasta Barat ... Dalam hubungan ini tidak dapat disangkal
lagi, bahwa hari depan masyarakat dunia akan banyak dipengaruhi dan dipimpin
oleh bangsa-bangsa yang tinggi pengetahuannya (highly educated nations).[24]
Gagasan soal lembaga pendidikan tinggi Islam yang
menjalankan kerja interwoven keilmuan itu diwujudkan oleh Soekiman
bersama para tokoh Masyumi pada tanggal 8 Juli tahun 1945 di Jakarta dengan
nama Sekolah Tinggi Islam (STI), sebelum pindah ke Yogyakarta dan berganti nama
menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).[25]
Berbagai tokoh, baik gerakan Islam maupun gerakan sekuler, awalnya turut
mendukung gagasan pendirian itu (saat hubungan Masyumi dan PNI masih belum
renggang), seperti Bung Karno, Bung Hatta, K.H. Agus Salim, K.H.M. Mansur, K.H.
Abdul Wahab, K.H. Bisri, K.H. Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, H.M. Junus
Anis, K.H.A. Muzakkir, K.H. Fatchurrahman Kafrawi, K.H. Abdul Halim
(Majalengka), K.H. Achmad Sanusi (Sukabumi), R. Abikusno Tjokrosujoso, H. Anwar
Tjokroaminoto, K.H.R. Moh. Adnan, Prof. dr. Slamet Iman Santosa, Mr. Ali Sastro
Amidjojo, Mr. Kasman Singodimedjo, Prof. Mr. Moh. Yamin.[26]
Dalam peresmiannya di pendopo Pegulon Alun-alun Utara Yogyakarta, Presiden
Soekarno mendorong agar didirikan: “ ... Pergedungan Universitas Islam
Indonesia dengan corak Nasional yang dijiwai Islam dan hendaknya merupakan pergedungan
Universitas yang terbesar di Asia Tenggara”.[27]
Selain usaha integrasi ilmu itu, universitas tersebut
juga dicita-citakan oleh Soekiman dan para pendirinya yang lain untuk mencetak
agen-agen perubahan yang mampu secara kolektif dan akumulatif memberikan solusi
bagi berbagai macam permasalahan yang dialami oleh umat Islam, baik pada
tataran intelektual, maupun pada tataran kehidupan sehari-hari. Menurut
Soekiman, segenap alumni dan penghuni UII mestilah menjadikan pendidikan di
dalamnya tidak sekadar upaya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi-materiil, tapi
juga untuk menanamkan idealisme dan rasa pengabdian, sehingga mampu bersimpati
pada kesulitan yang dialami oleh umat dan bangsanya.
Mengabdi kepada bangsa dan agama! Pedoman dan pengertian
murni inilah, yang seharusnya menjadi pegangan bagi dan meliputi karya pengasuh
dan yang diasuh, baik para Dosen maupun para Mahasiswa UII. UII bukanlah tempat
untuk mencari ilmu dan nafkah saja. Memang idealisme tidak kurang pentingnya
dari pada hawa nafsu (insting) hidup tubuh kasar, dari pada materialisme dalam
kehidupan bangsa. Dalam perjuangan di kalangan UII kita harus sanggup berkorban
di samping mendapat apa yang dibutuhkan oleh kehidupan badan lahiriah ... ‘Wij
moeten (kunnen) niet alleen van brood leven’, kata peribahasa Belanda.
Janganlah hendaknya kita memikirkan roti saja dalam kehidupan kita. Camkanlah
makna pepatah ini![28]
Salah satunya, Soekiman mengharapkan kader dan lulusan
UII mampu menjadi agen-agen yang mampu mengatasi masalah perpecahan umat Islam.
Baik kiranya dalam rangkaian pemikiran penyelenggaraan
tugas dan kewajiban kita bersama ini, diselipkan pertanyaan khusus kepada kaum
Muslimin, tua dan muda: ‘Apakah kita Ummat Islam, terutama pemuda dan
Mahasiswanya sudah siap, mental dan organisatoris untuk perjuangan ke arah itu?’
Lihat dan ketahuilah realitas, bahwa dalam tubuh masyarakat kamu masih
berjangkit suatu keadaan parah, yakni penyakit yang menggerogoti tenaga
kekuatanmu, yang melemahkan potensi kesanggupanmu. Penyakit itu bernama
perpecahan. Mengobatinya merupakan pula Amanat Penderitaan Umat yang beragama
Islam, yang harus dilaksanakan secepat mungkin.[29]
Tidak hanya di level perguruan tinggi, Seokiman juga
mengusulkan agar sekolah-sekolah Islam yang memadukan pendidikan sains modern
dengan ilmu-ilmu Din juga digalakkan, sebagai pemasok bibit mahasiswa bagi UII
dan berbagai perguruan tinggi Islam lainnya. Nantinya, sebagian lulusan kampus
Islam itu juga diharapkannya dapat mengabdi ke lembaga pendidikan Islam tingkat
dasar dan menengah itu sebagai pengajar, sementara lainnya mengincar profesi
profesional dan jabatan pejabat publik yang strategis di tengah masyarakat,
sehingga melahirkan kader pemimpin atau birokrat untuk memenuhi “zelf-bestuur”
yang Islami.
“Untuk pembangunan sekolah luhur Islam itu perlu di
bawahnya ada sekolah rendah Islam yang mendapat pelajaran Islam dan pelajaran
umum, dan di sampingnya itu diadakan pula sekolah untuk Kyai dan penghulu
supaya mendapat pelajaran pengetahuan umum ... Dalam sekolah itu orang akan
dapatkan dua aliran, ialah yang ingin mendapat pengetahuan umum dan sebagian
ingin menjabat pangkat tinggi ... Untuk mencapai cita-cita sekolah tinggi
itu, perlu sekali leerkracht (tenaga pengajar) ialah guru-guru, buat ini
lebih dahulu guru-guru dari NU dan Muhammadiyah dan sebagainya diberi pelajaran
dari sekolah tinggi itu tentang wetenschaap, kemudian akan bisa menjadi
guru besar dalam sekolah yang dimaksudkan.”[30]
Pendirian sekolah rendah, menengah, hingga tinggi yang
berasaskan Islam itu juga relevan di zaman Soekiman karena para intelektual dan
profesional masa itu, yang kebanyakan lulusan sekolah Belanda yang sekuler,
mulai banyak yang memberikan minat yang besar terhadap studi Islam, yang
kebanyakan belum pernah mereka dapatkan di sekolah. Saat itu, sekolah dan
kampus yang memadukan pembelajaran Islam dan sains modern mulai marak, terutama
dimotori oleh organisasi modern seperti Muhammadiyah dan Persis. Soekiman dan
pemimpin Masyumi lain membina UII dan berbagai sekolah Islam bukan sebagai
saingan bagi sekolah Islam yang sudah ada, melainkan sebagai upaya kolektif
untuk turut bekerja sama dan saling melengkapi, terutama pada tingkat perguruan
tinggi.
Tetapi sekarang kaum intellectueelen sudah merasa,
mereka tidak mau pisah dengan rakyat. Tiga macam sekolah (yang memadukan
pelajaran Islam dengan sains) sudah ada, yaitu guna orang terpelajar seperti
studi klub yang sudah ada di Malang, Mojokerto, dan sebagainya. Sekolah Tinggi
itu perlu diadakan di kota-kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Solo.[31]
Islam college yang sudah ada itu sifatnya seperti sekolahan rakyat
untuk orang dewasa. Hooge School di Batavia-C yang didirikan oleh MD
(Muhammadiyah) itu untuk ekonomi, handel, dan sebagainya, jadi seperti handelschool
yang berdasar Islam. Tapi hoogeschool yang akan didirikan di Solo itu
semata-mata buat kepentingan agama Islam.[32]
Untuk mengatasi kekurangan dosen dan guru di awal-awal
pendiriannya, para ulama yang sudah ahli ilmu agama dari berbagai ormas Islam
diberikan pelajaran akademis umum untuk selanjutnya dijadikan guru dalam
perguruan tinggi dan sekolah Islam itu. Guru bantuan dari Al Azhar juga
didatangkan.
“Hoogleeraar (dosen akademis umum) akan memberi
pelajaran kepada Kyai dan ulama-ulama yang sudah pandai tentang Islam, yang
mana akan menjadi guru dalam sekolah tersebut ... Diterangkan bahwa dari Al
Azhar akan membantu kirim 3 orang guru dengan dipikul sendiri ongkosnya dari
sana.”[33]
Indonesia di masa itu juga masih kekurangan doktor dan
profesor dalam bidang studi dan filsafat Islam. Menurut Soekiman, hal itu perlu
segera diatasi.
Diterangkan panjang lebar bahwa lain bangsa punya doktor
dalam rupa-rupa hal. Kita di Indonesia sudah ada doktor in de letterkunde,
in de rechten, dan sebagainya, tetapi tidak punya doktor in de Islam.[34]
Keadaan sekarang ini kemajuan Islam jalannya pincang
karena sampai ini waktu kita belum punya doktoren dan profesoren in
de Islam atau doktoren in de filosofie dan sebagainya. Maka dari
itu, cita-cita itu wajib kita kerjakan dan di belakang hari diminta supaya
segala hal itu dipikul oleh negeri kita yang mempunyai banyak penduduk (rakyat
beragama Islam).[35]
Menurut Soekiman, kurikulum perguruan tinggi dan sekolah
Islam itu harus direncanakan secara matang dan kepustakaan yang baik harus
disediakan, termasuk literatur warisan klasik Islam. Asrama atau pesantren
kampus pun perlu disediakan agar peserta-didik mampu menginternalisasi aspek
keadaban dengan lebih utuh.
“... sekolah itu perlu dapat ajaran bahasa Arab, tafsir,
hadis, tauhid, dan ilmu-ilmu Islam lain dan juga pengetahuan seperti adat recht,
Volkenkunde Indonesia, ilmu hukum Indonesia, dan sebagainya … Sekolah
itu perlu pakai internaat (asrama atau pesantren), supaya anak-anak itu
bisa menjalankan praktiknya (kehidupan keadaban Islam), jangan tahu tentang
teori saja … Dalam sekolah tersebut, perlu pula ada bibliotheek …
Seorang ahli di Perancis sudah menjanjikan akan menyokong pengumpulan bibliotheek
Islam (yang dirampas pemerintah kolonial) … karena negeri itu ada mempunyai
tanah-tanah jajahan yang penduduknya beragama Islam.”[36]
Selain itu, Soekiman merasa perlu dilakukan gerakan
penerjemahan besar-besaran terhadap semua kepustakaan yang telah dikumpulkan
untuk memperkaya bahasa Indonesia dan Melayu dengan penyerapan istilah,
memudahkan pemahaman, dan membantu upaya “interwoven”.
“Sekolah luhur itu akan diusahakan supaya tidak perlu
pakai bahasa asing lagi, agar bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa perantaraan
dan bahasa wetenschaap. Juga sekolah yang memakai bahasa Melayu itu dari
tanah Malaka, Johor, Straits (Singapura), dan sebagainya bisa ditarik kemari.”[37]
Meski masih terkesan dangkal dan tidak sekomprehensif
konsep pandangan hidup Islam, pendidikan Islam, dan Islamisasi sains yang
dilahirkan oleh para pemikir kontemporer seperti Naquib al-Attas atau Ismail
Raji al-Faruqi, gagasan Soekiman (dan para tokoh Masyumi lainnya) soal
pandangan alam Islam, usaha interwoven (integrasi-interkoneksi) ilmu,
dan UII ini merupakan salah satu titik yang baik, yang tidak boleh dipandang
sebelah mata, dalam rantai panjang perjuangan umat Islam menghadapi tantangan
dunia modern. Malahan, konsep-konsep penganjur pandangan alam Islam dan
integrasi ilmu non-arus-utama seperti Soekiman (dan tokoh-tokoh Masyumi) ini
perlu untuk digali dan dikenalkan kepada umat Islam, khususnya di Indonesia,
agar tidak merasa asing dengan konsep worldview of Islam itu.
Selain dalam pendirian UII, gagasan Soekiman soal
pandangan alam Islam itu sedikit-banyak juga mempengaruhi aktivitasnya sebagai
seorang dokter. Ia menganggap bahwa kesehatan itu tidak hanya terkait dengan
aspek fisik dari manusia, tapi juga aspek rohani atau jiwa. Dengan demikian,
kesehatan dalam pandangan Soekiman tidak lepas dari Din, yang memiliki peran
sebagai obat bagi jiwa. Suatu masyarakat yang sehat (yaitu masyarakat ideal)
menurutnya hanya dapat dibentuk dari individu-individu yang sehat secara fisik
maupun kejiwaan, sehingga kesehatan dalam perspektif kedokteran tidak dapat
dilepaskan dari kesehatan jiwa dan moral dalam perspektif agama.
Dalam rangka turut menanggulangi kekurangan dan
ketinggalan rakyat dalam hal pemeliharaan kesehatan rakyat maka tadi diumumkan
pembentukan dua fakultas baru yang bersangkut paut dengan kesehatan. Walaupun
kita sadari bahwa sumbangan UII nanti akan terbatas hasilnya dibandingkan
dengan kebutuhan besar rakyat akan hal syarat hidup itu namun urgensinya tampak
jelas. Di samping mendirikan Fakultas Kedokteran memang dikandung maksud dan
sekarang sudah mulai dipikirkan pelaksanaan cita-cita membangun rumah sakit
(klinik) modern swasta di kota Bengawan Sala.[38]
Kita harus bersemboyan: Kesehatan rakyat adalah modal
besar bagi pembangunan negara; pemeliharaan kesehatan anak, ibu, bapak sesuatu
bangsa adalah landasan kokoh untuk mendirikan gedung masyarakat yang kuat.[39]
Yang dimaksud di sini tentunya pemeliharaan badaniah dan rohaniah rakyat yang
seimbang. Kesehatan jasmaniah sebagaimana umum diketahui dapat dicapai melalui
syarat makanan dan tata cara hidup yang ditentukan oleh ilmu kedokteran. Sedang
kesehatan jiwa dan batinnya memerlukan pula syarat-syarat “makanan” dan didikan
moral tinggi (adab dan akhlak) yang diberikan Agama.[40]
Penyelarasan aspek jasmaniah dan rohaniah seperti itu
juga berlaku dalam konsep Soekiman soal kebahagiaan dan kesejahteraan
masyarakat.
Umumnya dan biasanya orang mengukur dan menilai
penderitaan hanya dari sudut kebutuhan kehidupan badaniah, lahiriah saja, yakni
meningkatnya kekurangan bahan benda pangan dan sandang. Sejalan dengan itu
menafsirkan kegembiraan sebagai kepuasan seseorang atas kecukupan syarat
kebutuhan hidup lahiriah saja. Tetapi tidak demikian seharusnya. Juga terpenuhinya
syarat hidup rohaniah menimbulkan kegembiraan. Walaupun penderitaan jasmaniah
lebih mudah menonjol lebih lekas dapat dilihat daripada kekurangan-kekurangan
lainnya, namun tidak kurang pentingnya penderitaan batiniah, rohaniah, moril,
karena syarat-syarat kebutuhan hidupnya kurang dipenuhinya seperti kita rasakan
di waktu penjajahan, dan kalau dahulu disediakan apa yang diperlukan, biasanya
terlalu sempit / minimal takarannya, malah sering dengan sengaja diabaikan oleh
kaum penjajah.[41]
Terutama sekali dalam aspek kejiwaan itulah, menurut
Soekiman, terbuka ruang yang lebar bagi nilai-nilai Islam untuk berperan, dan
memang mesti demikian, dalam menentukan arah jalannya pembangunan bangsa dan
umat ini ke depan, sebab bangunnya badan mesti dimulai lebih dulu dari
bangunnya jiwa, sedangkan jiwa memerlukan penuntun yang adabi.
Sebagai seorang pemuda Islam menjadi terdidik dalam
ajaran agama Allah, ia senantiasa tahu akan barang baik atau tidak baik, halal
atau haram. Moral Islam menjadi dasar dan tuntunan hidupnya. Tidak
terombang-ambing oleh hawa nafsu, walaupun percobaan dan godaan seakan-akan
menyertai dan mengiringi dia.[42]
Soekiman juga menjalankan praktik kedokterannya dengan
landasan amal kesalehan dan rasa solidaritas kebangsaan. Sepulang dari Belanda,
ia sempat berpraktik di sebuah rumah sakit milik pemerintah kolonial di Cianjur,
namun kemudian, atas pengaruh dari K.H. Fachruddin, Soekiman berpraktik di
Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sembari membangun poliklinik khusus
perawatan paru-paru yang dikelolanya bersama istrinya. Ia dikenal banyak
memberikan bantuan dan pengobatan gratis untuk kalangan yang tidak mampu
berobat dan aktif mendatangi rumah pasiennya, bahkan sampai ke luar Yogyakarta.[43]
Salah satu pasien langganannya adalah Ki Hajar Dewantara. Keduanya diketahui
cukup dekat walaupun berlainan landasan perjuangan dan pandangan kebangsaan, di
mana Soekiman bertahan pada idealisme republik eenheidsstaat berdasarkan
asas Islam.[44]
Pengaruh Pandangan Alam Islam terhadap Soekiman sebagai
Negarawan
Selain sebagai dokter dan cendekiawan, pandangan alam
Islam juga memberikan pengaruh pada diri Soekiman sebagai seorang politisi,
pejuang kemerdekaan, dan negarawan. Berlawanan dengan kaum sekuler yang
membatasi peran agama hanya di ruang privat, Soekiman menempatkan Din Islam tidak
sebagai agama dalam pengertian Eropa atau Sanskerta, tapi sebagai asas atau
landasan yang menyeluruh dalam kehidupan pribadi sekaligus bermasyarakat,
termasuk dalam peri kebangsaan dan kenegaraan. Dengan demikian, Soekiman
memosisikan Islam sebagai suatu “hervormingstelsel” di mana
nilai-nilainya mesti diupayakan untuk diwujudkan dalam ruang publik, guna
memperbaiki penyimpangan yang muncul akibat aturan manusia yang tidak adil atau
tidak sesuai fitrah.
Perkataan “hervormen” (mengubah) tentu akan tidak
ada, kalau stelsel-stelsel (peraturan-peraturan) yang baru itu, terus
sesuai dengan keadaan yang sekarang ini, sebagaimana kunci cocok dengan selot.
Juga Islam adalah suatu “hervormingstelsel”. Ia berkehendak mengatur
dunia menurut asas-asasnya, mengadakan perubahan-perubahan menurut angan-angan
Islam.[45]
Karena anggapan yang demikian, Soekiman (juga para tokoh
Masyumi dan berbagai gerakan Islam lain) di masa lalu sepakat untuk mewujudkan
negara Indonesia merdeka yang berlandaskan Islam, yang ujungnya ialah
terbentuknya negeri baldatun ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr.
Tujuan Partai Politik Islam Indonesia “Masyumi”
sebagaimana diterangkan dalam pasal III Anggaran Dasarnya: ialah, terlaksananya
ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat dan negara
Republik Indonesia menuju keredaan Illahi. Rumusan tujuan yang demikian
bunyinya itu ternyata masih terlalu umum sifatnya, sehingga menimbulkan
gambaran bersimpang siur mengenai inti, tentang apa yang sebenarnya menjadi
tugas dan cita-cita politik sesuatu partai, seperti Masyumi.[46]
Partai-partai Islam di antaranya Masyumi bertujuan dan
berjuang untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sifat coraknya serta hakikatnya
tepat digambarkan dalam Al Quran (surat Saba ayat 19) yang berbunyi : “BALDATUN
THAYYIBATUN WARABBUN GHAFUR”'. yang artinya: Masyarakat yang sejahtera,
adil, makmur, aman damai, di bawah naungan dan lindungan Rahmat serta diridai
Allah S.w.t.[47]
Pertentangan nasionalis-kelompok Islam, di mana Soekiman
termasuk di dalamnya, dengan kalangan nasionalis-sekuler awalnya berhasil dikompromikan
dalam bentuk dasar negara Pancasila yang isinya tidak bertentangan, bahkan
dijiwai oleh prinsip-prinsip Islam. Namun, Pancasila yang telah disepakati itu
di awal berjalannya diubah secara sepihak menjadi seperti yang kita kenal
sekarang ini. Perdebatan mengenai perubahan itu sempat muncul lagi dalam
sidang-sidang Konstituante, tapi Indonesia keburu memasuki masa Demokrasi
Terpimpin, sehingga sidang Konstituante itu tidak dapat berlanjut. Setelah
Indonesia “kembali ke UUD 1945” itu pun, Soekiman tetap konsisten mengajukan
rehabilitasi rumusan Pancasila sesuai Piagam Jakarta.
Dalam hubungannya (konteksnya) dengan “pandangan hidup
Islam” inilah dapat dimengerti betapa dengan gigihnya, Ummat Islam, sebagaimana
dicerminkan oleh tuntutan Nahdlatul Ulama berkenaan dengan persoalan sekitar
anjuran Pemerintah, supaya kita kembali ke UUD 1945, memperjuangkan
dimasukkannya kembali “Piagam Jakarta 22 Juni 1945”, dalam UUD 1945, karena
ternyata dalam “Pembukaannya” yang menjadi inti sari vital (essence)
Piagam Jakarta yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban
menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”: dihapuskan dari padanya!
... Pun kiranya tuntutan Ummat itu, sebagai tindakan rehabilitasi (redress)
dari suatu perjanjian suci (gentlement agreement) antara Islam dan
Nasionalisme, di saat historis, di waktu hendak memulai Revolusi Nasional, yang
secara sepihak (unilateral) telah dirusakkan, dan sebagai penghargaan kepada
sumbangan para pemuka, yang telah mangkat (H.A. Salim, Ki Bagus Hadikusumo,
K.A. Wachid Hasyim) dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya.[48]
Soekiman di dalam organisasi-organisasinya, baik PII,
MIAI, maupun Masyumi, istikamah memperjuangkan agar Islam memiliki ruang publik
yang proporsional dalam penyelenggaraan Republik Indonesia.
Maksud yang pertama dengan mengadakan badan persatuan di
kalangan Islam ialah mengikhtiarkan supaya kedudukan (posisi) Islam di
Indonesia sedemikian hingga boleh disebut sepadan dengan pentingnya agama dan
besarnya jumlah umat Islam di sini.[49]
Penggunaan Pancasila versi Piagam Jakarta sebagai dasar
negara tidak sama dengan keinginan untuk membubarkan republik, sebab Islam dalam
pandangan Soekiman dapat menerima bentuk republik maupun kerajaan. Menurutnya,
bentuk republik dengan pemilihan pemimpin berdasarkan musyawarah suatu majelis
ahli ada contohnya di masa Khulafa Rasyidin, sementara bentuk kerajaan dengan
pemilihan berdasarkan dinasti juga ada contohnya di masa Umayah dan seterusnya.
Malahan, Soekiman lebih condong kepada republik parlementer karena dipandangnya
lebih sesuai dengan konsep musyawarah. Hanya saja, perjuangan mewujudkan ajaran
Islam sebagai hukum positif lewat parlemen itu tidak boleh dilarang dan
pelaksanaan musyawarah mesti lebih didahulukan daripada voting orang-per-orang.
“Pada sebelumnya dunia Eropa mengadakan bermacam-macam
cara pemerintahan yang tadi sudah kami bentangkan, Allah SWT telah bersabda
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang termaktub di dalam Al
Quran ayat 159 surat Ali Imran: “Wa amruhum syura bainahum” (Dan
musyawarahkanlah Muhammad, segala kepentingannya dengan orang itu sendiri!) ...
Di sini, nyatalah bahwa pemerintahan yang dikehendaki oleh Islam itu, ialah
suatu pemerintahan yang berlaku dengan musyawarat, yang tidak bergantung atas
kehendak satu golongan, apalagi atas kemauan seseorang saja. Pemerintah Islam
diharuskan membicarakan dan memusyawarahkan segala sesuatu yang mengenai nasib
umatnya dengan umat itu sendiri. Apakah demikian itu pada hakikatnya bukan
suatu sistem yang dikehendaki oleh demokrasi dengan perantaraan badan
perwakilan? ... Tentang hal ini, M.J. Bonn di dalam risalahnya yang bertitel: “Die
krisis der Europaischen Demokratie”, pada halaman 20 ada menerangkan,
bahwa: “Sesungguhnya hakikat sesuatu sistem pemerintahan secara parlementer itu
ialah memerintah dengan bertukar pikiran (diskusi)”.[50] ...
Apakah bukan maksud ayat ini “hak sesuatu bangsa atau umat untuk mengurus dan
menentukan nasib dirinya sendiri”. Cukuplah agaknya di sini gambaran kami
sekedar tentang bentukan pemerintahan secara Islam; dan pemerintahan yang
demikian sifatnya itu tidak saja hanya dilakukan di negeri-negeri Islam yang
sekarang ini, tetapi pun juga dipraktikkan lebih dahulu oleh Nabi Muhammad SAW
dan oleh penggantinya Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Di dalam
riwayat Islam, maka pemerintahan 4 pengganti Rasul itu biasanya dipandang
sebagai zaman keemasan dari kerajaan Islam pada permulaannya.[51]
...
Kesimpulannya, agama Islam memang mewajibkan kita
menyokong dengan sekuat-kuatnya tuntutan rakyat Indonesia untuk keperluan
mendapatkan parlemen yang sejati (Volwaardig Parlement).[52]
Dengan demikian, tidak benarlah tuduhan kaum sekuler
bahwa perjuangan mewujudkan nilai Islam dalam hukum positif Republik itu
merupakan tindakan radikal dan separatis. Justru sejak dulu, Soekiman dan
tokoh-tokoh nasionalis-Islam lain, terutama dalam lingkup MIAI dan Masyumi,
sudah mencontohkan sikap yang integral dan demokratis. Dua rezim otoriter yang
pernah dirasakan bangsa ini, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, tidak ada satu
pun yang merupakan pemerintahan nasionalis-Islam atau Masyumi. Meskipun dulu
Masyumi sempat menjadi kekuatan yang dapat dikatakan setara dengan PNI, mereka
(termasuk Soekiman) senantiasa mau bermusyawarah untuk kepentingan bangsa ini.
Selain itu, Republik sebagai negara kesatuan dapat
terwujud tidak lepas dari andil Mosi Integral yang diusulkan oleh Natsir, rekan
Soekiman, dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Masyumi. Soekiman pun meyakini
bahwa bentuk negara persatuan (eenheidsstaat, sebagian menerjemahkannya
sebagai negara kesatuan) sebagai bentuk yang paling baik bagi Indonesia dan
paling selaras dengan semangat pandangan hidupnya, yang mengajarkan Pan-Islam
(persatuan Islam), yang berarti juga persatuan bagian terbesar dari bangsa ini.
“Saya memang setuju sekali dengan pendapat saudara
Muzakkir, mengenai apa yang sesungguhnya Islam itu, dan yang walaupun demikian
di dalam pidatonya menerangkan bahwa bentuk negara Islam adalah mirip dengan
republik. Tentang bentuk “unitaristisch” atau “federalistisch”,
tuan-tuan yang terhormat, juga di dalam hal ini riwayat menunjukkan
sesungguhnya, bahwa pada permulaan hubungan negara-negara adalah sebagai
perserikatan negara-negara, “statenbond”, kemudian meningkat kepada “bondstaat”
dan pada akhirnya meningkat lagi kepada eenheidsstaat karena “eenheidsstaat”
sesungguhnya menjamin satu urusan, satu bentuk yang seefisien-efisiennya ... Maka
tiap-tiap daripada kita sesungguhnya mempunyai cita-cita yang
setinggi-tingginya, yaitu satu negara buat satu bangsa dan satu tanah air.[53]
Di dalam kalangan kita sesungguhnya saya juga tergolong mereka yang menyetujui
tingkat kedua itu, karena tingkat kedua sesungguhnya — dalam usahanya — akan
memperkuat pemerintahan pusat sehingga di dalam praktik, sesungguhnya sudah
mewujudkan bentuk yang unitaristisch, maka lebih baiklah saya terima
bentuk yang paling akhir, yaitu bentuk sebagai eenheidsstaat, yaitu
negara persatuan.[54]
Namun dalam sejarahnya, ketulusan perjuangan umat Islam
dalam mengakui perjanjian luhur berupa Pancasila dalam Piagam Jakarta itu
seakan-akan ditelikung di belokan akhir, sehingga menimbulkan ketegangan yang
belum selesai antara nasionalis-Islam dengan nasionalis-sekuler hingga saat ini.
Meskipun kemerdekaan beragama itu sudah dijamin dalam konstitusi, tapi umat
Islam tetap merasakan keadaan yang ganjil dalam peri-kehidupan bangsanya.
“... saya rasa perlu sekali menerangkan, karena apa umat
Islam di dalam hal ini senantiasa menaruh syak-wasangka. Menurut Indische
Staatsregeling dahulu, memang terang-terang juga dijamin kemerdekaan agama
tiap-tiap penduduk, tetapi kita sebagai umat Islam telah mengalami keadaan yang
tidak sesuai dengan keadaan itu, karena sungguh-sungguh, kalau kita amat-amati
dan mengikuti pembicaraan-pembicaraan dalam sidang Volksraad Marhum,
memang mencolok mata umat Islam, sehingga umat Islam masih saja bercuriga dan
syak-wasangka terhadap kalimat kenetralan dalam hal agama, sebagai aturan
ketentuan bentuk Negara Indonesia Merdeka.[55]
Ketegangan itu diperparah oleh penyalahgunaan yang
dilakukan sejumlah rezim terhadap Pancasila, dengan menariknya ke arah
penafsiran yang sekuler sembari memperlihatkan kepada publik bahwa perjuangan
Islam menjadi ancaman bagi Pancasila, sehingga menimbulkan pembelahan di
masyarakat dan membunuh citra gerakan Islam yang berbeda pendapat.
Sebenarnya keadaan yaitu “bersatunya” Pancasila dengan
Komunisme (di masa Demokrasi Terpimpin), dan bercerai “bermusuhannya” Islam
dengan Pancasila, jika direnungkan sejenak, tampaklah ganjil sekali. Apakah
tidak aneh melihat bahwa Pancasila yang karena sama sekali tidak mengandung
unsur satu pun yang bertentangan dengan Islam, dapat “dipangku” bahkan “dipeluk”
seluruhnya oleh Islam, bertengkar hebat untuk mempertahankan kehidupannya
dengan Islam sedang ia mau “dirangkul” oleh suatu ideologi yang hendak mengisap
darahnya hingga sampai “ajalnya”. Apakah Ummat Islam dan kaum nasionalis dalam
perimbangan kekuatan di Konstituante yang jelas itu, tidak perlu memikirkan
bersama mencari jalan keluar, untuk dapat mengatasi keadaan yang ganjil dan
tidak wajar itu?[56]
Keadaan keruh itu malah diperparah dengan perpecahan umat
Islam dan “menurunnya gelombang perjuangan disebabkan timbulnya beraneka macam
keinginan dan ambisi”, sehingga kedudukan umat Islam “tidak sederajat dengan
potensi dan kesanggupannya sebagai mayoritas”.[57]
Perbandingan Konsepsi Pandangan Alam Soekiman dengan
Pemikir Kontemporer
Berdasarkan uraian di atas, konsep pandangan alam
Soekiman meliputi beberapa pokok: (1) pandangan bahwa alam semesta merupakan
bagian dari “imperium Ilahi” yang diciptakan dan dikuasai oleh Allah SWT; (2)
eksplorasi atau aktivitas sains atas alam yang dilakukan dengan benar pastilah
selaras dengan wahyu Allah SWT dan membawa kepada pengakuan atas ketentuan-ketentuan
Allah SWT yang adil dan seimbang; (3) manusia memang dibekali dengan akal dan
kemampuan untuk memilih, tapi sebagai bagian dari alam yang dikuasai oleh
Allah, pilihan yang paling logis adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada-Nya;
(4) pendirian hidup penyerahan diri secara bulat adalah pendirian hidup Islam,
yang berarti menjalani hidup sesuai tata aturan yang digariskan Allah; (5) Islam
merupakan suatu “hervorming-stelsel” dan “code of life” yang
mengatur segenap peri-kehidupan manusia, termasuk di ruang publik, sehingga
urusan pendidikan, kenegaraan, dan lain-lain mesti diselenggarakan berlandaskan
prinsip atau tatanan Islam; sebaliknya sekularisme di ruang publik (aturan
kenetralan agama dalam Staats-regeling) tidak dapat diterima; (6) mesti
ada upaya “interwoven” (integrasi-interkoneksi) sains dengan keilmuan
agama di lembaga pendidikan rendah, menengah, dan tinggi Islam; (7) kesehatan,
kebahagiaan, dan kesejahteraan meliputi aspek jasmaniah dan rohaniah, yang
mesti dipenuhi kebutuhannya secara seimbang; asupan bagi aspek jasmaniah manusia
adalah makanan dan pola-hidup sehat, sedangkan asupan bagi aspek rohaniah
adalah didikan “moral-tinggi” (adab dan akhlak) agama; (8) sistem politik Islam
mengajarkan musyawarah mufakat; (9) pemilihan pemimpin dalam Islam dilakukan
berdasarkan kapabilitas sosok terbaik oleh suatu majelis yang bermusyawarah,
sehingga memiliki kemiripan dengan demokrasi parlementer, meski pula mengakui
sistem dinasti; dan (10) sistem pemerintahan masa Khulafa Rasyidin lebih dekat
dengan demokrasi parlementer dibandingkan dengan kerajaan.
Tentu gagasan Soekiman soal pandangan alam Islam tidak
sedalam dan selengkap konsep pandangan Islam yang disampaikan oleh para pionir
Islamisasi Sains, seperti Naquib al-Attas dan para muridnya. Hal itu wajar
mengingat Soekiman lebih banyak berkiprah sebagai politisi daripada pemikir,
sehingga konsepsi yang dihasilkannya lebih cenderung bersifat praktis dan
kurang paradigmatis. Namun, untuk seorang profesional lulusan sekolah Belanda
yang sekuler di masa penjajahan, kesadaran Soekiman (dan para tokoh pergerakan
Islam masa itu) akan adanya weltanschauung Islam yang berbeda dengan
pandangan alam Barat dan keinsafannya terhadap menjangkitnya sekularisme
sebagai masalah pokok umat Islam dapat dikatakan sebagai hal yang baik.
Ditambah lagi, kesadaran itu juga ditingkatkan ke arah aksi nyata berupa usaha
pembangunan kampus UII, yang masih beroperasi hingga kini.
Jika dibandingkan secara konseptual dengan gagasan
pemikir Islam kontemporer soal pandangan hidup Islam, pokok-pokok pikiran
Soekiman tersebut kebanyakan masih selaras atau tidak keluar dari koridor yang
diformalkan oleh para cendekiawan Islamisasi sains itu. Pokok (1) pandangan
alam Soekiman bahwa alam semesta merupakan bagian dari “imperium Ilahi” yang
diciptakan dan dikuasai oleh Allah SWT merupakan suatu pandangan terhadap
keseluruhan realitas wujud yang berlandaskan bangunan konsep Islam, di mana
konsep Tuhan menjadi pusatnya. Alam semesta (alam dunia) dianggapnya hanyalah
salah satu bagian dari himpunan alam yang semuanya merupakan “kerajaan Allah”
atau “imperium Ilahi”, sehingga memperlihatkan pandangan Soekiman yang mengakui
adanya alam gaib (metafisik), selain alam tabii. Konsep “imperium Ilahi” itu
menunjukkan suatu pemahaman bahwa Tuhan ada, menciptakan, dan menguasai alam
raya, serta bahwa Tuhan adalah pusat segala-galanya, sehingga semua konsep
tentang isi keseluruhan alam itu, termasuk konsep kemanusiaan dan
kemasyarakatan, mestilah berlandaskan kepada konsep Tuhan.
Pandangan (1) Soekiman itu, misalnya, sejalan dengan
rumusan Naquib al-Attas bahwa pandangan hidup Islam (worldview of Islam)
adalah suatu ru’yah al-Islām lil-wujūd (pandangan Islam terhadap wujud /
keseluruhan realitas), yaitu suatu “visi tentang realitas dan kebenaran yang
muncul di hadapan mata hati kita yang mengungkapkan hakikat wujud”,
memproyeksikan totalitas alam wujud, atau “visi tentang realitas dan kebenaran,
yang merupakan survei metafisika tentang dunia yang terlihat serta yang tak
terlihat, termasuk pandangan tentang kehidupan sebagai keseluruhan; bukan worldview
yang terbentuk hanya dengan mengumpulkan berbagai objek budaya, nilai dan
fenomena ke dalam suatu (karya) artifisial yang koheren”, sehingga ia merupakan
suatu sistem yang aktif beroperasi mempengaruhi cara kita memandang dunia
eksistensi berdasarkan pada paduan integral konsep tentang Tuhan, wahyu,
kenabian, penciptaan, alam semesta, diri manusia, ilmu, pengetahuan, agama,
kemerdekaan, kebahagiaan, kesejahteraan, nilai, moralitas, dan aspek-aspek lain
yang sendirinya mengikuti, di mana konsep Tuhan itu menjadi pusat dan landasan
bagi konsep-konsep lainnya. Intinya adalah keyakinan-dasar bahwa Tuhan ada dan
menciptakan alam semesta, dan menjadikan manusia sebagai pusat penciptaan.[58]
Selanjutnya, atas dasar pandangan (1) soal “imperium
Ilahi”, pandangan (2) Soekiman menganggap bahwa keseluruhan ilmu itu berasal
dari Allah, sebagaimana konsep Tuhan itu menjadi pusat dari segala konsep lain
dalam pandangan alam itu, sehingga ilmu yang diperoleh melalui aktivitas sains
dan eksplorasi alam raya itu dipandang Soekiman mestilah selaras dengan ilmu
yang diperoleh melalui wahyu, sebab segala ilmu itu pada hakikatnya berasal
dari Allah, yang menciptakan dan mengendalikan seru-sekalian-alam sekaligus
mengirimkan wahyu dan rasul-rasul ke tengah manusia. Hal itu selaras dengan
pandangan al-Attas bahwa semua ilmu itu hakikatnya berasal dari Allah.
“In
the same manner that man is of a dual nature, so is knowledge of two kinds: the
one is food and life for the soul, and the other is provision with which man
might equip himself in the world in his pursuit of pragmatic ends ... The first
kind of knowledge is given by God through revelation to man; and this refers to
the Holy Quran as the knowledge par excellence; the Prophet’s Sunnah manifested
in word (qawl), model action (fiʿl), and silent confirmation (taqrīr);
spiritual knowledge (ʿilm ladunniyy); and wisdom (ḥikmah) ... The second kind
of knowledge refers to knowledge of the sciences (ʿulūm), and is acquired
through experience and observation and research, through speculation and
rational effort of enquiry based on man experience of the sensible and
intelligible; it is discursive and deductive, and it refers to objects of
pragmatical value.”[59]
Selain itu, berdasarkan pandangan (1) tentang alam
semesta termasuk manusia sebagai bagian dari “imperium Ilahi” itu, pandangan
(3) dan (4) muncul sebagai konsekuensi, yaitu bahwa penyerahan diri secara
total bulat “pada kehendak dan bimbingan Allah”, “mengakui kekuasaan
(kedaulatan) Allah S.w.t. di atas segala kekuasaan di dunia ini, dan mengatur
hidup dan kehidupannya baik secara pribadi (individual) maupun dalam jemaah
(kolektif), sesuai dengan perintah dan petunjuk-petunjuk Allah SWT”, yakni
menjalankan tata nilai dan aturan Islam, merupakan konsekuensi paling rasional
bagi manusia yang berakal. Hal itu berujung pada pandangan (5) di mana Soekiman
memosisikan tatanan Islam, yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis, sebagai “hervorming-stelsel”
dan “code of life” yang perlu diterapkan dalam segala bidang kehidupan, untuk
membangun masyarakat lahir batin dan membawa pergaulan hidup bersama ke arah
tujuan tingkat hidup dan nilai-nilai hidup yang luhur, sehingga kebenaran dan
keadilan terjamin kokoh kuat, serta inisiatif dan karya manusia dapat ditujukan
pada perbaikan dan penyempurnaan tingkat hidup jasmaniah dan rohaniah.
Berlawanan dengan kaum sekuler yang membatasi agama hanya pada masalah ritual,
Soekiman cenderung memaknai Islam sebagai nilai yang melandasi pembangunan peradaban.
Pandangan (3), (4), dan (5) Soekiman itu dapat dikatakan
sejalan dengan rumusan al-Attas dalam memaknai Islam sebagai Din (secara
sederhana dipadankan dengan agama) sekaligus Tamadun (secara sederhana
dipadankan dengan peradaban). Din dan Tamadun itu bertalian dengan kata dāna
(berhutang), madyūn (keadaan berhutang), daynun (tanggung jawab
atau kewajiban untuk membayar hutang atau terikat mematuhi tata-aturan
hutang-piutang), idānah (putusan hukum yang mengatur hutang-piutang atau
kegiatan ekonomi dan sosial secara umum), mudūn / madā’in (tempat
di mana hukum-hukum atau tata-aturan berlaku), madīnah (kota atau
komunitas di mana tatanan hukum, tatanan adabi, atau Din dijadikan landasan
pembangunan), dan ad-Dayyān (Sang Maha Pemberi Hutang; Sang Maha
Pengatur; atau Sang Maha Pemberi Keputusan, Penilaian, Penghakiman, dan seterusnya).
Dengan demikian, dalam pandangan al-Attas, Islam itu memperlihatkan kesatuan
konsep bahwa manusia berhutang kepada Allah SWT, karena Dia telah memberi
mereka anugerah berupa kehidupan, rezeki, dan lain-lain yang tak terkira
hitungannya, sehingga manusia memiliki tanggung jawab untuk “membayar hutang”
kepada-Nya. Namun, karena manusia itu tak memiliki apa pun, sebab semua yang
ada pada mereka adalah pemberian dari Allah, maka tiada jalan lain bagi manusia
untuk membayar hutang itu, kecuali mengembalikan atau menyerahkan dirinya
kepada-Nya, yang berarti tunduk-patuh pada ketentuan-ketentuan yang digariskan
oleh-Nya, yang dengan mengikuti tatanan itu, manusia akan dapat hidup sesuai
fitrah dan membangun peradaban yang luhur (maddana, tamaddun,
Tamadun).[60]
Di sini, kita dapat melihat pada pandangan Soekiman dan
al-Attas, sejumlah elemen yang beririsan, seperti kesadaran akan kepemilikan
dan penguasaan diri manusia (dan alam semesta) oleh Allah (sebagai “imperium
Ilahi”), kesadaran bahwa pilihan paling rasional bagi manusia yang diberi akal
oleh Allah adalah tunduk menyerah-bulat kepada ketentuan-ketentuan Allah,
kesadaran bahwa menaati tatanan Allah itu akan membawa manusia kepada tingkat
peradaban yang luhur, kesadaran bahwa Islam itu mesti diterapkan dalam segala
bidang kehidupan dan tidak hanya di dalam ritual, dan kesadaran bahwa tatanan
Islam itu akan membawa kepada keadilan yang harmoni dengan fitrah manusia. Hanya
saja cakupan “stelsel” dalam diksi yang digunakan Soekiman memang
cenderung disematkan kepada aspek hukum, politik, dan kenegaraan, meskipun
secara makna dapat juga mencakup tatanan secara luas, sehingga terkesan tidak
seluas kata Tamadun. Namun begitu, Soekiman memadukan istilah legal-formal “hervorming-stelsel”
itu dengan “code of life” yang lebih bersifat adabi-akhlaki dan tidak
terbatas pada wilayah politik dan hukum ketatanegaraan. Selain itu, Soekiman
juga menyatakan bahwa ujung dari penerapan Islam sebagai “hervorming-stelsel”
dan “code of life” itu akan membawa kepada “nilai-nilai hidup yang tinggi”
yang dapat dibandingkan dengan konsep masyarakat madani atau beradab. Dengan
demikian, dapat dimaknai bahwa Soekiman juga memaknai Islam sebagai pandangan
alam, agama, tata-aturan, sekaligus peradaban.
Selanjutnya, pandangan (2) juga membawa konsekuensi pada
pandangan (6) dan sebagian pandangan (5), yaitu bahwa Islam juga harus
melandasi dan menjiwai pendidikan, yang sesuai dengan prinsip sila pertama
Pancasila, yang berarti bahwa “sekularisme tidak ada tempatnya di Indonesia”,
yang kemudian menjadi dasar legitimasi bagi pendirian sekolah dan perguruan
tinggi Islam, khususnya UII Yogyakarta, yang memadukan pengajaran Islam dengan
pengajaran sains kontemporer, yang oleh Soekiman, disarankan agar kemudian
sebisa mungkin ditingkatkan kepada tahap “interwoven” antara sains
modern dengan ilmu Islam tadi. Konsep interwoven Soekiman ini jelas
berbeda dengan konsep Islamisasi sains, baik dalam pendekatan paradigma ala
al-Attas, maupun dalam pendekatan integrasi ala al-Faruqi. Belum ditemukan
tulisan Soekiman yang menjelaskan secara detail makna dari “interwoven”
itu. Dalam tulisannya yang ada, ia baru sebatas mengusulkan lembaga yang
mempelajari Islam dan sains modern secara bersamaan, sehingga masih ada
kerentanan pemikiran dikotomi ilmu di dalamnya. Kiprah awal pendirian UII juga
belum mengarah ke konsep integrasi ilmu yang komprehensif, apalagi konsep
Islamisasi sains. Paling maksimal, konsep “interwoven” Soekiman itu
sebatas mirip dengan konsep Islamisasi sains pendekatan instrumentalistik,
yaitu pemahaman bahwa umat Islam perlu menguasai sains modern dan ilmu Din
secara bersamaan agar bisa bangkit melawan penjajahan, yang amat mungkin
mencerminkan masuknya pengaruh pemikir seperti Jamaluddin al-Afghani
(1838-1897, Soekiman lahir pada 1898). Meski begitu, diksi “interwoven”
yang digunakannya tetap menarik, karena sekilas mengandung kesan pemahaman
tentang urgensi saling mengaitkan atau menjalin ilmu-ilmu yang berbeda seperti
anyaman benang atau kain (woven), tidak hanya mempelajari keduanya secara
bersamaan. Hal itu menjadi menarik karena Soekiman bukanlah akademisi atau
pemikir murni, meskipun turut memelopori dan membina UII, mengingat porsi
terbesar dalam kariernya dibaktikan di medan politik praktis.
Berikutnya, pandangan (6) memberikan pengaruh pada
pandangan (7), yaitu bahwa karena interwoven ilmu pengetahuan dan
penerapan prinsip Islam dalam pendidikan harus dilakukan, maka kesehatan,
kebahagiaan, dan kesejahteraan dari suatu masyarakat – yang terkait dengan
beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, ilmu jiwa, sosiologi,
ekonomi, dan sebagainya – tidak boleh dikaji dan dipenuhi hanya dari sisi
materiilnya saja, yaitu mesti meliputi aspek jasmaniah dan rohaniah, yang mesti
dikaji dan dipenuhi kebutuhannya secara seimbang. Menurut Soekiman, asupan bagi
aspek jasmaniah manusia adalah makanan dan pola-hidup sehat, sedangkan asupan
bagi aspek rohaniah adalah didikan “moral-tinggi” (adab dan akhlak) agama.
Pemahaman Soekiman itu tidak bertentangan dengan pandangan al-Attas bahwa: “Man has a dual nature, he is both body and soul, he is
at once physical being and spirit”.[61]
Pandangan Soekiman itu juga selaras dengan pendapat Alija Izetbegovic, tokoh
kemerdekaan Bosnia, bahwa: “By
recognizing the existence of two worlds, the natural and the interior, Islam
teaches that it is man who bridges the chasm between them” dan bahwa “... the Islamic approach is quite new in one aspect – that
of its demand for the conjunction of faith and knowledge, morals and politics,
ideals and interests”.[62]
Dalam bidang politik, hukum, dan ketatanegaraan,
pandangan (3), (4), dan (5) mempengaruhi pandangan (8), (9), dan (10), yaitu
bahwa prinsip-prinsip Islam mesti melandasi dan menjiwai jalannya Indonesia
merdeka; di mana menurut Soekiman, hal itu dilakukan lewat penegakan
musyawarah-mufakat oleh semacam majelis ahli yang menjadi perwakilan rakyat,
alih-alih voting satu orang satu suara, yang berimplikasi pada penerapan sistem
demokrasi parlementer yang menjadikan ajaran Islam, yang diformalkan dalam
Pancasila versi Piagam Jakarta, sebagai falsafah dasar bernegara dan sumber
dari segala sumber hukum, yang berjalan dalam bingkai eenheidsstaat
(negara persatuan). Memang bagi sebagian kalangan, pandangan bahwa demokrasi
itu sejalan dengan Islam masih dianggap kontroversial, terutama jika meninjau
aspek filosofis dasarnya yang berbeda, bahkan bertentangan dalam beberapa hal.
Meski begitu, tetap ada kesesuaian antara demokrasi-parlementer dengan Islam
apabila hanya diambil sisi teknisnya saja, bukan falsafahnya, yaitu musyawarah
lewat Dewan dan/atau Majelis Perwakilan Rakyat yang disetarakan dengan ahlul-ḥall
wal-ʿaqd atau majelis syura. Ide Soekiman ini sejalan dengan pemikir Islam
lain zaman itu, seperti M. Natsir, Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan lain-lain
yang mencoba “mengislamisasi” demokrasi, yaitu mengadopsi teknis demokrasi
sembari memasukkan ajaran Islam sebagai nilai-nilai landasan dan sumber-sumber
hukum positifnya, sehingga demokrasi yang ditawarkan adalah demokrasi yang
diikat oleh aturan-aturan Allah SWT, yang kadang disebut juga Theo-demokrasi
(sebagaimana ruh sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta).[63]
Tentu butuh ruang tulisan tersendiri untuk membahas masalah ini, tapi pandangan
Soekiman itu cukuplah menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang sekuler, dan ia
berpolitik demi menegakkan baldatun ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr.
Penutup
Penyelidikan sederhana ini sampai kepada kesimpulan bahwa
Soekiman Wirjosandjojo adalah seorang dokter, cendekiawan, politisi, dan
negarawan yang berpandangan alam Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh
konsepsinya soal weltanschauung, alam semesta sebagai “imperium Ilahi”, “total
submission” kepada Allah sebagai pilihan paling logis bagi manusia yang
dianugerahi akal, Islam sebagai “hervorming-stelsel” dan “code of
life” untuk membangun masyarakat dengan nilai-nilai hidup yang tinggi,
urgensi “interwoven” ilmu pengetahuan Islam dan sains modern, urgensi
pendirian sekolah dan universitas Islam terutama UII Yogyakarta, harmoni aspek
jasmaniah dan rohaniah dalam kesehatan dan kebahagiaan (atau kesejahteraan), Islam
sebagai jiwa ketatanegaraan, dan urgensi agar Indonesia kembali kepada
Pancasila versi Piagam Jakarta. Meskipun pemikiran Soekiman itu masih belum
mendalam, lengkap, dan paradigmatis, tapi bibit-bibit kesesuaian pandangan
dengan para penganjur worldview of Islam di masa kini telah terlihat.
Soekiman jelas bukan seorang sekuler, sehingga perjuangan hidupnya dalam
membangun “baldatun ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr” itu dipengaruhi oleh
pandangan alam Islamnya. Memang mesti dipahami bahwa pemikiran Islamnya lebih
bersifat praktis mengingat ia lebih banyak berkarier sebagai seorang politisi.
Berikutnya, penting untuk meninjau kiprah UII Yogyakarta sebagai salah satu
warisan Soekiman (dan para tokoh Masyumi lainnya) dan membandingkan arah
perkembangannya dengan cita-cita awalnya dulu serta interaksinya dengan
pemikiran pandangan hidup Islam, integrasi ilmu, dan Islamisasi sains yang
berkembang kini. Hal itu penting karena UII adalah institusi pendidikan tinggi
Islam yang mesti dirawat sebagai aset umat dan potensial menjadi rekan dalam usaha
Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
[1] Hamid
Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya,
(Ponorogo: CIOS-ISID Gontor, 2010), hal.12
[2] HAMKA, Pandangan Hidup Muslim,
(Kota Baru, Kelantan: Pustaka Aman Press, 1967)
[3] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.283-285
[4] Bersama K.H. Mas Mansur, Ki Bagoes
Hadikoesoemo, dan Wiwoho
[5] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman
Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan
Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 40-41
[6] Heri
Purwata-Djibril Muhammad, "Gedung di UII Dilabeli Nama Tokoh
Nasional", (Republika Online, Ahad, 5 Agustus 2012), (https://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/08/05/m8acj3-gedung-di-uii-dilabeli-nama-tokoh-nasional diakses pada 24 Februari 2022); Lihat juga Profil Kampus UII (https://www.uii.ac.id/profil/lokasi-kampus/ diakses pada 24 Februari 2022)
[7] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman
Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan
Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 23-24
[8] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman
Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan
Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 24-25
[9] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.304
[10] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim
Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.283
[11] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.283-284
[12] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.284
[13] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.284
[14] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.284
[15] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.284-285
[16] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.285
[17] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.285
[18] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.285-286
[19] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.313
[20] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27
[21] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 28
[22] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.313
[23] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.311
[24] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.311-312
[25] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.308
[26] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.309
[27] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.309
[28] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.314
[29] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.314
[30] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.28
[31] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27
[32] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27
[33] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.30
[34] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 29
[36] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.29
[37] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.29
[38] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.312
[39] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.312-313
[40] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.313
[41] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.309-310
[42] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.186
[43] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman
Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan
Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal.35
[44] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman
Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan
Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal.36
[45] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal. 21
[46] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.277
[47] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.283
[48] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.286
[49] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal.61
[50] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal.47
[51] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal.48
[52] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik
Seorang Muslim Patriot ..., hal.49
[53] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.169
[54] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.169-170
[55] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.174
[56] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.290
[57] Soekiman
Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM,
1984), hal.334
[58] SMN al-Attas, Prolegomena to the
Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the
Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 1-2, dikutip dalam
Hamid Fahmy Zarkasyi, 12-15.
[59] SMN al-Attas, Islam and Secularism,
(Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 144-146
[60] SMN Al-Attas, Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak, (Kuala Lumpur: IBFIM, 2913) 3-8; lihat
juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: Spoken
Language Services, Inc., 1979), hal.352-353
[61] Al-Attas, Prolegomena to The
Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of The
Worldvief of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 143
[62] Alija Izetbegovic, The Islamic
Declaration: A Programme for the Islamization of Muslims and the Muslim People,
(Sarajevo: 1990), hal. 8
[63] Tiar Anwar Bachtiar, Politik Islam di
Indonesia, (Bandung: Persis Press, 2019), hal. 116-118
Comments
Post a Comment