Soekiman Wirjosandjojo: Dokter dan Negarawan yang Berpandangan Alam Islam

 

Abstrak

Soekiman Wirjosandjojo, sebagai salah satu tokoh perjuangan Islam dan kemerdekaan Indonesia serta salah satu pelopor Universitas Islam Indonesia dan dokter di PKU Muhammadiyah di Yogyakarta, memiliki weltanschauung (pandangan alam) Islam yang mencakup soal konsep alam semesta sebagai “imperium Ilahi”, “interwoven” ilmu pengetahuan, “total submission” kepada Allah sebagai pilihan paling logis, Islam sebagai “hervorming-stelsel” dan “code of life”, keselarasan aspek jasmaniah dan rohaniah dalam kesehatan dan kebahagiaan manusia, pendidikan dan perguruan tinggi Islam, dan negara eenheidsstaat bersistem demokrasi parlementer yang berjiwa ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Pancasila versi Piagam Jakarta. Pandangan alam Islam itu mempengaruhi perjuangan Soekiman sebagai seorang dokter, cendekiawan, politisi, dan negarawan.

Kata kunci: hervorming-stelsel, integrasi, interwoven ilmu, pandangan alam, universitas Islam

 

Pendahuluan

Pandangan alam – padanan dari worldview, yang sering juga disetarakan dengan pandangan dunia, pandangan hidup, atau falsafah hidup – menjadi konsep yang dewasa ini banyak digunakan sebagai matriks kajian atau kerangka kerja (framework) oleh para pengkaji pemikiran, peradaban, sains, dan Din (istilah padanan yang lebih komprehensif untuk agama) Islam; dari Ninian Smart, al-Mawdudi, Sayyid Qutb, Atif Zayn, Thomas F. Wall, Thomas S. Kuhn, Alparslan Acikgence, hingga Syed Muhammad Naquib al-Attas. Meski berbeda pendapat tentang makna worldview, mereka pada umumnya mengaitkannya dengan suatu landasan bagi seluruh aktivitas ilmiah-intelektual, sosial, ritual, finansial, hingga politik dari seseorang, yang pada akhirnya membentuk bangunan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban dengan corak tertentu.[1]

Cendekiawan dan aktivis perjuangan Nasional dan Islam di Indonesia pada masa lalu pun, seperti Buya Hamka dan Soekiman Wirjosandjojo, telah menggunakan istilah worldview, dengan pengertian dan cakupannya masing-masing. Hamka menulis buku berjudul “Pandangan Hidup Muslim”[2], sementara Soekiman menggunakan istilah padanannya “weltanschauung”, “pandangan alam”, dan “pendirian hidup” dalam tulisannya.[3] Gagasan para cendekiawan era perjuangan kemerdekaan Indonesia soal worldview itu penting untuk dikaji agar tidak ada reaksi kontra-produktif yang menganggapnya sebagai konsepsi asing; juga sebaliknya, agar upaya untuk menyebarkan dan membumikan konsep itu di masyarakat kita mendapatkan tambahan legitimasi, sebab para pendahulu bangsa kita memang sudah menggunakan konsep itu.

Tulisan ini bermaksud untuk menggali pengertian pandangan alam menurut Soekiman Wirjosandjojo dan pengaruh konsep itu terhadap perjuangan hidupnya, baik sebagai dokter dan cendekiawan, maupun sebagai negarawan. Tokoh Soekiman dipilih semata karena banyaknya ruang kosong, mengingat riwayat dan pemikirannya relatif sangat jarang dikaji dibandingkan dengan riwayat dan pemikiran tokoh bangsa dan Islam lain di tanah air, seperti Tjokroaminoto, Hamka, dan Natsir. Buku biografi dan kumpulan tulisan Soekiman pun sudah langka di pasaran. Hal itu mengusik penulis untuk menggali gagasan-gagasan Soekiman yang relevan dengan keadaan bangsa Indonesia dan umat Islam hari ini, terutama soal pandangan alam.

Tulisan ini disajikan menggunakan metode analisis deskriptif sederhana dan mengutamakan kutipan langsung untuk menggali konsepsi yang diteliti berdasarkan bahasa asli sosok yang diteliti, dengan penyesuaian ejaan. Perbandingan gagasan soal “worldview” dari tokoh yang dikaji dengan pengertian beberapa pemikir Islam kontemporer sedikit-banyak juga diberikan untuk lebih dapat memberikan gambaran kepada pembaca tentang letak ide Soekiman dalam bangunan pemikiran Islam zaman ini.

 

Sekilas Peran Soekiman Wirjosandjojo

Soekiman Wirjosandjojo – lahir di Surakarta, 19 Juni 1898 dan wafat di Yogyakarta pada 23 Juli 1974 – merupakan Perdana Menteri ke-6 Republik Indonesia yang menjabat antara 1951-1952. Ia juga pernah menjadi Ketua Dewan Partai Masyumi, anggota BPUPKI, anggota KNIP, anggota Dewan Penasihat Tinggi RI, Menteri Dalam Negeri Kabinet Hatta I, dan anggota delegasi KMB. Dia juga pernah aktif di Sarekat Islam (SI), menjadi Penasihat PP Muhammadiyah, turut mendirikan Partai Islam Indonesia (PII)[4], hingga aktif bergabung dalam MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia), sebelum berubah menjadi Masyumi.[5]

Dalam bidang pendidikan, Soekiman turut berperan dalam pembangunan Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta. Namanya dijadikan nama sebuah gedung di kampus tersebut (Gedung Fakultas Kedokteran, Kampus Terpadu UII, Jl. Kaliurang km.14,5 Sleman, Yogyakarta).[6] Ia juga menjadi salah satu pelopor dokter spesialis paru-paru di Indonesia, setelah lulus dari STOVIA Jakarta pada 1923 dan memperoleh gelar dokter penuh dengan spesialisasi penyakit dalam (internis) di Universitas Amsterdam.[7] Sebagai dokter, ia pernah berpraktik di sebuah rumah sakit Pemerintah kolonial di Pacet, Cianjur; Rumah Sakit PKU Muhammadiyah (ia berpraktik di sini atas saran K.H. Fachruddin), Yogyakarta; dan klinik pribadinya, di dekat Keraton Pakualaman.[8] Ia sempat juga berpidato dalam peresmian pendirian Fakultas Kedokteran UII.[9]

 

Pandangan Alam Islam Menurut Soekiman Wirjosandjojo

Seluruh aktivitas intelektual dan kenegaraan Soekiman itu, yang dilakukannya demi cita-cita mewujudkan “baldatun ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr”, menurutnya berangkat dari kesadaran yang timbul “manakala kita merenungkan benar-benar, ‘pandangan hidup’ yang ditentukan, diwajibkan oleh Islam pada pemeluknya” yang tentunya merupakan pandangan alam Islam.[10] Dalam pandangan alam Islam itu, alam semesta tabii ini sejatinya merupakan bagian dari apa yang disebut Soekiman sebagai “Imperium Ilahi”.

“Bahwasanya alam semesta dengan segala isinya, termasuk segenap manusia di muka bumi ini adalah ciptaan dan milik Allah S.w.t. semata-mata, bahwa ‘Universe’, yang makin lama rahasia-rahasia yang ada di dalamnya, lambat-laun diketemukan hukum-hukumnya oleh sarjana-sarjana, diatur rapi dan dikuasai oleh-Nya. Bahwa ‘dunia’ yang kita kenal di mana manusia hidup sekarang ini, merupakan hanya bagian kecil saja daripada ‘imperium’ Illahi, yang mencakup segenap alam semesta yang tak terbatas luasnya.”[11]

Karena alam semesta ini merupakan bagian dari Imperium Ilahi, maka ia sepenuhnya diatur menurut hukum dan kekuasaan Allah SWT, sehingga hukum-hukum yang ditemukan oleh para ilmuwan, yang sering disebut dalam terminologi sekuler sebagai “hukum alam” itu, mestilah selaras dengan ayat-ayat-Nya, sebab alam itu sendiri adalah suatu ayat (tanda) yang terbentang yang merupakan ciptaan-Nya, sehingga tidak mungkin berlawanan dengan ayat-ayat wahyu yang diturunkan oleh-Nya.

“Makin maju ilmu alam (physica) dan ilmu teknik (technology) makin dekatlah ilmiah (wetenschap, science) pada pengakuan akan adanya “ZAT”, adanya Kekuatan Gaib, yang mengatur alam semesta (universe) menurut rencana tertentu dengan hukum-hukum yang tak dapat diganggu gugat (onfeilbaar onschendbaar) kesempurnaan dan keteguhannya.”[12]

Dengan landasan pemahaman berupa pandangan hidup “yang ditentukan, diwajibkan oleh Islam pada pemeluknya” itu, Soekiman meyakini bahwa setiap aktivitas ilmiah, utamanya observasi alam atau suatu objek bagian dari alam, semestinya menjadikan seorang ilmuwan lebih menyadari dan menghidmati Keagungan dan Kebesaran Allah SWT, yang sayangnya tidak terjadi dalam bangunan kerja sains sekuler.

“Dengan berhasilnya para sarjana melontarkan ‘Sputnik-Sputnik’ dan ‘Explorer-Explorer’ ke dalam angkasa raya sampai memasuki edaran bulan dan matahari yang ratusan ribu mil bahkan jutaan kilometer jauhnya dari bumi itu, maka hanya terbuktilah luas lebarnya Alam milik Allah S.w.t.[13]

Konsekuensinya, menurut Soekiman, aktivitas ilmiah tersebut seharusnya membuat manusia sadar akan betapa kecil dan lemahnya daya-kemampuan mereka dalam jalannya alam semesta ini, sehingga secara sadar menyandarkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, yang menguasai segenap alam itu tanpa bisa diganggu-gugat. Dengan begitu, sehebat apa pun manusia itu menganggap dirinya dengan semua sains dan teknologi yang ia hasilkan, mereka tetap tidak dapat lepas dari pengaturan-Nya, malah ilmu pengetahuan mereka itu sendiri hanyalah pemberian dari-Nya.

Bagi kaum Muslim menjadi kepercayaan bahkan keyakinan bahwa dunia ini, sebagai bagian Alam Semesta dan manusia yang sebagai makhluk dianugerahi derajat tertinggi di antara makhluk-makhluk lainnya, berada mutlak di bawah kekuasaan penciptanya ...

Diberkahinya manusia sebagai makhluk tertinggi derajatnya oleh Allah Taala dengan alat pemikir, pengupas dan penimbang yang dalam bahasa Inggeris dinamakan ‘reason’, ‘judgement’, yang dapat melahirkan kemauan bebas (free will) dan kebebasan memilih (free choice), tidak berarti bahwa manusia dapat meloloskan diri dari hukum Pencipta Alam, bahwa tiap yang tumbuh dan hidup pada suatu saat mesti menghadapi matinya, bahwa ia tidak dapat menentukan nasib yang baik dan enak saja, karena di bidang ini pun berlaku pula hukum ‘pasang surut’, alam Illahi.[14]

Konsekuensi berikutnya dari pandangan terhadap realitas yang demikian, menurut Soekiman, adalah bahwa manusia tidak boleh menggunakan sains dan teknologinya itu untuk berlaku secara semena-mena, baik terhadap sesama manusia, maupun terhadap makhluk Allah yang lain di alam dunia, dari tumbuhan, hewan, hingga benda-benda tidak bernyawa (non-animated object). Dengan demikian, segenap daya-usaha manusia itu dalam mengelola bumi tidak boleh melanggar prinsip-prinsip berkeadilan yang sudah digariskan oleh Allah SWT, agar selaras dengan fitrah dan tidak menimbulkan kezaliman.

Ia hanya dapat menjalankan dengan selamat kebebasan kemauannya, selama tidak melanggar hukum-hukum Allah S.w.t. yang berdasar kebenaran dan keadilan mutlak, selama perbuatannya tidak merusak keseimbangan keadaan hidup yang hak di bidang moral, maupun di bidang kehidupan materiil, yang semuanya dikuasai oleh ketentuan-ketentuan Illahi.[15]

Berangkat dari landasan pemahaman yang mengakui kekuasaan mutlak Allah itu, Soekiman menerangkan bahwa konsekuensi paling logis bagi manusia, yang dianugerahi akal dan kemampuan untuk memilih itu, adalah untuk tunduk secara utuh-penuh kepada Allah SWT, dalam artian menjalankan segenap struktur dan tata-bangunan hukum, aturan, prinsip, nilai, kaidah, maksud, dan akhlak yang telah diwahyukan dalam Kitab Suci dan Sunah Rasul-Nya. Meskipun tiada paksaan di dalam menempuh jalan Din, tetapi jalan yang benar itu telah jelas adanya bagi mereka yang berpikir.

Allah S.w.t. menganugerahi manusia dengan kebebasan memilih (free choice) untuk dapat menjalankan pemilihan antara hak dan batil, antara makruf dan munkar. Al Quran dan Al Hadits disediakan bagi seluruh manusia (the whole of humanity) atas dasar kebebasan memilih untuk menerima kebenaran petunjuk-petunjuk Allah yang terkandung di dalamnya, atau menolak. Tidak ada paksaan dalam urusan Agama (Lā ikrāha fid-Dīn). Bagi mereka yang dengan pancaindranya, dan kebebasan kemauan dan kemerdekaan untuk memilih, memutuskan menerima kebenaran perintah dan petunjuk-petunjuk Al Hakim, yang terkandung dalam Al-Quran Al-Karim dan Al Hadits, diwajibkan menyerah diri dengan kemauannya yang bebas pada kehendak Illahi.[16]

Pandangan hidup yang demikianlah yang disebut oleh Soekiman sebagai pandangan alam (weltanschauung) Islam, yang mengantarkan kepada suatu pendirian hidup berdasarkan Al-Quran dan Sunah serta produk pemikiran para ulama, yang dijadikan sebagai pedoman hidup dalam membentuk pribadi dan masyarakat secara lahir-batin, sehingga membentuk tata-kehidupan yang beradab yang memiliki tingkat nilai-nilai yang luhur, yang pada akhirnya membentuk suatu peradaban Islam yang madani.

Pendirian hidup yang menyerah bulat (total submission) pada kehendak dan bimbingan Illahi itulah, yang dinamakan Islam, dan mereka yang mengakui kekuasaan (kedaulatan) Allah S.w.t. di atas segala kekuasaan di dunia ini, dan mengatur hidup dan kehidupannya baik secara pribadi (individual) maupun dalam jemaah (kolektif), sesuai dengan perintah dan petunjuk-petunjuk Allah SWT disebut dengan nama Muslim. Diwajibkan pada kaum Muslim untuk mendasarkan hidup dan kehidupannya, baik sebagai orang-seorang (individu) maupun dalam wujud masyarakat (society) atas pedoman hidup, atas ‘a code of life’ yang disebut dengan nama Syariat dalam Islam. Suatu hukum suci, yang bersumber pada Al Quran Al Karim dan Hadits Nabi Muhammad SAW yang mengandung prinsip: ‘Amar Makruf nahi Munkar’, yang mendidik dan memajukan segala sesuatu yang dianggap umum baik, sifat-sifat luhur yang kita pujikan pada Allah dan rasul-Nya (virtues), di samping menjauhkan serta membersihkan diri dan masyarakat dari segala sesuatu, yang dipandang umum buruk, yang bertentangan dengan kesusilaan dan moral (vice evils).[17] Dengan hukum Syariat, Islam membangun Masyarakat lahir batin dan membawa pergaulan hidup bersama ke arah tujuan tingkat hidup, di mana syarat-syarat terselenggara untuk berkembangnya nilai-nilai hidup yang tinggi, sehingga kebenaran dan keadilan terjamin kokoh kuat, dan di segala bidang kehidupan inisiatif dan karya manusia dapat ditujukan pada perbaikan dan penyempurnaan tingkat hidup jasmaniah dan rohaniah.[18]

 

Pengaruh Pandangan Alam Islam terhadap Soekiman sebagai Cendekiawan dan Dokter

Pandangan alam Islam memberikan pengaruh terhadap pemikiran dan perjuangan Soekiman sebagai seorang cendekiawan dan dokter. Ia menolak paham sekularisme dalam pendidikan dan praktik serta kebijakan pendidikan nasional yang sekuler.

Alhamdulillah dalam Dasar Negara dan sistem pendidikan sekolah-sekolah kita sudah kita dapati suatu fondamen pembinaan hidup anak-anak Indonesia yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan jiwanya. Sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dari Pancasila dan mata pelajaran Agama yang diwajibkan dari sekolah Dasar sampai di Perguruan Tinggi (Universitas) merupakan unsur pendidikan yang mutlak. Malah sudah dijadikan pula doktrin dalam pembangunan (nation building) dan pembentukan corak kepribadian (character forming) bangsa kita. Itu berarti bahwa dalam hidup kita agama tak dapat dan tak boleh dipisahkan. Dus pendidikan agama adalah syarat dan unsur mutlak. Pendidikan/Pengajaran ilmu agama dan ilmu keduniaan harus seimbang pula. Bagi paham sekularisme yang mengutamakan unsur keduniaan saja tidak ada tempatnya di Indonesia.[19]

Soekiman bahkan menganggap sekularisme yang banyak menjangkiti pikiran kaum Muslim, yang menjadi dampak sekularisasi dan dikuasainya pendidikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pasca politik etis itu, sebagai salah satu akar masalah paling fundamental bagi kemunduran umat Islam, termasuk menjadi sebab bagi perpecahan umat dan bangsa, terutama di sekitar perumusan dasar negara dan konstitusi. Akibat sekularisme itu, terjadi dikotomi antara “ilmu pengetahuan umum” atau “sains modern” (modern wetenschaap) dengan “ilmu din”, sehingga menimbulkan jurang yang besar antara kalangan “Intellectueelen” dan ulama.

Intellectueelen dulu tidak suka mempelajari agamanya karena kaum ulama, kyai, dan guru-guru besar agama (dalam pengertian Din) Islam di Indonesia umumnya tidak punya pengetahuan umum, sehingga pihak intellectueelen tidak bisa campur padanya. Sebaliknya, pihak Kyai dan sebagainya itu tidak bisa bercampur dengan intellectueelen itu, karena kepandaiannya tidak bisa selaras dengan intellectueelen itu.[20] ... Kyai dan penghulu-penghulu kebanyakan tidak mengenal pengetahuan umum, sedang sebaliknya intellectueelen tidak mendapat pengajaran Islam. Dengan itu santri-santri dan intellectueelen menjadi jauh dalam pergaulan. Kaum Kyai tidak bisa memasuki dalam kalangan intellectueel sebab tidak punya pengetahuan umum; tapi sebaliknya kaum Domine bisa masuk dalam kalangan intellectueelen sebab mereka punya pengetahuan umum.[21]

Perbedaan itu timbul akibat kaum “intelektual” dididik dalam sekolah-sekolah Belanda yang tidak mengajarkan agama Islam atau mengajarkannya dalam kadar yang tidak sesuai. Hal itu membuat pola pikir mereka tidak lagi sebagai bumiputra muslim yang berjuang, tetapi sebagai kalangan elite, sinyo yang ter-Eropa-kan. Atau jika pun mereka sadar dan menjadi pejuang, perjuangannya akan dilandasi oleh falsafah yang sekuler pula.

Di sisi lain, kalangan ulama tradisional tidak dapat mengakses – atau bahkan sebagian menolak – mempelajari sains modern, karena tidak diberi kesempatan oleh pemerintah kolonial, tidak memiliki ongkos, anti dengan sains yang dianggap “produk penjajah”, atau alasan lain. Dengan masyarakat papan menengah atasnya yang semakin ter-Barat-kan, “metode lama” para kiai tradisional itu pun tak mampu lagi meyakinkan mereka akan kebenaran agama atau tak mampu menjawab tantangan pemikiran zaman itu.

Setelah menyadari bahwa sekularisme menjadi masalah mendasar dalam aspek pendidikan dan ilmu pengetahuan di dunia Islam, Soekiman (juga para pemimpin Masyumi lainnya) menganjurkan pembentukan sekolah-sekolah Islam yang menggabungkan pembelajaran “ilmu-ilmu agama” dengan “sains umum”, terutama sekali pada tingkat perguruan tinggi. Tidak hanya pembelajaran secara bersamaan, sekolah dan perguruan tinggi itu mesti dirancang untuk mengarah pada usaha-usaha “interwoven” (menjalin, mengaitkan, integrasi-interkoneksi) antara pelajaran agama dengan sains modern itu.

Hendaknyalah keadaan itu disempurnakan dengan meng-interwoven-kan (mengintegrasikan, menjalinkan, mengaitkan) benar-benar pendidikan agama dan pengajaran ilmu keduniaan serta susunan kurikulum kuliah-kuliahnya, sehingga UII dapat menggembleng dan memprodusir (memproduksi) kader-kader yang. memiliki kedua macam ilmu itu yang cukup baik, yang mempunyai pengertian penuh pula akan kewajibannya baik terhadap bangsa maupun terhadap agamanya, bermoral dan bercita-cita tinggi. Lembaga Perguruan Tinggi kita ini dibangun atas landasan (kebutuhan) bangsa yang dijiwai dan diliputi agama Islam. Jadi dasar tujuannya ialah: mendidik perasaan dan membangun jiwa pengabdian.[22]

Alasan usulan pendirian sekolah tinggi Islam itu adalah karena Soekiman menyadari sepenuhnya bahwa umat Islam ini mesti dibangun di atas jalan perjuangan ilmu, tanpa mengecilkan perjuangan di bidang-bidang lain, seperti ekonomi, hukum, dan politik. Hal itu karena ilmu memiliki kedudukan mendasar sebagai pemandu bagi jiwa umat ini untuk menghadapi zaman yang penuh kesulitan, kegelapan, dan penjajahan. Selain itu, ilmu juga dianggap Soekiman sebagai syarat esensial dalam proses dakwah Islam.

Bukankah Rasulullah Nabi Muhammad SAW sendiri pernah bersabda: yang maknanya kurang lebih berbunyi : “Ilmu itu adalah obat untuk kepicikan (kekurangan) seseorang yang buta huruf dan buta ilmu (ignorance) ibarat bantuan sinar menara laut dalam kegelapan malam kejahiliyahan. Mempelajari ilmu-ilmu nilai harganya dan wajibnya seperti ibadah berpuasa. Mengajarkan/mendidik (orang lain dengan) ilmu, seperti ibadah bersembahyang. Bagi seorang yang berhati ikhlas, ilmu itu berupa pendorong, pembangkit (perasaan halus murni dan mengisi jiwanya dengan unsur-unsur perikemanusiaan)” ... “Ajarkanlah ilmu!” Seorang yang mengajar/mendidik (orang lain dengan) (ilmu) itu adalah tanda takut pada Allah S.w.t. Siapa yang mencari ilmu sama halnya dengan mencintai Allah S.w.t. Barang siapa menyebar ilmu, artinya sama dengan membagi sedekah. Barang siapa yang memiliki ilmu akan menjadi orang yang terpuji dan disegani. Ilmu itu sifatnya menjaga kita dari kesalahan dan perbuatan dosa, membersihkan jalan menuju surga, menjadi teman di waktu merantau, merupakan pegangan kuat di tengah-tengah padang pasir dan dalam keadaan terasing. Dalam keadaan duka dan cita ia menjadi cahaya penerang. Menjadi pelengkap kepribadian dalam menghadapi kawan-kawan”. Dengan jalan itulah Tuhan: telah menunjuk mereka yang memang terpilih untuk tugas mendakwahkan kebenaran dan keadilan Allah S.w.t.[23]

Soekiman juga menyadari bahwa gemilangnya generasi pendahulu Islam dalam membangun peradaban tidak lepas dari faktor kecintaan akan ilmu, suatu hal yang dirasanya memudar akibat tekanan penjajahan yang bersifat diskriminatif dalam mengelola pendidikan atau sengaja memisahkan rakyat negeri jajahan yang Muslim dari pendidikan Islam.

Selain daripada kewajiban mencari, menyelidiki dan mengajar-kan ilmu itu diperintahkan Agama, sebagaimana dahulu dengan rajin dan sukses dilaksanakan oleh pemerintahan dinasti Abasiyah di Bagdad mulai dari Khalifah Al Manshur, Al Makmun (813-833) dan di Cordova, Granada, Andalusia (Spanyol) oleh pemerintahan dinasti Muawiyah di jaman Khalifah Abdurrahman III (912-961) dan Al Hakim II (961-976), di waktu mana Barat masih diliputi awan kegelapan dan kejahiliyahan, peradaban dan karya ilmiah Islam sudah sangat tersohor dan memancarkan sinar ketinggiannya atas Eropa dan seluruh dunia sehingga dunia Barat akhirnya mengakui akan peranan dan menghargai sumbangan saat Islam dalam memperkembangkan berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu pasti, ilmu perbintangan, ilmu bumi, ilmu kedokteran, dan sebagainya ... Seperti akhir-akhir ini ditandaskan/diulangi lagi oleh seorang sarjana Barat STEVEN RUNCIMAN dalam sebuah karangan di majalah “Islamic Studies” (Journal of The Central Institute of Islamic Research Karachi) yang antara lain mengakui ‘The Muslim contribution to medicine, to mathematica, to astronomy and the other sciences, is now generally appreciated in the West’, (halaman 197 terbitan June 1964) ... Memang terbelakangnya pengetahuan dan kurangnya pelajaran ilmu di kalangan Rakyat negeri jajahan adalah ciri khas disengaja politik kolonialisme yang hendak memonopoli segala kedudukan dan jabatan penting baik dalam pemerintahan kolonial maupun dalam lapangan perusahaan-perusahaan swasta Barat ... Dalam hubungan ini tidak dapat disangkal lagi, bahwa hari depan masyarakat dunia akan banyak dipengaruhi dan dipimpin oleh bangsa-bangsa yang tinggi pengetahuannya (highly educated nations).[24]

Gagasan soal lembaga pendidikan tinggi Islam yang menjalankan kerja interwoven keilmuan itu diwujudkan oleh Soekiman bersama para tokoh Masyumi pada tanggal 8 Juli tahun 1945 di Jakarta dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI), sebelum pindah ke Yogyakarta dan berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).[25] Berbagai tokoh, baik gerakan Islam maupun gerakan sekuler, awalnya turut mendukung gagasan pendirian itu (saat hubungan Masyumi dan PNI masih belum renggang), seperti Bung Karno, Bung Hatta, K.H. Agus Salim, K.H.M. Mansur, K.H. Abdul Wahab, K.H. Bisri, K.H. Wachid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, H.M. Junus Anis, K.H.A. Muzakkir, K.H. Fatchurrahman Kafrawi, K.H. Abdul Halim (Majalengka), K.H. Achmad Sanusi (Sukabumi), R. Abikusno Tjokrosujoso, H. Anwar Tjokroaminoto, K.H.R. Moh. Adnan, Prof. dr. Slamet Iman Santosa, Mr. Ali Sastro Amidjojo, Mr. Kasman Singodimedjo, Prof. Mr. Moh. Yamin.[26] Dalam peresmiannya di pendopo Pegulon Alun-alun Utara Yogyakarta, Presiden Soekarno mendorong agar didirikan: “ ... Pergedungan Universitas Islam Indonesia dengan corak Nasional yang dijiwai Islam dan hendaknya merupakan pergedungan Universitas yang terbesar di Asia Tenggara”.[27]

Selain usaha integrasi ilmu itu, universitas tersebut juga dicita-citakan oleh Soekiman dan para pendirinya yang lain untuk mencetak agen-agen perubahan yang mampu secara kolektif dan akumulatif memberikan solusi bagi berbagai macam permasalahan yang dialami oleh umat Islam, baik pada tataran intelektual, maupun pada tataran kehidupan sehari-hari. Menurut Soekiman, segenap alumni dan penghuni UII mestilah menjadikan pendidikan di dalamnya tidak sekadar upaya untuk memperbaiki kehidupan ekonomi-materiil, tapi juga untuk menanamkan idealisme dan rasa pengabdian, sehingga mampu bersimpati pada kesulitan yang dialami oleh umat dan bangsanya.

Mengabdi kepada bangsa dan agama! Pedoman dan pengertian murni inilah, yang seharusnya menjadi pegangan bagi dan meliputi karya pengasuh dan yang diasuh, baik para Dosen maupun para Mahasiswa UII. UII bukanlah tempat untuk mencari ilmu dan nafkah saja. Memang idealisme tidak kurang pentingnya dari pada hawa nafsu (insting) hidup tubuh kasar, dari pada materialisme dalam kehidupan bangsa. Dalam perjuangan di kalangan UII kita harus sanggup berkorban di samping mendapat apa yang dibutuhkan oleh kehidupan badan lahiriah ... ‘Wij moeten (kunnen) niet alleen van brood leven’, kata peribahasa Belanda. Janganlah hendaknya kita memikirkan roti saja dalam kehidupan kita. Camkanlah makna pepatah ini![28]

Salah satunya, Soekiman mengharapkan kader dan lulusan UII mampu menjadi agen-agen yang mampu mengatasi masalah perpecahan umat Islam.

Baik kiranya dalam rangkaian pemikiran penyelenggaraan tugas dan kewajiban kita bersama ini, diselipkan pertanyaan khusus kepada kaum Muslimin, tua dan muda: ‘Apakah kita Ummat Islam, terutama pemuda dan Mahasiswanya sudah siap, mental dan organisatoris untuk perjuangan ke arah itu?’ Lihat dan ketahuilah realitas, bahwa dalam tubuh masyarakat kamu masih berjangkit suatu keadaan parah, yakni penyakit yang menggerogoti tenaga kekuatanmu, yang melemahkan potensi kesanggupanmu. Penyakit itu bernama perpecahan. Mengobatinya merupakan pula Amanat Penderitaan Umat yang beragama Islam, yang harus dilaksanakan secepat mungkin.[29]

Tidak hanya di level perguruan tinggi, Seokiman juga mengusulkan agar sekolah-sekolah Islam yang memadukan pendidikan sains modern dengan ilmu-ilmu Din juga digalakkan, sebagai pemasok bibit mahasiswa bagi UII dan berbagai perguruan tinggi Islam lainnya. Nantinya, sebagian lulusan kampus Islam itu juga diharapkannya dapat mengabdi ke lembaga pendidikan Islam tingkat dasar dan menengah itu sebagai pengajar, sementara lainnya mengincar profesi profesional dan jabatan pejabat publik yang strategis di tengah masyarakat, sehingga melahirkan kader pemimpin atau birokrat untuk memenuhi “zelf-bestuur” yang Islami.

“Untuk pembangunan sekolah luhur Islam itu perlu di bawahnya ada sekolah rendah Islam yang mendapat pelajaran Islam dan pelajaran umum, dan di sampingnya itu diadakan pula sekolah untuk Kyai dan penghulu supaya mendapat pelajaran pengetahuan umum ... Dalam sekolah itu orang akan dapatkan dua aliran, ialah yang ingin mendapat pengetahuan umum dan sebagian ingin menjabat pangkat tinggi ... Untuk mencapai cita-cita  sekolah tinggi itu, perlu sekali leerkracht (tenaga pengajar) ialah guru-guru, buat ini lebih dahulu guru-guru dari NU dan Muhammadiyah dan sebagainya diberi pelajaran dari sekolah tinggi itu tentang wetenschaap, kemudian akan bisa menjadi guru besar dalam sekolah yang dimaksudkan.”[30]

Pendirian sekolah rendah, menengah, hingga tinggi yang berasaskan Islam itu juga relevan di zaman Soekiman karena para intelektual dan profesional masa itu, yang kebanyakan lulusan sekolah Belanda yang sekuler, mulai banyak yang memberikan minat yang besar terhadap studi Islam, yang kebanyakan belum pernah mereka dapatkan di sekolah. Saat itu, sekolah dan kampus yang memadukan pembelajaran Islam dan sains modern mulai marak, terutama dimotori oleh organisasi modern seperti Muhammadiyah dan Persis. Soekiman dan pemimpin Masyumi lain membina UII dan berbagai sekolah Islam bukan sebagai saingan bagi sekolah Islam yang sudah ada, melainkan sebagai upaya kolektif untuk turut bekerja sama dan saling melengkapi, terutama pada tingkat perguruan tinggi.

Tetapi sekarang kaum intellectueelen sudah merasa, mereka tidak mau pisah dengan rakyat. Tiga macam sekolah (yang memadukan pelajaran Islam dengan sains) sudah ada, yaitu guna orang terpelajar seperti studi klub yang sudah ada di Malang, Mojokerto, dan sebagainya. Sekolah Tinggi itu perlu diadakan di kota-kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Solo.[31]

Islam college yang sudah ada itu sifatnya seperti sekolahan rakyat untuk orang dewasa. Hooge School di Batavia-C yang didirikan oleh MD (Muhammadiyah) itu untuk ekonomi, handel, dan sebagainya, jadi seperti handelschool yang berdasar Islam. Tapi hoogeschool yang akan didirikan di Solo itu semata-mata buat kepentingan agama Islam.[32]

Untuk mengatasi kekurangan dosen dan guru di awal-awal pendiriannya, para ulama yang sudah ahli ilmu agama dari berbagai ormas Islam diberikan pelajaran akademis umum untuk selanjutnya dijadikan guru dalam perguruan tinggi dan sekolah Islam itu. Guru bantuan dari Al Azhar juga didatangkan.

Hoogleeraar (dosen akademis umum) akan memberi pelajaran kepada Kyai dan ulama-ulama yang sudah pandai tentang Islam, yang mana akan menjadi guru dalam sekolah tersebut ... Diterangkan bahwa dari Al Azhar akan membantu kirim 3 orang guru dengan dipikul sendiri ongkosnya dari sana.”[33]

Indonesia di masa itu juga masih kekurangan doktor dan profesor dalam bidang studi dan filsafat Islam. Menurut Soekiman, hal itu perlu segera diatasi.

Diterangkan panjang lebar bahwa lain bangsa punya doktor dalam rupa-rupa hal. Kita di Indonesia sudah ada doktor in de letterkunde, in de rechten, dan sebagainya, tetapi tidak punya doktor in de Islam.[34]

Keadaan sekarang ini kemajuan Islam jalannya pincang karena sampai ini waktu kita belum punya doktoren dan profesoren in de Islam atau doktoren in de filosofie dan sebagainya. Maka dari itu, cita-cita itu wajib kita kerjakan dan di belakang hari diminta supaya segala hal itu dipikul oleh negeri kita yang mempunyai banyak penduduk (rakyat beragama Islam).[35]

Menurut Soekiman, kurikulum perguruan tinggi dan sekolah Islam itu harus direncanakan secara matang dan kepustakaan yang baik harus disediakan, termasuk literatur warisan klasik Islam. Asrama atau pesantren kampus pun perlu disediakan agar peserta-didik mampu menginternalisasi aspek keadaban dengan lebih utuh.

“... sekolah itu perlu dapat ajaran bahasa Arab, tafsir, hadis, tauhid, dan ilmu-ilmu Islam lain dan juga pengetahuan seperti adat recht, Volkenkunde Indonesia, ilmu hukum Indonesia, dan sebagainya … Sekolah itu perlu pakai internaat (asrama atau pesantren), supaya anak-anak itu bisa menjalankan praktiknya (kehidupan keadaban Islam), jangan tahu tentang teori saja … Dalam sekolah tersebut, perlu pula ada bibliotheek … Seorang ahli di Perancis sudah menjanjikan akan menyokong pengumpulan bibliotheek Islam (yang dirampas pemerintah kolonial) … karena negeri itu ada mempunyai tanah-tanah jajahan yang penduduknya beragama Islam.”[36]

Selain itu, Soekiman merasa perlu dilakukan gerakan penerjemahan besar-besaran terhadap semua kepustakaan yang telah dikumpulkan untuk memperkaya bahasa Indonesia dan Melayu dengan penyerapan istilah, memudahkan pemahaman, dan membantu upaya “interwoven”.

“Sekolah luhur itu akan diusahakan supaya tidak perlu pakai bahasa asing lagi, agar bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa perantaraan dan bahasa wetenschaap. Juga sekolah yang memakai bahasa Melayu itu dari tanah Malaka, Johor, Straits (Singapura), dan sebagainya bisa ditarik kemari.”[37]

Meski masih terkesan dangkal dan tidak sekomprehensif konsep pandangan hidup Islam, pendidikan Islam, dan Islamisasi sains yang dilahirkan oleh para pemikir kontemporer seperti Naquib al-Attas atau Ismail Raji al-Faruqi, gagasan Soekiman (dan para tokoh Masyumi lainnya) soal pandangan alam Islam, usaha interwoven (integrasi-interkoneksi) ilmu, dan UII ini merupakan salah satu titik yang baik, yang tidak boleh dipandang sebelah mata, dalam rantai panjang perjuangan umat Islam menghadapi tantangan dunia modern. Malahan, konsep-konsep penganjur pandangan alam Islam dan integrasi ilmu non-arus-utama seperti Soekiman (dan tokoh-tokoh Masyumi) ini perlu untuk digali dan dikenalkan kepada umat Islam, khususnya di Indonesia, agar tidak merasa asing dengan konsep worldview of Islam itu.

Selain dalam pendirian UII, gagasan Soekiman soal pandangan alam Islam itu sedikit-banyak juga mempengaruhi aktivitasnya sebagai seorang dokter. Ia menganggap bahwa kesehatan itu tidak hanya terkait dengan aspek fisik dari manusia, tapi juga aspek rohani atau jiwa. Dengan demikian, kesehatan dalam pandangan Soekiman tidak lepas dari Din, yang memiliki peran sebagai obat bagi jiwa. Suatu masyarakat yang sehat (yaitu masyarakat ideal) menurutnya hanya dapat dibentuk dari individu-individu yang sehat secara fisik maupun kejiwaan, sehingga kesehatan dalam perspektif kedokteran tidak dapat dilepaskan dari kesehatan jiwa dan moral dalam perspektif agama.

Dalam rangka turut menanggulangi kekurangan dan ketinggalan rakyat dalam hal pemeliharaan kesehatan rakyat maka tadi diumumkan pembentukan dua fakultas baru yang bersangkut paut dengan kesehatan. Walaupun kita sadari bahwa sumbangan UII nanti akan terbatas hasilnya dibandingkan dengan kebutuhan besar rakyat akan hal syarat hidup itu namun urgensinya tampak jelas. Di samping mendirikan Fakultas Kedokteran memang dikandung maksud dan sekarang sudah mulai dipikirkan pelaksanaan cita-cita membangun rumah sakit (klinik) modern swasta di kota Bengawan Sala.[38]

Kita harus bersemboyan: Kesehatan rakyat adalah modal besar bagi pembangunan negara; pemeliharaan kesehatan anak, ibu, bapak sesuatu bangsa adalah landasan kokoh untuk mendirikan gedung masyarakat yang kuat.[39] Yang dimaksud di sini tentunya pemeliharaan badaniah dan rohaniah rakyat yang seimbang. Kesehatan jasmaniah sebagaimana umum diketahui dapat dicapai melalui syarat makanan dan tata cara hidup yang ditentukan oleh ilmu kedokteran. Sedang kesehatan jiwa dan batinnya memerlukan pula syarat-syarat “makanan” dan didikan moral tinggi (adab dan akhlak) yang diberikan Agama.[40]

Penyelarasan aspek jasmaniah dan rohaniah seperti itu juga berlaku dalam konsep Soekiman soal kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

Umumnya dan biasanya orang mengukur dan menilai penderitaan hanya dari sudut kebutuhan kehidupan badaniah, lahiriah saja, yakni meningkatnya kekurangan bahan benda pangan dan sandang. Sejalan dengan itu menafsirkan kegembiraan sebagai kepuasan seseorang atas kecukupan syarat kebutuhan hidup lahiriah saja. Tetapi tidak demikian seharusnya. Juga terpenuhinya syarat hidup rohaniah menimbulkan kegembiraan. Walaupun penderitaan jasmaniah lebih mudah menonjol lebih lekas dapat dilihat daripada kekurangan-kekurangan lainnya, namun tidak kurang pentingnya penderitaan batiniah, rohaniah, moril, karena syarat-syarat kebutuhan hidupnya kurang dipenuhinya seperti kita rasakan di waktu penjajahan, dan kalau dahulu disediakan apa yang diperlukan, biasanya terlalu sempit / minimal takarannya, malah sering dengan sengaja diabaikan oleh kaum penjajah.[41]

Terutama sekali dalam aspek kejiwaan itulah, menurut Soekiman, terbuka ruang yang lebar bagi nilai-nilai Islam untuk berperan, dan memang mesti demikian, dalam menentukan arah jalannya pembangunan bangsa dan umat ini ke depan, sebab bangunnya badan mesti dimulai lebih dulu dari bangunnya jiwa, sedangkan jiwa memerlukan penuntun yang adabi.

Sebagai seorang pemuda Islam menjadi terdidik dalam ajaran agama Allah, ia senantiasa tahu akan barang baik atau tidak baik, halal atau haram. Moral Islam menjadi dasar dan tuntunan hidupnya. Tidak terombang-ambing oleh hawa nafsu, walaupun percobaan dan godaan seakan-akan menyertai dan mengiringi dia.[42]

Soekiman juga menjalankan praktik kedokterannya dengan landasan amal kesalehan dan rasa solidaritas kebangsaan. Sepulang dari Belanda, ia sempat berpraktik di sebuah rumah sakit milik pemerintah kolonial di Cianjur, namun kemudian, atas pengaruh dari K.H. Fachruddin, Soekiman berpraktik di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sembari membangun poliklinik khusus perawatan paru-paru yang dikelolanya bersama istrinya. Ia dikenal banyak memberikan bantuan dan pengobatan gratis untuk kalangan yang tidak mampu berobat dan aktif mendatangi rumah pasiennya, bahkan sampai ke luar Yogyakarta.[43] Salah satu pasien langganannya adalah Ki Hajar Dewantara. Keduanya diketahui cukup dekat walaupun berlainan landasan perjuangan dan pandangan kebangsaan, di mana Soekiman bertahan pada idealisme republik eenheidsstaat berdasarkan asas Islam.[44]

 

Pengaruh Pandangan Alam Islam terhadap Soekiman sebagai Negarawan

Selain sebagai dokter dan cendekiawan, pandangan alam Islam juga memberikan pengaruh pada diri Soekiman sebagai seorang politisi, pejuang kemerdekaan, dan negarawan. Berlawanan dengan kaum sekuler yang membatasi peran agama hanya di ruang privat, Soekiman menempatkan Din Islam tidak sebagai agama dalam pengertian Eropa atau Sanskerta, tapi sebagai asas atau landasan yang menyeluruh dalam kehidupan pribadi sekaligus bermasyarakat, termasuk dalam peri kebangsaan dan kenegaraan. Dengan demikian, Soekiman memosisikan Islam sebagai suatu “hervormingstelsel” di mana nilai-nilainya mesti diupayakan untuk diwujudkan dalam ruang publik, guna memperbaiki penyimpangan yang muncul akibat aturan manusia yang tidak adil atau tidak sesuai fitrah.

Perkataan “hervormen” (mengubah) tentu akan tidak ada, kalau stelsel-stelsel (peraturan-peraturan) yang baru itu, terus sesuai dengan keadaan yang sekarang ini, sebagaimana kunci cocok dengan selot. Juga Islam adalah suatu “hervormingstelsel”. Ia berkehendak mengatur dunia menurut asas-asasnya, mengadakan perubahan-perubahan menurut angan-angan Islam.[45]

Karena anggapan yang demikian, Soekiman (juga para tokoh Masyumi dan berbagai gerakan Islam lain) di masa lalu sepakat untuk mewujudkan negara Indonesia merdeka yang berlandaskan Islam, yang ujungnya ialah terbentuknya negeri baldatun ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr.

Tujuan Partai Politik Islam Indonesia “Masyumi” sebagaimana diterangkan dalam pasal III Anggaran Dasarnya: ialah, terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat dan negara Republik Indonesia menuju keredaan Illahi. Rumusan tujuan yang demikian bunyinya itu ternyata masih terlalu umum sifatnya, sehingga menimbulkan gambaran bersimpang siur mengenai inti, tentang apa yang sebenarnya menjadi tugas dan cita-cita politik sesuatu partai, seperti Masyumi.[46]

Partai-partai Islam di antaranya Masyumi bertujuan dan berjuang untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sifat coraknya serta hakikatnya tepat digambarkan dalam Al Quran (surat Saba ayat 19) yang berbunyi : “BALDATUN THAYYIBATUN WARABBUN GHAFUR”'. yang artinya: Masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, aman damai, di bawah naungan dan lindungan Rahmat serta diridai Allah S.w.t.[47]

Pertentangan nasionalis-kelompok Islam, di mana Soekiman termasuk di dalamnya, dengan kalangan nasionalis-sekuler awalnya berhasil dikompromikan dalam bentuk dasar negara Pancasila yang isinya tidak bertentangan, bahkan dijiwai oleh prinsip-prinsip Islam. Namun, Pancasila yang telah disepakati itu di awal berjalannya diubah secara sepihak menjadi seperti yang kita kenal sekarang ini. Perdebatan mengenai perubahan itu sempat muncul lagi dalam sidang-sidang Konstituante, tapi Indonesia keburu memasuki masa Demokrasi Terpimpin, sehingga sidang Konstituante itu tidak dapat berlanjut. Setelah Indonesia “kembali ke UUD 1945” itu pun, Soekiman tetap konsisten mengajukan rehabilitasi rumusan Pancasila sesuai Piagam Jakarta.

Dalam hubungannya (konteksnya) dengan “pandangan hidup Islam” inilah dapat dimengerti betapa dengan gigihnya, Ummat Islam, sebagaimana dicerminkan oleh tuntutan Nahdlatul Ulama berkenaan dengan persoalan sekitar anjuran Pemerintah, supaya kita kembali ke UUD 1945, memperjuangkan dimasukkannya kembali “Piagam Jakarta 22 Juni 1945”, dalam UUD 1945, karena ternyata dalam “Pembukaannya” yang menjadi inti sari vital (essence) Piagam Jakarta yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”: dihapuskan dari padanya! ... Pun kiranya tuntutan Ummat itu, sebagai tindakan rehabilitasi (redress) dari suatu perjanjian suci (gentlement agreement) antara Islam dan Nasionalisme, di saat historis, di waktu hendak memulai Revolusi Nasional, yang secara sepihak (unilateral) telah dirusakkan, dan sebagai penghargaan kepada sumbangan para pemuka, yang telah mangkat (H.A. Salim, Ki Bagus Hadikusumo, K.A. Wachid Hasyim) dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya.[48]

Soekiman di dalam organisasi-organisasinya, baik PII, MIAI, maupun Masyumi, istikamah memperjuangkan agar Islam memiliki ruang publik yang proporsional dalam penyelenggaraan Republik Indonesia.

Maksud yang pertama dengan mengadakan badan persatuan di kalangan Islam ialah mengikhtiarkan supaya kedudukan (posisi) Islam di Indonesia sedemikian hingga boleh disebut sepadan dengan pentingnya agama dan besarnya jumlah umat Islam di sini.[49]

Penggunaan Pancasila versi Piagam Jakarta sebagai dasar negara tidak sama dengan keinginan untuk membubarkan republik, sebab Islam dalam pandangan Soekiman dapat menerima bentuk republik maupun kerajaan. Menurutnya, bentuk republik dengan pemilihan pemimpin berdasarkan musyawarah suatu majelis ahli ada contohnya di masa Khulafa Rasyidin, sementara bentuk kerajaan dengan pemilihan berdasarkan dinasti juga ada contohnya di masa Umayah dan seterusnya. Malahan, Soekiman lebih condong kepada republik parlementer karena dipandangnya lebih sesuai dengan konsep musyawarah. Hanya saja, perjuangan mewujudkan ajaran Islam sebagai hukum positif lewat parlemen itu tidak boleh dilarang dan pelaksanaan musyawarah mesti lebih didahulukan daripada voting orang-per-orang.

“Pada sebelumnya dunia Eropa mengadakan bermacam-macam cara pemerintahan yang tadi sudah kami bentangkan, Allah SWT telah bersabda kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagaimana yang termaktub di dalam Al Quran ayat 159 surat Ali Imran: “Wa amruhum syura bainahum” (Dan musyawarahkanlah Muhammad, segala kepentingannya dengan orang itu sendiri!) ... Di sini, nyatalah bahwa pemerintahan yang dikehendaki oleh Islam itu, ialah suatu pemerintahan yang berlaku dengan musyawarat, yang tidak bergantung atas kehendak satu golongan, apalagi atas kemauan seseorang saja. Pemerintah Islam diharuskan membicarakan dan memusyawarahkan segala sesuatu yang mengenai nasib umatnya dengan umat itu sendiri. Apakah demikian itu pada hakikatnya bukan suatu sistem yang dikehendaki oleh demokrasi dengan perantaraan badan perwakilan? ... Tentang hal ini, M.J. Bonn di dalam risalahnya yang bertitel: “Die krisis der Europaischen Demokratie”, pada halaman 20 ada menerangkan, bahwa: “Sesungguhnya hakikat sesuatu sistem pemerintahan secara parlementer itu ialah memerintah dengan bertukar pikiran (diskusi)”.[50] ... Apakah bukan maksud ayat ini “hak sesuatu bangsa atau umat untuk mengurus dan menentukan nasib dirinya sendiri”. Cukuplah agaknya di sini gambaran kami sekedar tentang bentukan pemerintahan secara Islam; dan pemerintahan yang demikian sifatnya itu tidak saja hanya dilakukan di negeri-negeri Islam yang sekarang ini, tetapi pun juga dipraktikkan lebih dahulu oleh Nabi Muhammad SAW dan oleh penggantinya Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Di dalam riwayat Islam, maka pemerintahan 4 pengganti Rasul itu biasanya dipandang sebagai zaman keemasan dari kerajaan Islam pada permulaannya.[51] ...

Kesimpulannya, agama Islam memang mewajibkan kita menyokong dengan sekuat-kuatnya tuntutan rakyat Indonesia untuk keperluan mendapatkan parlemen yang sejati (Volwaardig Parlement).[52]

Dengan demikian, tidak benarlah tuduhan kaum sekuler bahwa perjuangan mewujudkan nilai Islam dalam hukum positif Republik itu merupakan tindakan radikal dan separatis. Justru sejak dulu, Soekiman dan tokoh-tokoh nasionalis-Islam lain, terutama dalam lingkup MIAI dan Masyumi, sudah mencontohkan sikap yang integral dan demokratis. Dua rezim otoriter yang pernah dirasakan bangsa ini, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, tidak ada satu pun yang merupakan pemerintahan nasionalis-Islam atau Masyumi. Meskipun dulu Masyumi sempat menjadi kekuatan yang dapat dikatakan setara dengan PNI, mereka (termasuk Soekiman) senantiasa mau bermusyawarah untuk kepentingan bangsa ini.

Selain itu, Republik sebagai negara kesatuan dapat terwujud tidak lepas dari andil Mosi Integral yang diusulkan oleh Natsir, rekan Soekiman, dalam kapasitasnya sebagai pimpinan Masyumi. Soekiman pun meyakini bahwa bentuk negara persatuan (eenheidsstaat, sebagian menerjemahkannya sebagai negara kesatuan) sebagai bentuk yang paling baik bagi Indonesia dan paling selaras dengan semangat pandangan hidupnya, yang mengajarkan Pan-Islam (persatuan Islam), yang berarti juga persatuan bagian terbesar dari bangsa ini.

“Saya memang setuju sekali dengan pendapat saudara Muzakkir, mengenai apa yang sesungguhnya Islam itu, dan yang walaupun demikian di dalam pidatonya menerangkan bahwa bentuk negara Islam adalah mirip dengan republik. Tentang bentuk “unitaristisch” atau “federalistisch”, tuan-tuan yang terhormat, juga di dalam hal ini riwayat menunjukkan sesungguhnya, bahwa pada permulaan hubungan negara-negara adalah sebagai perserikatan negara-negara, “statenbond”, kemudian meningkat kepada “bondstaat” dan pada akhirnya meningkat lagi kepada eenheidsstaat karena “eenheidsstaat” sesungguhnya menjamin satu urusan, satu bentuk yang seefisien-efisiennya ... Maka tiap-tiap daripada kita sesungguhnya mempunyai cita-cita yang setinggi-tingginya, yaitu satu negara buat satu bangsa dan satu tanah air.[53] Di dalam kalangan kita sesungguhnya saya juga tergolong mereka yang menyetujui tingkat kedua itu, karena tingkat kedua sesungguhnya — dalam usahanya — akan memperkuat pemerintahan pusat sehingga di dalam praktik, sesungguhnya sudah mewujudkan bentuk yang unitaristisch, maka lebih baiklah saya terima bentuk yang paling akhir, yaitu bentuk sebagai eenheidsstaat, yaitu negara persatuan.[54]

Namun dalam sejarahnya, ketulusan perjuangan umat Islam dalam mengakui perjanjian luhur berupa Pancasila dalam Piagam Jakarta itu seakan-akan ditelikung di belokan akhir, sehingga menimbulkan ketegangan yang belum selesai antara nasionalis-Islam dengan nasionalis-sekuler hingga saat ini. Meskipun kemerdekaan beragama itu sudah dijamin dalam konstitusi, tapi umat Islam tetap merasakan keadaan yang ganjil dalam peri-kehidupan bangsanya.

“... saya rasa perlu sekali menerangkan, karena apa umat Islam di dalam hal ini senantiasa menaruh syak-wasangka. Menurut Indische Staatsregeling dahulu, memang terang-terang juga dijamin kemerdekaan agama tiap-tiap penduduk, tetapi kita sebagai umat Islam telah mengalami keadaan yang tidak sesuai dengan keadaan itu, karena sungguh-sungguh, kalau kita amat-amati dan mengikuti pembicaraan-pembicaraan dalam sidang Volksraad Marhum, memang mencolok mata umat Islam, sehingga umat Islam masih saja bercuriga dan syak-wasangka terhadap kalimat kenetralan dalam hal agama, sebagai aturan ketentuan bentuk Negara Indonesia Merdeka.[55]

Ketegangan itu diperparah oleh penyalahgunaan yang dilakukan sejumlah rezim terhadap Pancasila, dengan menariknya ke arah penafsiran yang sekuler sembari memperlihatkan kepada publik bahwa perjuangan Islam menjadi ancaman bagi Pancasila, sehingga menimbulkan pembelahan di masyarakat dan membunuh citra gerakan Islam yang berbeda pendapat.

Sebenarnya keadaan yaitu “bersatunya” Pancasila dengan Komunisme (di masa Demokrasi Terpimpin), dan bercerai “bermusuhannya” Islam dengan Pancasila, jika direnungkan sejenak, tampaklah ganjil sekali. Apakah tidak aneh melihat bahwa Pancasila yang karena sama sekali tidak mengandung unsur satu pun yang bertentangan dengan Islam, dapat “dipangku” bahkan “dipeluk” seluruhnya oleh Islam, bertengkar hebat untuk mempertahankan kehidupannya dengan Islam sedang ia mau “dirangkul” oleh suatu ideologi yang hendak mengisap darahnya hingga sampai “ajalnya”. Apakah Ummat Islam dan kaum nasionalis dalam perimbangan kekuatan di Konstituante yang jelas itu, tidak perlu memikirkan bersama mencari jalan keluar, untuk dapat mengatasi keadaan yang ganjil dan tidak wajar itu?[56]

Keadaan keruh itu malah diperparah dengan perpecahan umat Islam dan “menurunnya gelombang perjuangan disebabkan timbulnya beraneka macam keinginan dan ambisi”, sehingga kedudukan umat Islam “tidak sederajat dengan potensi dan kesanggupannya sebagai mayoritas”.[57]

 

Perbandingan Konsepsi Pandangan Alam Soekiman dengan Pemikir Kontemporer

Berdasarkan uraian di atas, konsep pandangan alam Soekiman meliputi beberapa pokok: (1) pandangan bahwa alam semesta merupakan bagian dari “imperium Ilahi” yang diciptakan dan dikuasai oleh Allah SWT; (2) eksplorasi atau aktivitas sains atas alam yang dilakukan dengan benar pastilah selaras dengan wahyu Allah SWT dan membawa kepada pengakuan atas ketentuan-ketentuan Allah SWT yang adil dan seimbang; (3) manusia memang dibekali dengan akal dan kemampuan untuk memilih, tapi sebagai bagian dari alam yang dikuasai oleh Allah, pilihan yang paling logis adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada-Nya; (4) pendirian hidup penyerahan diri secara bulat adalah pendirian hidup Islam, yang berarti menjalani hidup sesuai tata aturan yang digariskan Allah; (5) Islam merupakan suatu “hervorming-stelsel” dan “code of life” yang mengatur segenap peri-kehidupan manusia, termasuk di ruang publik, sehingga urusan pendidikan, kenegaraan, dan lain-lain mesti diselenggarakan berlandaskan prinsip atau tatanan Islam; sebaliknya sekularisme di ruang publik (aturan kenetralan agama dalam Staats-regeling) tidak dapat diterima; (6) mesti ada upaya “interwoven” (integrasi-interkoneksi) sains dengan keilmuan agama di lembaga pendidikan rendah, menengah, dan tinggi Islam; (7) kesehatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan meliputi aspek jasmaniah dan rohaniah, yang mesti dipenuhi kebutuhannya secara seimbang; asupan bagi aspek jasmaniah manusia adalah makanan dan pola-hidup sehat, sedangkan asupan bagi aspek rohaniah adalah didikan “moral-tinggi” (adab dan akhlak) agama; (8) sistem politik Islam mengajarkan musyawarah mufakat; (9) pemilihan pemimpin dalam Islam dilakukan berdasarkan kapabilitas sosok terbaik oleh suatu majelis yang bermusyawarah, sehingga memiliki kemiripan dengan demokrasi parlementer, meski pula mengakui sistem dinasti; dan (10) sistem pemerintahan masa Khulafa Rasyidin lebih dekat dengan demokrasi parlementer dibandingkan dengan kerajaan.

Tentu gagasan Soekiman soal pandangan alam Islam tidak sedalam dan selengkap konsep pandangan Islam yang disampaikan oleh para pionir Islamisasi Sains, seperti Naquib al-Attas dan para muridnya. Hal itu wajar mengingat Soekiman lebih banyak berkiprah sebagai politisi daripada pemikir, sehingga konsepsi yang dihasilkannya lebih cenderung bersifat praktis dan kurang paradigmatis. Namun, untuk seorang profesional lulusan sekolah Belanda yang sekuler di masa penjajahan, kesadaran Soekiman (dan para tokoh pergerakan Islam masa itu) akan adanya weltanschauung Islam yang berbeda dengan pandangan alam Barat dan keinsafannya terhadap menjangkitnya sekularisme sebagai masalah pokok umat Islam dapat dikatakan sebagai hal yang baik. Ditambah lagi, kesadaran itu juga ditingkatkan ke arah aksi nyata berupa usaha pembangunan kampus UII, yang masih beroperasi hingga kini.

Jika dibandingkan secara konseptual dengan gagasan pemikir Islam kontemporer soal pandangan hidup Islam, pokok-pokok pikiran Soekiman tersebut kebanyakan masih selaras atau tidak keluar dari koridor yang diformalkan oleh para cendekiawan Islamisasi sains itu. Pokok (1) pandangan alam Soekiman bahwa alam semesta merupakan bagian dari “imperium Ilahi” yang diciptakan dan dikuasai oleh Allah SWT merupakan suatu pandangan terhadap keseluruhan realitas wujud yang berlandaskan bangunan konsep Islam, di mana konsep Tuhan menjadi pusatnya. Alam semesta (alam dunia) dianggapnya hanyalah salah satu bagian dari himpunan alam yang semuanya merupakan “kerajaan Allah” atau “imperium Ilahi”, sehingga memperlihatkan pandangan Soekiman yang mengakui adanya alam gaib (metafisik), selain alam tabii. Konsep “imperium Ilahi” itu menunjukkan suatu pemahaman bahwa Tuhan ada, menciptakan, dan menguasai alam raya, serta bahwa Tuhan adalah pusat segala-galanya, sehingga semua konsep tentang isi keseluruhan alam itu, termasuk konsep kemanusiaan dan kemasyarakatan, mestilah berlandaskan kepada konsep Tuhan.

Pandangan (1) Soekiman itu, misalnya, sejalan dengan rumusan Naquib al-Attas bahwa pandangan hidup Islam (worldview of Islam) adalah suatu ru’yah al-Islām lil-wujūd (pandangan Islam terhadap wujud / keseluruhan realitas), yaitu suatu “visi tentang realitas dan kebenaran yang muncul di hadapan mata hati kita yang mengungkapkan hakikat wujud”, memproyeksikan totalitas alam wujud, atau “visi tentang realitas dan kebenaran, yang merupakan survei metafisika tentang dunia yang terlihat serta yang tak terlihat, termasuk pandangan tentang kehidupan sebagai keseluruhan; bukan worldview yang terbentuk hanya dengan mengumpulkan berbagai objek budaya, nilai dan fenomena ke dalam suatu (karya) artifisial yang koheren”, sehingga ia merupakan suatu sistem yang aktif beroperasi mempengaruhi cara kita memandang dunia eksistensi berdasarkan pada paduan integral konsep tentang Tuhan, wahyu, kenabian, penciptaan, alam semesta, diri manusia, ilmu, pengetahuan, agama, kemerdekaan, kebahagiaan, kesejahteraan, nilai, moralitas, dan aspek-aspek lain yang sendirinya mengikuti, di mana konsep Tuhan itu menjadi pusat dan landasan bagi konsep-konsep lainnya. Intinya adalah keyakinan-dasar bahwa Tuhan ada dan menciptakan alam semesta, dan menjadikan manusia sebagai pusat penciptaan.[58]

Selanjutnya, atas dasar pandangan (1) soal “imperium Ilahi”, pandangan (2) Soekiman menganggap bahwa keseluruhan ilmu itu berasal dari Allah, sebagaimana konsep Tuhan itu menjadi pusat dari segala konsep lain dalam pandangan alam itu, sehingga ilmu yang diperoleh melalui aktivitas sains dan eksplorasi alam raya itu dipandang Soekiman mestilah selaras dengan ilmu yang diperoleh melalui wahyu, sebab segala ilmu itu pada hakikatnya berasal dari Allah, yang menciptakan dan mengendalikan seru-sekalian-alam sekaligus mengirimkan wahyu dan rasul-rasul ke tengah manusia. Hal itu selaras dengan pandangan al-Attas bahwa semua ilmu itu hakikatnya berasal dari Allah.

In the same manner that man is of a dual nature, so is knowledge of two kinds: the one is food and life for the soul, and the other is provision with which man might equip himself in the world in his pursuit of pragmatic ends ... The first kind of knowledge is given by God through revelation to man; and this refers to the Holy Quran as the knowledge par excellence; the Prophet’s Sunnah manifested in word (qawl), model action (fiʿl), and silent confirmation (taqrīr); spiritual knowledge (ʿilm ladunniyy); and wisdom (ḥikmah) ... The second kind of knowledge refers to knowledge of the sciences (ʿulūm), and is acquired through experience and observation and research, through speculation and rational effort of enquiry based on man experience of the sensible and intelligible; it is discursive and deductive, and it refers to objects of pragmatical value.”[59]

Selain itu, berdasarkan pandangan (1) tentang alam semesta termasuk manusia sebagai bagian dari “imperium Ilahi” itu, pandangan (3) dan (4) muncul sebagai konsekuensi, yaitu bahwa penyerahan diri secara total bulat “pada kehendak dan bimbingan Allah”, “mengakui kekuasaan (kedaulatan) Allah S.w.t. di atas segala kekuasaan di dunia ini, dan mengatur hidup dan kehidupannya baik secara pribadi (individual) maupun dalam jemaah (kolektif), sesuai dengan perintah dan petunjuk-petunjuk Allah SWT”, yakni menjalankan tata nilai dan aturan Islam, merupakan konsekuensi paling rasional bagi manusia yang berakal. Hal itu berujung pada pandangan (5) di mana Soekiman memosisikan tatanan Islam, yang bersumber dari Al-Quran dan Hadis, sebagai “hervorming-stelsel” dan “code of life” yang perlu diterapkan dalam segala bidang kehidupan, untuk membangun masyarakat lahir batin dan membawa pergaulan hidup bersama ke arah tujuan tingkat hidup dan nilai-nilai hidup yang luhur, sehingga kebenaran dan keadilan terjamin kokoh kuat, serta inisiatif dan karya manusia dapat ditujukan pada perbaikan dan penyempurnaan tingkat hidup jasmaniah dan rohaniah. Berlawanan dengan kaum sekuler yang membatasi agama hanya pada masalah ritual, Soekiman cenderung memaknai Islam sebagai nilai yang melandasi pembangunan peradaban.

Pandangan (3), (4), dan (5) Soekiman itu dapat dikatakan sejalan dengan rumusan al-Attas dalam memaknai Islam sebagai Din (secara sederhana dipadankan dengan agama) sekaligus Tamadun (secara sederhana dipadankan dengan peradaban). Din dan Tamadun itu bertalian dengan kata dāna (berhutang), madyūn (keadaan berhutang), daynun (tanggung jawab atau kewajiban untuk membayar hutang atau terikat mematuhi tata-aturan hutang-piutang), idānah (putusan hukum yang mengatur hutang-piutang atau kegiatan ekonomi dan sosial secara umum), mudūn / madā’in (tempat di mana hukum-hukum atau tata-aturan berlaku), madīnah (kota atau komunitas di mana tatanan hukum, tatanan adabi, atau Din dijadikan landasan pembangunan), dan ad-Dayyān (Sang Maha Pemberi Hutang; Sang Maha Pengatur; atau Sang Maha Pemberi Keputusan, Penilaian, Penghakiman, dan seterusnya). Dengan demikian, dalam pandangan al-Attas, Islam itu memperlihatkan kesatuan konsep bahwa manusia berhutang kepada Allah SWT, karena Dia telah memberi mereka anugerah berupa kehidupan, rezeki, dan lain-lain yang tak terkira hitungannya, sehingga manusia memiliki tanggung jawab untuk “membayar hutang” kepada-Nya. Namun, karena manusia itu tak memiliki apa pun, sebab semua yang ada pada mereka adalah pemberian dari Allah, maka tiada jalan lain bagi manusia untuk membayar hutang itu, kecuali mengembalikan atau menyerahkan dirinya kepada-Nya, yang berarti tunduk-patuh pada ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh-Nya, yang dengan mengikuti tatanan itu, manusia akan dapat hidup sesuai fitrah dan membangun peradaban yang luhur (maddana, tamaddun, Tamadun).[60]

Di sini, kita dapat melihat pada pandangan Soekiman dan al-Attas, sejumlah elemen yang beririsan, seperti kesadaran akan kepemilikan dan penguasaan diri manusia (dan alam semesta) oleh Allah (sebagai “imperium Ilahi”), kesadaran bahwa pilihan paling rasional bagi manusia yang diberi akal oleh Allah adalah tunduk menyerah-bulat kepada ketentuan-ketentuan Allah, kesadaran bahwa menaati tatanan Allah itu akan membawa manusia kepada tingkat peradaban yang luhur, kesadaran bahwa Islam itu mesti diterapkan dalam segala bidang kehidupan dan tidak hanya di dalam ritual, dan kesadaran bahwa tatanan Islam itu akan membawa kepada keadilan yang harmoni dengan fitrah manusia. Hanya saja cakupan “stelsel” dalam diksi yang digunakan Soekiman memang cenderung disematkan kepada aspek hukum, politik, dan kenegaraan, meskipun secara makna dapat juga mencakup tatanan secara luas, sehingga terkesan tidak seluas kata Tamadun. Namun begitu, Soekiman memadukan istilah legal-formal “hervorming-stelsel” itu dengan “code of life” yang lebih bersifat adabi-akhlaki dan tidak terbatas pada wilayah politik dan hukum ketatanegaraan. Selain itu, Soekiman juga menyatakan bahwa ujung dari penerapan Islam sebagai “hervorming-stelsel” dan “code of life” itu akan membawa kepada “nilai-nilai hidup yang tinggi” yang dapat dibandingkan dengan konsep masyarakat madani atau beradab. Dengan demikian, dapat dimaknai bahwa Soekiman juga memaknai Islam sebagai pandangan alam, agama, tata-aturan, sekaligus peradaban.

Selanjutnya, pandangan (2) juga membawa konsekuensi pada pandangan (6) dan sebagian pandangan (5), yaitu bahwa Islam juga harus melandasi dan menjiwai pendidikan, yang sesuai dengan prinsip sila pertama Pancasila, yang berarti bahwa “sekularisme tidak ada tempatnya di Indonesia”, yang kemudian menjadi dasar legitimasi bagi pendirian sekolah dan perguruan tinggi Islam, khususnya UII Yogyakarta, yang memadukan pengajaran Islam dengan pengajaran sains kontemporer, yang oleh Soekiman, disarankan agar kemudian sebisa mungkin ditingkatkan kepada tahap “interwoven” antara sains modern dengan ilmu Islam tadi. Konsep interwoven Soekiman ini jelas berbeda dengan konsep Islamisasi sains, baik dalam pendekatan paradigma ala al-Attas, maupun dalam pendekatan integrasi ala al-Faruqi. Belum ditemukan tulisan Soekiman yang menjelaskan secara detail makna dari “interwoven” itu. Dalam tulisannya yang ada, ia baru sebatas mengusulkan lembaga yang mempelajari Islam dan sains modern secara bersamaan, sehingga masih ada kerentanan pemikiran dikotomi ilmu di dalamnya. Kiprah awal pendirian UII juga belum mengarah ke konsep integrasi ilmu yang komprehensif, apalagi konsep Islamisasi sains. Paling maksimal, konsep “interwoven” Soekiman itu sebatas mirip dengan konsep Islamisasi sains pendekatan instrumentalistik, yaitu pemahaman bahwa umat Islam perlu menguasai sains modern dan ilmu Din secara bersamaan agar bisa bangkit melawan penjajahan, yang amat mungkin mencerminkan masuknya pengaruh pemikir seperti Jamaluddin al-Afghani (1838-1897, Soekiman lahir pada 1898). Meski begitu, diksi “interwoven” yang digunakannya tetap menarik, karena sekilas mengandung kesan pemahaman tentang urgensi saling mengaitkan atau menjalin ilmu-ilmu yang berbeda seperti anyaman benang atau kain (woven), tidak hanya mempelajari keduanya secara bersamaan. Hal itu menjadi menarik karena Soekiman bukanlah akademisi atau pemikir murni, meskipun turut memelopori dan membina UII, mengingat porsi terbesar dalam kariernya dibaktikan di medan politik praktis.

Berikutnya, pandangan (6) memberikan pengaruh pada pandangan (7), yaitu bahwa karena interwoven ilmu pengetahuan dan penerapan prinsip Islam dalam pendidikan harus dilakukan, maka kesehatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan dari suatu masyarakat – yang terkait dengan beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, ilmu jiwa, sosiologi, ekonomi, dan sebagainya – tidak boleh dikaji dan dipenuhi hanya dari sisi materiilnya saja, yaitu mesti meliputi aspek jasmaniah dan rohaniah, yang mesti dikaji dan dipenuhi kebutuhannya secara seimbang. Menurut Soekiman, asupan bagi aspek jasmaniah manusia adalah makanan dan pola-hidup sehat, sedangkan asupan bagi aspek rohaniah adalah didikan “moral-tinggi” (adab dan akhlak) agama. Pemahaman Soekiman itu tidak bertentangan dengan pandangan al-Attas bahwa: “Man has a dual nature, he is both body and soul, he is at once physical being and spirit”.[61] Pandangan Soekiman itu juga selaras dengan pendapat Alija Izetbegovic, tokoh kemerdekaan Bosnia, bahwa: “By recognizing the existence of two worlds, the natural and the interior, Islam teaches that it is man who bridges the chasm between them” dan bahwa “... the Islamic approach is quite new in one aspect – that of its demand for the conjunction of faith and knowledge, morals and politics, ideals and interests”.[62]

Dalam bidang politik, hukum, dan ketatanegaraan, pandangan (3), (4), dan (5) mempengaruhi pandangan (8), (9), dan (10), yaitu bahwa prinsip-prinsip Islam mesti melandasi dan menjiwai jalannya Indonesia merdeka; di mana menurut Soekiman, hal itu dilakukan lewat penegakan musyawarah-mufakat oleh semacam majelis ahli yang menjadi perwakilan rakyat, alih-alih voting satu orang satu suara, yang berimplikasi pada penerapan sistem demokrasi parlementer yang menjadikan ajaran Islam, yang diformalkan dalam Pancasila versi Piagam Jakarta, sebagai falsafah dasar bernegara dan sumber dari segala sumber hukum, yang berjalan dalam bingkai eenheidsstaat (negara persatuan). Memang bagi sebagian kalangan, pandangan bahwa demokrasi itu sejalan dengan Islam masih dianggap kontroversial, terutama jika meninjau aspek filosofis dasarnya yang berbeda, bahkan bertentangan dalam beberapa hal. Meski begitu, tetap ada kesesuaian antara demokrasi-parlementer dengan Islam apabila hanya diambil sisi teknisnya saja, bukan falsafahnya, yaitu musyawarah lewat Dewan dan/atau Majelis Perwakilan Rakyat yang disetarakan dengan ahlul-ḥall wal-ʿaqd atau majelis syura. Ide Soekiman ini sejalan dengan pemikir Islam lain zaman itu, seperti M. Natsir, Kahar Muzakkir, Agus Salim, dan lain-lain yang mencoba “mengislamisasi” demokrasi, yaitu mengadopsi teknis demokrasi sembari memasukkan ajaran Islam sebagai nilai-nilai landasan dan sumber-sumber hukum positifnya, sehingga demokrasi yang ditawarkan adalah demokrasi yang diikat oleh aturan-aturan Allah SWT, yang kadang disebut juga Theo-demokrasi (sebagaimana ruh sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta).[63] Tentu butuh ruang tulisan tersendiri untuk membahas masalah ini, tapi pandangan Soekiman itu cukuplah menunjukkan bahwa ia bukanlah seorang sekuler, dan ia berpolitik demi menegakkan baldatun ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr.

 

Penutup

Penyelidikan sederhana ini sampai kepada kesimpulan bahwa Soekiman Wirjosandjojo adalah seorang dokter, cendekiawan, politisi, dan negarawan yang berpandangan alam Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh konsepsinya soal weltanschauung, alam semesta sebagai “imperium Ilahi”, “total submission” kepada Allah sebagai pilihan paling logis bagi manusia yang dianugerahi akal, Islam sebagai “hervorming-stelsel” dan “code of life” untuk membangun masyarakat dengan nilai-nilai hidup yang tinggi, urgensi “interwoven” ilmu pengetahuan Islam dan sains modern, urgensi pendirian sekolah dan universitas Islam terutama UII Yogyakarta, harmoni aspek jasmaniah dan rohaniah dalam kesehatan dan kebahagiaan (atau kesejahteraan), Islam sebagai jiwa ketatanegaraan, dan urgensi agar Indonesia kembali kepada Pancasila versi Piagam Jakarta. Meskipun pemikiran Soekiman itu masih belum mendalam, lengkap, dan paradigmatis, tapi bibit-bibit kesesuaian pandangan dengan para penganjur worldview of Islam di masa kini telah terlihat. Soekiman jelas bukan seorang sekuler, sehingga perjuangan hidupnya dalam membangun “baldatun ṭayyibatun wa Rabbun Ghafūr” itu dipengaruhi oleh pandangan alam Islamnya. Memang mesti dipahami bahwa pemikiran Islamnya lebih bersifat praktis mengingat ia lebih banyak berkarier sebagai seorang politisi. Berikutnya, penting untuk meninjau kiprah UII Yogyakarta sebagai salah satu warisan Soekiman (dan para tokoh Masyumi lainnya) dan membandingkan arah perkembangannya dengan cita-cita awalnya dulu serta interaksinya dengan pemikiran pandangan hidup Islam, integrasi ilmu, dan Islamisasi sains yang berkembang kini. Hal itu penting karena UII adalah institusi pendidikan tinggi Islam yang mesti dirawat sebagai aset umat dan potensial menjadi rekan dalam usaha Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.

 



[1] Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam: Makna dan Strategi Pembangunannya, (Ponorogo: CIOS-ISID Gontor, 2010), hal.12

[2] HAMKA, Pandangan Hidup Muslim, (Kota Baru, Kelantan: Pustaka Aman Press, 1967)

[3] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.283-285

[4] Bersama K.H. Mas Mansur, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Wiwoho

[5] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 40-41

[6] Heri Purwata-Djibril Muhammad, "Gedung di UII Dilabeli Nama Tokoh Nasional", (Republika Online, Ahad, 5 Agustus 2012), (https://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-tengah-diy-nasional/12/08/05/m8acj3-gedung-di-uii-dilabeli-nama-tokoh-nasional diakses pada 24 Februari 2022); Lihat juga Profil Kampus UII (https://www.uii.ac.id/profil/lokasi-kampus/ diakses pada 24 Februari 2022)

[7] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 23-24

[8] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal. 24-25

[9] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.304

[11] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.283-284

[12] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.284

[13] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.284

[14] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.284

[15] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.284-285

[16] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.285

[17] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.285

[18] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.285-286

[19] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.313

[20] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27

[21] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 28

[22] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.313

[23] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.311

[24] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.311-312

[25] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.308

[26] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.309

[27] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.309

[28] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.314

[29] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.314

[30] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.28

[31] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27

[32] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 27

[33] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.30

[34] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 29

[36] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.29

[37] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.29

[38] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.312

[39] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.312-313

[40] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.313

[41] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.309-310

[42] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.186

[43] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal.35

[44] Hardianti, Pemikiran Politik Soekiman Wirjosandjojo (1916-1960 M), (Surabaya: UIN Sunan Ampel, Fakultas Adab dan Humaniora, Jurusan Sejarah Peradaban Islam, 2018), hal.36

[45] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal. 21

[46] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.277

[47] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.283

[48] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.286

[49] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.61

[50] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.47

[51] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.48

[52] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot ..., hal.49

[53] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.169

[54] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.169-170

[55] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.174

[56] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.290

[57] Soekiman Wirjosandjojo, Wawasan Politik Seorang Muslim Patriot, (Malang: YP2LPM, 1984), hal.334

[58] SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 1-2, dikutip dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, 12-15.

[59] SMN al-Attas, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993), hal. 144-146

[60] SMN Al-Attas, Islam: Faham Agama dan Asas Akhlak, (Kuala Lumpur: IBFIM, 2913) 3-8; lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: Spoken Language Services, Inc., 1979), hal.352-353

[61] Al-Attas, Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of The Worldvief of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), hal. 143

[62] Alija Izetbegovic, The Islamic Declaration: A Programme for the Islamization of Muslims and the Muslim People, (Sarajevo: 1990), hal. 8

[63] Tiar Anwar Bachtiar, Politik Islam di Indonesia, (Bandung: Persis Press, 2019), hal. 116-118

Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Mewariskan Nilai, Merawat Harapan