Paradigma Al-Quran untuk Perumusan Teori: Perspektif Kuntowijoyo
Tesis untuk mengembangkan gagasan mengenai
niscayanya perumusan teori – dalam hal ini teori sosial – yang didasarkan pada
Al-Quran, pertama-tama adalah bahwa kita perlu memahami Al-Quran sebagai
paradigma ... Paradigma Al-Quran berarti suatu konstruksi pengetahuan yang
memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Quran memahaminya.
Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh Al-Quran pertama-tama dengan tujuan
agar kita memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang
sejalan dengan nilai-nilai normatif Al-Quran ... Konstruksi pengetahuan itu
juga memungkinkan kita merumuskan desain-besar mengenai sistem Islam, termasuk
dalam hal sistem ilmu pengetahuannya.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 548-549
... pada dasarnya kandungan Al-Quran itu
terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal.
Dalam bagian pertama yang berisi
konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-Quran yang merujuk pada
pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-doktrin etik, aturan-aturan
legal, dan ajaran-ajaran keagamaan pada umumnya. Istilah-istilah atau ...
pernyataan-pernyataan itu sebagian diangkat dari konsep yang telah dikenal oleh
masyarakat Arab pada waktu Al-Quran diturunkan, sebagian merupakan
istilah-istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep
etiko-religius yang ingin diperkenalkannya. Yang jelas, istilah-istilah itu
kemudian diintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Quran, dan secara demikian
lalu menjadi konsep-konsep yang autentik.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 549-550
[Dalam Quran], kita mengenal banyak sekali
konsep, baik yang bersifat abstrak maupun konkret. Konsep tentang Allah,
malaikah, akhirat, makruf, munkar, dan sebagainya, adalah konsep-konsep yang
abstrak ... juga konsep-konsep yang lebih merujuk pada fenomena-fenomena
konkret dan yang dapat diamati, misalnya konsep tentang orang-orang fakir,
duafa (golongan lemah), mustadh`afin (yang tertindas), zhalimun (para tiran),
aghniya’ (kaum kaya), mustakbirun (penguasa), mufasidun (para koruptor), dan
sebagainya.
Semua konsep ini menjadi punya makna, bukan
saja karena keunikannya secara semantik, tapi juga karena kaitannya dengan
matriks struktur normatif dan etik tertentu yang melaluinya pesan-pesan
Al-Quran dipahami. Dalam kaitan ini, konsep-konsep Al-Quran bertujuan
memberikan gambaran utuh tentang doktrin Islam, dan lebih jauh lagi, tentang
weltanschauung (pandangan dunia)-nya.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 550
... sementara dalam bagian yang berisi
konsep-konsep, Al-Quran bermaksud membentuk pemahaman yang komprehensif
mengenai nilai-nilai ajaran Islam, maka dalam bagian yang berisi kisah-kisah
historis dan amsal (perumpamaan), Al-Quran mengajak dilakukannya perenungan
untuk memperoleh hikmah ... merenungkan hakikat dan makna kehidupan ... baik
menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Misalnya simbol
tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang luruhnya sehelai daun yang terlepas
dari pengamatan Tuhan, atau tentang keganasan samudra yang menyebabkan orang-orang
kafir berdoa.
Jika dalam bagian konseptual kita
diperkenalkan dengan pelbagai ideal-type tentang konsep-konsep, maka dalam
bagian yang berisi kisah dan amsal kita diajak untuk mengenal archetype tentang
kondisi-kondisi yang universal ... Kisah kesabaran Nabi Ayyub misalnya
menggambarkan tipe-tipe sempurna rentang betapa gigihnya kesabaran orang yang
beriman menghadapi cobaan ... Kisah kezaliman Firaun menggambarkan arketipe
mengenai kejahatan tirani ... sementara kisah kaum Tsamud yang membunuh unta Nabi
Saleh menggambarkan pengkhianatan massal oleh konspirasi-konspirasi kafir.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 550-551
Al-Quran memaksudkan penggambaran-penggambaran
arketipe semacam itu agar kita dapat menarik pelajaran moral dari
peristiwa-peristiwa empiris yang terjadi dalam sejarah, ... [yang] sesungguhnya
bersifat universal dan berulang. Bukan data historisnya yang penting, tapi
pesan moralnya. Bukan bukti objektif-empirisnya yang ditonjolkan, tapi takwil
subjektif-normatifnya ... merenungkan pesan-pesan moral Al-Quran dalam rangka
menyintesiskan penghayatan dan pengalaman subjektif kita dengan ajaran-ajaran
normatif ... mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Ini berarti
Al-Quran telah berfungsi untuk transformasi psikologis ... serta penyempurnaan
kepribadian Islam ... Ia juga berfungsi pada level yang objektif untuk
transformasi kemasyarakatan.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 551-552
Ada pendekatan lain yang perlu dipakai untuk
mengoperasionalkan konsep-konsep normatif menjadi objektif dan empiris. Untuk
kebutuhan inilah, pendekatan analitik ditawarkan ... memperlakukan Al-Quran
sebagai data, sebagai suatu dokumen mengenai pedoman kehidupan yang berasal
dari Tuhan. Ini merupakan suatu postulat teologis dan teoretis sekaligus.
Menurut pendekatan ini, ayat-ayat Al-Quran
sesungguhnya merupakan pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis
untuk diterjemahkan pada level yang objektif, bukan hanya subjektif. Al-Quran
harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoretis ... analisis terhadap
pernyataan-pernyataan Al-Quran akan menghasilkan konstruk-konstruk teoretis
Al-Quran. Elaborasi konstruk-konstruk teoretis Al-Quran inilah yang pada
akhirnya merupakan kegiatan Quranic theory building, perumusan teori Al-Quran.
Dari situlah muncul paradigma Al-Quran.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 553-554
Fungsi paradigma Al-Quran pada dasarnya adalah
untuk membangun perspektif Al-Quran dalam rangka memahami realitas ...
Preposisi-preposisi Al-Quran tetap merupakan “unsur konstitutif” yang sangat
berpengaruh – kalau tidak dikatakan paling berpengaruh – di dalam apa yang
dinamakan sebagai paradigma Al-Quran itu ... Di dalam epistemologi Islam, wahyu
itu sangat penting. Ini yang membedakannya dengan cabang-cabang epistemologi
Barat yang besar seperti Rasionalisme dan Empirisme yang mengakui sumber
pengetahuan sebagai hanya berasal dari
akal atau observasi.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 554-555
Menurut epistemologi Islam, unsur petunjuk
transendental yang berupa wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting.
Pengetahuan wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan apriori. Wahyu menempati
posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas sebab wahyu
diakui sebagai ayat-ayat Tuhan yang memberikan pedoman dalam pikiran dan
tindakan seorang Muslim. Dalam konteks ini, wahyu menjadi unsur konstitutif
dalam paradigma Islam.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 555
Konstruk pengetahuan yang menempatkan wahyu
sebagai salah satu sumbernya berarti mengakui adanya struktur transendental sebagai
referensi untuk menafsirkan realitas. Apa yang dimaksudkan di sini adalah
pengakuan mengenai adanya ide yang murni, yang sumbernya berada di luar diri
manusia; suatu konstruk tentang struktur nilai-nilai yang berdiri sendiri dan
bersifat transendental. Pengandaian mengenai adanya struktur transendental,
dengan kata lain juga berarti mengakui bahwa Al-Quran harus dipahami sebagai
memiliki bangunan ide yang transendental, sebuah orde, atau sistem gagasan yang
otonom dan sempurna.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 555-556
Peminjaman-peminjaman sistem pengetahuan
dengan demikian tidak bersifat eklektik karena kita menyeleksinya dalam
kerangka paradigma kita sendiri. Artinya bahwa semua warisan ilmu pengetahuan
yang pernah dilahirkan dari peradaban lain juga bisa dipinjam dan menjadi
bagian dari warisan Islam, sejauh hal itu sesuai dengan premis etik dan
epistemiknya ... Kita harus menyadari kerangka epistemik yang berada di
belakang pengetahuan yang kita pinjam itu. Di sinilah, kita harus mewaspadai
bias-bias filosofis dan paradigmatis yang melekat dalam tradisi dan sistem
pengetahuan yang kita pinjam itu.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 561-562
Dengan pemahaman mengenai struktur
transendental Al-Quran, yaitu gambaran kita mengenai sebuah bangunan ide yang
sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni yang bersifat metahistoris,
Al-Quran sesungguhnya menyediakan cara berpikir, ... yang kita namakan
paradigma Al-Quran, paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu
pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma Al-Quran jelas akan memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan umat manusia ... akan menjadi rambahan baru bagi
munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif (sains Islam).
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 562
Jelaslah bahwa premis-premis normatif dalam
Al-Quran dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional. Sebab
proses semacam ini pula yang ditempuh dalam perkembangan ilmu-ilmu modern yang
kita kenal sekarang ini. Kita mengetahui bahwa ilmu-ilmu empiris maupun
rasional yang diwariskan oleh peradaban Barat berasal dari paham-paham etik dan
filosofis yang bersifat normatif. Dari ide-ide normatif, perumusan ilmu-ilmu
dibentuk sampai kepada tingkat yang empiris dan sering dipakai sebagai basis
untuk kebijakan-kebijakan aktual.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 562-563
Perumusan teori-teori yang didasarkan pada
paradigma Al-Quran juga akan melalui prosedur semacam itu. Struktur transendental
Al-Quran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan menjadi
paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu
pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinal, dalam arti
sesuai dengan kebutuhan paradigmatis masyarakat Islam yaitu untuk
mengaktualisasikan misinya sebagai khalifah di muka bumi. Itulah sebabnya
pengembangan teori-teori ilmu pengetahuan Islam (sains Islam) dimaksudkan untuk
kemaslahatan umat manusia. Islam mewarisi sumbangan ilmu pengetahuan yang
dihasilkan oleh peradaban lain sesuai dengan kepentingan pragmatis semacam ini.
Tapi tentu saja pewarisan semua khazanah ilmu pengetahuan itu harus melewati
proses Islamisasi. Saya yakin, kita dapat menemukan mekanisme untuk mengislamisasikan
ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana mengonversikan dan mengintegrasikan semua
pemikiran dan warisan intelektual dari mana pun ke dalam paradigma teoretis
yang sesuai dengan struktur transendental Al-Quran.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 563
Perumusan teori-teori Islam adalah bagian dari
kepentingan pragmatis Islam untuk memenuhi misi profetiknya, yaitu membangun
peradaban. Dalam sebuah dunia, tempat kekuatan dan pengaruh ilmu pengetahuan
menjadi destruktif, mengancam kehidupan umat manusia dan peradabannya, Islam
jelas harus tampil untuk menawarkan alternatif paradigmatisnya di bidang ilmu.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi
untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 2008), hal. 563
Comments
Post a Comment