Kedudukan Keilmuan Transportasi dalam Konstruksi Berpikir Islamisasi Sains: Tinjauan Awal

Dalam upaya untuk melakukan Islamisasi sains – atau seminimalnya menggali filsafat sains Islam – yang terkait dengan bidang transportasi, berarti kita mesti menyepakati lebih dulu bahwa sains itu tidak netral - yang menjadi bahasan dari tulisan sebelumnya; sebaliknya sains itu dilandasi atau dirembesi oleh unsur-unsur kontemplatif filosofis berupa pandangan alam (worldview) dan paradigma (paradigm). Begitu pula, telah kita rumuskan di bagian tulisan sebelumnya hubungan antara sains, paradigma, dan pandangan alam itu dengan meminjam struktur program riset dari model Imre Lakatos dan sedikit mengubahnya dengan mengganti bagian Protective Belt dengan paradigma – mengadopsi konsep Kuhn – dan mengganti bagian Hard Core dengan pandangan alam – mengadopsi gagasan al-Attas. Hasilnya, kita dapatkan struktur program riset sains Islam yang berpusat pada konsep-konsep atau pokok atau prinsip-prinsip serta hukum-hukum paling mendasar dari pandangan alam Islam, yang lalu diturunkan ke dalam teori-teori dan hipotesis-hipotesis dalam paradigma sains Islam, yang lalu terhubung dengan hasil-hasil amatan dan eksperimen di ranah empiris. [Lakatos, 1989: 1-6]

Kemudian, struktur yang demikian sebenarnya dapat kita tarik ke arah proses pelaksanaan dari program riset sains Islam itu, karena ia secara alami bersesuaian dengan proses penyelidikan ilmiah yang tipikal ada dalam suatu pembangunan sistem disiplin ilmiah (scientific field system building). Hal itu karena penyelidikan saintifik (scientific endeavour), yang merujuk kepada urutan tipikal kegiatan dari disiplin-disiplin penyelidikan yang mencoba menempuh pendekatan saintifik,  membentuk suatu pola umum yang terdiri dari empat tahap: 1) Refleksi Filosofis (Philosophical Reflection), yang menghasilkan konsep-konsep dasar dan model-model paradigma yang melandasi suatu riset; 2) Riset Saintifik (Scientific Research), yang menghasilkan pengetahuan yang cenderung bersifat empiris, praktis, dan eksperimental; 3) Perancangan Sosial-Teknis (Socio-Technical Design), yang melahirkan desain dan prototipe produk-produk sosial maupun teknis yang diharapkan bermanfaat dalam menyelesaikan masalah riil; dan 4) Intervensi, di mana rancangan produk yang telah diperoleh diterapkan untuk menjadi solusi bagi berbagai permasalahan riil di lapangan. [Rousseau, 2018: 7]

Tahapan proses keilmuan yang semacam itu telah mengakomodasi struktur program riset sains Islam sebelumnya, di mana aspek worldview dan paradigma terletak di tahap 1), sementara aspek riset empiris berada di tahap 2). Tidak hanya itu, urutan proses keilmuan tersebut juga menyinggung aspek implementasi dari hasil riset sainsnya, lebih maju dari struktur program risetnya, yang baru bersifat teoretis atau epistemis []. Selain itu, pola urutan proses keilmuan ini bersifat tipikal, sehingga dapat berinteraksi dengan semua jenis sains modern yang cenderung ditarik ke arah praktis sebagai techno-science, baik di bidang eksak-natural maupun sosial. Dengan demikian, dalam berbagai disiplin sains yang berbeda pun, jenis aktivitas dalam setiap tahapan proses riset sistemis ini didukung oleh metode-metode dan prinsip-prinsip yang mirip. Kemiripan lintas disiplin dari prinsip, metode, dan tipologi hasil dari setiap tahapan ini, menimbulkan spesialisasi suatu disiplin ilmu ke dalam bidang-bidang disipliner dari proyek Islamisasi sains berupa falsafah sains Islam, program riset sains Islam, rekayasa produk, dan praktik-implementasi. [Rousseau, 2018: 7]

Masing-masing bidang tersebut lalu memiliki fokus pengembangan prinsip dan metode yang berbeda, tapi setiap disiplin sains terlibat dengan semua tahapan proses tersebut. Misalnya, disiplin transportasi memiliki elemen praktis (instruktur bekerja di perusahaan kontraktor yang membangun infrastruktur transportasi), elemen rekayasa (insinyur mengembangkan jenis mobil, kapal, atau pesawat di industri manufaktur), elemen sains (insinyur melakukan riset teknologi terkait transportasi di laboratorium atau universitas), dan elemen filosofis (insinyur bekerja di badan otoritas terkait transportasi yang menetapkan regulasi atau standar terkait keselamatan transportasi, etika rekayasa, atau hal lain), sehingga setiap praktisi dalam suatu disiplin ilmu dapat melakukan spesialisasi pada salah satu bidang tahapan proses keilmuan tersebut. Namun, secara umum setiap praktisi dalam suatu bidang ilmu akan terlibat dengan semua dimensi tahapan proses keilmuan tersebut, hanya saja tingkat aktivitasnya akan berbeda sesuai spesialisasi yang ia tekuni, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6. [Rousseau, 2018: 8] Praktisi dari masing-masing bidang tahapan tentu memiliki fokus aktivitas yang tersendiri. Filsuf sains Islam (seperti al-Attas, Nasr, al-Faruqi, dan Zardar) tentu lebih berkutat dengan aspek filosofis dari sains Islam. Praktisi di tahap sains dari sains Islam tentu lebih fokus pada riset yang terkait dengan definisi ketiga dari sains Islam (program riset empiris, praktis, dan eksperimental). Sementara itu, insinyur, pembuat kebijakan publik, dan sejenisnya akan lebih fokus dengan ranah engineering dan implementasi dari sains Islam.

Dari sini, kita melihat bahwa setiap bidang tahapan dalam proses keilmuan tersebut - dari tahap filsafat, sains, rekayasa, dan praktik - memiliki spesialisasi, peran, dan keluaran  masing-masing, tetapi saling terhubung dan tidak terpisahkan lewat landasan dan prinsip-prinsip umum yang sama. Setiap fase dalam proses keilmuan itu bertumpu pada pencapaian tahap sebelumnya. Hasil fase sebelumnya diolah menjadi prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk mengembangkan metode bagi fase berikutnya. Misalnya, konsep-konsep pokok yang dielaborasi dalam tahapan filosofis (worldview dan paradigma) dapat digunakan untuk derivasi prinsip-prinsip riset sains;  teori-teori penjelas yang diperoleh dari riset sains dapat diolah menjadi prinsip-prinsip penjelas yang, selain dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena empiris, juga dapat dikembangkan menjadi prinsip-prinsip desain yang dapat digunakan oleh perekayasa untuk membangun rancangan produk, baik teknis maupun sosial. Hasil-hasil desain dari tahapan engineering, dapat digunakan untuk derivasi prinsip-prinsip aplikasi dan intervensi yang dapat digunakan pada tahapan praktis, termasuk lapangan yang berpengaruh luas dalam kehidupan publik dan lingkungan hidup. Pengolahan dan operasionalisasi prinsip secara berurutan itu dapat digambarkan dalam Gambar 11. [Rousseau, 2018: 9]

Metode-metode falsafi bergantung pada prinsip-prinsip. Keberadaan solusi dunia fisik juga dapat diterjemahkan ke dalam prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip ini menghubungkan penyelidikan suatu disiplin ilmu dengan realitas dan tatanan kemasyarakatan. Lalu, setiap bidang tahapan mewarisi prinsip-prinsip yang dihasilkan dari fase sebelumnya juga prinsip-prinsip dan metode-metode yang menghasilkan keluaran dari bidang itu, sehingga terdapat pembangunan kumulatif prinsip dan metode dari tahapan sebelumnya ke tahapan berikutnya, dari fase yang lebih metafisik ke fase yang semakin empiris. Namun, tidak jarang juga penyelidikan dalam suatu disiplin ilmu bermula dari tahap yang lebih kanan (lebih fisis dan praktis) ke tahap yang lebih kiri (semakin metafisik dan kontemplatif), yang disebut sebagai prinsip desain heuristis. [Rousseau, 2018: 10] Sebenarnya, kedua arah itu, jalur saintifik dan jalur heuristis, dapat digunakan dalam upaya perumusan sains Islam. Jalur heuristis dapat digunakan untuk meninjau implementasi praktis dan engineering suatu produk sains, lalu berlanjut ke evaluasi program riset sains, terus ke ranah filosofis untuk mengevaluasi elemen-elemen disiplin sains yang berasal dari pandangan alam yang sekuler dan bertentangan dengan pandangan alam Islam, untuk kemudian diisolasi, dicabut, dan dicarikan alternatifnya dari sumber Islam; suatu proses yang dikenal sebagai desekularisasi sains atau dewesternisasi sains. Sementara itu, jalur ilmiah yang diawali dari bidang filosofis (mencakup worldview dan paradigma) dan berujung ke ranah engineering dan praktis, merupakan suatu upaya Islamisasi sains, yaitu memasukkan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan berbagai unsur Islam ke dalam sains kontemporer. [al-Attas, 1993: 162-163]

Sementara itu, dalam upaya membangun suatu sistemologi filsafat sains Islam tentang transportasi, yaitu suatu system building philosophy, kita akan mengambil jalur saintifik dari proses di atas, mengingat kita perlu memetakan di mana kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains. Secara berurutan, keluaran dari satu tahapan bidang dalam proses keilmuan itu menjadi masukan bagi tahapan bidang berikutnya. Sementara itu, masukan bagi bidang pertama, falsafah sains Islam, adalah dua jenis realitas, yaitu realitas yang diketahui dari wahyu (āyāt qawliyyah) dan realitas rasional serta empiris yang diketahui dari perenungan akal dan pengamatan alam (āyāt kawniyyah), di mana realitas wahyu menjadi penyusun utama pandangan alam yang menjadi prisma atau kacamata penafsiran dalam memandang realitas rasional dan empiris. [al-Attas, 1995: 1-2] Termasuk dalam realitas rasional-empiris itu keadaan-keadaan yang nantinya dipandang sebagai tantangan (challenge), perhatian (concern), kesempatan (opportunity), dan minat/kepentingan (interest) yang terkait dengan disiplin keilmuannya. Perbedaan pandangan alam dan paradigma tentu menimbulkan perbedaan dalam memandang hal-hal tersebut, khususnya bila pandangan Islam atasnya bersumber dari wahyu, yang tidak terdapat pada pandangan sekuler. Selanjutnya, semua masukan itu diolah dalam proses keilmuan tersebut dan ujungnya menghasilkan resolusi dan mitigasi permasalahan lapangan riil yang juga berpangkal pada kekhasan pandangan alam dan paradigmanya. [Rousseau, 2018: 7]

Untuk lebih menyesuaikan konstruksi sistemologis dari proses keilmuan itu dengan struktur sains Islam yang merupakan modifikasi, adaptasi, dan kombinasi dari struktur model program riset sains Imre Lakatos, konsep paradigma Thomas Kuhn, dan konsep worldview al-Attas, kita akan memecah tahapan filosofis menjadi tahapan kajian worldview dan tahapan kajian paradigma. Terdapat dua pendapat dalam memandang hubungan pandangan alam dengan paradigma ini. Ada yang memosisikan pandangan alam lebih mendasar dari paradigma dan ada yang memosisikan paradigma lebih mendasar dari pandangan awal. Pendapat yang pertama menempatkan pandangan alam lebih di pusat dalam diagram lingkaran program riset sains di atas atau lebih awal / di kiri dalam diagram alur proses keilmuan. Pendapat kedua mengartikan paradigma itu sebagai pandangan alam yang telah meraih dominasi atau disepakati oleh kalangan yang luas dalam komunitas ilmiah dalam suatu periode tertentu. Dalam hal ini, kita menganggap bahwa pandangan alam lebih mendasar dari paradigma, karena pada pemaknaan paradigma itu, ia merupakan gugusan teori pokok yang masih dapat berubah atau dimodifikasi, sehingga selevel dengan konsep sabuk pelindung. Sementara itu, pandangan alam berisi konsep-konsep prinsipiil yang tidak dapat diubah, yang bisa saja mencakup gugusan hukum dasar dalam sains dan secara dogmatis ia tidak dapat diubah tanpa ‘murtad’ dari program riset itu dan beralih ke program riset lain, sehingga pandangan alam ini setingkat dengan konsep inti keras.

Dalam diagram proses pun, baik pendapat pertama maupun kedua akan menempatkan worldview lebih di kiri / di awal daripada paradigma, tidak peduli mana yang dianggap lebih mendasar. Hal itu karena pendapat pertama telah jelas menganggap pandangan alam lebih mendasar dari paradigma, sehingga pasti lebih awal dalam proses tersebut, sehingga hasil tahapan prosesnya dapat menjadi masukan bagi tahapan proses paradigma atau pandangan alam itu diderivasi menjadi paradigma. Sementara itu menurut pendapat kedua, secara kronologis tahap pandangan alam akan terjadi lebih dulu dibandingkan tahap paradigma. Hal itu karena pendapat kedua menganggap bahwa paradigma itu berasal dari pandangan alam yang telah diformalkan, yaitu telah memenangkan persaingan di antara pandangan-pandangan alam yang berbeda yang dianut oleh berbagai kelompok saintis dan telah menjadi pandangan alam yang dominan, disepakati oleh mayoritas kalangan saintis atau jumhur dalam periode waktu tertentu. Meskipun pendapat kedua ini menganggap bahwa paradigma lebih mendasar dari pandangan alam, tetapi paradigma itu tetap diposisikannya sebagai hasil susunan formal yang disepakati dari gabungan elemen-elemen berbagai pandangan alam yang berbeda yang diramu membentuk gugusan pemahaman dasar dalam eksemplar sains pada periode sains normal, mengacu kepada tahapan dalam proses revolusi saintifik Thomas Kuhn.

Dengan demikian, pandangan alam dan paradigma itu dicakup oleh tahapan proses filosofis dalam diagram proses keilmuan tersebut, dengan pandangan alam berposisi lebih awal dari paradigma. Sejatinya, untuk mengatakan bahwa tahapan filosofis itu mencakup juga pandangan alam Islam tidaklah sepenuhnya tepat, karena worldview yang dipahami dari pandangan alam Islam tidaklah hanya mencakup unsur-unsur kontemplasi pemikiran filosofis; atau bahkan justru pandangan alam Islam itu tidak bersumber kepada pemikiran filosofis. Pandangan alam Islam itu bersumber kepada wahyu, di mana pada penafsirannya, dapat digunakan kontemplasi pemikiran filosofis. Akan tetapi, tetap wahyulah yang menjadi sumbernya, sehingga kontemplasi filosofis yang dihasilkan bersifat menjelaskan, menguraikan, menerangkan, mengelaborasi, melakukan derivasi, membuktikan, memberikan dukungan, dan seterusnya terhadap konsep-konsep seminal pokok yang dikandung oleh wahyu. Dengan begitu, dalam penggambarannya pada arsitektur sistem proses keilmuan ini, wahyu itu menjadi sumber dari proses filosofis; dan dalam Islam pula wahyu itu memiliki kedudukan sebagai realitas, paralel dengan alam semesta sebagai realitas yang diciptakan, ayat-ayat dalam bentuk kawniyyah; Quran adalah realitas yang diwahyukan, ayat-ayat dalam bentuk qawliyyah, sedangkan sunah Nabi Muhammad SAW (yang mencakup perkataan / qawl, perbuatan / fiʿl, dan persetujuan-dalam-diam / takrir) adalah teladan mendetail manifestasi dan implementasi wahyu dalam berbagai lapangan kehidupan. [al-Attas, 1993: 145]

Dengan demikian, bidang-bidang tahapan dalam proses keilmuan suatu disiplin ilmu menjadi: 1) tahap worldview, 2) tahap paradigma, 3) tahap sains, 4) tahap engineering, dan 5) tahap implementasi. Masing-masing memiliki metode, aktivitas, cakupan, dan hasil kajian spesifiknya. Dalam tahap kajian worldview, karena sumber masukannya ada dua (realitas wahyu dan realitas rasional-empiris), metode kajiannya meliputi metode-metode kajian wahyu dan metode-metode kajian realitas rasional-empiris. Dari kajian wahyu itu, akan didapatkan konsep-konsep pokok yang menyusun bangunan pandangan alam Islam, termasuk konsep Tuhan, wahyu, alam dan penciptaan, ilmu, manusia dan jiwa, Din, kebebasan, masyarakat, nilai dan kebajikan, kebahagiaan, dan lain-lain. [Zarkasyi, 2016: 13] Dari konsep-konsep pokok worldview itu, dapat dikembangkan konsep-konsep turunan yang terkait dengan transportasi dan perjalanan, dan darinya dapat dikembangkan paradigma keilmuan transportasi yang bersumber dari atau sesuai dengan nilai-nilai Islam, baik dari aspek epistemologi, ontologi, aksiologi, kehalalan, maupun berbagai aspek paradigmatis yang lain. Secara bersamaan, berbagai paradigma transportasi yang telah berkembang dalam sains kontemporer, seperti sustainable transportation paradigm, multi-modal paradigm, dan lain-lain, dapat ditinjau dan dibandingkan dengan perspektif Islam yang diperoleh dari kajian worldview dan paradigma tadi, sehingga unsur-unsur yang tidak sesuai atau bertentangan dengan pandangan alam Islam dapat diisolasi dan diperoleh paradigma transportasi kontemporer yang sudah disaring yang siap menjadi bahan baku untuk pengembangan paradigma transportasi Islam. Dari paradigma keilmuan transportasi Islam itulah akan diperoleh kerangka landasan dan panduan untuk mengembangkan keilmuan transportasi yang sesuai dengan pandangan alam Islam.

Mengingat transportasi merupakan suatu lapangan yang lintas-disiplin, penting untuk melihat kembali tulisan sebelumnya mengenai “Posisi Transportasi dalam Sains Kontemporer”. Hal itu juga penting untuk merumuskan kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains. Dalam bab tersebut, dapat disederhanakan bahwa keilmuan-keilmuan yang terkait dengan transportasi dapat digolongkan ke dalam keilmuan eksak-teknis dan keilmuan sosial. Keilmuan eksak teknis transportasi misalnya meliputi Teknik Sipil (di mana biasanya rekayasa transportasi menjadi spesialisasinya pada tingkat pascasarjana), Teknik Transportasi (beberapa institut menjadikannya program studi tersendiri), Teknik Arsitektur, Teknik Perkapalan, Teknik Dirgantara, Teknik Mesin, Teknik Perkeretaapian (terdapat institut yang menjadikannya program studi tersendiri), Planologi, Teknik Material, Teknik Lingkungan, dan lain-lain. Dalam kelompok keilmuan sosial ada Manajemen Transportasi dan Logistik (juga Manajemen secara umum), Geografi, Ekonomi dan Bisnis, Sosiologi, Psikologi, Hukum, Administrasi, Pemerintahan dan Tata Negara, Hubungan Internasional (untuk transportasi lintas negara), Adab dan Etika, Seni Rupa dan Desain, dan lain-lain. Masing-masing keilmuan itu tentu memiliki paradigmanya sendiri, tapi yang perlu difokuskan dalam program riset ini adalah yang terkait dengan transportasi.

Selanjutnya, tahapan bidang engineering dan implementasi-praktis dari keilmuan transportasi juga luas dan rumit, dan sebagiannya bahkan bersifat spesifik terhadap cakupan wilayah geografis tertentu, maka kajian tentangnya memerlukan data, waktu, dan sumbangan pemikiran yang banyak, sehingga mustahil dicakup secara komprehensif dalam satu buku ini. Namun, dalam upaya ini, setidaknya akan dicoba untuk menghadirkan beberapa aspek yang dirasa penting. Dalam tahapan bidang engineering terkait transportasi, terdapat aspek desain dan perencanaan teknis (yang terkait dengan keilmuan-keilmuan yang bersifat eksak-teknis); aspek ekonomi, manajemen, dan bisnis (termasuk kehalalannya, seperti dalam mekanisme pengadaan armada entah itu melalui pembelian, leasing, atau lainnya); aspek personal dan sosial; aspek administrasi, legal dan geopolitik; dan aspek etika dan estetika. Dalam tahapan bidang implementasi-praktis atau eksekusi, terdapat aspek pembangunan sarana-prasarana transportasi (pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, rel kereta api, rest area, perangkat elektronik, dan sebagainya); aspek perusahaan swasta penyedia layanan transportasi; aspek BUMN (dalam kasus Indonesia, transportasi terkait dengan BUMN, mungkin berbeda untuk negeri Muslim yang lain); aspek regulasi, sertifikasi, dan badan otoritas transportasi; organisasi desain (yang merancang dan memproduksi armada transportasi, seperti manufaktur pesawat, kapal, mobil, dan kereta api); organisasi perawatan (maintenance organization); bisnis-bisnis penunjang transportasi; dan lain-lain. Diperlukan penelitian dan kajian lebih lanjut mengenai dua tahapan terakhir ini.

Dengan demikian, diperolehlah suatu diagram yang menunjukkan kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains yang mengambil inspirasi dari struktur sains Islam dengan memodifikasi dan mengombinasikan antara model program riset sains Imre Lakatos, model paradigma Thomas Kuhn, dan konsep worldview Naquib al-Attas, ditambah dengan inspirasi dari arsitektur sistemologi yang terdapat dalam system building philosophy. Tentu peta ini masih mentah dan dangkal, sehingga diperlukan kajian lanjutan. Namun, fokus buku ini adalah menggali ayat-ayat Quran yang terkait dengan transportasi, yang merupakan sumber masukan dari tahapan worldview dalam peta tersebut. Pemetaan yang lebih matang dan detail dari kedudukan keilmuan transportasi dalam konstruksi berpikir Islamisasi sains memerlukan ruang bahasan lain. Namun begitu, peta ini tetaplah suatu bekal yang baik untuk dapat memosisikan konsep-konsep transportasi yang akan coba kita gali dari ayat-ayat Quran itu. Dan demikianlah akhir dari sub-bab ini.

 

Referensi

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1993. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1995. Prolegomena to The Metaphysics of Islam: An Exposition of The Fundamental Elements of The Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.

Lakatos, Imre. 1989. The Methodology of Scientific Research Programmes: Philosophical Papers Volume I. Editor: John Worral, Gregory Currie. Cambridge University Press.

Rousseau, David. 2018. “On the Architecture of Systemology and the Typology of Its Principles”. Systems, Vol. 6, No. 7, 2018. doi:10.3390/systems6010007

Setia, Adi. 2007. “Three Meanings of Islamic Science: Toward Operationalizing Islamization of Science”. Islam & Science, Vo. 5, No. 1, 2007. ISSN 1703-7603 (Print); ISSN 1703-7602X (Online).

Setia, Adi. 2016. “Tiga Makna Sains Islam”. Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Jakarta: INSISTS.

Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2016. “Islamic Worldview sebagai Paradigma Sains Islam”. Islamic Science: Paradigma, Fakta & Agenda. Jakarta: INSISTS.

 


Comments

Popular posts from this blog

TIGA KATA SEMBOYAN DAN SEBUAH IRONI

Permodelan Matematis Teorema Kendali

Siklus Tantangan dan Respons Peradaban Menurut Arnold Joseph Toynbee